Serial Syamsul Arifin (5): Jadi Saksi Berdiri dan Bubarnya Niac Mitra

Iklan

Semangat bermain sepak bola kembali meletup di hati Syamsul Arifin. Sayang, semuanya kembali padam. Mengapa?

***

Musim 1989/1990 membuat Syamsul Arifin kembali ke Niac Mitra. Dia tak kuasa menolak.

Alasannya, klub tersebut telah melambungkan nama dan karirnya hingga ke puncak. Meski hanya setengah musim, Syamsul menjawab kepercayaan itu dengan tuntas.

Iklan

Dia mencetak belasan gol dan mengangkat Niac Mitra ke papan atas. Inimembuat Niac Mitra pun kembali memakai jasa dan tenaga Syamsul.

”Sayang, menjelang persiapan kompetisi musim 1990, Niac Mitra dibubarkan Pak Wenas,” jelasnya.

Untung, nasib para pemainnya tertolong. Niac Mitra dikelola oleh bos media. Hanya, namanya tinggal Mitra.

”Saya tetap bergabung di Mitra. Jadi, saya ini bisa dikatakan saksi berdiri dan bubarnya Niac Mitra,” ungkap Syamsul.

Di Mitra, Syamsul tetap menjadi andalan.  Usia yang sudah tak muda lagi sebagai pesepak bola, 40, tak mengendurkan semangat. Di tengah persaingan yang keras, Mitra masih mampu menembus papan tengah.

BACA:  Serial Syamsul Arifin (6): Tak Ada Penerus di Lapangan Hijau

Di Mitra,  dia pernah berposisi yang jauh berbeda dengan spesialisnya di lini depan. Oleh pelatih, Yudi Suryata, Syamsul di tempatkan sebagai stopper.

Kok bisa? ”Waktu itu pemain belakang yang senior hanya Freddy Muli. Kebetulan dia sakit dan pelatih bingung mencari ganti,” ungkap lelaki yang  hobi memelihara burung tersebut.

Dia dicoba dalam beberapa kali latihan. Oleh Yudi, Syamsul dianggap bermain bagus.

”Pas pertandingan saya mampu menghalau serangan dan dianggap pantas. Ternyata, posisi itu keterusan meski Freddy sudah sembuh,” kenangnya.

Di Niac juga, Syamsul naik pangkat menjadi asisten. Selain usia, dia beberapa kali mengalami cedera.

Hanya, posisi sebagai asisten tersebut ternyata tak bertahan lama. Sifatnya yang tak mau bertikai dengan orang lain membuat dia memilih tak melanjutkannya.

BACA:  Serial Syamsul Arifin (7-Habis): Tercapai Keinginannya Tinggal Dekat Masjid

”Saya orang yang gak bisaan. Pemain saya tegur marah dan saya jadi nggak enak sendiri,” lanjut bapak empat anak tersebut.

Musim 1993/1994 pun menjadi akhir karir Syamsul sebagai pemain.  Padahal, masih ada tawaran yang datang kepadanya untuk berlaga di kompetisi 1994/1995 yang diberi nama Liga Indonesia dengan konsep meleburkan perserikatan dan galatama.

”Salah satunya dari Persedikab Kabupaten Kediri. Solekan mengharapkan saya ikut dengannya,”  tambah Syamsul.

Hanya, keputusannya sudah bulat. Dia tak mau lagi aktif sebagai pesepak bola di kompetisi resmi.

”Hanya, saya tetap main bola dengan teman-teman. Seringnya di Rungkut dan Lapangan Persebaya,” ungkap Syamsul.

Nama besar Syamsul ternyata tak membuat anak-anaknya berniat mengikuti jejaknya. (Bersambung)

Komentar Artikel

Iklan

No posts to display