Empat Faktor Kegagalan Persebaya Raih Poin Penuh

Muhammad Hidayat mengerang kesakitan sesaat setelah menendang bola ke gawang Madiun Putra. (Foto: Joko Kristono/EJ)
Iklan

Persebaya telah resmi kembali ke belantika sepak bola nasional rek!

Mungkin kalimat itulah yang ada di benak ribuan bahkan jutaan Bonek yang ada di seluruh dunia saat wasit meniup peluit kick off tanda dimulainya pertandingan antara Persebaya melawan Madiun Putra. Tak terkecuali saya. Perasaan haru dan bangga menemani saya sepanjang laga. Tapi sayang, euforia dan kebanggaan tersebut agak tercoreng dengan kegagalan Persebaya meraup poin penuh di laga bersejarah itu

Ya, Persebaya hanya mampu bermain imbang melawan Madiun putra 1-1. Bahkan Persebaya sempat tertinggal dahulu melalui gol Purniawan lewat serangan balik cepat. Di dalam tulisan ini, saya akan mengungkapkan pendapat pribadi terkait kegagalan Persebaya meraih kemenangan.

Ada empat hal utama yang menyebabkan Persebaya gagal meraih 3 poin, apa saja?

Iklan
  1. Psywar ala Iwan Setiawan

Di pertandingan sepak bola, psywar merupakan hal yang wajar. Hal ini ditujukan untuk meruntuhkan mental pemain lawan dan memotivasi pemain sendiri. Beberapa pelatih kenamaan dunia sering melakukan psywar kepada calon lawannya, sebut saja Jose Mourinho, Louis Van Gaal, Juergen Klopp dan banyak lainnya.

Tak terkecuali di Indonesia, Iwan Setiawan yang gemar melakukan psywar kepada calon lawannya. Tercatat saat menangani Borneo FC, Iwan pernah melayangkan psywar kepada Persib Bandung dan PS TNI. Persib Bandung disebutnya berkualitas biasa saja meski dihuni para bintang. PS TNI disebut sebagai tim amatir. Dan bahkan Iwan berani berujar jika timnya saat itu, Borneo FC, gagal menyingkirkan PS TNI, ia akan mundur dari jabatannya sebagai pelatih. Apa yg terjadi kemudian, fakta yang berbicara, Iwan gagal membuktikan semua ucapannya. Borneo FC dikalahkan Persib dan PS TNI, yang berujung pada pengunduran dirinya sebagai pelatih Borneo FC.

Patut dicatat, psywar tidak asal dilakukan. Ada beberapa poin yang menjadi pertimbangan pelatih melakukan psywar. Yang utama adalah kesiapan mental pemainnya sendiri. Karena jika mental pemain tidak siap, psywar justru akan menjadi bumerang. Psywar justru menjadi beban bagi pemain yang berujung pada permainan di lapangan.

Jose Mourinho tahu betul kesiapan mental pemainnya. Hal ini yg tidak dipahami oleh Iwan. Terbukti setelah pertandingan, Iwan malah menyalahkan para pemainnya yang tampil grogi dan nervous. Ini menegaskan bahwa psywar Iwan malah menjadi bumerang bagi timnya. Dan patut dipahami, tugas pelatih bukan hanya di sektor teknis saja, faktor non teknis juga menjadi tugasnya. Yakni memotivasi pemain agar keluar semua kemampuan terbaiknya, bukan malah menyalahkan pemain.

  1. Defense counter dan transisi yang buruk
BACA:  Eksekutor Bola Mati Sepeninggal Damian Lizio

Pertama kali saya membaca filosofi defense counter Iwan di suplemen khusus Persebaya edisi kedua (kalo saya tidak salah), saya mengernyitkan dahi. Bagi saya, defense counter bukan sebuah filosofi melainkan salah satu strategi permainan. Karena pada hakekatnya, penguatan defense counter adalah pertahanan. Jadi bagaimana tim tersebut bisa bertahan dengan baik, lalu mencuri kesempatan dengan melakukan serangan balik yang cepat dan efektif.

Penyerangan dalam defense counter lebih ke sporadis, tanpa konsep serangan yang baik. Yang dibutuhkan dalam penyerangan ala defense counter adalah efektivitas. Lantas bagaimana jika tim yg menjadikan defense counter sebagai filosofi bertemu dengan tim yang bertahan total? Kita semua sudah tahu hasilnya, laga homecoming game melawan PSIS dan Madiun Putra semalam menjadi contoh nyata.

Defense counter mengalami kebuntuan jika menghadapi lawan yang bertahan. Karena tidak ada kreativitas dalam serangan. Hanya sporadis. Akan semakin buntu juga apabila para pemain tidak efektif dalam memanfaatkan peluang.

Selain itu, transisi permainan dari menyerang ke bertahan dalam pertandingan semalam tidak berjalan sempurna. Para gelandang dan bek kiri (Abdul Aziz) sering terlambat turun. Akibatnya Rachmat Latief, Andri Muliadi, dan Syaifuddin/Kurniawan Karman kerap menjadi bulan-bulanan pemain lawan ketika terkena serangan balik. Beruntung pertandingan semalam, kita tidak kalah melihat begitu keroposnya lini belakang akibat transisi yang tidak sempurna.

  1. Finishing touch yang kurang

Problem krisis di lini depan yang menghantui Persebaya dalam beberapa waktu terakhir ini menjadi kenyataan. Finishing touch para pemain depan Persebaya dalam laga melawan Madiun putra semalam sangat mengkhawatirkan. Tercatat berapa kali Irfan jaya mendapatkan peluang matang namun gagal dikonversi menjadi gol.

Problem utama di lini depan ini sempat tereduksi dengan direkrutnya Yogi Novrian beberapa waktu lalu. Maklum, pengalaman bermain di klub liga 1 (Sriwijaya FC, PS TNI, dan Persela) serta pernah dilatih Iwan sebelumnya saat di Persela menguatkan keyakinan pada sosok yang satu ini. Namun sayang, diturunkan pada babak kedua menggantikan Syaifudin, pemain yang juga berprofesi sebagai anggota TNI ini gagal menjawab ekspektasi para Bonek. Diturunkan selama 45 menit, tidak ada peluang berarti yang didapatkan Yogi Novrian.

BACA:  Di Balik Kokohnya Miswar, Ada Kelemahan Barisan Pertahanan Persebaya

Didatangkan sebagai solusi untuk posisi striker yang kritis, Yogi malah bermain melebar di kiri. Sangat jauh dari kotak penalti, tempat seharusnya striker berada. Terlepas dari strategi Iwan yang memang sengaja menempatkannya di sisi kiri penyerangan, saya rasa Irfan jaya masih lebih baik jika ditempatkan di sayap kiri. Terlalu dini memang untuk memvonis Yogi Novrian, karena masa adaptasi yang singkat dan dalam kondisi yang kurang fit. Kita tunggu saja aksi berikutnya, semoga pertandingan semalam bisa menjadi bahan instrospeksi untuk lebih kedepannya, terutama masalah finishing touch.

  1. Stamina yang drop

Pertandingan baru berjalan 70 menit, Muhammad Hidayat sudah mengalami kram pada kakinya. Berikutnya bergantian, misbakhus Solikin terpincang-pincang setelah bertabrakan dengan pemain lawan, Rachmat Latief bahkan tidak bisa menyelesaikan pertandingan karena mengalami kram pada kedua kakinya. Dan puncaknya setelah peluit panjang dibunyikan oleh wasit, kiper Dimas Galih Pratama langsung jatuh pingsan. Dan bahkan harus dilarikan ke rumah sakit.

Pertanyaan yang mengemuka, bagaimana bisa tim yang memiliki mayoritas pemain muda tidak mengalami ketahanan fisik yang prima? Di sini peran pelatih sangat berpengaruh, patut dipertanyakan juga bagaimana hasil tes fisik yang dilakukan beberapa waktu yang lalu? Perlu diperhatikan, dalam jajaran staf kepelatihan Persebaya saat ini, semua pelatih merupakan pelatih teknik. Tidak ada yang mempunyai background pelatih fisik. Sebut saja, Iwan Setiawan, Ahmad Rosidin, Lulut Kistono, Jefri Prasetyo, dan Dedi Sutanto. Semuanya pelatih teknik, tidak ada yang pelatih fisik.

Bermain di Liga 2 yang persaingannya keras seperti musim ini dibutuhkan ketahanan fisik yang prima. Kebutuhan akan pelatih fisik tak terelakkan lagi, seperti saat era Persebaya juara 2004 di mana saat itu Jacksen Ferreira Tiago sebagai pelatih kepala dibantu Stefano “Teco” Cugurra sebagai pelatih fisik. Menarik bagaimana manajemen dan staf pelatih mengatasi permasalahan fisik pemain. Akankah memutuskan untuk merekrut pelatih fisik atau tetap mempercayakan fisik pemain kepada pelatih yang ada.

Semoga pertandingan melawan Madiun putra semalam bisa menjadi bahan introspeksi seluruh komponen tim agar kedepannya Persebaya bisa berprestasi dan semakin membanggakan Bonek dan Surabaya. Semoga target promosi ke liga 1 bisa tercapai musim ini.

Salam satu nyali! Wani!

*) M. Faishal Rizky A, Pemilik akun Twitter @FaishalRizkyA

Komentar Artikel

Iklan

No posts to display