Persebaya, Kenangan Masa Kecil: Saksikan Kebanggaan Cetak Gol (3)

Lukman Santoso (koh San) bek Persebaya/PSSI, ketika masih muda dan kini sudah sepuh di Malang
Iklan

Selamat atas prestasi Persebaya yang menjadi raja di Liga 2 Indonesia dan selamat datang di Liga 1 untuk PSMS Medan dan PSIS Semarang. Aku ingin melanjutkan cerita masa kecilku yang kemarin tentang Persebaya.

Jauuuh sebelum suka sepak bola, saat masih TK, beberapa kali aku diajak embah (kakek) nonton bola, meski mbah putriku tidak suka sepak bola. Beliau, mbah putri, sering berkata, “Bal-balan itu tempat anak-anak nakal yang suka tawuran dan taruhan, kamu jangan ikutan”. Akibatnya, aku sering tidak mau kalau diajak mbah laki (aku dibiasakan panggil mbah Djaja, karena Djaja adalah nama kios beliau sebagai penjahit pakaian).

“Ayo nontok “Tembungan” le. Ndang adus yo,” ajak mbah Djaja. Tembungan itu sebutan dalam bahasa Jawa untuk sepak bola di zaman Old.

“Emoh,” jawabku acuh.

Iklan

“Ngko mulih e mampir THR,” rayu beliau (almarhum 1993).

Wah, demi mendengar iming-iming mau diajak ke THR (Taman Hiburan Rakyat, sekarang Hitech Mall, Jalan Kusuma Bangsa) aku jenggirat bangun minta mandi, lalu ganti baju. Terbayang di pelupuk mata aku akan naik Spoor Kelinci, Karosel, dan Jinontro. Saat itu, belum ada Taman Remaja Surabaya (TRS).

“Arep nyang endi?” tanya embah putriku kesal.

Nontok Koh San,” jawab mbah Djaja. Koh (berarti Kakak, dalam bahasa Tionghoa) San, adalah panggilan sehari-hari Lukman Santoso, tetangga dekat kami yang kelak akan menjadi pemain PSSI/Persebaya yang terkenal.

Ternyata, aku diajak ke lapangan Cannali/ Cannalaan, sekarang lokasi itu dipakai untuk Taman Remaja Surabaya sejak tahun 1970-an. Bangku tribunnya terbuat dari papan jati, sudah kehitam-hitaman. Kalau aku ingin pipis, tinggal dibawa ke bawah tribun yang becek, kotor, bau pesing, dan rumputnya tidak dirawat. Aku ngocor disitu, beres.

Aku tidak ingat, Persebaya melawan klub apa, hanya ingat kostum yang dipakai, Biru Putih garis-garis mirip kostum Argentina, tetapi birunya gelap. Pikiranku hanya ingin segera laga selesai dan masuk ke THR.

Kalau ada yang bertanya, “Apa benar aku masih bisa ingat peristiwa saat masih sekecil itu?” Yah aku tidak bisa menyanggah pertanyaan itu, tetapi begitulah yang aku alami.

Betapa kasar penonton dewasa bila memaki pemain yang salah oper atau tidak mampu melunaskan peluang gol (termasuk mbah Djaja-ku tentu saja). “Guoblok! Sikile Pengkor.” Atau sering ada koor “Sikaat!!” dan ada yang lebih kotor dan kasar lagi. Sebaliknya, bila ada yang main hebat, tepuk tangan dan pujian setinggi langit gencar dikatakan. Bintang saat itu kuingat hanya Jacob Sihasale, sempat punya posternya berupa Kalender 1973 dengan iklan Vitamineral.

Suatu siang aku bertanya, “Mbah, pemain bal-balan sing paling jempol sopo?”

“Yakob,” jawabnya sambil tetap bekerja.

“Karo sopo?” aku tanya lagi, sambil mainan tentu.

“Koh San.”

“Sopo maneh?”

“Pokok e kabeh… Persibaya,” jawabnya sambil mengukur baju seorang pelanggan. Sejak itulah, tertanam dalam benakku bahwa pemain dan tim yang paling hebat di Indonesia ya Persebaya, aku masih belum tahu nama tim-tim lain di Indonesia.

Kembali ke tahun 1976…

Setelah Persebaya lawan Korsel dan Polandia, aku terpaksa melewatkan banyak laga Persebaya berikutnya, diantaranya melawan Atletico Mineiro Brazil dan Neuchatel Xamax dari Swiss. Aku harus puas mengikutinya dari RRI-RGS karena tidak punya cukup uang untuk beli karcis. Radionya pun pinjam sebelah. Persebaya kalah lagi 0-2 dari Mineiro.

Surya, teman sepermainan bercerita bahwa kipernya Mineiro berambut gondrong memakai ikat kepala, dia jarang menghentikan bola dengan tangan… sering menggunakan kakinya. Cerita itu makin membuatku ngiler, karena tidak nonton.

Barulah saat lawan Neucatel Xamax, Persebaya bisa membuat gol. Itu kudengar dari corong RGS, Supangat melaporkan bahwa pemain Xamax handsball dan Persebaya mendapat penalti yang sukses dilakukan oleh Rudy William Keeltjes. Skor akhir 1-1.

Demikian juga ketika di Surabaya ada kejuaraan Nasional Yunior yang disebut Soeratin Cup 1976. Aku hanya bisa mendengarkan dari radio meski harga tiketnya mungkin lebih murah, tetap saja saat itu gak bisa nonton. Untungnya, Persebaya Yr berhasil menjadi juara via kemenangan 1-0 (gol Ahmad Kautsar) atas PSP Padang Yr.

Surya yang bisa nonton bercerita bahwa kipernya PSP keren dan ganteng, namanya Novrizal Chai. Sedangkan kiper Persipal Palu Yr, tinggi kuning seperti orang Korea, namanya Hendriks Montolalu. Ketika gol dan juga pertandingan berakhir, semua penonton tumpah ruah ke lapangan bersuka cita, begitu Surya cerita kepadaku yang hanya bisa ngiler kembali. Surya selalu bercerita tentang kiper-kiper, karena dia tahu aku ingin menjadi Ronny Pasla, sedang aku tahu, dia ingin seperti Suharsoyo, kiper Persebaya selain Didik Nurhadi.

Gol Persebaya…

Akhirnya, aku bisa melihat dengan mata kepala sendiri pertama kali Persebaya bisa mencetak gol yakni saat diselenggarakan Surya Cup 1977, ketika aku sudah beranjak remaja dan sudah duduk di kelas 1 SMP Negeri 8 Surabaya.

Demikian sekelumit kisah masa kecilku tentang Persebaya. (bersambung)

*) Penulis: Eko Wardhana, Pensiunan BUMN yang tinggal di Sawojajar, Malang.

Komentar Artikel

Iklan

No posts to display