Persebaya, Kenangan Masa Remaja: Juara, Rek (10)

Iklan

Sudah jadi berita umum bahwa Grand Final Kompetisi PSSI 1977 akan disiarkan langsung oleh TVRI. Sejak pagi semua obrolan teman-teman dan khalayak ramai tidak lepas dari final itu. Termasuk Yusdi Ramli, teman sekelasku di SMP 8, yang juga putra pengurus Persebaya. Aboe Ramli mengatakan bahwa Persija bakal juara.

“ Lho, kok kamu bisa yakin?”

Seakan komentator handal, Yusdi mengatakan bahwa Persija lebih baik daripada Persebaya. Di final Surya Cup 1977 saja Persebaya tidak bisa menang, belum lagi masalah wasit. Persija lebih disukai wasit-wasit. Kami percaya saja, wong dia anak pengurus Persebaya dan dia juga oke main bolanya di PSAD.

Koen eling gak Final Piala Bang Ali 1977? Waktu Slamet Pramono dikartu merah?” tanya Yusdi, pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban itu adalah ajakan untuk mengingat kala Persebaya dinyatakan kalah WO, artinya bahwa wasit juga bisa jadi akan berpihak. Harusnya Persebaya banyak juara, tapi sering dimusuhi wasit, begitu kira-kira inti bicara Yusdi.

Iklan

Mugo-mugo ngko bengi wasit e netral.” Aku dan beberapa teman langsung menyergah meski otak ini mengatakan bahwa apa yang diomongkan Yusdi tidak sepenuhnya salah. Sepak bola zaman Old, kental nuansa non teknisnya. Tuan rumah, siapapun, dan di manapun, sulit kalah.

Semua sudah tidak sabar menanti siaran itu. Selepas Maghrib, pesawat TV rumah sebelah milik paklik (Om) Supi’i sudah aku tongkrongi, embah-embah dan ibu-ibu yang akan nonton “Kamera Ria” kudu mengalah.

Channel dihidupkan dan perebutan ranking 3 antara PSMS vs PSM Ujung Pandang (1-1) harus berakhir ke drama adu penalti. Eksekusi terakhir dari Pieter Fernandez berhasil membawa PSM meraih tempat ke 3. Dua kali PSMS kalah adu penalti.

Tubuh ini mulai menggigil panas dingin kala melihat pemain Persebaya dan Persija berbaris mengikuti wasit menuju lingkaran tengah. Meski gambar di TV hitam putih, tetapi kedua kesebelasan bisa dibedakan dengan jelas, Persebaya berkostum gelap (Hijau-Putih) sedang Persija mengenakan kostum putih-putih. Kapten Persija, Oyong Liza dan Rusdy Bahalwan melakukan toas dengan wasit Runtukahu dari Minahasa.

Kedua kapten berkacak pinggang tidak ramah, seakan mereka tidak pernah satu tim di PSSI.

Di layar TV penonton final penuh sesak, tidak terlihat ada ruang kosong, meski tidak sampai meluber ke Sintelban seperti Final Pre Olympic 1976 antara Indonesia-Korea Utara. Tetapi reporter TVRI (Sambas?) melaporkan penonton yang datang melebihi kapasitas stadion yang tercatat resmi 108.200 tempat duduk.

Tidak diketahui mana suporter Persija, mana Suporter Persebaya karena mereka memakai pakaian harian biasa, saat itu tidak ada atribut klub, tidak ada bendera dikibas-kibaskan, tidak ada poster atau spanduk satu lembar pun.

Bonek belum diproklamirkan, program tret tet tet juga belum ada, apalagi Jakmania. Tetapi semua orang Indonesia sudah tahu, basis suporter Indonesia berasal dari Surabaya, Bandung, dan Medan. Jakarta memang kota terpadat, tetapi saat itu fanatisme kedaerahan lebih kental.

BACA:  Persebaya, Kenangan Masa Remaja: Ronny Pasla (15)

Ada kejutan menyenangkan yang dilakukan pelatih Persija, Marek Janota, dia menurunkan kiper Sudarno sebagai line-up dan membangku-cadangkan Ronny Pasla. Sekilas, ini tampak seperti Janota telah melakukan blunder. Andilala juga duduk manis di bench. Wah, lega rasa hatiku. Dengan itu aku sudah punya firasat bahwa Persebaya akan memenangkan final ini.

Biasanya aku selalu merindukan sosok Ronny Pasla di bawah mistar, tetapi kini harus diakui, ketidakhadirannya di bawah mistar Persija, menyenangkan hatiku.

Kegembiraan itu mendadak berubah kecut! Baru 5 menit laga dimulai gawang Suharsoyo sudah dibobol sontekan lemah Taufik Saleh, Persija unggul 1-0.

Perlu waktu 15 menit bagi Persebaya untuk menyamakan skor, Hadi Ismanto jadi penyelamat lewat tendangan first time-nya dari dalam petak penalti. 1-1 dan nafasku kembali lega. Dari sorak-sorai yang terlihat di TV terlihat nyata bahwa pendukung Persebaya jauh lebih banyak daripada Persija.

Agak jengkel juga melihat Suharsoyo yang tidak mampu menahan sundulan kepala Taufik Saleh yang tidak seberapa keras, Persebaya kembali harus tertinggal 1-2 dan bertahan sampai turun minum. Barulah aku ke kamar mandi untuk pipis yang aku tahan sedari tadi.

Aku terus memohon doa, ketika babak 2 dimulai. Akankah Persebaya kalah dan gagal lagi meraih juara nasional? … sudah 25 tahun lho nggak menjadi juara.

Babak 2, terlihat Persebaya mulai bangkit, dan butuh waktu 10 menit bagi Persebaya membuat skor menjadi 2-2, lagi-lagi penyelamatnya adalah Hadi Ismanto.

Mendapat bola liar di dekat kotak kecil, dengan kaki kanan diembatnya bola itu sekeras mungkin. Sudarno tak kuasa menghalau. Kembali penonton Senayan bersorak-sorai gembira, segembira hatiku yang juga ingin melonjak-lonjak. Tapi laga masih lama.

Setelah gol itu, Persija terlihat kocar-kacir, Johny Fahamsyah dan Rudy Keeltjes merajalela di lapangan tengah. Para bek Persija yang diminta Janota untuk menjaga ketat Hadi Ismanto malah seperti dipermainkan, aroma kemenangan semerbak terasa. Beberapa kali tembakan Waskito dan Abdul Kadir nyaris menjadi gol, bahkan tendangan keras Johny Fahamsyah membentur mistar Sudarno, tanpa dia bereaksi sedikitpun.

Mencermati keadaan itu, Marek Janota tidak tinggal diam, dia lalu memasukkan Iswadi Idris menggantikan Anjas Asmara guna meningkatkan daya dobrak yang melempem. Tapi semua itu tidak menolong, malah gawang Sudarno kembali jebol, kali ini oleh Rudy William Keeltjes.

Embahku yang sedang tidur terbangun oleh teriakanku.

“Goooolll…!!!”

“Onok opo Le, Persibaya menang ta?”

Sebenarnya tendangan Rudy kurang sempurna, bola mengenai tulang keringnya, tapi justru itu yang membuat Sudarno tidak mampu menahan bola. Kini Persebaya berbalik unggul 3-2 dan berada di atas angin.

Tak ada Junaedy Abdillah di sana, maka permainan Johny Fahamsyah dan Rudy Keeltjes di tengah serta Hadi Ismanto, Kadir dan Waskito di depan semakin menjadi jadi, gocekan dan tipu daya mereka mengacaukan nama-nama besar Persija yang dihuni deretan bekas pemain Pre Olympic yang termasyhur.

BACA:  Persebaya, Kenangan Masa Remaja: Juara Paruh Musim (12)

Meski aku sumringah tetapi badan ini tambah adem panas, karena laga masih kurang 25 menit lagi, masih amat lama bagi Persebaya mempertahankan keunggulan, jangan-jangan malah kebobolan.

Sorak sorai pendukung Persebaya makin menjadi-jadi manakala Joko Malis lolos dari jepitan Oyong Liza dan Dananjaya, kiper Sudarno hendak maju memperkecil ruang namun kalah cepat dengan roket yang dilesakkan Joko Malis di atas kepalanya. Gol, Persebaya unggul 4-2, aku bersorak kegirangan di depan TV. Persebaya bisa juara nih.

Suara noise TV sangat bising, pendukung Persebaya lebih mendominasi, maklum semua orang Jawa Timur dan dari provinsi lainnya mendukung Persebaya. Belum ada sempalan-sempalan suporter seperti Aremania, La Mania, Deltamania… saat itu semuanya berhati Ijo. Semuanya bangga kepada Persebaya.

Masih ada lebih dari 15 menit bagi Persija untuk mengejar, Marek Janota lalu memasukkan Andilala menggantikan Junius Seba, serangan Persija mulai meningkat tajam, tapi kini penampilan kiper Suharsoyo juga meningkat, berkali-kali dia menggagalkan peluang Persija, termasuk ketika berhadapan langsung dengan Andilala atau Iswadi Idris.

M. Basri-Mudayat juga tidak tinggal diam, mereka memasukkan Subodro (entah mengganti siapa) untuk memperkuat pertahanan, mengingat kita sudah unggul 2 gol. Wayan, Subodro, suyanto, Rusdy bermain lugas dan sapu bersih. Persija mulai mengurung, bombardir serangan Persija akhirnya menuai hasil ketika Andilala memanfaatkan kekalutan koordinasi pertahanan Persebaya, kini Persija mendekat 3-4.

Jantung ini berdetak semakin cepat dan keras. Sisa waktu yang ada terasa begitu lama, sampai-sampai Subodro tak mampu menghalau bola dengan baik dan mulai banyak membuat pelanggaran.

Sudah pasti, pendukung Persebaya di manapun berada, tentu diliputi kecemasan level tinggi menantikan wasit Runtukahu meniup peluit. Dan ketika peluit itu benar-benar dibunyikan, melonjaklah seluruh pendukung Persebaya, mereka berhambur ke lapangan, tangis dan peluk cium berpadu dengan teriakan-teriakan. Selebrasi jaman dulu biasanya dihiasi dengan mengibarkan bendera klub, lalu diarak berlari mengelilingi sintelban. Aku dan lik Supi’i terdiam seribu basa, tanpa bisa berkata-kata, tetapi jelas gembira.

Persebaya JUARA!!! Congratulations.

Ini mungkin juga rejekiku (GR-nya), sebab, selama puluhan tahun Persebaya puasa gelar, eh begitu aku mulai mencintai bola, mereka menjadi juara, Alhamdulillah. Tak lupa ucapan terima kasih kepada segenap punggawa Persebaya, kalian, kakak-kakak semua telah memberi kegembiraan tak ternilai kepada masyarakat Surabaya dan Jawa Timur pada umumnya. (bersambung)

PERSIJA: Sudarno (kiper), Dananjaya, Simpson Rumahpasal, Oyong Liza (c), Suaib Rizal, Suapri, Anjas Asmara (Iswadi Idris), Ali Tuharea, Taufik Saleh, Junius Seba (Andilala), Robby Binur. Pelatih: Marek Janota (Polandia)

PERSEBAYA: Suharsoyo (kiper), Yudhi Suryata, Rusdy Bahalwan (c), Suyanto, I Wayan Diana, Johny Fahamsyah, Rudy William Keeltjes, Waskito, Abdul Kadir, Hadi Ismanto, Joko Malis. Pengganti: Subodro & Sapuwan (?).
Pelatih: JA. Hattu, M. Basri, dan Mudayat.

*) Penulis: Eko Wardhana, Pensiunan BUMN yang tinggal di Sawojajar, Malang.

Komentar Artikel

Iklan

No posts to display