Awal Baru, Kita Persebaya!

Iklan

Tak ada yang pernah menyangka. Satu klub menyatukan kita semua.

Slogan dengan tanda pagar (tagar) KITAPERSEBAYA diperkenalkan ketika fase 8 besar yang menyita waktu, mental dan uang yang tidak sedikit. Baik dari sisi pemain, manajemen dan juga Bonek. Meski dipermainkan oleh situasi dan kondisi yang tak menentu pada saat itu, namun akhirnya kesamaan fokus pada tujuan yang sama tersebut berhasil menjadi pemenangnya. Persebaya secara meyakinkan berhasil kembali ke kasta tertinggi bahkan dengan hasil maksimal. Juara Liga 2.

Selamat untuk Persebaya telah berhasil menjadi juara dan masuk ke Liga 1. Sayangnya euforia juara ini untuk sementara waktu harus cepat dibuang jauh-jauh dari memori. Tantangan Persebaya di Liga 1 pastinya jauh lebih besar, utamanya dari segi kekuatan dan kedalaman skuad, manajemen suporter hingga biaya operasional tim yang jauh akan membengkak hingga 2 sampai 3 kali lipat dari sebelumnya. Belum lagi dengan adanya tambahan tantangan regulasi Liga yang tidak bisa diprediksi baik di dalam maupun di luar pertandingan, yang tentunya dapat menguras mental maupun biaya yang juga tidak sedikit.

Lalu pertanyaannya, mampukah? Kalau bicara mental, jangan bicara dengan Persebaya. Mereka punya nyali dan berani memperjuangkan keyakinan mereka. Jadi untuk hal ini tak perlu diragukan lagi. Namun kalau bicara biaya, dengan sejumlah tantangan yang mengemuka dan nyata tersebut, ada tidak ya biayanya?

Iklan

Adios Jawa Pos?

Jawa Pos yang notabene dianggap sebagai investor Persebaya (karena anak usaha mereka di lini usaha sportainment mengakuisisi saham mayoritas PT Persebaya Indonesia) kini perlahan mulai menghilang. Pertama, hilang sebagai sponsor di jersey pemain. Terbukti tak ada lagi alih-alih logo Jawa Pos sebagai apparel di jersey pemain. Bahkan tak hanya jersey, tapi juga di kaos dan seluruh merchandise Persebaya lainnya selepas artikel mereka di bulan November yang bertemakan Pahlawan dan Tret Tet Tet. Kedua, suplemen khusus Persebaya di Jawa Pos juga tak berlanjut. Meski sebenarnya model pemberitaan jenis ini juga tak berlanjut di daerah lainnya seperti Solo yang mendapatkan keistimewaan yang sama lewat anak perusahaan Jawa Pos di daerah. Ketiga, strategi marketing lainnya melalui bundling pembelian jersey dan berlangganan Jawa Pos selama 2 bulan juga sudah tidak digunakan kembali pada jersey pre-season mereka tahun ini. Tanda-tanda lepasnya Jawa Pos dari Persebaya terasa makin nyata.

Menghilangnya Jawa Pos dari Persebaya mungkin juga sudah direncanakan sejak sebelum November. Entah ada hubungannya atau tidak, namun di sela-sela 8 besar tersebut juga muncul berita di beberapa media online mengenai Azrul Ananda yang mengundurkan diri dari kursi pemimpin Jawa Pos Koran dan keinginan Dahlan Iskan untuk melego saham miliknya di Jawa Pos Holding. Pada akhirnya berita nomor 1 itu yang terkonfirmasi benar, diikuti dengan cerita Persebaya menjuarai Liga 2 dan berakhirnya suplemen khusus Persebaya di Jawa Pos pada awal Desember lalu.

Sebuah Awal Baru

Menghilangnya Jawa Pos adalah awal baru bagi Persebaya. Sebuah tantangan awal yang tidak main-main bagi Persebaya untuk keluar dari zona nyaman mereka selama ini. Biaya operasional tim yang sebelumnya banyak dipasok dari kocek Jawa Pos, tahun ini kemungkinan berkurang atau bahkan tidak akan ada lagi. Sehingga tidak dapat disalahkan pula jika manajemen akhirnya mengandalkan pemasukan utama mereka dari keberadaan sponsor. Pada akhirnya bargaining di sisi sponsorship inilah yang akan menentukan seberapa jauh dan cepat langkah klub ke depan nantinya. Beruntungnya, posisi tawar klub terhadap pihak sponsor kali ini terangkat karena adanya trofi juara Liga 2; sejarah dan nama besar klub yang tak bisa ditawar; penjualan jersey yang mencapai 10 ribu sampai akhir Desember lalu; serta stigma positif atas usaha perubahan yang dilakukan oleh Bonek sepanjang tahun kemarin. Seluruhnya mendukung ke arah coverage nasional yang lebih luas, baik melalui media cetak, televisi, online maupun orang per orang.

BACA:  Harga Tiket, Berkah atau Musibah?

Tidak hanya dari sponsor, pemasukan sebuah klub juga datang dari broadcast (hak siar televisi), penjualan tiket dan penjualan merchandise. Khusus di Indonesia, ada tambahan pemasukan berupa subsidi klub dari pihak operator.

Belajar dari pengalaman klub-klub Liga 1 dan fokus klub pada visi Persebaya Forever rasanya untuk pemasukan dari hak siar kita anggap saja tidak ada. Mengapa? Alasannya karena nilai yang diterima klub tidak sesuai dengan pendapatan stasiun TV dari penjualan slot iklan pertandingan. Seluruhnya gelap. Selain itu skema penilaian berdasarkan rating juga tidak memberikan keadilan bagi seluruh kontestan karena indikator penilaiannya tentunya akan sangat subjektif dan terpengaruh dari nilai dan nama besar klub (basis suporter), kedalaman skuad (nama besar pemain), posisi klasemen, serta jadwal pertandingan (sore atau malam). Artinya, operator memiliki peran terbilang cukup besar untuk menentukan pendapatan hak siar yang akan diterima oleh klub di akhir penyelenggaraan Liga melalui jadwal yang mereka buat. Kalau Persebaya masih sangat berharap dari pendapatan ini tentunya akan berimplikasi pada keberlanjutan ongkos operasional tim di depan nantinya.

Dari sisi penjualan tiket, Persebaya sepertinya merupakan satu-satunya klub yang memiliki banyak pengalaman berharga dari musim lalu. Mulai dari inovasi Bonek Card, tiket online hingga offline semua memiliki masalah masing-masing yang sama besarnya.

Bonek Card sebagai terobosan yang brilian masih menyisakan masalah yang akan sangat mungkin muncul pada tahun ini, terutama ketika masuk pada fase pendistribusian kartunya. Sebenarnya jadwal serta regulasi yang belum jelas memang menjadi biang keladi utama untuk pendistribusian ini. Namun mengingat basis suporter Persebaya yang tidak hanya ada di Surabaya, serta menghitung tingkat fanatisme Bonek terhadap Persebaya yang sangat fanatik maka sistem distribusi ini menjadi hal utama yang harus segera dipersiapkan dari sekarang.

Tiket online dan offline juga memiliki masalah tersendiri yang sejatinya saling berkaitan satu sama lain. Untuk mengurangi peredaran calo, niat manajemen untuk membuka tiket online sudah benar. Sayangnya dalam perjalanannya sistem online yang digunakan pada musim lalu tidak terlalu memudahkan penonton. Sistem ticketing online yang lebih dekat dan mudah bagi masyarakat rasanya bisa menjadi pilihan. Apalagi jika sistem ini bisa turut pula dikomersilkan sebagai salah satu sponsor teknologi Persebaya ke depan.

Tidak berhenti di sana, dalam urusan tiket masih ada permasalahan yang perlu dicari jalan keluarnya terkait akses masuk stadion, yang puncaknya terjadi pada Celebration Game yang lalu. Jika mengacu pada komentator Liga 1 di televisi, maka kategori laga di Liga 1 hanya ada 2 menurut mereka. Big Match dan Super Big Match. Dimana pertandingan jenis ini sama hal nya dengan laga homecoming, anniversary dan celebration game yang lalu. Potensi membludaknya penonton sewaktu-waktu akan selalu ada di setiap pertandingan. Belajar dari pertandingan terakhir, hal ini berpotensi juga pada munculnya gridlock kemacetan di beberapa titik menuju stadion. Masalah ini harus dicari jalan keluarnya bersama dengan pemerintah kota jika ingin mendapatkan pemasukan maksimal dari penjualan tiket.

Dari sisi penjualan merchandise, Persebaya bisa dikatakan berhasil menjadi pendobrak penjualan merchandise klub di tanah air. Semua saluran distribusi penjualan dimasuki baik offline dan online. Setahun kemarin saja ketika masih di Liga 2, tiga offline store dibuka di lokasi-lokasi strategis. Mulai dari Graha Pena, Manyar (Surabaya Timur) hingga Bandara Internasional Juanda. Awal tahun ini bahkan mereka sudah meresmikan satu store di Surabaya Barat. Untuk ukuran Surabaya saja, penetrasi manajemen di sektor ini sangat masif. Artinya, manajemen sejatinya sangat bertumpu pada penjualan merchandise untuk menambah pemasukan bagi biaya operasional mereka. Padahal biaya untuk membuat satu store di sebuah ruko di Surabaya juga membutuhkan dana yang tidak sedikit.

BACA:  Bangun Roda Ekonomi Lewat Kreatifitas

Meski terlihat masif dan berhasil menjual 10 ribu jersey sampai Desember lalu, namun beberapa produksi jersey yang lalu sebenarnya masih menyisakan beberapa masalah. Harapannya pada tahun ini masalah tersebut dapat berkurang atau tidak ada sama sekali, seperti warna bahan yang tidak sama satu dengan yang lainnya. Sizing antar logo sponsor yang berbeda antar jersey meskipun dalam size yang sama, jahitan yang kurang rapih, serta size jersey yang berbeda meski dalam kategori produk yang sama. Dengan penetrasi yang sangat masif dalam hal merchandise, kontrol kualitas menjadi kunci untuk mendapatkan repeat order dari suporter, sehingga pendapatan dari sektor ini terus dapat dimaksimalkan bagi keberlanjutan klub ke depan.

Terakhir, jika pelaksanaannya sama dengan pelaksanaan Liga 1 tahun lalu maka Persebaya akan diberikan subsidi dari pihak operator yang nilainya akan ditentukan. Untuk hal ini, berkaca dari pelaksanaan yang lalu pembayaran subsidi ini ternyata masih dicicil sampai hari ini. Tentunya jika ingin melaksanakan visi Persebaya Forever maka biaya operasional dan bisnis klub sebaiknya tidak bergantung dari pemasukan ini.

#KITAPERSEBAYA

Sejumlah tantangan memang mengemuka untuk perjalanan Persebaya ke depan. Tantangan ini bahkan tidak mudah bagi masing-masing pihak yang cinta dan memberikan emosi serta waktunya untuk Persebaya dalam berbagai bentuk. Baik manajemen dengan beragam aspek dan modal dalam pengelolaannya, Bonek dengan beragam bentuk usaha dukungan, waktu dan biaya yang tidak ternilai untuk Persebaya serta sponsor dan investor yang memberikan dukungannya ke klub lewat dana dan program-program di luar sebagai sarana timbal balik bagi produk mereka. Seluruhnya saling terintegrasi dan berkontribusi satu sama lain bagi kemajuan Persebaya.

Kembalinya Persebaya di belantika kompetisi Liga Indonesia adalah buah dari usaha tak kenal lelah masing-masing pihak yang telah disebutkan di atas sebelumnya. Mulai dari Bonek, Manajemen, Sponsor hingga pihak-pihak di luar sana yang tidak tersorot sekalipun. Apa yang dicapai dan diperlihatkan oleh Persebaya sampai saat ini seperti rangkaian regu pelari estafet yang bermandi peluh keringat di sebuah lomba dan menjadi juara. Mereka bekerja sama. Bekerja keras di tiap fasenya untuk regunya. Bisa klubnya bisa juga atas nama negara.

Begitu pula yang terjadi di Persebaya pada fase awal Liga 1 saat ini. Kalaupun berita hilangnya dukungan Jawa Pos ke Persebaya itu benar dan ataupun seorang Andik Vermansah tidak jadi dikontrak Persebaya (yang mana sepertinya tidak mungkin :p) sejarah sudah membuktikan jika dilakukan bersama-sama dan sesuai dengan porsi dan peran masing-masing pihak, maka apa yang diimpikan bersama untuk Persebaya akan tercapai. Bahkan bukan tidak mungkin Persebaya tidak hanya menjadi lawan tangguh bagi klub lain, tapi justru menjadi kompetitor untuk menjadi juara di tahun pertama mereka di Liga 1 musim depan.

Mungkinkah?

Semua kembali lagi ke diri kalian. Apakah #KITAPERSEBAYA itu hanya akan berakhir sebatas tagar atau bisa menciptakan sejarah baru sebagai pendobrak kemajuan industri sepakbola di tanah air?

Semua kembali lagi ke diri kalian. Wani!    

*) Adipurno Widi Putranto, tinggal di Surabaya 7 hari setiap bulannya. Bisa ditemui di akun @analisiscetek atau [email protected].

Komentar Artikel

Iklan

No posts to display