Berawal Dari Ajakan Nonton Persebaya, Saya Berubah dari Aremania Menjadi Bonek

Haryo Bagus berpose berlatar belakang Stadion Gajayana Malang dengan atribut Bonek Persebaya.
Iklan

Saya dipertemukan lagi dengan kawan SMA melalui media sosial setelah sekian lama tak berjumpa. Sayalah yang menjerumuskannya menjadi Aremania. Sekarang, dia tinggal di Jakarta dan menjadi salah satu pengurus Aremania Batavia.

Kami pun bertukar nomor dan saling ber-Whats App (WA) ria.

Gathel. Nang ndi birumu, Cuk!”. Salam pertamanya saat menyapa saya melalui WA.

Iya, saya sekarang mengakui diri sebagai Bonek. Lahir di kota Malang membuat masa kecil saya tidak pernah jauh dari aroma Aremania. Bapak Aremania. Kakak seorang pengurus korwil Aremania. Ibu? Beliau gak suka bola.

Iklan

Bisa dibayangkan bagaimana kehidupan di dalam rumah. Saya tinggal di daerah Tlogomas pada waktu itu, tidak jauh dari rumah Abah Anton, Wali Kota Malang saat ini.

Setiap Arema bertanding, saya selalu hadir di Stadion Gajayana bersama teman-teman dengan ikut korwil kakak. Kebetulan bapak bekerja di luar kota. Jika pulang, beliau pun pasti hadir di stadion walaupun kami tidak pernah dalam satu tribun.

Maaf, saya hanya mengenal Arema yang bermarkas di Gajayana. Saya tak pernah masuk ke Stadion Kanjuruhan.

Lulus SMP, bapak memboyong ibu dan saya untuk mengikutinya pindah tugas ke Madiun pada tahun 2001. Dengan berat hati, saya pun manut dan bersekolah di salah satu sekolah favorit dan terbaik di Madiun, tepatnya di SMUN 5 Madiun.

Di tempat tinggal dan lingkungan yang baru, saya pun masih bangga dengan ke-Aremania-an saya. Sekolah saya berada tepat di depan Stadion Wilis. Kondisi stadion dulunya belum seperti sekarang. Waktu stadion dibangun pun saya mengikuti karena setiap pulang sekolah mesti melewatinya sampai saya lulus tahun 2004.

Teman-teman sekolah pun tahu kalau saya seorang Aremania. Dulu, setiap kemana-mana, saya selalu memakai aksesoris yang berbau Arema. Saya selalu berbagi cerita dan menggiring teman-teman saya untuk menjadi Aremania.

Segalanya mulai berubah saat saya mulai kuliah. Saya memutuskan tidak kembali ke Malang, namun memilih tinggal di kota rival, Surabaya.

Keputusan yang sudah saya pikirkan matang-matang. Saya kuliah di sebuah kampus swasta yang perempuannya kebanyakan berparas cantik di daerah Menur. Menjadi anak kos pun akhirnya saya jalani.

Tahun 2004, di mana iklim sepak bola surabaya sedang jaya-jayanya, Persebaya menjadi juara Liga Indonesia. Rata-rata, teman kuliah, kos, dan lingkungan sekitar adalah Bonek. Namun, saya tak pernah membuka jati diri bahwa saya adalah Aremania.

Akhirnya, saat yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya tiba. Seorang teman mengajak saya menonton pertandingan Persebaya di kandang, tepatnya saat melawan persib. Saya pun mengiyakan dengan alasan hanya untuk mengetahui bagaimana rasanya berada di Stadion Tambaksari dengan hati Aremania.

BACA:  Logika Aremania: Apapun Kerusuhannya, Salahkan Bonek

Perasaan takut dan gugup bercampur aduk saat langkah kaki mulai memasuki tribun stadion.

Ada kejadian lucu. Pada waktu itu saya tidak memiliki kaos berwarna hijau. Saya pun dipinjami baju hijau oleh teman-teman yang mengajak saya. Mereka memang ingin menjerumuskan saya menjadi Bonek. Sepengetahuan mereka, saya bukan anak suporter manapun.

Saya tak bisa berkata-kata saat harus duduk di antara Bonek, tepatnya di tribun BB. Saat terjadinya gol pun saya masih bingung untuk berekspresi. Kebetulan waktu itu Persebaya menang lewat gol Danilo Fernando. Apalagi menyanyikan lagu-lagu Persebaya. Gak ngerti bos! Hahaha…

Sepulang dari pertandingan, hati saya ibarat sudah punya pacar tapi merasa jatuh cinta sama perempuan lain. Sama-sama cinta. Dan itulah hati. Dan di akhir cerita, saya memutuskan menikahi perempuan yang bukan pacar saya.

Ajakan menonton selanjutnya pun tidak saya tolak. Ajakan kedua,  ketiga, dan seterusnya, semua saya terima. Perempuan ini membuat saya semakin gelap mata. Saya mulai mencari tahu apapun tentang dirinya. Lagu-lagunya pun perlahan mulai saya hafal. Saat terjadinya gol pun saya sudah bisa berekspresi layaknya seorang Persebaya fans.

Klub ini mulai membuat saya perlahan melupakan gegap gempita kota Malang dengan Arema-nya. Saya pun mulai jarang pulang ke Malang. Dan saya selalu punya alasan.

Sebenarnya, setiap akhir pekan adalah jadwal saya pulang ke Malang. Namun di akhir pekan, Persebaya selalu bertanding. Iya dan SAYA AKAN DATANG KE STADION SEBAGAI BONEK!

Virus itu sudah menjalar di tubuh saya. Cinta dan kebanggaan mulai merasuk. Teman saya pun tak lagi mengajak. Karena gantian saya yang mengajaknya.

Sisa Pertandingan demi pertandingan Persebaya pun saya lalui pada musim 2004. Puncaknya adalah saat pertandingan melawan Persija. Sejak siang, cuaca sudah tidak bersahabat. Surabaya di guyur hujan deras sepanjang hari. Di tribun BB, saya menahan dingin.

Namun tak sia-sia pengorbanan saya pada hari itu. Persebaya memenangkan pertandingan dan menjadi juara Ligina dengan mengalahkan Persija 2-1.

Saya pun mengikuti konvoi juara. Bangga rasanya. Sejak saat itu, saya semakin jarang pulang ke rumah. Tahun berikutnya, saya terus memupuk kecintaan saya kepada Persebaya.

Saya pun bergabung dengan komunitas Bonek di daerah Menur. Meski pada akhirnya mereka tahu asal-usul saya, namun mereka tetap menghormati saya dan menganggap saya bagian dari mereka.

BACA:  Salam dari Aremania untuk Bonek yang Rindu Persebaya

Banyak yang meragukan kecintaan saya pada Persebaya. Dan buat saya, itu adalah hal yang wajar. Apalagi saat kakak mengetahui adiknya menjadi suporter klub rival. Cap anak durhaka pun diucapkannya kepada saya.

Apalagi kakak menjadi pemimpin korwil dimana anggotanya juga teman-teman saya, omongan gak enak pun terlontar. Dari teman-teman Bonek pun juga sama. Mereka juga meragukan. Meski begitu, mereka tetap menghormati.

“Halah, paling yo nek mbalik nang Malang yo dadi Aremania maneh”.

Ya, kesempatan itu datang pada tahun 2010. Waktu itu, usaha yang saya bangun bangkrut. Kuliah pun terbengkalai. Karena kesulitan keuangan dan kebutuhan akan modal nikah, akhirnya saya memutuskan untuk bekerja di usaha keluarga di Malang. Menjadi sopir pick up untuk mengangkut sampah-sampah plastik yang akan didaur ulang. Usaha itu dikelola kakak dan teman-temannya.

Sekali lagi, saya pulang ke Malang. Namun ada yang berbeda dengan kepulangan saya kali ini. Kecintaan saya kepada Persebaya tak pernah luntur. Jersey Diadora 2010 berwarna hitam hijau menjadi pakaian saya saat bekerja.

Entah apa yang merasuki jiwa saya. Saya sudah tidak lagi mempedulikan orang-orang yang bekerja di sekitar saya yang semuanya Aremania. Meski begitu, jika ada Aremania lain yang berusaha menyakiti dan memprovokasi, merekalah yang membela saya. Ya walaupun setelah itu mereka misuhi saya.

“Cuk, ngono iku copoten aaa”.
“Gak katene bos!”. 

Dua tahun saya harus berjuang mengumpulkan rejeki. Hingga di tahun 2012, saat saya merasa tabungan hasil bekerja cukup, saya pun kembali ke Surabaya dan menikahi seseorang. Saya kembali ke kota tercinta, tempat di mana klub pujaan berada.

Sekarang, saya menetap di Surabaya dan mempunyai KTP Surabaya. Saya sangat jarang pulang ke Malang. Kebetulan setelah pensiun, bapak memutuskan untuk menetap di Magetan yang jauh dari kota kelahirannya, Malang.

Jika pun masih ada yang meragukan, biar waktu yang membuktikan. Biarkan kreatifitas saya untuk Persebaya yang berbicara.

Terima kasih buat teman-teman kuliah yang sudah menjerumuskan saya. Terima kasih buat teman-teman saya di Malang yang tetap menghormati saya sampai saat ini. Terima kasih buat bonek Menur yang mau menerima saya menjadi bagian dari mereka dan mengajarkan saya banyak hal tentang Bonek dan persebaya. Terima kasih buat dulur-dulur pentolan Bonek yang saya kenal dan mengajarkan banyak hal tentang seduluran. (*)

Komentar Artikel

Iklan

No posts to display