Persebaya Ingin Juara atau Tidak?

Foto : Official Persebaya

Kalimat tanya kapan pasti memberi jawaban dalam bentuk waktu. Dan waktu, begitu juga hidup, menyimpan beragam tanda tanya.

Kita tidak mempunyai jawaban atas harapan dengan pertanyaan kapan saya bisa?, lebih dari itu, ada usaha dan keinginan kuat untuk meraih satu cita. Pendeknya, bukan pertanyaan “Persebaya kapan juara?” untuk memperoleh jawaban “Persebaya juara”, akan lebih masuk akal jika pertanyaannya diubah; Persebaya ingin juara atau tidak?

23 Desember 2004 adalah kali terakhir Persebaya menjadi kampiun di kompetisi level tertinggi persepakbolaan nasional. Di musim ini, meski liga menyisakan dua laga, peluang mengulang kejayaan 17 tahun lalu kembali sirna. Tujuh belas tahun. Jelas bukan waktu yang singkat.

Terdapat satu momen menarik ketika perayaan juara Persebaya saat itu, ada potret Rachmat Irianto alias Rian yang kini berstatus sebagai pemain Persebaya nampak sedang dipanggul Bejo Sugiantoro sang ayah,  yang notabene bagian dari skuad juara klub berjuluk Bajol Ijo di musim tersebut. Rian Ikut larut dalam kebahagiaan bersama puluhan ribu Bonek di Stadion Gelora 10 November, meski hujan deras mengguyur Kawasan Tambaksari sebelum laga penentuan juara itu digelar.

Lahir pada tahun 1999,  usia Rian kala itu masih sekitar 5 tahun, mungkin belum mengerti betul kenapa orang-orang di sekitarnya menampilkan ekspresi beragam sesaat setelah wasit meniup peluit panjang. Ada tangis, tawa, dan sukacita menyambut bertambahnya trofi yang akan menghiasi rak di salah satu sudut Mess Karanggayam, tampat sakral dan penuh sejarah bagi Persebaya.

Layaknya jutaan mimpi anak-anak di seluruh dunia, menjadi pemain sepakbola merupakan cita-cita populer. Bisa jadi, momen dipanggul seorang ayah tersebut merupakan pemantik Rian untuk serius menekuni profesi sebagai pesepakbola profesional.

Terlepas dari penilaian negatif beberapa penggemar Persebaya atas penampilan Rian musim ini, tidak sia-sia jalan yang dipilihnya, status sebagai pemain Tim Nasional senior dan dipercaya menjadi salah satu kapten tim sebesar Persebaya adalah bukti.

Oleh sebab itu, bagi saya, titel juara Liga Indonesia terakhir Persebaya dengan pribadi Rian mempunyai keterkaitan, tentang capaian seorang ayah yang menginspirasi mimpi anaknya menjadi pemain sepakbola.

Cerita tentang Rian adalah satu hal, begitu banyak kisah lain yang memaknai gelar juara klub sepakbola sebagai satu bagian penting dalam perjalanan hidup seorang manusia. Sebab, mengutip mendiang Bill Shankly, “sepakbola bukan tentang hidup dan mati, ini lebih penting daripada itu”.

Kembali ke pertanyaan “Persebaya ingin juara atau tidak?”. Ada teori mendasar mengenai alasan saya mengajukan pertanyaan tersebut,  yaitu teori psikologi Adler, Psikolog kenamaan asal Austria. Pemikiran Adler berangkat dari pemahaman bahwa suatu kejadian tidak dihasilkan oleh hubungan sebab-akibat, melainkan tujuan yang ingin dicapai, ini disebut “telelologi’ (ilmu yang mempelajari tujuan dari suatu fenomena tertentu, ketimbang penyebabnya).

Hubungan sebab-akibat yang dimaksud Adler adalah pemikiran bahwa siapa kita sekarang (efek) ditentukan oleh kejadian-kejadian di masa lalu (sebab). Dengan kata lain, manusia sering kali beranggapan bahwa masa kini dan masa depan sudah diputuskan oleh apa yang terjadi di masa lalu. Hal ini cenderung membuat seseorang untuk tidak berani mengambil langkah maju.

Selain itu, Adler juga memperkenalkan istilah “perasaan inferior”, yang menurutnya berkaitan dengan ukuran nilai seseorang terhadap diri sendiri, perasaan bahwa seseorang tidak berharga atau bahwa nilai dirinya hanya sebatas itu, timbul karena membandingkan diri sendiri dengan orang lain.

Adler menganggap bahwa semua orang memiliki perasaan inferior dan bukan berarti itu hal yang buruk, ini perlu dipahami dengan urutan tertentu. Pertama, manusia lahir sebagai makhluk tak berdaya, dan manusia memiliki hasrat untuk bisa lepas dari keadaan tak berdaya ini. Yang menjadi masalah adalah ketika seseorang menggunakan perasaan inferior sebagai alasan untuk tidak memperbaiki nilai atas dirinya.

Dalam konteks Persebaya, dua hal di atas dapat menjadi batu sandungan atas usaha meraih gelar juara jika tidak segera dibereskan. Yaitu terjebak dengan trauma masa lalu (hubungan sebab-akibat) dan perasaan inferior.

Kita semua tahu perjalanan Persebaya setelah juara di tahun 2004 bak roller coaster, naik – turun, degradasi lalu berjuang untuk kembali promosi terjadi beberapa kali, konflik internal maupun eksternal silih berganti. Yang terepik tentu status Persebaya sebagai anggota PSSI sempat dibekukan.

Untuk menjadi lebih baik atau dalam term klub sepakbola itu dapat diartikan juara, ada baiknya semua elemen Persebaya melupakan ‘trauma masa lalu’ dan menghilangkan perasaan inferior. Karena bagaimanapun, sangat tidak layak jika tim sebesar Persebaya masih bermental ‘tim papan tengah’.

Merujuk teori Adler: tak peduli apa yang terjadi di masa lalu, tidak ada hubungannya dengan apa yang kita mulai saat ini. Maka dari itu, tangga menuju  juara di musim depan sudah harus ditapak, langkah ini bisa diawali dengan mengalahkan kandidat kuat juara musim ini malam nanti.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar Artikel