Ferhadz Archives | Emosi Jiwaku https://emosijiwaku.com/tag/ferhadz/ Portal informasi terpercaya dan terkini tentang Persebaya dan Bonek Wed, 19 Apr 2017 04:36:44 +0000 en-US hourly 1 145948436 Pernyataan Iwan Setiawan dan Potensi Rasisme https://emosijiwaku.com/2017/04/19/pernyataan-iwan-setiawan-dan-potensi-rasisme/ https://emosijiwaku.com/2017/04/19/pernyataan-iwan-setiawan-dan-potensi-rasisme/#respond Wed, 19 Apr 2017 04:35:30 +0000 http://emosijiwaku.com/?p=7526 Bukan tanpa alasan penulis memberi justifikasi bahwa Iwan telah melakukan tindakan rasisme.

The post Pernyataan Iwan Setiawan dan Potensi Rasisme appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
Sekarang adalah masa pembangunan. Maka untuk usaha ke depan, marilah kita menengok masa yang telah lalu. Mana-mana hal yang salah pada masa lalu, marilah kita buang jauh-jauh; mana-mana hal yang kurang, marilah sekarang kita sempurnakan, dan mana-mana yang baik, marilah sekarang kita tambahi. (KH. A. Wahid Hasyim, 1944)

Paska kembalinya Persebaya dari setrapan mafia sepak bola, klub yang bermarkas di Surabaya itu melakukan berbagai renovasi. Mulai dari kepemilikan klub hingga perilaku suporter pun tak lepas dari mata perbaikan. Hal yang dirombak dan sempat santer dibicarakan salah satunya adalah pengisi kursi pelatih. Hingga akhirnya Iwan Setiawan–pelatih yang bagi penulis mirip Jose Mourinho itu, baik mulut maupun taktik–diminta duduk di kursi.

Perbaikan di segala lini memberi konsekuensi logis pada pembangunan citra diri (Self Branding). Jika kebanyakan klub–yang belum pernah separah Persebaya dalam hal kevakuman–terfokus pada teknis yang hanya tampak di residu, maka Persebaya melakukan hal yang lebih dari kegiatan itu–setidaknya lebih disoroti oleh berbagai pihak. Adalah rasisme–penyakit yang dengan gigih dijadikan common enemy (musuh bersama) dalam dunia sepak bola–, problem yang menambah pekerjaan rumah Persebaya. Tidaklah berlebihan jikalau penulis mengatakan demikian, sebab hampir masih ditemui–jika kita jujur mengakui–kecenderungan masyarakat umum yang memberi lebel itu kepada ‘Tentara Hijau’ Bajul Ijo, yakni Bonek–meski kita semua tahu, bahwa sesuai analisa framing asumsi demikian tentulah tidak melulu benar, sebab kembali ke keinginan dari siapa yang memberitakan.

Itu pun kalau media sebagai penguasa otak masyarakat menginsyafinya. Bagi penulis, menanggapi asumsi demikian dengan cara mengklaim kebenaran dan menjustifikasi kesalahan–apalagi memberi apologi (pledoi: pembelaan) dengan mengkambinghitamkan salah satu pihak luar–tidaklah penting, sebab menurut kelakar penulis tentu lebih afdhal adu karya timbang adu mulut, bukan?. Oleh karena itu, daripada capek senam mulut yang tak mencerdaskan, mending berpikir yang produktif: mengapa harus rasisme yang diperangi?.

Setidaknya, menjawab pertanyaan di atas akan membuat kita mudah mengidentifikasi perilaku yang telah diperangi oleh dunia internasional itu. Secara lebih fokus, setidaknya, para pecinta sepak bola akan dengan mudah memahami, bahwa rasisme pun bisa diperbuat oleh berbagai komponen, termasuk pelatih, seperti yang ditunjukkan Iwan Setiawan saat berkomentar mengenai lawan: “Madiun Putra menerapkan permainan kampung” (Emosijiwaku.com, 18/04).

Bukan tanpa alasan penulis memberi justifikasi bahwa Iwan telah melakukan tindakan rasisme. Jikalau toh berbagai pihak yang fanatik ke Iwan membantah itu dengan memberi argumen atas nama demokrasi, maka pertanyaannya: apakah kebebasan berpendapat harus membesarkan diri dan mengecilkan badan lain? Bukankah dalam nalar Indonesia, etika dan moralitas menjadi panglima daripada sekedar membusungkan dada?. Praktek yang terjadi, sering kali klub–badan– yang merasa besar dan memiliki gelar bergelimang merasa lebih tinggi dan cenderung menginferiorkan klub yang diasumsikan berada di bawahnya. Implikasi lebih jauh, kerap kali kekerasan yang sebenarnya dan sejujurnya ditakutkan oleh pecinta sepak bola bermula dari ucapan rasis dalam berbagai bentuk, utamanya yang berasal dari mulut.

Rodolfo Stavenhagen (1996)–sebagaimana dikutip Muhaimin Iskandar– memberi deskripsi sederhana mengenai rasisme, yakni suatu keyakinan akan adanya superioritas dan inferioritas dari pergumulan ras yang mengarah pada ekspresi diskriminatif secara sistematis. Meski awalnya rasisme terpraktekkan dalam sektor genetik, ilmu pengetahuan, dan nasionalistik, tetapi seiring berjalannya waktu, rasisme pun bisa masuk menjadi berbagai manifestasi (wujud), termasuk fanatisme dalam sepak bola. Itu disebabkan karena hubungan yang dibangun dalam sebuah klub sepak bola sangat mengikat kuat hingga membentuk satu badan dan keyakinan. Sebagaimana rasisme memberikan ruang bagi munculnya kegagahan atas kelompok lain, pun demikian halnya yang terjadi di dunia kompetitif. Atas dasar keunggulan yang dimiliki dalam berbagai bidang kehidupan, kelompok superior seakan menjadi ‘guru’ yang harus dipatuhi. Praktek kepongahan itu mengindikasikan adanya akumulasi kekuasaan di satu pihak dengan penundukan atas pihak lain–mirip sebagaimana teori Edward Said (2010) menjelaskan mengenai Barat vis a vis Timur.

Apakah perkataan Iwan sedemikian beratnya hingga layak dikaji jeli dengan teori kekuasaan? Menurut penulis, apa yang dikatakan Iwan termasuk pelanggaran yang tanpa disadari membawa implikasi buruk bagi kesehatan kompetisi sepak bola. Meski demikian, pembaca tak perlu pusing berpikir bahwa ini persoalan gawat yang harus dicarikan obat yang dahsyat. Cukup dengan memperlebar spektrum #NoRasis ke ranah singgahsana kepelatihan. Bahwa #NoRasis tidak hanya diperuntukan dan dijejali untuk suporter belaka, melainkan semua pihak tanpa istisna’ (pengecualian).

Penulis insyaf, bahwa fitrah kompetisi sepak bola Indonesia yang mempertemukan berbagai olah bola nan asyik meniscayakan adanya kelompok yang kualitasnya jauh lebih ciamik. Keberadaan fakta yang demikian bersifat nature dan tidak politis-dalam artian tidak dianggap lebih berkuasa atau superior dari yang lain. Oleh karenanya bagi penulis–sebagaimana juga Wahid Hasyim–, hal itu tidak perlu dipertentangan secara egois–merasa layak memonopoli kemenangan. Justru penggunaan bahasa yang mengandung rasisme itu merupakan warisan kolonial yang sudah menyerang mentaliteit bangsa Indonesia. Bukankah kelahiran sepak bola Indonesia bertujuan untuk melawan itu? Jikalau iya, maka seyogyanya banner ‘Revolusi’ yang dulu pernah diangkat oleh Bonek, layak untuk ditampakkan ke depan Bang Iwan.

Akhirnya, Kepedulian suporter atau fans terhadap masalah sosial terkait dengan sepak bola masih tinggi. Terutama dalam menghapus dua masalah utama dalam sepak bola, yaitu rasisme dan kekerasan. (Anung Handoko, City of Tolerance, 2008)

*) Ferhadz Ammar Muhammad, Kalijaga Class Bonek Jogja

The post Pernyataan Iwan Setiawan dan Potensi Rasisme appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
https://emosijiwaku.com/2017/04/19/pernyataan-iwan-setiawan-dan-potensi-rasisme/feed/ 0 7526
‘Orde Dikte’ Sepak Bola, Gelinding PSSI dan Industri Televisi https://emosijiwaku.com/2017/04/07/orde-dikte-sepak-bola-gelinding-pssi-dan-industri-televisi/ https://emosijiwaku.com/2017/04/07/orde-dikte-sepak-bola-gelinding-pssi-dan-industri-televisi/#respond Thu, 06 Apr 2017 17:34:07 +0000 http://emosijiwaku.com/?p=7207 Sekali lagi penulis tidak menampik kebutuhan PSSI untuk mendanai federasi, akan tetapi mustilah dengan melihat kebaikan bersama yang tentu melibatkan suporter klub juga.

The post ‘Orde Dikte’ Sepak Bola, Gelinding PSSI dan Industri Televisi appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
“... Saya katakan sementara waktu, karena diktator menyalahi peradaban, menekankan kemauan orang-seorang atau segolongan kecil kepada orang banyak, dengan tidak ada kontrolnya. Perasaan adab dan keadilan, yang hidup di dalam jiwa manusia, suatu waktu akan berontak terhadap diktator, seperti terbukti di dalam sejarah segala masa.” (Moh. Hatta, 1951)

Awalnya, penulis mengira bahwa masa paling susah di lapangan hijau Indonesia adalah tahun saat IPL vis a vis ISL. Penulis pikir bahwa hal yang paling menguras tenaga pecinta sepak bola tanah air yakni kerusuhan antar suporter. Dan penulis membayangkan bahwa kemelut yang paling memuakkan dalam sejarah sepak bola yaitu pertandingan gajah. Seiring perjalannya, asumsi yang menjadikan ketiga hal itu sebagai ‘biang-kerok’ dan penyakit sepak bola Indonesia, nyatanya tidak menjadi sebab yang signifikan.

Era IPL dan ISL harus diyakini sudah selesai. Chant-chant rasis yang menjadi api pertengkaran antar suporter mulai dianggap basi. Begitupun sepak bola gajah juga tampaknya telah sadar diri. Namun, sepak bola baik liga maupun timnas Indonesia masih saja begini: tidak meraih prestasi namun berlagak meninggi. Lantas apa penyebab utamanya? Mari bersama kita cari jawabannya dengan mengukur hubungan empat komponen dalam penyelenggaraan sepak bola, yakni 1) PSSI, 2) Manajemen, 3) Pemain, dan 4) suporter. Oleh karena dalam penulisan harus fokus, maka penulis akan menggunakan medium salah satu klub sepak bola saja, yakni Persebaya. Bukan karena penulis adalah bagian dari suporter klub berjuluk ‘Bajul Ijo’ itu, melainkan sebab tidak terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa Persebaya telah mengalihkan perhatian pecinta sepak bola Indonesia, terutama aksi suporternya untuk mengembalikan kejayaannya. Sebagaimana ilmu komunikasi menurut Carl I. Hovland (dalam Effendy, 1986) ada istilah ‘transmisi stimulus’, maka Persebaya telah memberi rangsangan kepada pecinta sepak bola Indonesia untuk melihat kulit bundar tidak hanya dari luar, melainkan terlibat penuh untuk merubah keadaan.

Sebagaimana falsafah Jawa berkata ojo rumongso bisa nanging sing biso rumongso, musti disadari sebagai masalah kolektif, bahwa sepak bola nasional kembali diguncang permasalahan. Bukan dalam hal prestasi yang semua pihak tampaknya sudah tidak mempertanyakan lagi. Bukan pula mengenai mafia sepak bola, meskipun kelompok hitam itu pastilah ikut campur. Akan tetapi fakta bahwa sepak bola sedang berhadapan dengan dua masalah besar, yakni media dan nalar ‘dikte’ pengurus sepak bola Indonesia, telah memasuki domain represi (kekerasan) eksistensi.

Jika menggunakan teori Barrington Moore (1976), perubahan sosial ke arah yang lebih modern bisa dicapai dengan menggunakan banyak cara, mulai jalur yang demokratis sampai dengan kekerasan diktatorial. Pemilihan kepada salah satu model politik itu tergantung pada penyikapan terhadap kebutuhan ekonomi. Untuk mengejar prestise sebagai ‘negara digdaya ekonomi’, setiap pemimpin negara melakukan cara-cara politik sendiri-sendiri, bisa pemaksaan juga penyerapan aspirasi. Apa yang dipaparkan oleh Moore mengenai perubahan sosial di atas menurut penulis bisa dijadikan pisau penyelidikan untuk membaca gaya kepemimpinan yang dipraktekkan oleh PSSI. Sebab di satu sisi harus diakui bahwa PSSI merupakan organisasi yang tidak bisa dipisahkan dari kebutuhan ekonomi sebagai syarat transisi kemajuan sepak bola. Tetapi di sisi lain, sepak bola Indonesia musti tidak dicerabut dari akar tradisi lewat tangan-tangan industri, utamanya media televisi.

Penulis sadar-seperti Moh. Hatta menyadari-, bahwa dalam teori manajemen organisasi-termasuk berbentuk federasi-dikenal juga tipologi kepemimpinan besi, akan tetapi itu pun untuk normalisasi keadaan dengan syarat kebijakan yang dikeluarkan tetap masuk akal. Pertanyaannya, apakah akal kita harus dipaksakan menyetujui pendapat yang akan membunuh klub kecintaan? Bagaimana mungkin akal dituntut menerima kebijakan usia dengan dalih regenerasi, jika legenda klub dipaksa berhenti? Bukankah negara-negara yang terkenal sepak bolanya juga masih memberi ruang bagi pemain tua untuk mendampingi yang muda?. Sampai sini penulis harus berkata, bahwa PSSI sedang ‘gagal paham’ kebijaksanaan dalam iktikad kemajuan. Bahwa sepak bola Indonesia dengan tanpa aspirasi dan logika massa, hanya akan melahirkan ‘orde dikte’, yakni sistem, tatanan, atau peraturan yang melulu menyuruh tanpa boleh bertanya terhadap kebijakan apalagi menolaknya.

Melihat Kebijakan

Jika dikontekskan dengan logika gotong royong, kebijakan hanya bisa diambil dengan mekanisme rembuk atau musyawarah. Itu artinya, Indonesia tetap menempatkan penyerapan aspirasi dari komponen bawah untuk membuat setiap kebijakan. Tradisi luhur para sesepuh itu tak lapuk jika dikontekskan pun dikontekstualisasikan. Sayangnya seiring perkembangan waktu, para pemuka-dalam hal ini adalah PSSI juga manajemen-tidak selalu menjadikan ragam pendapat sebagai penguat kebijakan agar dapat legitimate (diakui oleh masyarakat).

Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa sepak bola Indonesia sedang diramu oleh PSSI sesuai nalar kemajuan bermain dan profesionalitas pengelolaan. Sekilas prinsip yang tertuang dalam statuta PSSI tersebut terkesan normal dan memiliki progres baik untuk sepak bola Indonesia. Akan tetapi celakanya-tanpa disadari-, iktikad baik PSSI malah menimbulkan masalah baru, yakni pengejaran akan status ‘maju’ dengan tidak menghiraukan kultur yang dibangun oleh para komponen sepak bola Indonesia sepanjang sejarah. Hal ini bisa dilihat dari fakta tentang kebijakan PSSI yang kerap kali menimbulkan kegaduhan. Seperti kebijakan mengenai Liga 2 yang memupus catatan Indonesia untuk mencetak legenda-legenda, sekaligus menghantam hak ‘humanistik’ suporter.

Mengingat sepak bola Indonesia adalah anak kandung dari sejarah dan budaya, maka segala kebijakan ke arah pembenahan haruslah menyerap sejarah dan budaya yang ada. Secara gamblang, dua unsur penting itu tampaknya bisa dilihat dari dua hal utama, yakni suporter dan legenda klub. Hal ini linier dengan pendapat Antony Sutton dalam wawancaranya oleh salah satu media. Selain Sutton menegaskan identitas sepak bola Indonesia sangat kuat unsur penghormatan kepada legenda hidup sebuah klub, ia juga menaruh perhatian khusus kaitannya dengan suporter, terutama saat ia menyaksikan heroiknya Bonek saat mengawal Persebaya (14/02).

Pendapat Sutton di atas penulis interpretasikan sebagai dua hal esensial. Pertama, sepak bola Indonesia tetap harus berjalan sesuai dengan keunikannya. Meski demikian, tidaklah bijak jika menganggap hal itu sebagai antipati terhadap perbaikan dan perubahan. Masih terdapatnya konflik vertikal dan horizontal di sepak bola Indonesia adalah bukti perlunya pekerjaan baik di setiap lini itu. Kedua, kebijakan sepak bola Indonesia musti terlepas dari sentimen politis pribadi apalagi nalar picik ekonomi. Selama ini banyak pakar yang melihat PSSI sebagai perkumpulan yang didominasi kalangan politisi dengan tipologi kepemimpinan elitis, baik militeristik maupun birokratik. Elitis tadi membawa konsekuensi kepada kemungkinan adanya monopoli dan akumulasi keuntungan-sebagaimana Gaetano Mosca (1858-1941) menjelaskan. Di era Edy Rahmayadi ini, monopoli kekuasaan sekilas tidak terlihat jelas, akan tetapi dapat dirasakan saat mengamati lahirnya kebijakan. Hal itu bersumber dari asumsi penulis bahwa termasuk monopoli adalah sikap penguasa yang tidak mendengarkan aspirasi massa. Meski demikian dengan bijak penulis musti bersyukur jika dalam perjalanannya sudah ada revisi dan klarifikasi terkait agenda liga (berita rapat Exco PSSI, 05/04).

Mengenai akumulasi keuntungan, media televisi menurut Habermas (1986) dalam domain public sphere (ruang publik) sangatlah berpengaruh kuat. Media yang awalnya sebagai tempat transfer dan dialektika wacana, berubah menjadi ruang komersil untuk mengeruk keuntungan lewat frekuensinya. Dalam hal ini, Persebaya di Liga 2 yang dikenal merupakan klub dengan banyaknya basis pecinta dapat menjadi medium akumulasi keuntungan di ranah tontonan sepak bola. Selain Persebaya, berdiri Persib di Liga 1 dengan keuangan yang tidak diragukan lagi jumlahnya. Dua tim tersebut penulis anggap paling menjual karena dua hal, yakni peminat yang membludak, Persebaya dengan fakta menarik perjalannya dan Persib dengan iklan-seperti Habermas mengatakan-yang terpampang begitu banyak. PSSI tentu tidak ingin melewatkan ini. Maka media televisi dijadikan partner untuk menampilkan laga kedua klub itu di setiap liga. Persib di sekitar hari Sabtu-Minggu, sedang Persebaya di Senin-Kamis.

Sekali lagi penulis tidak menampik kebutuhan PSSI untuk mendanai federasi, akan tetapi mustilah dengan melihat kebaikan bersama yang tentu melibatkan suporter klub juga. Dengan demikian, penulis akan mengapresiasi langkah PSSI untuk tetap melaksanakan Liga 1 dan Liga 2 di hari-hari libur, dan untuk penampilan di televisi masih tetap seperti format semula (Sabtu-Minggu di Liga 1 dan Senin-Kamis di Liga 2).

Akhirnya, mari sejenak mendengarkan nasihat UEFA sembari berharap semoga PSSI mengingat luhurnya spirit pendirian di tahun 1930. “Dalam dunia yang ideal klub sepakbola akan secara terstruktur dan diatur dengan cara yang memprioritaskan tujuan olahraga di atas aspek keuangan. Selain itu, semua klub akan dikontrol dan dijalankan oleh anggotanya – misalnya pendukung – sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi” (Strategy Document, UEFA). (*)

*) Ferhadz Ammar Muhammad, Kalijaga Class Bonek Jogja

The post ‘Orde Dikte’ Sepak Bola, Gelinding PSSI dan Industri Televisi appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
https://emosijiwaku.com/2017/04/07/orde-dikte-sepak-bola-gelinding-pssi-dan-industri-televisi/feed/ 0 7207
Teruntuk PSSI Yang Tak Kunjung Sehat https://emosijiwaku.com/2017/04/02/teruntuk-pssi-yang-tak-kunjung-sehat/ https://emosijiwaku.com/2017/04/02/teruntuk-pssi-yang-tak-kunjung-sehat/#respond Sun, 02 Apr 2017 03:01:35 +0000 http://emosijiwaku.com/?p=7061 Ketidak turunnya kalian ke berbagai komponen sepak bola adalah bukti dari menjulang tingginya leher dan kepala.

The post Teruntuk PSSI Yang Tak Kunjung Sehat appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
Salam nada sumbang keadilan teruntuk anda sekalian, PSSI

PSSI apa kabar? Teriring doa semoga federasi bersejarah itu senantiasa dalam keadaan kuat meski sedang tak sehat. Pengurus PSSI masih sadar? Tentu janji komitmen di awal kenaikan roda kepengurusan baru masih ingat bukan?. Jikalau sudah agak amnesia, mari izinkan kami mengingatkannya lewat beberapa paragraf tulisan. Tidak ada niatan untuk melakukan perang denganmu, sebab hakikat perang adalah klaim kebenaran berdasar sentimen klan atau golongan. Akan tetapi latar belakang penulisan surat ini adalah kegelisahan yang dirasakan oleh seluruh lapisan suporter, utamanya Liga 2, meski kami tak pernah melakukan polling juga. Kami meyakini hal itu dikarenakan pada hakikatnya logika suporter adalah sama, yakni butuh (bukan ingin) akan keadilan dan kebijaksanaan, entah itu regulasi dari birokrasi atau sekedar iklim hubungan antar komponen di klub yang digeluti.

Kami tak perlu memberi data terkait tingkat kepuasan suporter terhadap kinerja kalian, sebab ini bukan tulisan yang hilang setelah dibaca. Pun juga tulisan ini bukan seperti skripsi dengan judul “Tingkat Kepuasan Penonton terhadap Kinerja Penyelenggara”. Oleh karena itu, kami justru akan lebih banyak memberi bukti bahwa regulasi kalian, terutama pembatasan usia dan jadwal laga di hari padat agenda sungguh tertolak dalam berbagai domain, baik kajian akademik-senjata kalian- maupun birokratik-watak kalian-.

Sebelum lebih jauh mencatatkan angin protes lewat tulisan ini, kami ingin menjelaskan kepada anda sekalian terkait judul tulisan atas diksi ‘Terhujat’ dan ‘Sehat’. Pertama, sungguh pun kami menutupi diri agar tampak sopan dan berbudi di depan anda sekalian, tetap saja pukulan sebab ketidakadilan yang dirasakan suporter akan menerobos ke telinga kalian. Bahwa setiap mulut suporter saat ini tak lebih dari memantrakan hujatan akibat kepongahan kalian sebagai penguasa federasi. Bahwa setiap dada para suporter adalah emosi yang suatu saat pastilah akan memaksa tangan untuk meninju akibat ketidakseronohnya perlakuan kalian sebagai raja segala aturan sepak bola Indonesia.

Kedua, kalau pun kami berkata kalian ‘sudah adil’ dan ‘sehat’, maka bukankah justru akan memperpanjang barisan kebohongan dan penyakit yang mematikan: kepalsuan. Dan sejujurnya kami diajarkan tidak untuk demikian. Bahwa Indonesia berkumpul banyak orang pintar, tetapi betapa miskinnya Indonesia ini dari orang sehat mental: kejujuran. Maka dengan tegas sebagai murid yang sadar akan krisis itu, kami berkata: bahwa kemelut yang sedang terjadi di dunia sepak bola kita saat ini dianggap-dan harus diakui- merupakan lanjutan dari tingkah laku agresif kalian.

Ketidak turunnya kalian ke berbagai komponen sepak bola adalah bukti dari menjulang tingginya leher dan kepala. Terutama suporter yang senantiasa kalian anggap suaranya laksana teriakan kambing di padang pasir seperti puisi penyair menganalogikan. Kalian tak pernah menyadari bahwa dengan pembiaran terhadap suara dari basis suporter itu telah menandakan betapa bodoh dan dungunya kalian sebagai pemegang kebijakan. Secara akademik, bukankah teori public policy (pengambilan kebijakan) dalam sistem ala David Easton membahas tentang adanya demand (tuntutan). Jika kalian betul-betul pintar, tentu kalian memahami teori demikian, dan otomatis tidak akan pernah berbuat tuli di depan suporter. Sayangnya, kalau toh ternyata kalian memahami teori itu, tetap saja ketidakjujuran telah membuat kalian tampak bodoh dan membodohkan.

Secara birokratik, bukankah ada dalam tradisi kekuasaan Indonesia suatu adagium-yang mudahnya secara istilah-, yakni ‘Raja yang bertelinga rakyat’. Kami berharap kalian tidak lupa dengan ajaran luhur kepemimpinan itu. Kami berdoa semoga identitas kalian sebagai orang Indonesia tidak hilang hanya karena federasi kalian berpusat di Eropa sana. Semoga masih ada cerita tentang Hayam Wuruk yang didatangi para rakyatnya dengan didampingi pengawal berwajah ceria. Pun semoga catatan sejarah berdirinya PSSI di tahun 1930 sebagai wadah untuk melawan watak kolonial di sepak bola tidak hanya menjadi pajangan belaka. Jika ternyata-dan tampaknya sudah berlaku- berbagai sikap pendahulu kalian telah terlupakan, maka sungguh kami tidak heran dengan bobroknya birokrasi PSSI kini. Tetapi biarlah semangat pendahulu itu kami ambil dan jadikan tangan untuk menampar mulut sumbing kalian, semoga sehat kembali.

Terkhusus kepada Pak Edy, anda dulu berlagak seperti tokoh yang dalam teori kepemimpinan disebut ‘inisiatif transisional’, yakni pemimpin yang berlaku tak lazim dibanding sebelum-sebelumnya demi memperkuat basis rakyat-dalam hal sepakbola: suporter-. Kami mengapresiasi, karena kami sadar bahwa sebelum bapak, betapa bejatnya kepemimpinan di PSSI. Tetapi itu tak bertahan lama. Seketika kami mulai meragukan konsistensi bapak dalam domain penguasa sepak bola Indonesia. Terbaru saja, bapak bersama dengan manajer liga 2 membuat regulasi yang bukan malah merangkul pendapat dan keadaan yang jelas masuk akal jika dijadikan pertimbangan, yakni kesibukan sekaligus loyalitas kemanusiaan kepada ‘ tim kebanggaan’ yang pastinya bermanfaat buat keberlangsungan liga 2, melainkan regulasi itu justru tuli sebelah dengan hanya mendengarkan media.

Hujatan sudah banyak yang disematkan ke bapak, dan itu semua haruslah menjadi bahan evaluasi. Tidak ada yang terlambat, jika memang bapak masih mengakui kata penulis ‘Aksi Massa’, bahwa ‘daulat rakyat’ (aksi massa suporter) mampu meruntuhkan ‘kekuasaan’ (baca: keangkuhan penguasa bola Indonesia). Tetapi jikalau bapak lebih menghamba pada media, kami yakin bahwa ucapan bapak di awal hanyalah ilusi yang akan melahirkan resistensi. Kami tidak bermaksud mengancam, tetapi mencoba rasional sebab harus diakui kekuatan yang bersumber dari i’tikad (keyakinan) suporter sunggulah besar, bahkan miriam pun tak akan bisa menghancurkan-sebagaimana isi paparan pahlawan KH. A. Wahid Hasyim-.

Akhirnya, lewat nasehat suci dari Bapak Koperasi Republik Indonesia surat ini kami akhiri, semoga anda sekalian membaca dengan telinga: Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur itu sulit diperbaiki. (*)

The post Teruntuk PSSI Yang Tak Kunjung Sehat appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
https://emosijiwaku.com/2017/04/02/teruntuk-pssi-yang-tak-kunjung-sehat/feed/ 0 7061
Antisipasi Belok Lagi, Meninjau Logika Jadwal Liga https://emosijiwaku.com/2017/03/31/antisipasi-belok-lagi-meninjau-logika-jadwal-liga/ https://emosijiwaku.com/2017/03/31/antisipasi-belok-lagi-meninjau-logika-jadwal-liga/#respond Fri, 31 Mar 2017 03:48:49 +0000 http://emosijiwaku.com/?p=7028 Terkait dengan kebijakan pelaksanaan laga pertandingan liga 2 di hari Senin sampai Kamis, penulis menaruh skeptis.

The post Antisipasi Belok Lagi, Meninjau Logika Jadwal Liga appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
“Kalau kemanusiaan tersinggung, semua orang yang berperasaan dan berfikiran waras ikut tersinggung, kecuali orang gila dan orang yang berjiwa kriminal, biarpun dia sarjana” (Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia)

Penulis awali tulisan ini dengan membayangkan Pram saat melahirkan kata nan indah di atas. Pram tampaknya sedang membayangkan kelakuan manusia yang dengan mudahnya menginjak kemerdekaan orang lain dengan tanpa ampun. Manusia itu tidak mempedulikan protes bahkan jeritan dari tubuh lemah di bawah kakinya. Mereka dengan pongah berdiri laksana kepalanya berada di langit, ambisius. Egonya yang melangit itu hanya mengikuti ambisi dari raja yang ada di atasnya. Mereka tak menyadari jikalau pada dasarnya ada kekuatan besar yang sedang membudaknya, bodoh.

Interpretasi (penafsiran) demikian setidaknya mewakili keadaan penulis saat ini terkait kebijakan tak masuk akal dari PSSI. Ya, bersama dengan manajer Liga 2, federasi yang tampak di residu (baca: luarnya saja) itu bagus telah menghasilkan keputusan menggelikan, terutama terkait batas usia dan pelaksanaan liga. Disebabkan kaidah penulisan mustilah fokus, maka penulis memandang yang terakhir itu (baca: pelaksanaan liga) harus dibahas sesegera mungkin, meskipun yang pertama (baca: batas usia) tak jauh kritisnya sebab menyinggung sang legenda. Baiklah, mari kita bedah logika dan implikasinya jikalau keputusan pelaksanaan liga 2 dijalankan (mengenai keputusan baca Emosijiwaku.com 30/03).

Ancaman?

Saat kecil, penulis diceritakan oleh saudara tentang perjuangan Bonek yang pasti tercatat di lembar sejarah. Waktu itu penulis hanya asyik mendengarkan dengan tanpa menaruh minat penyelidikan. Akan tetapi kini penulis sadar, bahwa bergeraknya Bonek tidak terlepas dari nalar kritis –suatu kesadaran berpikir yang oleh Paulo Freire dianggap sebagai yang terbaik–. Keyakinan penulis itu tidak berangkat dari ruang kosong, melainkan refleksi mudah dari fakta gerakan transformatif Bonek untuk merumuskan kembali keadaan yang tampak ‘belok’ pun ‘bengkok’.

Berbekal dari pengantar di atas, penulis ingin memberi penekanan terhadap petinggi yang semoga membaca tulisan ini, bahwa janganlah heran apalagi tutup telinga jikalau setiap kebijakan sepak bola terlebih menyinggung Persebaya pastilah berhadapan dengan kritisisme Bonek. Heran akan melahirkan sikap pecundang, sedang tutup telinga hanya menghasilkan melipatnya perlawanan. Demikian para tokoh sekelas KH. A. Wahid Hasyim dan Pram menuturkan.

Terkait dengan kebijakan pelaksanaan laga pertandingan liga 2 di hari Senin sampai Kamis, penulis menaruh skeptis. Pertama, potensi penyelewengan oleh mafia. Kita mustilah sadar bahwa sejujurnya mafia masih berkeliaran. Betul perkataan Bang Napi yang pernah didengar sewaktu kecil, yakni kejahatan menampakkan mukanya sebab adanya unsur kesempatan juga. Logika runtutnya seperti ini: ketika PSSI mengetok pelaksanaan liga di hari Senin sampai Kamis yang notabene-nya merupakan masa hari kerja dan sekolah, maka otomatis sudah bisa diprediksi suporter yang datang untuk sekedar meneriakkan nama tim kebanggaan masing-masing akan menurun drastis. Bukan karena mereka suporter amatiran yang hadirnya mood-mood-an, akan tetapi sebab ketidakmungkinan untuk meninggalkan urusan menafkahi atau menghormati amanah belajar dari orang tua secara terus-terusan. Bukan pula sebab mereka sudah dikontrol oleh kekuasaan mesin dan meja sekolah, tetapi seyogyanya semua pihak sadar bahwa rasa kepemilikan pastilah berdasar dari kebutuhan dan kebijaksanaan, sebagaimana kontrak sosial menjelaskan. Selanjutnya, karena absennya banyak suporter di lapangan, maka juga otomatis tidak efektifnya fungsi suporter sebagai control of football. Dari situ dengan mudahnya, secara sadar atau tidak, lapangan sedang dimainkan oleh oknum yang kita sebut: mafia skor.

Kejahatan muncul karena diamnya orang baik -mengutip Ali bin Abi Thalib- tampaknya harus diinterpretasikan lagi sesuai konteks ini. Diam di situ bisa bermakna sepi. Meski ada orang akan tetapi tidak bisa sounding untuk mengontrol keadaan. Akhirnya tindakan di luar batas kemanusiaan di depan mata pun dengan angkungnya berjalan. Atau mungkin karena rasa malu dengan baju palsu, penyelewengan tersebut di laksnakan di bawah meja perjudian, pengaturan skor.

Bagi penulis, suporter patut curiga dengan kebijakan demikian. Tidak dikarenakan hilangnya kepercayaan terhadap federasi, akan tetapi bagaimana mungkin kepercayaan bisa hadir dengan bijaksana dengan tanpa kehati-hatian (ikhtiyath). Suporter juga seyogyanya sadar jikalau fungsi controlling dalam sepak bola hanyalah akan menjadi bahan candaan jika terlepas dari melihat langsung fakta lapangan. Pun paham bahwa penggembosan gerakan sosial tersebut pasti massif dilakukan oleh orang yang mata dan telinganya adalah wujud dari sekedar ‘uang’ dan ‘piala’ –strategi klasik yang berawal dari kolonialisme dan dilanjutkan kapitalisme baru–.

Kedua, ancaman bagi progresifitas klub. Mudahnya yaitu kesebelasan Persebaya akan maju jika tak terbebani dengan urusan-urusan tak produktif, terutama keuangan. Bagaimana bisa membangun stadion berstandar internasional jika untuk menggaji pemotong rumput pun masih kebingungan?. Apakah bisa bermimpi jadi juara tatkala gaji pemain pun tak terbayar segera?. Bukankah naif jikalau hanya mengandalkan nama besar pemilik saham Persebaya sekaligus sponsor padahal kita tak tahu seberapa lama Tuhan memberi titipan harta pada mereka?

Penulis yakin trauma masa lalu saat penunggakan gaji tidaklah ingin dirasakan kembali. Penulis juga sungguh meyakini bahwa manajemen jauh lebih tidak mau jika mengalami penyakit ‘rugi’. Oleh karenanya, sungguh benar jika penolakan terhadap pelaksanaan liga dari Senin sampai Kamis itu digencarkan. Sebagaimana kaidah norma menjelaskan: jikalau beberapa hal buruk berkumpul, maka hindari yang banyak bahayanya. Dan bagi penulis, sangat bahaya jika PSSI masih saja arogansi ditambah jika manajemen pasrah melakukan ‘BUNUH DIRI’. Terkait dengan arogansi PSSI itu, tampaknya kita perlu mendengar pendapat kebanyakan suporter, bahwa kebijakan itu hanya menuruti keinginan media (baca: ANTV dan TV One – Bakrie). Argumen itu sangat beralasan jika kita memahami sebuah adagium: peserta mengikuti pelaksana, sedang pelaksana membutuhkan dana. Dana berasal dari sponsor, sedang sponsor didukung adanya publikator.

Melihat yang demikian, muncul pertanyaan: apakah suporter yang pastinya dirugikan itu diam? Penulis yakin tidak. Melakukan penolakan terhadap keputusan PSSI sebagai federasi tentu bisa dilakukan. Dengan melihat konteks isu ini, suporter yang hak konstitusionalnya merasa dirugikan bahkan bisa membawa perkara ini ke jalur hukum, jika memang kekuatan ‘aksi massa’ perlu tambahan.

Meski statuta PSSI  melarang siapapun mulai dari PSSI, anggota, pemain, oficial, serta agen pemain dan agen pertandingan untuk mengajukan perselisihan ke  pengadilan negara dan badan arbitrase lainnya, dan lebih mengarah pada penyelesaian masalah oleh yurisdiksi FIFA atau PSSI, akan tetapi atas nama warga negara hukum siapapun itu harus tunduk pada hukum produk Indonesia bukan pasar global. Toh kita semua tentulah paham sebuah asumsi dari ekonomi politik bahwa PSSI sebagai federasi di bawah FIFA merupakan representasi dari logika pasar yang sedang disembah pucuk sepak bola dunia itu. Dari situlah mengapa penulis tidak heran dengan fakta terkait lebih condongnya PSSI untuk menghormati hak siar media dari pada hak siar manusia (suporter).

Akhirnya, nasehat luhur Mahatma Gandhi bisa menjadi refleksi bersama: Adalah di bawah martabat manusia jika seseorang kehilangan kepribadiannya dan menjadi tidak lebih daripada sebuah roda gigi pada mesin. Bahwa orang bekerja bukan berarti menuhankan alat produksi. Bahwa orang belajar bukan lantas mendewakan teks normatif yang tampak sangar. Dan,  bahwa meski PSSI butuh dana, tapi tidaklah lantas dengan pongah membunuh klub dengan segala komponennya hanya untuk mengejar proposal bernama ‘siaran media’.

*) Ferhadz Ammar Muhammad, Kalijaga Class Bonek Jogja

The post Antisipasi Belok Lagi, Meninjau Logika Jadwal Liga appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
https://emosijiwaku.com/2017/03/31/antisipasi-belok-lagi-meninjau-logika-jadwal-liga/feed/ 0 7028
Bajul Ijo Menerkam Calo https://emosijiwaku.com/2017/03/22/bajul-ijo-menerkam-calo/ https://emosijiwaku.com/2017/03/22/bajul-ijo-menerkam-calo/#respond Wed, 22 Mar 2017 15:15:20 +0000 http://emosijiwaku.com/?p=6734 Langkah yang bisa dilakukan oleh masyarakat, termasuk manajemen dan suporter, berkisar pada upaya mengusahakan langkah preverentif berupa penekanan pada moralistik (penguatan moral, seperti kampanye bahwa calo merupakan tindak kriminal) dan abalionistik (pencegah kemunculan, seperti tidak memberi kesempatan bagi lahirnya percaloan).

The post Bajul Ijo Menerkam Calo appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
“Otak manusia pada awalnya sama seperti loteng kecil yang kosong, dan kau harus mengisinya dengan perabot yang sesuai dengan pilihanmu. Orang bodoh mengambil semua informasi yang ditemuinya, sehingga pengetahuan yang mungkin berguna baginya terjepit di tengah-tengah atau tercampur dengan hal-hal lain. Orang bijak sebaliknya,” ucap Sherlock Holmes.

Fenomena buruk kembali menampakkan diri di depan mata. Keadaan kacau lagi-lagi mengusik kesucian laga bertajuk “Homecoming Game” Persebaya. Perilaku tak terpuji dipraktekkan dengan percaya diri oleh oknum yang kerap disebut: calo. Ya, kumpulan atau individu dengan memegang bertumpuk tiket telah mencoreng klaim ‘Bajul Ijo’ sebagai klub terprofesional. Segolongan atau perorangan lewat transaksi keuntungan pribadi sudah memeras semua pecinta ‘Green Force’ dengan tindakan bermuara kriminal.

Mengutip analogi Sherlock Holmes tentang otak manusia, penulis dalam hal ini tidak ingin dianggap berangkat dari bualan belaka, atau cuma mengandalkan kepandaian retorika, tetapi telah mendengar langsung berbagai sumpah serapah dari komponen ‘Bajul Ijo’ terutama Boneknya. Meski demikian, sebagaimana orang bijak menurut Holmes, informasi yang masuk hanya akan penulis cerna sesuai dengan logika pemecahan masalah, bukan penumpukan sampah. Bahwa praktik calo merupakan penyakit yang sudah mengakar, itu iya. Bahwa berbagai pihak mengecam calo bermuka sangar, itu juga iya. Tetapi apakah cukup hanya dengan melihat dan mendengar kisah percaloan dengan tanpa berusaha mencari dasar permasalahan kemudian berusaha memecahkan? Penulis rasa tidaklah cukup. Dalam hal menulis tema ini, penulis insyaf untuk tidak seperti si Lecoq yang disebut Holmes sebagai: pembual yang payah.

Mencabut Gulma ‘Calo’

Soedjono (1976 menjelaskan bahwa kejahatan sebagai perbuatan yang sangat merugikan masyarakat pada dasarnya lahir dan dilakukan oleh anggota masyarakat itu sendiri. Oleh karenanya masyarakat juga dibebankan kewajiban demi keselamatan dan ketertibannya. Itu berarti bahwa masyarakat secara keseluruhan musti ikut bersama dengan badan yang berwenang untuk menanggulangi kejahatan.

Langkah yang bisa dilakukan oleh masyarakat, termasuk manajemen dan suporter, berkisar pada upaya mengusahakan langkah preverentif berupa penekanan pada moralistik (penguatan moral, seperti kampanye bahwa calo merupakan tindak kriminal) dan abalionistik (pencegah kemunculan, seperti tidak memberi kesempatan bagi lahirnya percaloan).

Sedangkan untuk pihak yang berwenang, tentu aparat penegak hukum, adalah tindak represif, yakni langkah yang ditempuh untuk menghilangkan praktek kriminal oleh calo saat sudah benar-benar terjadi, baik secara terorganisir maupun sporadis.

Dalam praksisnya, dua tindakan tersebut penulis uraikan secara mudah agar tidak menimbulkan perspektif ‘susah’ dalam pemecahan masalah. Sesuai dengan tindakan preverentif dan represif tersebut, usul akan disampaikan lewat analogi, sebab biasanya yang ini mudah dipahami. Calo laksana tumbuhan liar atau gulma yang kerap kali membuat masalah pertanian. Gulma tersebut jikalau sudah merampok tanah yang menjadi haknya padi untuk tumbuh, maka akan membuat pekerjaan petani bertambah susah. Petani pun tidak ingin jika kerjaan yang produktif harus diganggu dengan ‘gawe’ yang justru menghambat secara ekonomis. Oleh karena itu, pastinya petani akan lebih mengusahakan tindak pencegahan agar tumbuhan kurang ajar itu tak berani unjuk rambut kusutnya. Si petani kemudian akan mengusahakan penyiangan agar mencegah kehadiran monster itu, baik lewat manual, biologis, dan herbisida.

Tetapi seiring berjalannya waktu, ternyata kekuatan gulma menjadi lebih besar dan beringas sebab sudah kebal dengan serangan penyiangan. Saat-saat seperti ini, mau tidak mau, suka tidak suka, petani akan meminta bantuan sabit untuk memenggal gulma sampai ke akarnya. Semakin banyak sabit yang tersedia, atau tepatnya bersedia, maka tanaman liar tak akan berani berkembang, kalau tidak ingin hidupnya tumbang.

Sebelum lebih jauh menguraikan, penulis ingin memberi penekanan kepada diksi gulma yang tumbuh di persawahan. Mustilah dipahami bahwa kemunculan gulma tersebut wajar keberadaannya, meski jangan dianggap kewajaran itu sebagai hal biasa. Demikian itu sama halnya dengan fenomena calo yang merupakan bentuk konsekuensi logis dari logika birokratis yang tampak rasional, meski dalam prakteknya tak kunjung memuaskan dan beralih tak masuk akal.

Administrasi pelaksanaan laga Persebaya misalkan, terdapat pengaturan ketat yang sekilas terlihat bagus sesuai i’tikad ‘keprofesionalan’ sepak bola. Akan tetapi justru hal tersebut beralih menjadi malapetaka saat tidak ada pembacaan yang total mengenai probabilitas (kemungkinan) negatif yang terjadi. Saking ketatnya, suporter memilih untuk menempuh jalan instan dengan meminta pertolongan seseorang, dan inilah awal kehadiran praktek percaloan. Melihat genealogi ini, penulis sadar bahwa percaloan tidak hanya karena salah oknum calo belaka, melainkan karena regulasi yang irrasional sebab jauh dari keadaan suporter atau fans, sekaligus bisa saja sebab kemalasan suporter atau fans itu sendiri.

Penulis berikan satu bukti analisisnya, yakni dalam hal pembelian tiket. Manajemen sangat menginginkan agar sirkulasi penjualan tiket berjalan dengan terorganisir dan terakomodir, artinya suporter dengan mudah mendapatkannya. Namun karena tidak ada yang menjadi badan pengawas, atau ada tapi kurang cerdas, maka penjualan tiket mandek sebab kekakuan birokratis sendiri, yakni lemahnya regulasi di tataran subjek yang melakukan transaksi tiket resmi. Lihat saja, alih-alih menginginkan agar tiket mengakomodir suporter berikut fans, justru faktanya adalah tiket yang habis sebelum waktu yang dipikirkan. Anehnya hal itu bukan karena membeludaknya pembeli, melainkan hanya banyaknya pembeli yang datang memborong tiket dengan cukup membawa identitas diri yang diwakili.

Di sini sangat rawan adanya penyelewengan berupa pembodohan identitas, seperti kata Sun Tzu “bunuh musuh dengan menggunakan tangan orang lain”, saat ini berlaku “kelabui petugas dengan memanfaatkan KTP tetangga sebagai identitas”. Bertambah heran lagi adalah para pemilik kepala yang mengaku mencintai Persebaya justru diam melihat praktek yang demikian. Sungguh membuat sangsi jika mereka tak berpikir bahwa praktek kriminal itu tidak merugikan klub kebanggaannya sendiri.

Akhirnya, penulis harus menyadari bahwa uraian ini oleh beberapa sedulur dianggap berbahaya sebab berhadapan dengan calo yang beringasnya luar biasa. Atau oleh sebagian sedulur yang melihat sinis dengan stereotype sok heroik. Penulis untuk itu berkata: calo tak seperkasa itu, hanya saja mereka tampak sangar karena orang baik justru diam terkapar. Bukanlah maksud penulis untuk mengklaim diri sebagai orang baik, tetapi cukuplah jika nasihat Sayyidina Ali dijadikan sebagai pijakan utama melaksanakan tekad ‘wani berubah’. Kedzaliman akan terus ada bukan karena semakin hari tambah banyaknya, justru hal itu didorong karena orang baik yang hanya diam saja (Sang Pintu Ilmu, Ali Karramallah Wajhahu).

*) Ferhadz Ammar Muhammad, Kalijaga Class Bonek Jogja

The post Bajul Ijo Menerkam Calo appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
https://emosijiwaku.com/2017/03/22/bajul-ijo-menerkam-calo/feed/ 0 6734