masa bujang Archives | Emosi Jiwaku https://emosijiwaku.com/tag/masa-bujang/ Portal informasi terpercaya dan terkini tentang Persebaya dan Bonek Fri, 04 Sep 2020 09:42:58 +0000 en-US hourly 1 145948436 Persebaya, Kenangan Masa Bujang: Final Lagi (18) https://emosijiwaku.com/2018/01/07/persebaya-kenangan-masa-bujang-final-lagi-18/ Sun, 07 Jan 2018 10:27:17 +0000 http://emosijiwaku.com/?p=13334 Di lapangan PT SIER, Rungkut Industri, aku bertemu teman lama dari IM tapi lupa namanya (Mardiyanto? mungkin), dia menyapaku, bersalaman erat dan bercerita. “Tak kiro kamu yang jadi kiper Persebaya, waktu aku nonton Persebaya, ingatanku langsung kepadamu kalau melihat potongan rambutnya Putu Yasa, aku lupa namamu hanya ingat wajah saja serta nama belakangmu yang berbau Bali. Eh, ternyata bukan.” Katanya sambil tersenyum.

The post Persebaya, Kenangan Masa Bujang: Final Lagi (18) appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
Di lapangan PT SIER, Rungkut Industri, aku bertemu teman lama dari IM tapi lupa namanya (Mardiyanto? mungkin), dia menyapaku, bersalaman erat dan bercerita. “Tak kiro kamu yang jadi kiper Persebaya, waktu aku nonton Persebaya, ingatanku langsung kepadamu kalau melihat potongan rambutnya Putu Yasa, aku lupa namamu hanya ingat wajah saja serta nama belakangmu yang berbau Bali. Eh, ternyata bukan.” Katanya sambil tersenyum.

“Aku mosok aku podho karo Putu Yasa, adohhh rek…ngawur ae.”

Mardiyanto tertawa “Iyo ko, nek teko adoh kok memper. Temen, asli iki.”

Ah, dia hanya ingin menyenangkan aku saja, kami berdua sama-sama gagal dalam sepak bola dan menempuh jalan di luar lapangan. Dia mengira aku masih berlanjut di IM. Tetapi aku senang, setidaknya teman-teman IM dulu ada yang mengingatku, sebagai sahabat dan juga sebagai seorang kiper belia.

Belum ada kompetisi Divisi Utama tahun 1989 ini, sedangkan kompetisi Galatama masih berlangsung dan NIAC Mitra sepertinya berat mempertahankan juara. Sebenarnya, tahun ini aku sudah hendak menikah, sudah 25 tahun, tapi masih saja hobi Camping. Harusnya aku sibuk menghitung undangan, biaya-biaya, atau membuat foto Pre Wedding (saat itu belum ada yang begituan). Justru malah aku berkemah di Kakekbodo, Tretes.

Pagi hari berfoto, mencoba mengabadikan apa yang dilantunkan Cat Stevens dalam “Morning Has Broken” sembari menikmati embun, menyongsong sinar pertama yang menyeruak dari rimbunnya semak dan pepohonan, eh! Tak dinyana, ada remaja penjual koran masuk di area Camping ground. “Koraaan, koraan!!” akupun segera beli 1 eksemplar dan langsung dikejutkan dengan berita gembira “Persebaya Juara Piala Persija”… mengalahkan Persib via adu tendangan penalti.

Di koran itu diceritakan, pahlawan bagi Persebaya ada dua pemain, pertama adalah bintang muda yang sedang melejit, Yusuf Ekodono, arek asal IM, yang berhasil menyelamatkan Persebaya dari kekalahan dengan menyamakan skor 1-1. Yang kedua, kiper I gusti Putu Yasa, yang menapak jalan Ponirin Mekka, menggagalkan semua algojo penalti Persib.

Seharusnya, aku tidak melupakan detail berita tentang laga ini, atau ada yang masih ingat ? tolong ditambahkan, terima-kasih.

Tahun 1989 termasuk masa kejayaan Persebaya untuk periode 1987-1990, beberapa turnamen diikuti seperti Piala Persija, Surya Cup, dan lainnya dengan hasil yang gemilang, diantaranya menang adu penalti melawan NIAC Mitra.

Sedang kecewanya adalah saat dikalahkan Petrokimia Putra (di final apa ya?) yang sudah diperkuat oleh Ferril Raymond Hattu, Neng Syaifullah dan kiper Erick Ibrahim. Meskipun Persebaya terus mengurung, membombardir gawang Petro, tapi akhirnya Persebaya kudu menyerah 0-1 melalui eksekusi penalti kapten Ferril R. Hattu. Dukungan puluhan ribu Bonek tidak mampu membantu.

NIAC Mitra sebenarnya juga masih di masa puncak di tahun 1989 itu, tapi kali ini tak mampu mengatasi kegemilangan Pelita Jaya meski sempat mengatasi mereka dengan kemenangan via pertandingan GRATIS di pagi hari, di Gelora 10 November.

Aku ingat, temanku (alm) Syamsuddin berseru: “Eko, ayo nang Tambaksari, NIAC main tutugan e wingi sing ditunda, skor jik 1-1, Ayo nggae sepeda motorku ae.”

“Lho, karcise?”

“Gratis!!” jawab almarhum dan kami dengan masih mengenakan seragam batik KORPRI paska upacara bendera, langsung nyelintung “ngebut” ke Tambaksari, tidak langsung ke meja kerja seperti yang lain. Tetapi terlambat, di Tambaksari penonton sudah menyemut karena semua pintu stadion dibuka lebar-lebar oleh Panitia.

Tidak ada tempat semeterpun yang tersisa untuk kami kecuali berdiri berdesakan di sintelban, memandang scoring board sudah menunjukkan Pelita Jaya (1) dan NIAC Mitra (2), aku tanya ke penonton lain, siapa yang mencetak gol kemenangan, dijawab “Agus Sarianto.”

Untuk bisa jadi juara, NIAC Mitra kudu mengatasi Pelita Jaya lagi, tapi kali ini tempatnya di stadion Lebak Bulus dan untuk itu, Jawa Pos membuka pendaftaran Tret-tet-tet agar mendapat kemenangan. Tapi, mungkin sudah tiba waktunya bagi Pelita Jaya menjadi Juara Galatama, NIAC Mitra hanya bisa bermain 1-1 dan merelakan gelar juara melayang ke Jakarta.

Untungnya, aku kok tidak bisa ikut tret-tet-tet ke Lebakbulus.

Walaupun nyaris menikah, tetapi aku tidak menjaga diri, tidak khawatir cedera atau terluka. Buktinya, aku masih mau saja diikutkan berbagai Tour oleh kantor ke beberapa kota di Jawa Timur, yah bagaimana lagi, anggap saja itu rekreasi gratis sambil tetap bisa menyalurkan hasrat bersepakbola.

Aku masih 25 tahun, masih senang-senangnya main bola. Berdiri di bawah mistar gawang dengan seragam kiper adalah kenikmatan yang tak tergantikan. Meskipun Sie Olahraga di kantor membelikan aku sarung tangan untuk kiper, tapi aku jarang memakainya, nggak kulina, memang kampungan, tapi menurutku, dengan tanpa sarung tangan… aku merasa lebih nyaman dan lebih percaya diri.

Menjatuhkan diri untuk menangkap dan memeluk bola yang hampir masuk ke gawang kita, merasakan kulit bola itu lengket di kulit telapak tangan, nikmatnya serasa makan sop buntut + soda gembira + sambel terasi + uang bonus. Sungguh tak terkira.

Bagiku, saat-saat yang paling membahagiakan adalah saat kita memasuki lapangan disambut bau rumput atau bau tanah yang khas, dilanjut suara dessing bola ditendang keras-keras, aku menangkapnya, memeluk erat-erat bagai memeluk kekasih. Senyum puas mengembang di bibir kala mampu menyelamatkan gawang, bermandikan lumpur atau basah diguyur hujan.

Kiper yang pernah berbicara seperti itu salah satunya adalah Moacyr Barbossa, kiper timnas Brazil yang bernasib tragis di Piala Dunia 1950. Barbossa tidak suka memakai sarung tangan hanya untuk bisa merasakan sensasi kulit bola yang ditangkapnya.

Tahun 1989 tidak terasa berganti ke 1990, waktunya bicara Kompetisi Divisi Utama.

Persebaya seperti biasa, dengan skuad lama tetap tampil mentereng sebagai jawara di wilayah timur dengan hanya menderita 2 kekalahan, salah satunya adalah dari PSIS 2-1 tapi tetap saja PSIS tidak mampu melaju ke 6 besar di Senayan. Persebaya dan PSIS seperti jadi duri diantara keduanya.

Manajemen dan pelatih Persebaya masih mempercayai skuad 1987-1988 yang sebenarnya sudah melewati masa emasnya, ditambah amunisi muda seperti Putut Wijanarko, Yusuf Ekodono, dan beberapa lagi, percaya diri meski berada di grup neraka bersama musuh utamanya, Persib Bandung dan PSMS Medan.

Di pagi hari, aku dikejutkan omelan kakak iparku di rumah Probolinggo, “Waddah!! gak maen, Persebaya kalah!!” keluhnya sambil tetap membaca Jawa Pos. Ternyata Persebaya kalah 0-2 dari Persib di laga awal. “Waduh, kok iso kalah yo.” Kataku menggerutu, “Tapi gakpopo mas, lawan PSMS ngko Persebaya bakal iso ngatasi kok.” Jawab aku membujuk, tapi tak urung sedih dan jengkel juga hati ini membaca kekalahan Persebaya.

Esok lusanya pagi, di kantor, aku membaca koran Kompas, di sana terdapat foto sepakbola di halaman 1 yang amat melegakan, disertai judul “Gol Emas” kulihat Putut Wijanarko sedang melancarkan sundulan kepala nan mematikan, menghunjam jala PSMS. Betapa berharganya gol sundulan kepala Putut Winajarko itu, karena mengamankan Persebaya dari posisi kritis. Persebaya ke semifinal sedang PSMS tersisih. Benar tebakanku.

“Huuuuh, legooo.” 

Di semifinal, untuk kesekian kalinya, Persebaya menjadi batu sandungan bagi ambisi Persija, mereka dikalahkan lewat adu penalti (7-5) untuk kemudian maju ke grandfinal menghadapi Persib yang menang telak 3-0 atas PSM yang sempat diwarnai adu fisik dan kerusuhan.

Luar biasa, Persebaya maju ke grandfinal 3 kali berturut-turut (1987-1988-1990), dan inilah saatnya membalas kekalahan 2-0 di babak grup kemarin, ayo kawan-kawan kita tret-tet-tet ke Senayan. Go!! (bersambung)

The post Persebaya, Kenangan Masa Bujang: Final Lagi (18) appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
13334
Persebaya, Kenangan Masa Bujang: Stasiun Senen (16) https://emosijiwaku.com/2018/01/02/persebaya-kenangan-masa-bujang-stasiun-senen-16/ Tue, 02 Jan 2018 05:59:07 +0000 http://emosijiwaku.com/?p=13205 Jika kisah-kisahku sebelumnya selalu berisi cerita kurang duit melulu, kali ini agak mendingan, karena sudah punya uang sendiri, hihihi. Ceritanya, meski nilai ijazah SMA-ku termasuk kurang memuaskan, tapi ilmu eksakta yang aku terima, lumayan melekat di otak. Buktinya, aku mampu lolos tes masuk ke sebuah BUMN terkenal milik negeri.

The post Persebaya, Kenangan Masa Bujang: Stasiun Senen (16) appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
Jika kisah-kisahku sebelumnya selalu berisi cerita kurang duit melulu, kali ini agak mendingan, karena sudah punya uang sendiri, hihihi. Ceritanya, meski nilai ijazah SMA-ku termasuk kurang memuaskan, tapi ilmu eksakta yang aku terima, lumayan melekat di otak. Buktinya, aku mampu lolos tes masuk ke sebuah BUMN terkenal milik negeri.

Dari 3.000 lebih pelamar, hanya sekitar 150 yang diterima, aku tidak mau bersumpah untuk membuktikan bahwa aku lulus MURNI, tanpa koneksi ataupun sogokan. Tapi, pembaca mesti percaya.

Bayangkan dari mana keluargaku mendapat uang untuk menyuap? SPP saat SMA saja sering menunggak, jikalau toh ada uang, tentu aku sudah menginjak bangku kuliah, tidak harus bekerja. Lagipula, perusahaan yang aku masuki ini terdepan dalam hal “Bersih dan Transparan” termasuk dalam hal recruitment SDM. Bukan aku mengecap, tapi begitu adanya, tanpa menafikkan ada juga 1-2 yang lolos dengan tanda kutip. Aku tidak!

Sekarang aku punya uang, aku bisa saja menonton semua pertandingan sepak bola di stadion, kalau perlu di kelas VIP. Tetapi saat itu (1985-1986) sepak bola Jawa Timur kehilangan idola. Persebaya masih perlahan menapak sukses dan sering direcoki. NIAC Mitra sedang dalam masa pembaharuan, masih kalah mengkilap dari Yanita Utama, KTB, dan Pelita Jaya. Pemain-pemain idola sudah pada meredup, atau pindah ke klub lain.

Jika mau nonton bola tinggal nunggu usai jam kantor pukul 14.00 WIB (saat itu, Sabtu belum menjadi hari libur) sekali naik bus kota Demak-Kutisari dari depan kantorku di Jl Ngagel Jaya Selatan, turun perempatan Ngaglik, sudah dijemput calo tiket yang bertebaran. Beres!

Suatu sore di tahun 1987 ketika Persebaya mulai bersinar, aku nonton Persebaya vs Perseman Manokwari, karena penasaran dengan berita di JP menulis nama Seger Sutrisno, “Apa bener ini temanku IM dulu yang dipanggil Gundul?” Dengan masih berseragam dinas, aku duduk di tribun selatan belakang gawang.

Mataku seperti kurang percaya melihat dia (Seger Sutrisno) benar-benar tercapai cita-citanya menjadi pemain Persebaya.

“Alhamdulillah, Gundul sukses,” kataku dalam hati. Dulunya yang santer diberitakan masuk Persebaya yunior adalah Tole (Soewarko Koko) dan Yoyok.

Seger mainnya elegan, gocekannya bagus, larinya cepat dan terobosan-terobosannya yahud, fisiknya juga oke, sehingga mampu mencuri hati penonton. Dengan kaus kaki berkuncir dia tampak bahagia memakai jersey hijau-hijau Persebaya baru mirip NIAC Mitra (dulu Persebaya identik dengan hijau-putih).

Lalu pandanganku beralih ke sosok yang berdiri di bawah mistar, dia Putu Yasa yang menggeser kiper Ridwan. Sungguh Putu kiper yang sangat bagus, terbang sambil mentip bola tembakan pemain Manokwari. Setiap Seger mendapat umpan terobosan di sisi kanan, segera tepuk tangan penonton membahana, padahal belum tentu berhasil.

Demikian pula ketika kiper Putu Yasa mempertontonkan skill-nya yang menawan, applaus meriah selalu mengiringi. Persebaya sore itu menang 2-1 walau terlihat kerepotan menghadapi Perseman.

Di laga awal, aku mendengarkan RGS menyiarkan Persebaya menghempaskan PSIS dengan 2-0 untuk memulai era baru yang gemilang, tetapi pertandingan yang paling menguras tensi adalah lawan PSM Ujung Pandang.

Persebaya memulai laga dengan kepercayaan diri tinggi mampu mengalahkan PSM, karena di saat tandang bisa mencuri poin di Mattoangin. Ternyata barisan belakang PSM tampil lugas bahkan keras hingga mampu menyulitkan penyerang Persebaya.

Gol yang ditunggu tak juga tercipta, bahkan PSM membuat kejutan kala Hengky Siegers bisa lolos dan menembak dengan keras, PSM leading 1-0 tapi penonton belum cemas.

Kecemasan baru benar-benar mencekam ketika sampai menit-89 skor tetap 1-0 buat PSM. Tekanan bertubi-tubi tidak mampu menembus gawang PSM yang dijaga Herman Kadiaman (?). Ketika matahari sudah malas bersinar dan nampaknya Persebaya akan kalah, Maura Helly mencetak gol di injury time, 1-1. Sontak penonton bergemuruh menyambutnya. Kerasnya teriakan suporter menggetarkan sendi-sendi bangunan tua Gelora 10 November.

Persebaya melenggang ke babak 6 Besar, sedangkan PSM tersisih.

Meski lolos, aku pribadi tidak yakin akan kemampuan Persebaya karena melihat produktifitas gol yang minim, hanya mencetak 7 gol, kemasukan 6, paling jelek dibandingkan dengan PSIS, Persipura dan tim yang tidak lolos, PSM dan Perseman. Justru PSIS yang sangat produktif dengan 13 golnya. Tapi ketika Persebaya mampu menahan juara bertahan Persib yang kuat 0-0 dilanjutkan draw lawan Persipura 0-0 aku mulai tertarik.

Apalagi ada program menyokong Persebaya langsung ke Senayan dengan judul Tret-tet-tet di Jawa Pos, maka Kompetisi 6 Besar ini semakin menarik. Terbukti Tret-tet-tet itu tidak sia-sia, Persebaya sukses mengalahkan Persija 2-1 dan bisa menghidupkan peluang ke Grandfinal.

Kejutan besar terjadi, PSIS Semarang dengan Total Voetball ala Sartono Anwar sudah lebih dulu meraih satu tempat di Grandfinal dengan membenamkan Persija 3-1, PSMS 1-0, draw dengan Persipura dan Persebaya 1-1, biasanya Persib, PSMS atau Persija. Persib tersisih meski menang 1-0 atas PSIS karena Persib sebelumnya selalu draw dalam 4 pertandingan.

Tret-tet-tet kembali digalang JP ketika Persebaya menghadapi PSMS di laga akhir. Dibantu tret-tet-tet, Persebaya sukses memenangani laga 2-1 dan menjadi pemuncak klasemen akhir melampaui PSIS dan andai saja tidak ada Grand Final, maka Persebaya lah yang menjadi juara.

“Grand Final lawan PSIS! bagaimana ini, rek?” tanyaku dalam hati, galau ingin menonton.

Aku kini seorang karyawan, tidak bisa seenaknya izin beberapa hari ke Jakarta hanya untuk nonton bola. Tetapi hatiku berkecamuk, meronta-ronta ingin mendukung klub kesayanganku. Akhirnya, jurus terakhir terpaksa aku keluarkan, yaitu “Berbohong” kepada Kepala Seksiku, bapak Johanes Dahuri, orang Mojoklanggru Lor.

“Pak saya minta izin 3 hari, mau mengurus SIM.”
Pak Johanes Dahuri terkejut, “Lho, kok sampai 3 hari?”

“Iya pak, khan harus ngurus administrasi dulu, tes teori dulu, baru praktek, antri lama pak di Colombo.”
“Oke, usahakan lulus ya, jangan sampai molor.” Boss ku memberi izin.

“Baik pak, terima-kasih.”

Horeee!! aku berjingkrak-jingkrak senang meski itu dalam hati, padahal sebenarnya aku sudah punya SIM C. Kalau tidak mengibuli atasan, bagaimana mungkin aku bisa ke Senayan? kok ndilalah esok siangnya bos keluar kota, aku pun ngilang meluncur Jl Yos Sudarso (perwakilan Jawa Pos) untuk mendaftar tret-tet-tet, tetapi apes, sudah antri ternyata alokasi suporter sudah penuh, banyak yang kecewa, terutama aku.

Aku lalu mencari teman di Kapasan dan ternyata ada Arifin, dia juga yang akan berangkat, maka kami pun bergegas ke Pasar Turi, tanpa ganti baju, tanpa alat mandi. Kebetulan karcis masih ada, (Rp 8.000 KA Gaya Baru Malam) kelas Ekonomi thok, dan tidak dapat nomor kursi, ah tidak mengapa berdiri atau duduk di bawah, toh disana sudah ribuan suporter Persebaya menyesaki gerbong akibat gagal ikut Jawa Pos.

Di stasiun sudah banyak penjual ikat kepala bertuliskan “Viva Persebaya” harga Rp 500 dan mulailah perjalanan panjang menuju Jakarta.

Di GBK, Suporter Persebaya lebih dominan daripada Suporter PSIS meski jarak Jateng menuju Jakarta jelas lebih dekat ketimbang dari Jawa Timur. Senayan menghijau meski tidak sepenuh kala Grandfinal antara Persib vs PSMS tahun 1985 lalu.

Keyakinan Persebaya bakal Juara menjulang karena yang dihadapi hanya PSIS Semarang, bukan PSMS, Persib atau Persija. Tetapi…oh, tidak! ternyata PSIS bermain sangat-sangat bagus, tidak takut nama besar Persebaya. Benar-benar itu Total Voetbal, rancak dan amat menyulitkan Green Force, julukan baru dari Dahlan Iskan (kalau tidak salah, resmi dipakai tahun 1988 ya).

Ketika di akhir babak 2 Rae Bawa gagal men-tackle Budi Wahyono (?) pemain ini dengan cepat menusuk sisi kiri Penalti, mengirim umpan diagonal dan di sana sudah bersiap Syaiful Amri, sundulannya tidak keras tapi memantul, sulit diantisipasi oleh Putu Yasa, gol! Suporter PSIS bersorak, suporter Persebaya tersentak, skor 1-0.

Persebaya gencar menekan, dan suasana menjadi panas tatkala sundulan Syamsul Arifin (atau Seger Sutrisno ya?) sudah melewati garis gawang, lalu dihalau dengan sundulan oleh bek PSIS, Suporter bersorak tetapi wasit tidak menyatakan itu Gol, Persebaya protes, namun tidak bisa apa-apa, karena teknologi garis gawang belum ada, bahkan belum terfikirkan.

Dengan hati galau, mangkel, marah dan dendam, aku dan Arifin meninggalkan stadion. Kami terpaksa menginap karena jadwal KA tujuan Surabaya (Jatim) di atas pukul 20.00 WIB sudah tidak ada lagi. Sebenarnya ada tersisa jurusan Semarang, tetapi penuh dengan Suporter PSIS, kalau aku paksakan naik bisa makan hati, maka tidak ada yang bisa kami perbuat selain tidur di Stasiun Senen bersama ratusan Suporter yang lain.

Semua kursi panjang di ruang tunggu penumpang sudah ditiduri orang, kehabisan tempat. Aku bisa saja menyewa kamar atau hotel, tetapi aku lebih memilih tidur di lantai dingin berdebu, beralaskan koran bersama ratusan Suporter Persebaya lain yang juga menggelandang disana. Tidak mengapa walau terus terang saja, badan terasa sakit disana-sini belum lagi nyamuknya.

Andai saja kepala seksiku, pak Johanes Dahuri tahu aku tidak mengurus SIM, tapi ikut Suporter ke Senayan, tentu saja dia akan berteriak… “Kapok koen!” (bersambung)

*) Penulis: Eko Wardhana, Pensiunan BUMN yang tinggal di Sawojajar, Malang.

The post Persebaya, Kenangan Masa Bujang: Stasiun Senen (16) appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
13205