masa lalu Archives | Emosi Jiwaku https://emosijiwaku.com/tag/masa-lalu/ Portal informasi terpercaya dan terkini tentang Persebaya dan Bonek Fri, 04 Sep 2020 09:42:58 +0000 en-US hourly 1 145948436 Persebaya, Kenangan Masa Lalu: Tur Maut (21) https://emosijiwaku.com/2018/01/12/persebaya-kenangan-masa-lalu-tur-maut-21/ Fri, 12 Jan 2018 05:27:44 +0000 http://emosijiwaku.com/?p=13516 Gesekan antara arek Surabaya dan arek Malang sangat luar biasa gemanya, menjadi pembicaraan hangat di segenap lapisan masyarakat dengan tema “Apa latar belakang penyebab terjadinya gesekan tersebut.” Lalu, dibumbui berita tentang sweeping KTP di Malang dan Surabaya, serta pelemparan dan perusakan mobil plat L banyak terjadi, lalu berbalas tindakan serupa di Surabaya.

The post Persebaya, Kenangan Masa Lalu: Tur Maut (21) appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
Gesekan antara arek Surabaya dan arek Malang sangat luar biasa gemanya, menjadi pembicaraan hangat di segenap lapisan masyarakat dengan tema “Apa latar belakang penyebab terjadinya gesekan tersebut.” Lalu, dibumbui berita tentang sweeping KTP di Malang dan Surabaya, serta pelemparan dan perusakan mobil plat L banyak terjadi, lalu berbalas tindakan serupa di Surabaya.

Di kantorku ada bisik-bisik dari mulut ke mulut, “Yang akan melakukan Perjalanan Dinas ke Malang dan atau yang melewati kota Malang, agar berhati-hati, ada kerusuhan sepakbola!!”

Sudah pasti semua pihak prihatin, termasuk klub, pimpinan dan suporter di kedua belah pihak dan masyarakat Jatim pada umumnya (Kecuali mereka-mereka yang memang ada kepentingan di balik gesekan ini). Tapi siapa yang patut disalahkan? SETAN, itu sudah pasti. Tetapi berbentuk apakah si setan itu??? berbentuk Jin atau Manusia???

Banyak cerdik-pandai, pakar budaya dan pengamat yang memberikan argumen perihal sebab-musabab timbulnya perseteruan Surabaya-Malang. Rata-rata argumen mereka tidak jauh dari:

– Psy War dari Barmen-Mudayat di mass media.
– Pemukulan pemain Persebaya di Malang.
– Serbuan Suporter Persebaya ke Gresik (saat Persegres vs Persema).
– Kerusuhan di konser Kantata Takwa di Gelora 10 November.

Aku pribadi, MAAF, punya pandangan tersendiri yang berbeda. Menurutku, semua peristiwa di atas itu adalah sekedar “Pemantik Api” atau “Pemicu” saja, tapi penyebab yang sesungguhnya itu sudah ada bertahun-tahun sebelum 1992, malah mungkin dimulai dari awal dekade 1960 an.

Kepala Seksiku yang baru (1989-2001) adalah Arek Malang, asal Dinoyo, sudah senior bahkan sudah lama almarhum, dia bercerita bahwa dahulu kala saat sedang maraknya begal-membegal, rampok, bajing loncat dan premanisme di jalanan umum di pulau Jawa, para pelaku tergabung dalam gank-gank, dan saat itu gank yang paling terkenal adalah KORAK.

Konon kelompok ini adalah gabungan para preman asal Surabaya. Ada yang menyebut Korak itu singkatan dari “Komando Perak” yang semula hanya beraksi di pelabuhan-pelabuhan. Ada yang menyebut singkatan dari “Kotoran Rakyat”. Banyak pengusaha asal Malang yang mengeluhkan gangguan ini dan minta tolong ke kenalan, maka para preman asal Malang tak mau kalah, mereka membentuk gank tandingan dengan nama Arema (Arek Malang).

Setiap truk yang ditulisi Arema, haram diganggu oleh preman asal Malang. Lalu, bagaimana preman Arema tahu bahwa itu truk pengusaha asal Malang? Salah satu KODE yang wajib bisa (dipelajari) adalah memakai bahasa terbalik, boso walikan… dan tidak sembarang walikan, ada kaidah-kaidahnya tersendiri, seperti Ng tidak bisa dibalik jadi Gn, tetap harus NG, contoh: kata “Malang” tidak bisa dibalik menjadi Gnalam tetapi Ngalam.

Aku pernah membaca buku tentang sejarah Arema (Arema Never Die?) di situ Lucky Acub Zaenal bercerita banyak. Nah, disitulah sebab yang dominan berada, menurutku. Intinya, mengapa semua yang terkenal dari Jawa Timur disebut orang asal Surabaya? tidak semua yang hebat asal Surabaya, asal Malang pun juga bisa…jadi, yang dituntut (diharapkan) di sini adalah Aktualisasi Diri, kebutuhan akan “Diakui” dan juga Kesetaraan.

Hanya saja, aku merasa tidak berkompeten untuk membahasnya, ada yang lebih berkompeten.

Kita tinggalkan pergesekan Bonek-Arema…

Sepeninggal NIAC Mitra, kota Surabaya mempunyai klub Galatama yang baru bernama Mitra Surabaya yang sebenarnya penjelmaan dari NIAC Mitra. Klub ini lahir atas desakan suporter Surabaya yang tidak rela kehilangan klub Galatama kesayangannya itu dengan mendesak Dahlan Iskan, sebagai pimpinan Jawa Pos.

Dahlan bersedia mendirikan klub pengganti itu dengan syarat, (1) Mitra Surabaya tidak terkait apapun dengan Jawa Pos, (2) Masyarakat luas ikut berpartisipasi dan oleh karenanya, kebutuhan finansial digali dari keuangan masyarakat, Jawa Pos hanya membantu sekadarnya, maka jadilah Mitra Surabaya ikut kompetisi 1990-1992.

Aku pun ikut berpartisipasi dalam penggalian dana bagi Mitra Surabaya, aku daftarkan diriku dan anakku yang kedua, Kartu Tanda Anggota seperti dalam foto di bawah ini sebagai bukti, maka dari itu, Mitra Surabaya diberi julukan “The Public” dan tidak hanya sebatas itu, aku juga ikut Tret-tet-tet “nglurug” ke kandang lawan di musim kompetisi 1993-1994 yakni saat Mitra Surabaya away melawan BPD Jateng yang bermarkas di stadion Citarum Semarang, ikut program Jawa Pos. Kami berangkat dari kantor percetakan Jawa Pos di Jl Karah Agung.

Musim ini sebenarnya tensi dan emosi masih tinggi, tetapi saat kami turun di stadion Citarum keadaan cenderung sepi, adem-adem saja dan malah kami sempat ikut numpang pipis ke rumah penduduk sekitar. Tidak ada gangguan sama sekali.

Ketika Suporter Mitra sudah menggoyang stadion, tidak ada perlawanan masif dari suporter tuan rumah, jumlah penonton pun lumayan imbang antara tamu dan tuan rumah.

Ditengarai bahwa suporter BPD digalang dengan tergesa-gesa, khusus untuk menyambut tamu yang dikenal punya reputasi sangar dan suka perjalanan tandang, bahkan spanduk yang mereka pajang sangat kentara hasil cetakan, beda dengan spanduk-spanduk yang dibawa Suporter Mitra, buatan tangan, lebih heroik dan lebih artisitik.

Bisa dilihat bahwa beberapa spanduk BPD Jateng berbunyi sama, berwarna sama dan modelnya sama persis…”BPD, Mana Gol Mu ?” rupanya, posisi tuan rumah (BPD Jateng) saat itu sedang prihatin akan performansi jeleknya, jadi BPD sedang ditinggal penggemarnya.

Mantan striker Bajul Ijo, Agus Winarno belum-belum sudah membuat torsedor Mitra Surabaya melonjak gembira dengan gol berbalik badannya, meskipun kemudian striker Widiantoro(?) bisa menyamakan skor 1-1 akibat kecerobohan kiper Putu Yasa. Di babak II Hendri Susilo mencetak gol kemenangan Mitra Surabaya 2-1. Pesta para Torsedor.

Seperti biasanya, banyak gangguan mengiringi perjalanan pulang kami ke Surabaya, lemparan batu dari penembak gelap penduduk lokal beberapa kali mengenai bus.

Di balik sungai di daerah Demak, persis di lokasi peristiwa 1990 yang aku ceritakan di bagian (19), kami melihat beberapa pemuda melempar batu, sontak semua berteriak, “Pir, sopir berhenti pir !!” lalu kami turun dari bus mengejar pemuda-pemuda tadi. Mereka lari terbirit-birit, berpencar dan dua diantaranya ketimpa sial, karena berlari menuju lorong yang rupanya buntu. Kami menghajarnya, hingga tertelungkup. Setelah belasan bogem bersarang, keduanya pun mulai menangis. “Sudah! Sudah!! Ayo kita ke bus.” Lalu kami berlari ke bus kami untuk melanjutkan pulang.

Setelah NIAC Mitra (Surabaya), Galatama yang menyusul berdiri adalah Arema (Malang), kemudian ada Petrokimia Putra (Gresik), Assyabaab (Surabaya) dan Bentoel Galatama (Jember). Yang mengherankan adalah Galatama Assyabaab, semula Assyabaab sangat didukung warga Surabaya, tapi begitu ada Salim Group sebagai sponsor, sehingga menjadi Assyabaab Salim Group Surabaya (ASGS) dukungan itu berangsur-angsur menyurut bahkan jika berhadapan dengan Mitra Surabaya, ASGS seperti menjadi tamu yang dibenci. Di sini, tak bisa dipungkiri, sentimen golongan juga amat berpengaruh.

Masih terekam di ingatan ini kala Mitra Surabaya tertinggal 0-1 oleh ASGS di Tambaksari. Tapi begitu Hendri Susilo menyamakan skor, sorak sorai penonton begitu meriah seolah sang tamu adalah lawan dari luar kota Surabaya, apalagi ketika skor berbalik menjadi 3-1 buat Mitra, sorak sorai bergetar tak tertahankan. Sungguh prihatin nasibmu ASGS, berbalik dengan Mitra yang untuk pulang ke mess saja dikawal ratus sepeda motor sampai ke Kebraon.

Tetapi semua klub itu sangat garang di kompetisi, bahkan NIAC Mitra juara tiga kali (1982, 1984, 1988), Arema sekali (1993) dan Petrokimia Putra sekali (2002), tidak ada satupun provinsi di Indonesia yang mampu melahirkan para Juara Nasional selain Jawa Timur. Karena begitu alotnya klub Galatama (dan Perserikatan) bertandang ke Jawa Timur banyak yang mengatakan bahwa rangkaian pertandingan ke Surabaya, Malang, Gresik, Sidoarjo, Jember dan lain-lain sebagai TUR MAUT.

Tetapi sayang, Bentoel dan Assyabaab kemudian dibubarkan, NIAC Mitra berganti menjadi Mitra Surabaya dan diambil alih Mitra Kukar, Petrokimia juga demikian dan praktis hanya Arema yang masih bertahan dengan segala kesulitan. (bersambung)

*) Penulis: Eko Wardhana, Pensiunan BUMN yang tinggal di Sawojajar, Malang.

The post Persebaya, Kenangan Masa Lalu: Tur Maut (21) appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
13516
Persebaya, Kenangan Masa Lalu: Malang, Sebuah Lembaran Hitam (20) https://emosijiwaku.com/2018/01/10/persebaya-kenangan-masa-lalu-malang-sebuah-lembaran-hitam-20/ Wed, 10 Jan 2018 03:39:37 +0000 http://emosijiwaku.com/?p=13442 Lembaran ini sebenarnya dimulai dengan gemilang ketika pasukan muda Persebaya (Bledug Ijo) mengobrak-abrik PSM dengan 3 gol tanpa balas, dilanjutkan dengan menggasak Persema 2-0, draw vs Persiba, Persegres dan PSIS, masing-masing 1-1. Bledug ijo pun memimpin klasemen seperti yang selalu sukses dilakukan kakak-kakak seniornya tahun-tahun sebelumnya.

The post Persebaya, Kenangan Masa Lalu: Malang, Sebuah Lembaran Hitam (20) appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
Persebaya adalah sedikit di antara klub legendaris yang mampu menembus final 3 (tiga) kali berturut-turut, (1987 vs PSIS, 1988 vs Persija, 1990 vs Persib).

Maka, musim 1991-1992 ini mencoba mengulang kembali agar bisa menjadi keempat kalinya. Tetapi, sederet awan kelabu yang mendadak berubah menjadi gelap, hitam kelam melanda langit Surabaya.

Apa saja itu?

Aduh, sekadar mengingat saja aku sudah pening, apalagi menceritakannya, tentu akan menguras emosi dan menyebabkan tekanan darah naik. Mas-mas admin, silahkan postingan ini di delete bila dirasakan “Tidak Pantas” dimuat.

Lembaran ini sebenarnya dimulai dengan gemilang ketika pasukan muda Persebaya (Bledug Ijo) mengobrak-abrik PSM dengan 3 gol tanpa balas, dilanjutkan dengan menggasak Persema 2-0, draw vs Persiba, Persegres dan PSIS, masing-masing 1-1. Bledug ijo pun memimpin klasemen seperti yang selalu sukses dilakukan kakak-kakak seniornya tahun-tahun sebelumnya.

Semuanya berubah di putaran II…

Entah dari mana ceritanya, terjadi gejolak di kota Ujung Pandang, bukan kerusuhan tetapi aroma provokasi yang ditujukan kepada lawan-lawannya, terutama ke Persebaya. Buletin khusus PSM pun diterbitkan untuk mendongkrak performa dan semangat Juku Eja asuhan Syamsuddin Umar.

Ketika Persebaya giliran melawat ke Ujung Pandang, sambutan teror luar biasa dialami, semisal saat mencoba lapangan, suporter PSM hadir dan mengepung dengan membentangkan berbagai poster provokasi, padahal (seingatku) hal demikian tidak terjadi di putaran I di Surabaya.

Para pemain Bledug Ijo, merasa sangat terganggu, sekuat apapun mental mereka.

Teror penonton dan pressure ketat PSM terbukti mampu membalas kekalahan mereka, meskipun hanya 2-0.

Persema Malang, yang kali ini mampu bersaing juga mendapatkan teror disana, saat pemanasan, beberapa pemain PSM melakukan pemukulan, Persema pun bisa dikalahkan 1-0.

Panasnya atmosfer kompetisi tidak hanya terjadi di lapangan, di media-media pun berlangsung perang urat syaraf dan juga perang spanduk. Baik antara PSM vs Persebaya maupun Persebaya vs Persema. Gejolak magma mulai menyemburkan awan panas alias wedhus gembel, dan magma itu meleleh panas di stadion Gajayana.

Ketika Persebaya harus melawat ke kandang Persema, aku nekad menyaksikan langsung ke stadion Gajayana seorang diri, masih memakai baju seragam kerja. Ketika masuk pintu stadion, aku sudah mulai merasakan suhu menghangat, ditandai dengan dentuman beberapa drum yang digebuk oleh anggota TNI yang nonton di belakang gawang utara.

Beberapa spanduk kecil muncul di belakangku… tulisannya jelas tidak enak.

Panitia terus menerus memutar sebuah lagu Rock gubahan Ian Antono, intinya berisi puji-pujian terhadap pemuda lokal Malang yang gagah berani. Walau mestinya lagu itu lebih tepat dipakai oleh klub Galatama Arema.

Ketika stadion mulai penuh, dari arah tribun VIP muncul 6 orang membawa 2 spanduk/banner berisi kalimat yang amat provokatif, “Barmen dan Mudayat Haram Masuk Kota Malang.” Saat itu, spanduk belum dipakai segencar sekarang. Tulisan satunya aku tidak ingat, kedua banner itu diarak pelan keliling lapangan dengan tujuan yang jelas… membakar amarah!! dan itu sukses membakar emosi penonton, tidak ada panitia atau aparat yang coba mencegah drama ini.

Aku yakin, banyak di antara penonton adalah selundupan suporter dari Surabaya dan kota-kota lain yang berisi pendukung Persebaya. Mereka tidak dikoordinir, tidak bergerombol, karena tahu dan paham, semua itu bisa mendatangkan kerusuhan. Aku yakin juga bahwa suporter Malang mengetahui adanya suporter-suporter lawan yang menyusup.

Kemudian drama kedua adalah munculnya seorang pria paruh baya berambut gondrong, dia maju ke tengah lapangan membawa mik dan memulai orasinya membakar semangat penonton, dalam hal ini suporter Persema, sambil menyindir penonton-penonton gelap yang menyusup.

Puncak dari drama-drama tersebut adalah keluarnya kedua kesebelasan dari kamar ganti, yang pertama keluar adalah Persema, mengenakan seragam putih-biru mirip yang dikenakan PSIS saat Juara 1987, mereka langsung melakukan warming up di salah satu sisi lapangan.

Berikutnya giliran Bledug Ijo keluar diiringi cercaan dan caci maki, langsung mengambil area pemanasan di belahan lapangan sebelahnya.

Biasanya, kedua tim yang akan bertanding melakukan pemanasan di belahan lapangan masing-masing, dan mulanya Persebaya-Persema melakukan yang demikian, tetapi kemudian barisan Persema melintasi garis sehingga berpapasan dengan barisan Persebaya.

Di saat itulah pemain-pemain Persema mempraktekkan apa yang dilakukan para pemain PSM. Beberapa pemain Persema melakukan pemukulan terhadap pemain-pemain Persebaya yang lebih pantas sebagai yuniornya. Yang sempat terekam dalam ingatan adalah kiper Persema, Untung Sudarmoko dan yang sempat kulihat, salah satu pemain yang dipukul adalah Yusuf Ekodono. Benar-benar suasana yang mencekam meski musik rock masih didengungkan keras-keras.

Sebersit rasa sesal menggumpal dalam hati, seharusnya aku tidak pergi ke Malang menyaksikan pertandingan ini. Lebih bijak kalau aku berdiam di rumah sambil mendengarkan siaran RGS atau RRI yang (mungkin) menyiarkannya sebagai laporan pandangan mata.

Melihat hal demikian, sebagian besar penonton malah memberikan semangat, “Lukup, Lukup !” sambil bersorak. Tidak terbayangkan, bagaimana gelegak darah mendidih yang dialami para penonton penyelundup??? aku mengira, laga ini bakal tidak terlaksana karena (tentu) Persebaya mogok bertanding. Tetapi anehnya tidak!!, laga tetap dilangsungkan.

Rupanya panitia berhasil membujuk manajemen Persebaya dan dalam keadaan tertekan secara psikis Persebaya bisa tampil merepotkan Persema dengan skill individu yang rata-rata lebih unggul.

Para penonton di dekatku berteriak, “Jangan main teknik!! jangan main teknik!! main kerass!!” dan di antara mereka pun berbincang, wah, kalau main teknik Persema akan dihabisi. Persema kudu main keras, kalau perlu kasar sekalian. Dan pesan itu nyambung ke lapangan, Persema pun mulai main force tapi tidak diladeni Persebaya, kecuali oleh Usman Hadi dan Totok Anjik.

Gol Johanes Geohera cukup memuaskan publik tuan rumah. Persema menang 1-0 dan aku pun bergegas pulang, menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. “Ayo, awasi penonton yang bermuka sedih.” Seloroh beberapa pemuda bertato yang bertelanjang dada. Ketika aku sudah berada di dalam angkot, kulihat belasan atau puluhan sepeda motor ber plat L berjatuhan di area parkir dengan kaca pecah atau rusak dibagian lain.

Bila ada pembaca yang bertanya kepada penulis, “Bagaimana perasaanmu???”

Kalau secara tertulis, aku tidak mau menjawab!! tidak mau!! aku ingin mewakilkan jawabanku kepada seorang pemuda china totok, jika ada. Tapi, sebelum ia menjawab mewakili aku, dia lebih dulu harus membaca sebuah buku yang berjudul “The Rape of Nanking” yang ditulis oleh Irish Chang, diterbitkan oleh NARASI, Jogjakarta.

Di buku itu diceritakan tentang Perang Asia Timur Raya, bagian dari Perang Dunia II, di mana tentara Dai Nippon menginvasi daratan China, meski rakyat dan tentara China melawan sekuat tenaga, tetapi mereka dikalahkan dan kota Nanking pun dikuasai 1937-1938. Lalu terjadilah peristiwa pembantaian massal, ratusan ribu pemuda dan tentara China ditembak, dipenggal atau disiksa, sedang ratusan ribu kaum perempuannya diperkosa secara massal oleh tentara Jepang.

Setelah membaca buku itu, tanya saja bagaimana perasaan pemuda China itu.

Entah mengapa aku tidak mau diajak oleh (alm) Syamsuddin untuk berangkat ke Gresik melihat laga Persegres vs Persema yang amat menentukan. Aku hanya mendengarkan radio RRI saja dari rumah, sungguh mengerikan mendapat laporan pandangan mata laga itu, bukan jalannya laga itu sendiri, tapi drama yang ditampilkan oleh puluhan ribu suporter Persebaya yang ngluruk ke Gresik dengan hati panas, menyesaki stadion Tridharma, membuat panitia tidak berdaya, sekaligus membuat Persema tidak berdaya mengatasi Persegres, 1-0 (Zainul Arifin).

Paginya aku terpana membaca JP yang penuh foto peristiwa Gresik, dalam hati aku berkata, “Kemarin itu sungguh peristiwa besar, terbesar yang pernah terjadi di sepak bola Gresik.”

Sebelum ini, publik Surabaya dan Jawa Timur juga dilanda mendung pekat dengan “Bubar” nya klub Galatama kebanggaan kita semua NIAC Mitra karena banyak sebab. Pemilik NIAC Mitra, A. Wenas, sudah tidak bisa dibujuk lagi dengan kalimat apapun, beliau berujar “Saya sudah tidak gila bola lagi.” Sejak saat itu, klub legendaris penuh cerita itu hanya tinggal kenangan.

Di babak 6 besar, Persib kembali jadi ganjalan Bledug Ijo 2-1 (Kekey Zakaria, Robby Darwis/ Yani Faturrahman). Sambil nonton TV Persib vs Persebaya, aku tiba-tiba merindukan jaman Hadi Ismanto-Joko Malis yang lebih superior ketika berhadapan dengan Persib. Untung Persebaya kemudian bisa mengatasi PSDS 3-2 dan maju ke Semi final melawan PSMS. Sekilas, beberapa tahun belakangan ini PSMS mudah diatasi, tapi kali ini PSMS melawan dengan keras via extra time, “Bledug Ijo” pun digagalkan ke grandfinal oleh Suharto cs dengan skor 2-4.

Aku langsung teringat akan tetanggaku pak Arie Junaedi di Pondok Maritim, dia fans PSMS dan dia yakin PSMS akan Juara, “Kalau sampai PSMS kalah lagi lawan Persebaya, aku janji nggak potong rambut 3 bulan.” Selorohnya. Terbukti, dengan perjuangan keras di babak extra time, Persebaya bisa dikalahkan. Esoknya, pak Ari Junaedy sudah tersenyum selesai potong rambut.

Sayang pak Arie Junaedy harus gigit jari, PSM lah yang keluar sebagai Juara 1992. Dan Bledug Ijo bisa sedikit tersenyum setelah berhasil menekuk Persib 2-1 untuk nangkring di urutan III. (bersambung)

*) Penulis: Eko Wardhana, Pensiunan BUMN yang tinggal di Sawojajar, Malang.

The post Persebaya, Kenangan Masa Lalu: Malang, Sebuah Lembaran Hitam (20) appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
13442
Persebaya, Kenangan Masa Lalu: Perang Bubad (19) https://emosijiwaku.com/2018/01/09/persebaya-kenangan-masa-lalu-perang-bubad-19/ Tue, 09 Jan 2018 04:11:21 +0000 http://emosijiwaku.com/?p=13409 Sebenarnya, aku malas menulis episode ini, tapi bagaimana lagi, aku sudah komitmen dalam hati mau berbagi pengalaman menjadi suporter Persebaya, menjadi Bonek (Lawas) mumpung sedang “Mood” untuk menulis, yah setidaknya sampai cerita tahun 2004.

The post Persebaya, Kenangan Masa Lalu: Perang Bubad (19) appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
Sebenarnya, aku malas menulis episode ini, tapi bagaimana lagi, aku sudah komitmen dalam hati mau berbagi pengalaman menjadi suporter Persebaya, menjadi Bonek (Lawas) mumpung sedang “Mood” untuk menulis, yah setidaknya sampai cerita tahun 2004.

Persebaya ke grandfinal, beberapa teman kantor segera mendaftar ke Jawa Pos ikut Tret-tet-tet ke Jakarta, antara lain aku, Syamsudin (alm), M. Zaini (alm), Nurhaman, Sahid, Supriyo (alm), H. Lilik, dan beberapa lagi, termasuk melengkapi diri dengan syal, topi, dan kaus ijo. Dengan seijin istri, aku pergi ke Jakarta dengan bus, entah berapa bus yang berkonvoi ke Senayan. Banyak sekali.

Sempat ada beberapa insiden pelemparan batu terhadap bus Jaya Utama yang kami tumpangi di sekitar Demak-Semarang, di malam hari, semua suporter yang sedang tidur terbangun kaget dan bus berhenti. “Sopo iku rek? kurang ajar!!!” Tapi sudah jelas, siapa yang menjadi tertuduh dalam insiden ini.

“Saking ae saiki bengi, nek awan ngono diuber maringono diajar ae sing sawat-sawat iki,” gerutu yang lain.

Di GBK, harus diakui, suporter Persebaya kalah jumlah dengan suporter Persib, dengan perbandingan sekira 35:65. Hal demikian sudah sewajarnya mengingat jarak Bandung-Jakarta hanya 4 jam, sedangkan kami harus menempuh 16 jam lebih, belum lagi suporter asli Jakarta yang kalah lawan Persebaya tentu berada di pihak lawan. Ini adalah kali kedua aku masuk stadion yang pernah menjadi yang terbesar di Asia itu, sebelumnya saat mendukung Persebaya 1987 melawan PSIS Semarang.

Pagi hari, koran-koran sudah memanas-manasi dengan memberi judul final ini sebagai “Perang Bubad” yang sebenarnya sangat “TABU” untuk diungkit karena menyangkut masa silam, ratusan tahun yang lampau, di mana diceritakan seluruh kontingen kerajaan Sunda-Galuh, dibantai habis pasukan Gajahmada di desa Bubad. Harusnya koran itu menahan diri.

Kalah jumlah sama sekali bukan hal yang mengkhawatirkan bagi segenap suporter Persebaya, koor saling ejekpun kami sanggup mengimbangi dengan kekuatan vokal yang setara.

Mereka mengejek (berbau SARA), “Jawa kowek!! Jawa kowek!!” maksud mereka Jawa kowe (kamu) dalam dialeg Tegal/Banyumas.

Spontan kami membalas, “Bandung taek!! Bandung taek!!” supaya sama-sama berakhiran ‘ek’ begitu seterusnya. Seru sekali.

Soal Suporter tidak jadi masalah yang dikhawatirkan hanya masalah non teknis yang biasa menghantui Persebaya sejak jaman old, yang sering menyebabkan Persebaya gagal.

Bencana itu begitu tiba-tiba datang ketika Subangkit mis komunikasi dengan kiper Putu Yasa, sehingga ball clearance yang dilakukan malah masuk ke gawang sendiri, suporter Persebaya terdiam sedih. Terjadinya gol yang tak diduga itu menyebabkan beberapa pemain Persebaya bermain keras untuk memancing emosi Persib. Tetapi, sudah ditakdirkan bahwa Persib malam itu mencapai peak performance-nya selama kompetisi ini.

Sebenarnya, aku melihat Persebaya bermain bagus, hanya saja ketertinggalan 0-1 menjadikan pemain tidak sabar, apalagi beberapa peluang yang seharusnya menjadi gol, terbuang sia-sia karena melenceng atau melambung. Salah satu yang kuingat adalah saat Budi Johanis mampu berliku-liku melewati para bek Persib, eksekusi Budi malah melambung diatas mistar kiper Persib, Sama’i Setiyadi.

Bahkan, pemain pengganti Persib, Dede Rosadi bisa memanfaatkan peluang untuk menjauh, Persib unggul 2-0 dan tidak terkejar lagi. Lemaslah kami semua.

Pertandingan belum usai, kami sudah hendak meninggalkan stadion, tetapi nyanyian olok-olok suporter Persib “Pulang, Marilah Pulang…” memancing emosi kami. Sahid, rekan sekerjaku, arek Menganti, terlihat mendekati pembatas kedua kubu, dia hendak menghajar salah seorang suporter lawan, tanpa takut sama sekali.

“Ayo cepet metu rek, aku gak sabar nek gak ngantemi musuh, ngene iki.” Katanya menahan rasa frustasi dan emosi. Aku tidak melihat Sahid lagi yang hilang di kerumunan penonton, tahu-tahu dia bercerita sudah menghajar seorang Bobotoh di luar stadion. Dia terlihat puas.

Semua wajah tampak lemas, kecewa dan putus asa, kami langsung menuju bus dan tidak ingin apa-apa lagi meski perut mulai lapar. Hanya satu yang kami inginkan, yaitu berkelahi.

Sayang tiada seorang pun yang bisa dijadikan lawan, semua di sekeliling adalah teman seperjuangan.

“Gak! Aku gak luwe…ngko ae,” kata Syamsudin, almarhum, ketika disodori nasi kotak.

Sepanjang perjalanan keluar Jakarta menuju Jawa Barat dan Jawa Tengah, mataku sama sekali tidak bisa dipejamkan, dada terasa sesak, emosi memuncak dan suasana berkebalikan dengan saat berangkat, kini semua diam seribu basa, tidak satupun yang bergurau.

Temperamen keras dan dalam keadaan emosi yang tak tersalurkan, wajar saja bila esok harinya perjalanan bus tersendat-sendat, sering berhenti akibat bentrok dan mengejar oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab (yang melempari bus). Yang melekat dalam ingatanku adalah ketika kami sampai di Demak. Di pinggir sungai tampak beberapa pemuda melempari bus kami dengan batu.

“Nah! Iki sing tak enten-enteni…” Begitu seru beberapa orang di antara kami, yang langsung bergegas turun.

Bus berhenti, suporter berhamburan mengejar pelempar tadi, pelempar itu memasuki sebuah sekolah dan kami mengejar sampai ke dalam. Tak pelak, bogem mentah mendarat di wajah pemuda na’as itu. Ibu-ibu yang melihat kejadian itu menjerit-jerit ketakutan. Tetapi ada sisi negatifnya, beberapa dari kita selesai menghajar, melakukan sesuatu yang bisa mencoreng nama baik (mengambil yang bukan haknya).

Di dekat bus, seorang pemuda tampak berdarah-darah dihajar suporter Persebaya, tetapi aneh, pemuda tersebut bukannya berlindung tapi seolah menantang, semakin remuklah dia, untung tiba-tiba datang seorang Kapten AD, langsung melerai, melindunginya dari amukan kami.

Aku tidak tahu, apakah lembaran ini patut ditulis atau tidak, tetapi itu yang aku alami sendiri.

Ketika aku harus masuk kerja lusa hari, beberapa rekan sekerja asal Malang mengolok-olok kami “Memalukan, kalah!!” kali ini mau tidak mau, aku harus menahan emosi. Kalau ini bukan kantor bisa jadi lain akibatnya, tapi mereka rekan sekerja yang sejak kami diterima bekerja diwajibkan memupuk jiwa kebersamaan, Jiwa Korsa.

Sementara rekan-rekan sekerja asal Jawa Barat, diam seribu basa. Tidak membahas laga final itu, dan aku paham apa yang mereka rasakan. Semuanya serba tidak enak. Bagiku, ini berlangsung beberapa hari, sumpeg peg peg!!

Padahal, bukankah menjadi juara II jelas lebih baik daripada Juara-III, IV dan selanjutnya, jauh lebih baik daripada tim-tim yang tersisih lebih dahulu. Tetapi entah kenapa, rasa sedihnya laksana tertimpa musibah besar. “Kalah di final bukan KIAMAT.” Masih ada hari esok, atau apakah Persebaya ingin juara terus menerus, yang lain nggak boleh???

Piala Dunia 1990 di Italia yang semarak, menjadi salah satu obat penawar luka, penglipur lara, apalagi tim kesayanganku Jerman, muncul sebagai Juara Dunia 1990 setelah mengalami dua kegagalan dalam final 1982 dan 1986.

Obat kedua penghapus duka adalah kelahiran anak pertamaku, seorang putri lucu, 7 Agustus 1990 di RS. Dr. Muhammad Saleh, Probolinggo.

Luka hati ini 95 persen sembuh ketika di akhir tahun, Persebaya Cilik yang diberi julukan “Bledug Ijo” mengukir prestasi mengejutkan, menjadi Juara Piala Utama dengan mengalahkan Pelita Jaya secara dramatis 3-2, setelah sebelumnya membabat Kramayudha Tiga Berlian 3-1, lantas menggasak Pupuk Kaltim 3-0 dan menundukkan PSM 2-1, lawan-lawan yang tidak mudah. Sayangnya nggak ketemu Persib.

Nama-nama tak dikenal langsung mencuat seperti M. Nizar, Hartono, Slamet Bachtiar, Yani Faturrachman, Winedy Purwito dipimpin oleh yang lebih senior seperti Yusuf Ekodono, Totok Anjik dan Machrus Afif.

Bledug adalah anak Gajah dalam bahasa Jawa dan Ijo nya sudah tidak usah dipertanyakan lagi. Sebutan ini (menurutku) sengaja dipakai dan diarahkan kepada mereka yang senantiasa nyinyir mengungkit sepakbola Gajah yang pernah dilakukan Persebaya, sebab sejatinya binatang Gajah tidak ada hubungan emosi sama sekali dengan Surabaya.

Gelar Bledug Ijo disematkan karena pemain-pemainnya masih sangat muda hasil regenerasi, dan kebetulan banyak yang bertubuh mungil semisal Yani Faturrahman, Winedy Purwito, Ali Zaini, dan sebagainya.

Bravo Bledug Ijo!!! lembaran yang harusnya hitam 1990 gagal menjadi hitam, dengan adanya kalian yang putih cemerlang. (bersambung)

*) Penulis: Eko Wardhana, Pensiunan BUMN yang tinggal di Sawojajar, Malang.

The post Persebaya, Kenangan Masa Lalu: Perang Bubad (19) appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
13409