masa remaja Archives | Emosi Jiwaku https://emosijiwaku.com/tag/masa-remaja/ Portal informasi terpercaya dan terkini tentang Persebaya dan Bonek Fri, 04 Sep 2020 09:42:58 +0000 en-US hourly 1 145948436 Persebaya, Kenangan Masa Bujang: Sepak Bola Gajah, Mike Tyson, dan Treble Winner (17) https://emosijiwaku.com/2018/01/03/persebaya-kenangan-masa-bujang-sepak-bola-gajah-mike-tyson-dan-treble-winner-17/ Wed, 03 Jan 2018 03:09:44 +0000 http://emosijiwaku.com/?p=13215 Ada semacam dendam kolektif dari masyarakat Surabaya dan Jawa Timur, khususnya suporter Green Force terhadap kekalahan 0-1 dari PSIS di Grandfinal lalu, seperti ada rasa tidak terima. Maka, akhir tahun 1987 ini sebagai awal dari Kompetisi Divisi Utama 1987-1988 segenap elemen bertekad untuk merebut Piala dan Gelar Juara yang dicuri PSIS.

The post Persebaya, Kenangan Masa Bujang: Sepak Bola Gajah, Mike Tyson, dan Treble Winner (17) appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
Ada semacam dendam kolektif dari masyarakat Surabaya dan Jawa Timur, khususnya suporter Green Force terhadap kekalahan 0-1 dari PSIS di Grandfinal lalu, seperti ada rasa tidak terima. Maka, akhir tahun 1987 ini sebagai awal dari Kompetisi Divisi Utama 1987-1988 segenap elemen bertekad untuk merebut Piala dan Gelar Juara yang dicuri PSIS.

Kok kebetulan, jadwal laga pertama Persebaya harus tandang ke markas PSIS, maka guna mengamankan hasil, diadakan tret-tet-tet ke stadion Jatidiri (atau Citarum?). Diharapkan, dengan dukungan suporter Persebaya akan main semangat, dan asumsi itu terbukti benar, gol tunggal Syamsul Arifin memenangkan Persebaya 1-0.

Setelah itu, PSIS seperti melempem, tidak pernah memenangi laga dan menempati urutan buncit, untuk sementara legalah hati suporter Persebaya, meski perolehan poin di putaran I ini sangat-sangat ketat, lihatlah tabel berikut :

Persebaya 5 – 3 – 0 – 2 6-4 6
Persiba 5 – 2 – 2 – 1 6-4 6
PSM 5 – 3 – 0 – 2 5-7 6
Persipura 5 – 1 – 3 – 1 7-6 5
Perseman 5 – 1 – 3 – 1 7-6 5
PSIS 5 – 0 – 2 – 3 4-8 2

Menyambut putaran II atmosfir di Surabaya dan Jawa Timur amat meriah dengan demam semboyan “Kami Haus Gol Kamu” atau “Low Profile High Product” yang disablon di dada kaus hijau, topi pet hijau, dan syal hijau, meniru suporter yang disaksikan Dahlan Iskan di Liga Inggris. Kaus, Topi dan Syal itu laris manis, menciptakan hijau-mania, meniru istilah tahun 1964 ketika dunia dijangkiti wabah Beatlemania.

Derita PSIS semakin jadi ketika di laga pertama putaran II harus bertanda ke “Neraka Hijau” yaitu stadion Gelora 10-November yang secara menakjubkan, berubah menjadi lautan hijau oleh membludaknya tifosi, menyamai final Surya Cup 1977 atau Ajax 1975.

Di lapangan basah dan dibawah tekanan 35.000 lebih penonton, PSIS tampil grogi, aku bisa melihat wajah pucat Rochadi, kapten PSIS saat memimpin rekan-rekannya keluar dari ruang ganti. Gol Budi Johanis, Syamsul Arifin dan Totok Anjik memenangkan Persebaya 3-1. Suporter PSIS pun tidak sempat masuk stadion karena jalanan macet dan tidak mungkin untuk memaksakan diri masuk ke dalam stadion yang sudah penuh sesak.

Cerita selanjutnya sungguh di luar dugaan, PSIS yang dikira hampir mati terkubur tiba-tiba bangkit, mereka menekuk PSM 1-0 dan Persiba 2-0, hingga disebut sebagai “Mayat Hidup” (yang harus dibunuh untuk kedua kalinya), caranya, mengalah kepada Persipura 0-12. Suatu peristiwa yang kemudian dikenal sebagai “Sepak bola Gajah” meminjam istilah permainan sepak bola yang dilakukan para gajah di Lampung, di mana skor sudah diatur sebelumnya. Dengan demikian, Persebaya “mengajak” tim yang kira-kira tidak ngriwuk’i dalam usaha mengejar gelar yang “disabet” PSIS 1987 secara menyesakkan.

Di tengah cercaan masyarakat dan makian PSIS, Persebaya melenggang ke Senayan dengan optimisme tinggi. Persebaya membuktikan diri tanpa sepak bola gajah mereka masih tetap kuat. buktinya mereka menggasak PSMS 2-0 di laga awal, menggasak Persipura 4-2, lalu menyikat Persiba 1-0 meski sempat bermain adu tensi lawan Persib 3-3. Akhirnya Persebaya bisa bermain santai 0-0 lawan Persija untuk menjejak Grandfinal. Aku setuju!

Oh iya, di tengah berkobarnya Kompetisi 6 besar, ada pertandingan tinju kelas berat antara Mike Tyson vs Tony Tubbs, laga dilangsungkan pukul 10.00 WIB. Setiap orang, termasuk di Indoneisa, tidak akan melewatkan laga idola masyarakat dunia, Mike Tyson, si Raja KO.

Demi, Mike Tyson rapat penting di kantorku bisa di break dulu oleh boss agar pesereta rapat tidak kepikiran, malah disediakan TV di aula pertemuan.

Aku sudah janjian dengan teman-teman kampung untuk Nobar Mike Tyson di Ngagel Tirto, tetapi sampai pukul 09.30 pekerjaanku belum kelar juga, pesan bos, boleh nonton, tapi selesaikan dulu tugasnya. Ketika kantor sepi ditinggal nonton, aku terpaksa “Nyelintung” dikarenakan tugasku masih belum kelar, tapi tinjunya keburu main.

Maka, dari Gayungan PTT aku ngebut dengan Honda Astrea menuju Ngagel Tirto. Tapi nahas, di depan stasiun Wonokromo seorang remaja Tionghoa gugup dan menabrakku, aku tak bisa menghindar “Braakkk!!!” kulihat jempol kakiku retak, kukunya “Njengat keluar” mandi darah dan aku harus digotong ke RSAL Dr. Ramelan Wonocolo. Langsung ke UGD.

Sakit sekali waktu diinjeksi obat pemati rasa (bius lokal) dan kemudian aku dijahit. Ketika kereta dorongku melewati lorong yang ada pesawat TV-nya, kulihat pertandingan tinju sudah selesai dengan kemenangan KO Mike Tyson. Owalah-walah.

Teman-teman kantor mem-bezoek-ku, “Mangkane tha, marekno dhisik kerjoan kantor, baru nontok Maik Tesen.” Goda mereka sambil tertawa, sementara aku terkapar di ranjang cuman bisa nyengir kuda.

Ketika semua mendaftar ikut tret-tet-tet ke Senayan, aku tidak berdaya dengan kaki dibalut perban dan masih dalam taraf penyembuhan, padahal aku ingin merayakan Persebaya Juara bersama segenap Suporter Persebaya dari segala penjuru tanah air, namun apa daya, aku kudu puas hanya nonton dari layar TV. “Kabeh iki gara-gara Mike Tyson!!!”

Hati ini belum yakin juara meski Budi Johanis sukses dengan penaltinya, terbukti Persija bisa menguasai permainan bahkan bisa meng-equal skor (1-1). Ketika tendangan Mustaqim tak mampu diantisipasi kiper Agus Waluyo, lalu Yongki Kastanya kembali memperdayainya, 3-1

Goooooolllll …..aku berjingkrak-jingkrak di depan TV lupa akan nyeri yang mendera jempol kakiku, aku sudah bisa tersenyum lega menyaksikan Persebaya membawa kembali Piala yang sempat “Dipinjam” PSIS setahun lalu. Cukup 1 tahun saja PSIS meminjamnya.

Owalah nasibku, ketika 1987 aku hadir di senayan, Persebaya kalah, ketika 1988 ini aku tidak bisa hadir, justru Persebaya Juara.

Persebaya kembali menjadi Raja 1988, sama seperti saat aku masih kelas II SMP dulu, sama-sama hanya bisa nonton dari TV. Namun tidak mengurangi perasaan gembira dan bangga.

PERSEBAYA: I gusti Putu Yasa (k), Usman Hadi, Muharom Rusdiana, Subangkit, Aries Sainyakit (Anis Fuad), Nuryono Hariyadi (c), Yongki Kastanya, Budi Johanis, Maura Helly, Mustaqim, Syamsul Arifin. Pelatih: Misbach-Koesmanhadi, Manager: H. Agil H. Ali.

Tahun 1988 benar-benar merupakan tahun “Pesta Bola” bagi rakyat Surabaya dan Jawa Timur, banjir prestasi. Persebaya Juara Divisi Utama Perserikatan, lalu menyusul NIAC Mitra menjadi Juara Galatama untuk ketiga kalinya dengan skuad yang diisi oleh Benny van Breukelen, Hanafing, Yessi Mustamu, Jaya Hartono, Kusnan, Joko Slamet, Muhammad Al Hadad, Freddie Mulli, Eduardo Mangilomi, Wawan Dharmawan, Abdul Khamid dan banyak lagi, dengan tetap M. Basri sebagai entrenador.

Perserikatan dikuasai, Galatama dikuasai, tak ketinggalan, kompetisi antar klub pun dikuasai kala Suryanaga tampil sebagai Juara, sayangnya, aku lupa klub apa yang menjadi pesaing dan berapa skor yang dihasilkan. Mungkin konco-konco bisa membantu?

Sama dengan 10 tahun lalu, sukses Persebaya menjadi Juara berdampak banyak, jika dulu Persebaya membangkitkan gairahku untuk menjadi pemain nasional, kini hanya membawa gairah bersepakbola bersama rekan sekantor.

Kebetulan, Manajemen mengadakan kompetisi antar Instansi se Surabaya, ada 5 tim, Kantor Wilayah (dimana aku berdinas), tim Kantor Surabaya Selatan, Surabaya Utara, Kantor Interlokal, dan Kantor Telegraph-Telex.

Oh, inikah anugerah yang diberikan Allah kepadaku? Aku bisa main bersama beberapa ex pemain Persebaya Yr jaman Old yang bekerja di kantorku. Aku sudah cukup puas sekedar memperkuat kesebelasan kantor, meski tak bisa berdiri di bawah mistar Persebaya atau PSSI seperti dulu cita-citaku semasa anak-anak. Alhamdulillah, semua patut aku syukuri.

Rekan-rekan sekerja, meskipun tidak dikenal publik, dulunya pernah memperkuat Persebaya, Persema, PSBI dan beberapa klub lainnya. Tendangannya masih yahud, tekniknya masih ok, dan yang jadi kiper, meskipun sudah tua, tapi tangkapannya masih lengket. Mereka tak mau kalah dengan aku yang masih 24 tahun, yang sebenarnya masih usia emas di sepak bola.

Singkat cerita, aku dan timku berhasil masuk final yang diadakan di lapangan milik PT SIER Jl Rungkut Industri, penontonnya cukup banyak, termasuk beberapa legenda Persebaya yang kebetulan sore itu latihan disana, ada Aser Mofu, ada Johny Fahamsyah, Joko Irianto dan lain-lain, termasuk kiper Putu Yasa yang hanya nongkrong.

Lawan kami adalah kantor Surabaya Utara dengan skor akhir 1-1, kembali untuk kedua kalinya aku menjalani adu penalti, tetapi kali ini aku tidak berkhayal menjadi Ronny Pasla, dan hasil adu penalti adalah 4-4, masing-masing satu kali gagal. Karena menjelang Maghrib, tidak diteruskan ke Sudden Death, sebaliknya wasit melempar koin undian guna menentukan siapa juaranya, dan Surabaya Utaralah yang bernasib baik.

Selamat kepada Surabaya Utara!! Selamat untuk Suryanaga, selaat untuk NIAC Mitra dan terlebih-lebih, selamat untuk Persebaya Green Force Surabaya. (bersambung)

*) Penulis: Eko Wardhana, Pensiunan BUMN yang tinggal di Sawojajar, Malang.

The post Persebaya, Kenangan Masa Bujang: Sepak Bola Gajah, Mike Tyson, dan Treble Winner (17) appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
13215
Persebaya, Kenangan Masa Remaja: Ronny Pasla (15) https://emosijiwaku.com/2018/01/01/persebaya-kenangan-masa-remaja-ronny-pasla-15/ Mon, 01 Jan 2018 03:01:10 +0000 http://emosijiwaku.com/?p=13175 Antara tahun 1980 sampai 1986, aku sama sekali tidak pernah menyaksikan laga Persebaya secara langsung di stadion seperti dulu, terkecuali membaca beritanya di koran atau majalah. Pesona NIAC Mitra terlampau menyilaukan, membludaknya jumlah penonton di setiap laga home maupun away, tidak menyisakan sejengkalpun tempat duduk. Semua itu membuat suporter sejenak melupakan Persebaya.

The post Persebaya, Kenangan Masa Remaja: Ronny Pasla (15) appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
Antara tahun 1980 sampai 1986, aku sama sekali tidak pernah menyaksikan laga Persebaya secara langsung di stadion seperti dulu, terkecuali membaca beritanya di koran atau majalah. Pesona NIAC Mitra terlampau menyilaukan, membludaknya jumlah penonton di setiap laga home maupun away, tidak menyisakan sejengkalpun tempat duduk. Semua itu membuat suporter sejenak melupakan Persebaya.

Menang dengan skor-skor besar, bahkan sampai 14-0 menciptakan euforia, dihiasi bintang baru berjuluk “Raja Udara” atau “Si Kepala Emas” yang bisa mencetak puluhan gol. Setiap posisi diisi oleh nama-nama tenar, meski bukan pemain asing ala Pardedetex (Steve Tomb dan Paul Smith). Gerombolan penyerang seperti Syamsul Arifin, Sunardi Rusdiana, Joko Malis, dan Dullah Rachim merajalela bagai pasukan Panzer di masa Perang Dunia-II, ganas!

Mereka adalah “Raja Galatama” baru, menumbangkan raja sebelumnya (Warna Agung).

Di kala aku berangsur-angsur mulai melupakan cita-cita menjadi seorang kiper, barulah aku ditakdirkan Allah bisa menyaksikan dari dekat kiper idolaku Ronny Pasla hadir langsung di Tambaksari.

Beliau tetap memperkuat IM, sayang sekali aku tidak mendapatkan tempat di belakang gawang Ronny Pasla karena penonton yang membludak sampai sintelban setengah jam sebelum laga, aku akhirnya mepet di pagar kawat ram-raman persis di garis tengah.

Melihat langsung sang idola kali pertama sejak 5 tahun lalu (final legendaris PSSI Pre Olympic vs Korea Utara), terasa sangat sensasional.

Berdebar hatiku saat menatap gerombolan pemain IM keluar dari kamar ganti dengan putih-merah sebagai seragam. Di antara mereka, ada pria gagah, tinggi besar beraura, berlari-lari menuju lingkaran tengah, kaus lengan panjang biru tua, celana pendek dan kaus kaki hitam serta ber-decker lutut. Meski lawan, mereka mendapatkan applaus meriah dari penonton. Apalagi ketika MC Supangat (?) membacakan susunan pemain.

“Pertama, akan kami bacakan susunan kesebelasan tamu kita, IM Galatama sebagai berikut, … penjaga gawang… sengaja diberi jeda beberapa detik …Ronny … Paslaaaahhh….!!”

Gemuruh tepuk-tangan seantero Gelora 10 November bergema, seakan applaus pada pemain sendiri. Itu tandanya, Ronny Pasla dikagumi masyarakat bola, termasuk publik Tambaksari, dan itulah bentuk penghormatan kepada pemain tamu yang paling meriah yang pernah aku saksikan. Kepada pemain AC Milan pun (1994) sambutan publik tidak semeriah itu.

Sore itu Ronny Pasla bermain cemerlang, kalau tidak entahlah nasib IM. Tidak mengapa Ronny Pasla akhirnya tunduk oleh sundulan kepala Joko Malis dan IM kalah 0-1. Ronny Pasla terbang menyambut tendangan Dullah Rachim, tapi bola itu kena mistar gawang, bola rebound itu disambut kepala Joko Malis yang tidak terjaga.

Dikabulkan melihat langsung Ronny Paslah dan NIAC Mitra menang… Puas dobel!!

Kepuasan lain yang menyenangkan adalah aku berhasil juga lolos tes masuk ke SMA Negeri 3 Surabaya, meninggalkan SMA Swasta dengan menunggak 6 bulan SPP, karena bapak sudah tidak mampu membayar iuran sebesar Rp 4.400, berapa itu kalau dikalikan?

“Istilah kriminalnya, aku ngemplang 6 bulan SPP ke SMA Tritunggal II, di mana seharusnya aku memohon maaf kepada TU mereka, tapi luput aku lakukan, karena takut ditagih dan saking leganya hati diterima di SMA Negeri yang SPP nya murah.”

Kembali membahas NIAC Mitra… mereka makin berkuasa di musim ke III (1982-1983) saat merekrut 2 pemain asing dari Singapura, yaitu Fandi Ahmad Syafei dan David Lee sebagai pengganti Purwono yang lebih banyak di PSSI, mendudukkan Hendriks Montolalu sebagai cadangan. Entahlah, mengapa mengontrak pemain dari negara yang level sepakbola internasionalnya di bawah Indonesia (saat itu), bukan dari Eropa atau Amerika latin.

Ternyata, naluri pelatih M. Basri + Wenas terbukti berhasil gemilang, NIAC Mitra bersama Fandi–David kembali menduduki Singgasana Juara. Di tiga laga akhir mereka menggasak UMS’80 dengan 4-0 dengan salah satu gol volley Fandi Ahmad yang bakal terus diingat publik Surabaya, lalu menaklukkan IM 2-0 dan terakhir di Senayan mengalahkan Arseto 2-0.

Saat mengalahkan IM 2-0 itulah untuk kedua kalinya, aku kembali menyaksikan Ronny Pasla hadir di Surabaya. Bahkan bisa lebih dekat, karena aku nonton dari tribun VIP (saat itu aku bertugas sebagai penjual karcis di loket). Kini, Ronny Pasla harus dua kali dijebol Fandi Ahmad (?) dan Yance Lilipaly, gol Yance Lilipaly bahkan sangat buruk. Bola bergulir lurus di rumput basah, tidak terlalu keras, tetapi entahlah, begitu akan didekap, mendadak bola itu terlompat seperti terkena gundukan tanah, lolos dari dekapan Ronny Pasla dan…Gol!!

Ketika laga usai, aku menunggu Ronny Pasla dari atas pintu lorong ganti. Beliau datang sambil berbincang dengan staf IM (tentang gol kedua), semua orang yang berdesakan di atas lorong (termasuk aku) meneriakkan namanya…”Ronny!! Ronny!! Ronnyyy!!!” Ronny Pasla berhenti sejenak melihat ke atas, tersenyum, melambaikan tangan dan terus berlalu.

Tidak sampai setengah menit, tapi momen itu amat berbekas di dalam hati, dan itulah terakhir kali aku melihatnya secara langsung. Alhamdulillah!! Kalau di zaman Now, histeria seperti itu biasa terjadi pada kehadiran Lionel Messi atau Cristiano Ronaldo. Waktu itu belum ada HP bercamera, bahkan camera pun jarang ada yang bawa ke stadion, kecuali wartawan foto, oleh karenanya, tidak terpikir olehku untuk minta berfoto selfie bareng Ronny Pasla.

Sepanjang berkibarnya NIAC Mitra, aku lebih banyak nonton sendirian, aku kehilangan dua sahabatku yang dulu sama-sama bercita-cita menjadi pemain bola Nasional, Basuki dan Suryanto. Basuki ‘HILANG’ di gunung Welirang ketika kami, siswa SMA 3 camping dan mendaki ke puncak, 28 Desember 1982, sedangkan To (Suryanto) banting setir menjadi sopir L-300 jurusan Surabaya-Malang, tuntutan ekonomi tidak bisa dihindarinya.

Kenangan terindah bersama keduanya adalah ketika kami, IM Remaja beruji-coba melawan PS Putri Setia, yang para pemainnya mendominasi skuad Persebaya Putri.

Kebetulan hujan membasahi lapangan IM sebelumnya sehingga lapangan becek. Karena melawan tim cewek teman-teman lalai mencetak gol, tampak lebih banyak berkutak-kutik menggoda cewek-cewek itu yang lebih pantas sebagai kakak, atau sengaja body charge, bahkan banyak yang main sliding tackle, sehingga kalau cewek-cewek itu terjatuh, akan menimpa tubuhnya. Kecuali aku karena posisiku kiper. Ini semua jadi bahan tertawaan penonton. Akhirnya pak Ismanu menghentikan uji coba itu, membariskan kami seraya marah-marah.

“Maksud uji coba ini ya untuk adu ketrampilan walau mereka cewek, koq malah kalian main-main, dasar pikiran kalian CABUL semua!!! sedikit-sedikit sliding tackle…” sindir pak Ismanu.

Kami hanya bisa menundukkan kepala, Basuki dan To tidak dapat menahan senyum nakalnya. Kini, keduanya tidak bersama aku lagi.

Bagaimana dengan Persebaya?

Setelah masa Hibernasi berlangsung tahun 1980 sampai 1982, Persebaya dengan Hartono sebagai Goalgetter, sempat tampil perkasa di Kompetisi Divisi Utama 1983, bahkan sampai 4 besar di Senayan, sayang di laga pamungkas Persebaya terjungkal gol Suherman (PSMS), jika menang, Persebaya akan tampil di grandfinal.

Hehehe, sejarah sudah menggariskan, Persib-PSMS yang menghiasi final 1983.

Hanya saja, kegemilangan Persebaya 1983 itu masih belum bisa menandingi pesona NIAC Mitra, sehingga tidak begitu melekat dalam memory masyarakat umum. Saat itu muka lama hanya tinggal beberapa, semisal Hartono dan Subodro, lainnya diisi muka-muka baru seperti Ferril Raymond Hattu, Budi Juhanis, Djudjuk Darmanto, Sasono Handito, Usman Hadi, maupun Yongki Kastanya.

Memperhatikan nasib bahwa Sasono Handitolah yang sampai di skuad Persebaya senior, sedang Mustofa dan kiper yunior lain menghilang, dari situ aku makin yakin bahwa seorang kiper mutlak membutuhkan keunggulan fisik minimal 175 cm, kalau perlu 182 cm seperti Ronny Pasla, tidak hanya tinggi, tapi juga berisi dan berotot.

Dengan demikian, sudah sampailah kepastian pada diriku bahwa cita-cita menjadi kiper terkenal 99,99% …sudah SIRNA.

Balas dendam atas kekalahan menyakitkan tahun 1976 tidak akan terealisasi meski sebatas mimpi, apalagi untuk berangkat menuju Olimpiade, lupakan semua. Aku juga lupa, kapan terakhir kali aku menginjakkan kaki di lapangan IM yang gersang sebagai seorang kiper.

Tetap berjalan tegak, menyongsong masa depan. You’ll Never Walk Alone. (bersambung)

*) Penulis: Eko Wardhana, Pensiunan BUMN yang tinggal di Sawojajar, Malang.

The post Persebaya, Kenangan Masa Remaja: Ronny Pasla (15) appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
13175
Persebaya, Kenangan Masa Remaja: Hibernasi (14) https://emosijiwaku.com/2017/12/29/persebaya-kenangan-masa-remaja-hibernasi-14/ Fri, 29 Dec 2017 05:14:44 +0000 http://emosijiwaku.com/?p=13146 Tahun 1979 berlalu via serangkaian kenangan pahit, sumpek bener, Persebaya hancur lebur dan PSSI Sea Games “Tak Mampu” membalas sakit hati masyarakat bola akan perlakuan Malaysia di Sea Games 1977. Justru kita dipermalukan 0-1 oleh Soh Chin Aun dkk di partai final, padahal skuad PSSI didominasi oleh banyak pemain NIAC Mitra.

The post Persebaya, Kenangan Masa Remaja: Hibernasi (14) appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
Tahun 1979 berlalu via serangkaian kenangan pahit, sumpek bener, Persebaya hancur lebur dan PSSI Sea Games “Tak Mampu” membalas sakit hati masyarakat bola akan perlakuan Malaysia di Sea Games 1977. Justru kita dipermalukan 0-1 oleh Soh Chin Aun dkk di partai final, padahal skuad PSSI didominasi oleh banyak pemain NIAC Mitra.

Divisi Utama PSSI 1980 sinarnya tertutup gemerlapnya Galatama. Hal itu bisa dimaklumi, karena nama-nama besar yang biasa menghiasi klub perserikatan sebagian besar sudah hijrah ke Galatama. Ditambah surutnya klub-klub legendaris berbasis Suporter besar seperti Persebaya, PSMS, PSM dan Persib (saat ini di Divisi 1). Persebaya bahkan tak pernah menang di 6 besar. Grandfinal diraih oleh (maaf) tim yang tidak punya banyak suporter, yaitu Persiraja dan Persipura. Meski tetap menarik, tapi tidak lama kemudian final itu segera dilupakan orang.

NIAC Mitra tumbuh kuat, tapi tidak lantas menjadi Raja Galatama, kalah berpacu oleh Warna Agung, IM, dan Jayakarta karena beberapa kekalahan yang tidak perlu. Kalahnya pun dari tim-tim medioker, misalnya keok 0-1 dari Perkesa78, kalah 1-2 dari Jaka Utama. Hanya Warna Agung klub besar yang bisa menekuk NIAC Mitra (1-0, gol Victor Je Turangan).

NIAC Mitra masih punya peluang Juara jika mampu mengalahkan IM…

Nah, saat NIAC Mitra harus menjamu IM di Surabaya, aku kembali berharap bisa melihat Ronny Pasla secara langsung (skorsing Ronny diubah) tetapi untuk ke sekian kalinya, keinginan melihat kiper terbaik PSSI itu harus berakhir kecewa, ternyata yang diturunkan IM seorang kiper kecil dengan pakaian kedodoran. Sudah tua, lagi.

“Kipere IM sopo iku? gak potongan kiper, kaose klombrot-klombrot pisan,” kata Surya.

Sudah kecewa Ronny Pasla tidak main, aku dan publik Tambaksari kecewa lagi tatkala harus menyaksikan idola masyarakat Jawa Timur, Hadi Ismanto mengenakan Jersey IM Putih Merah, sedang melakukan pemanasan. Tapi tak ada caci-maki, tidak ada yang melempar benda, semua penonton terdiam dan menaruh hormat atas pilihan bintangnya itu.

Kekecewaan kian bertambah kala Hadi Ismanto dua kali menjebol gawang Hendriks Montolalu melalui eksekusi penalti dan sundulan tipis yang menipu. “Ah, andai Hadi Ismanto membela NIAC Mitra, betapa kuatnya…, ya, sudahlah!” Gol hiburan NIAC Mitra dihasilkan Joko Malis yang melewati para bek IM, sekaligus mengecoh kiper tua IM yang sore itu tampil gemilang, dia ternyata sudah dikenal sebagai Judo Hadijanto.

IM Jakarta menang 2-1.

Tahun 1980 itu aku sudah 16 tahun, tapi pertumbuhan tubuhku lamban, baru 167 cm, jauh dari layak untuk posisi sebagai kiper. Tapi aku berfikir “Kalau kiper kecil seperti Judo Hadijanto bisa menjadi kiper PSSI, berarti akupun bisa meski tidak setinggi Ronny Pasla.” Aku masih semangat berlatih, sebab kata orang masih bisa tinggi lagi, yang aku fikirkan hanya GIZI, karena terus terang saja, aku (maaf) jarang mendapat asupan gizi yang memadai, ekonomi kami tak memungkinkan. Padahal pak Ismanu, pelatih IM sudah mewanti-wanti untuk memperhatikan Gizi makanan. “Ojok mangan iwak kerupuk karo kecap thok ae,” kata beliau.

Sejatinya, sejak terpilih di remaja IM, aku sudah menyisihkan beberapa kiper belia sainganku seperti Bambang, Asyik, Siswadi, Albert, Madjid. Tetapi di tahun 1980 ini ada arek Sidoarjo masuk IM sebagai kiper baru, namanya Sunaryo, tinggi kekar dan lincah, aku mulai tersaingi. Apalagi dalam beberapa latih tanding melawan PSAD dan Assyabaab, aku membuat blunder.

Pada suatu kesempatan, kami, IM remaja diminta Panitia bertanding melawan Assyabaab remaja sebelum NIAC Mitra melawan Sari Bumi Raya (atau pertandingan yang lain?, lupa), Tanganku merasa kaku karena tidak diberi waktu warming-up oleh panitia, langsung main, hingga aku tampil grogi di depan belasan ribu penonton yang memadati Gelora 10 November.

“Oh, begini rasanya tampil ditonton ribuan orang.” Sebersit rasa bangga menyelinap dalam hati, tapi sebuah tendangan jarak jauh tiba-tiba melesat ke gawangku, aku kaget!! Dan berusaha menjangkau bola, tapi tidak kuasa menahannya, Gol !!

Kami dikalahkan Assyabaab 0-1 hanya karena kecerobohanku. “Hei kiper, nek tanding mata ne ojok ndlereng ae…” begitu pak Ismanu menghardikku, tajam dan aku hanya mampu terdiam di ruang ganti. Sejak itu perlahan tapi pasti, Sunaryo mulai mengambil alih pilihan pertama kiper.

Ketika kelasku, II D bertanding sepak bola melawan kakak kelas III A di lapangan Hockey Dharma Husada, aku ditabrak lawan, terjatuh, dan cidera, seperti ada yang salah di lenganku, tetapi karena ketiadaan biaya, maka cedera itu dibiarkan saja tanpa ada dokter atau tenaga medis yang memeriksa, sehingga hampir sebulan aku tidak bisa berlatih.

Dasar nasib, begitu lenganku membaik, sepatu bolaku harus direparasi (dijahit) karena tidak mungkin membeli baru. Padahal sepotong celana jean KW punyaku sudah “Kusekolahkan” di pasar loak Jl Gembong Tebasan, lokasi tercinta. Tapi uang hasil jual celana itu tetap tidak cukup untuk membeli sepatu bola yang bekas sekalipun.

Rudi menghiburku, “Koyok gak weruh wong Rombeng ae, nek dodol cik larang e, cobak giliran awak e dewe sing dodol, mesti ditawar murah, gak mbejaji.”

“Apakah aku harus gagal menggapai cita-cita ?” tanya hatiku, sejak itu duniaku mulai memasuki alam kekecewaan dan merana, layaknya film drama kesedihan. Di IM aku mulai kalah bersaing dan lenganku cedera, sepatu tidak bisa dipakai, tinggi tubuh mandeg di 167 cm.

Ada lagi hambatan baru… “Aku menunggak iuran bulanan di IM.”

Karena tidak latihan, Minggu pagi aku, Suryanto dan Basuki menuju lapangan Karang Gayam, mendengar ada kabar dilaksanakan seleksi Persebaya Yunior, banyak kakak kelas di IM yang mendapatkan panggilan seleksi. Istilah zaman Now, seleksi Persebaya untuk Kompetisi U-19.

Disana aku tertegun melihat bagaimana seleksi khusus kiper, sekitar 5 kiper yang diseleksi, ada yang bermain, ada yang tes skill, ada yang drill Ausdauer, 3 di antaranya tinggi untuk ukuran kami saat itu. Aku langsung minder karenanya, karena tinggi tubuh dan karena komplitnya perlengkapan kiper mereka, setiap mereka sudah dilengkapi sarung tangan, decker lutut, decker perut, pelindung tulang kering dan sepatu mereka… sudah bisa dilihat dari jauh, ADIDAS!

Di situ aku bertemu Yusdi Ramli, teman sekelas SMP 8 yang mengikuti ayahnya, Aboe Ramli, melihat seleksi Persebaya Yunior. Yusdi mengenalkan seorang kiper yang tidak tinggi, sedang di tes kemampuan terbangnya. Pelatih meminta 4 remaja tengkurap di tanah, berjajar seperti parkir mobil. Kiper itu diminta menangkap bola sambil terbang melintasi ke-4 remaja tadi, luar biasa! sejujurnya, kondisi saat itu aku belum seterampil itu. “Iku kiper PSAD ko,jeneng-e Mustofa, arek Sidoarjo, delok en nek terbang.”

Yusdi melanjutkan “Sing rambute ngombak iku, sing dhuwur, jenenge Sasono Handito, arek Gresik, teko Assyabaab.” Dia kiper yang amat ideal, fikirku. Dan memang, Sasono Handito ini akhirnya terpilih menjadi kiper utama Persebaya Yr untuk ke Piala Suratin 1980 walaupun akhirnya dikandaskan PSMS Medan.

Pergumulanku dengan sepak bola yang amat menyita seluruh waktu dan perhatian, menyebabkan aku GAGAL dalam studi. Yah, ketika semua teman-temanku berhasil lolos masuk SMA Negeri aku termasuk yang tidak diterima di SMA Negeri 7 Jl Ngaglik. Lengkap sudah derita yang aku harus alami.

Akhirnya, aku harus bersekolah di SMA Tritunggal II Jl Bronggalan Sawah. Nelongso aku disana, tetapi ada enaknya, banyak teman penggila bola.

Semua hal itu (blunder, lengan cedera, fisik kurang memadai, menunggak iuran dan tidak mampu membeli sepatu bola), menjadikanku stress lalu sering termenung. Meski aku tak punya teman curhat, tetapi ada saja yang ikhlas memberi nasehat “Kabeh iki wis nasibmu, koen wis berusaha masiyo gak berhasil… wis, sinau ae sing sregep… bal-balan duduk jodohmu.”

Aku tak ingat, sudah berapa lama aku tidak lagi berlatih di lapangan PJKA.

Beberapa teman di SMA Tritunggal II memberi solusi “Coba posisi lain ko, siapa tahu kamu ada bakat disalah satunya…” tetapi setelah aku mencoba, ternyata aku tidak berbakat sama sekali, aku lemah dalam men-dribble, bahkan tidak bisa juggling, demikian pula ketika mencoba posisi bertahan, aku lemah duel udara, bisanya hanya intercept dan main sapu bersih.

Tapi yang paling mendasar adalah, sebenarnya hatiku tidak kemana-mana, hatiku hanya ingin berada di bawah mistar gawang, itu saja. Mencoba melompat terbang menangkap bola, atau berjibaku dengan para penyerang. Di sana aku merasa puas.

Apa yang bisa dicatat di tahun 1980 tentang kegembiraan sepak bola, Persebaya?, masa depanku di sepak bola?, semuanya boleh dikata hancur, sehancur nasib PSSI Pre Olympic 1980 yang lagi dihajar oleh Malaysia, dihajar Korea dan Jepang. Bahkan yang lebih mengenaskan, dihajar juga oleh tim gurem, Brunei Darussalam.

Meski tidak ada berita yang menyenangkan hati, aku menganggap semua ini sekedar Hibernasi, “Kau tahu apa itu hibernasi…?”

Persebaya akan tertidur, tetapi tidak akan tidur panjang, hanya hitungan musim, demikian pula soal masa depanku, aku hanya tenggelam dalam tidur, nanti ketika bangun, Persebaya akan menjadi kuat kembali dan berjaya. Demikian juga aku.” (bersambung)

*) Penulis: Eko Wardhana, Pensiunan BUMN yang tinggal di Sawojajar, Malang.

The post Persebaya, Kenangan Masa Remaja: Hibernasi (14) appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
13146
Persebaya, Kenangan Masa Remaja: Hancur Lebur (13) https://emosijiwaku.com/2017/12/28/persebaya-kenangan-masa-remaja-hancur-lebur-13/ Thu, 28 Dec 2017 07:44:54 +0000 http://emosijiwaku.com/?p=13142 Tahun sudah berganti dari 1978 ke 1979, ketika aku pulang dari sholat Jumat di Masjid Al Abror, Jl Simolawang, sambil melirik kios penjual koran yang memajang koran Kompas dan Jawa Post. Di situ ditulis “Simpson Akan Kawal Abdul Kadir.”

The post Persebaya, Kenangan Masa Remaja: Hancur Lebur (13) appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
Tahun sudah berganti dari 1978 ke 1979, ketika aku pulang dari sholat Jumat di Masjid Al Abror, Jl Simolawang, sambil melirik kios penjual koran yang memajang koran Kompas dan Jawa Post. Di situ ditulis “Simpson Akan Kawal Abdul Kadir.”

Sebentar malam Persebaya sudah ditunggu Persija yang gemas karena dua kali dipecundangi Persebaya di laga resmi. Bila dulu final 1977 Persebaya diragukan, malah bisa menang, kini justru Persebaya dalam posisi diunggulkan oleh sebagian besar pecandu dan petaruh.

RRI jakarta melaporkan malam itu, sama seperti dulu-dulunya, Persija unggul dulu 1-0, kali ini Andilala yang dijadikan starting oleh Janota mencetak gol pembuka. Kami semua suporter pendengar tidak cemas dan tidak panik, sangat percaya Persebaya akan membalas. Terbukti, Joko Malis sukses menjebol gawang Persija yang dijaga kiper baru Endang Tirtana, membuat skor 1-1, kini kami tinggal menunggu gol kedua.

Ketika Dede Sulaiman mencetak gol kedua Persija, kami belum juga diselimuti kecemasan. Dulu waktu final 1977 juga ketinggalan dua kali, toh selalu bisa menyamakan skor dan malah menang. Ketinggalan 1-2 itu biasa, walau Persebaya tidak juga segera membalas. Ketika bek kiri Johanes Auri mencetak gol ketiga Persija, kami tersentak, wajah cerah berubah muram, skor 1-3, Persebaya tidak pernah tertinggal dengan margin 2 gol.

“Jamput, ketinggalan 3-1 rek…wah, angel iki,” keluh Rudi, yang lain hanya terdiam.

Dengan susah payah Sunardi Rusdiana membangkitkan asa Persebaya, dia membuat skor jadi 2-3, Persija masih leading. Ketika di sisa waktu 20 menit Persebaya tidak juga menyamakan skor, barulah kami tersadar, Persebaya kalah 2-3, baru aku sadar bahwa Simpson berhasil mematikan gerak Abdul Kadir, seperti yang dia janjikan di koran.

King Tek, tetangga Tionghwa masih tersenyum “Gak popo, kalah tipis, Persibaya jik mimpin klasemen.” Benar juga, pikirku.

Kejutan besar terjadi di laga kedua, Persebaya dipecundangi Persiraja Banda Aceh 1-3, skor yang telak. Aku mengikuti siaran pandangan mata RRI itu seakan tanpa bernafas mendapati gawang Suharsoyo sudah jebol di menit awal dan kemudian terkena hukuman penalti. Apalagi kiper Suwarto dilaporkan bermain amat gemilang di bawah bombardement belasan roket dari para penyerang Persebaya. Suwarto menjadi tembok bagi peluang gol Persebaya. Tetapi Persebaya masih memimpin klasemen karena Persija kalah 1-2 dari PSM.

Tapi kalah dua kali beruntun setelah menjadi Raja di putaran I jelas itu suatu pukulan telak. Padahal lawan berikutnya cukup kuat, PSMS Medan, satu-satunya tim yang belum terkalahkan. “Persebaya kudu menang rek, nek gak iso menang…Wassalam.” begitulah situasinya.

Andai saja radio itu milikku tentu aku sudah membantingnya, bagaimana tidak, babak I belum kelar Persebaya dihajar 0-3 oleh PSMS, untungnya radio itu punya lik Supi’i. Gol Joko Malis diujung babak I tidak membuat lega hati kami. Beberapa teman yang tidak seberapa suka bola beranjak meninggalkan radio. Bagaimana ini? semoga di babak II Persebaya bangkit.

Bukannya bangkit, malah Suwarno membuat gol menjadikan PSMS leading jauh 4-1, musnah sudah harapan. Kesialan bertambah, Riono Asnan tergeletak, wajahnya kena bola tendangan keras Zulham Effendi, malah bola itu berbelok masuk gawang Suharsoyo, gol. Tidak pernah Persebaya tertinggal sampai 1-5. Ada apa ini? dimanakah Persebaya yang gagah perkasa ?

“Mulih, mulih!…mbojai,” teriak Suryanto bersungut-sungut meninggalkan tempat Nobar (Ngrungokno Bareng).

Tindakannya diikuti anak yang lain dan akhirnya kami semua bubar dengan kesal ketika laga belum berakhir, dan baru tahu skor akhir keesokan harinya, Persebaya dihajar PSMS 2-5 dan langsung dikudeta dari puncak tabel klasemen. Persebaya hancur. Tiga kekalahan beruntun.

Setelah malam itu, Persebaya resmi “Kehilangan Gelar” ketika PSM dan Persiraja gagal menang atas Persija dan PSMS, bahkan kalah, Persebaya pun melorot ke urutan III, berapapun nanti Persebaya bisa mengalahkan PSM di laga terakhir tidak akan menolong. Jangankan menang, bahkan PSM, tim terlemah di Divisi Utama, ikut-ikutan mempecundangi Persebaya dengan skor tipis 2-1.

Persebaya hancur sehancur-hancurnya, 4 kali tanding, kalah terus.

Aku yang rajin membaca koran dan mengikuti Dunia Dalam Berita TV, mendadak melakukan “Puasa” baca dan nonton TV. “Gawe opo moco koran? Nggarai mangkel ae.” Tapi namanya saja gila bola, aku masih pingin menyaksikan laga terakhir antara PSMS vs Persija yang seperti final, karena tinggal keduanya yang masih punya asa menjadi Juara PSSI.

Marek Janota tidak mengulangi kesalahan tahun 1978 lalu dengan mencadangkan Andilala, atau mengganti Endang Tirtana yang bermain bagus dengan Sudarno?. Terbukti Andilala mencetak satu-satunya gol kemenangan Persija ke gawang Taufik Lubis, untuk mengantarkan Persija meraih mahkotanya yang hilang. PSMS yang hanya butuh seri, terpaksa gigit jari.

Persija 8 – 5 – 1 – 2 15-8 11 *) Juara.
PSMS 8 – 4 – 3 – 1 20-14 11
Persebaya 8 – 3 – 1 – 4 17-16 7
PSM 8 – 2 – 2 – 4 10-18 6
Persiraja 8 – 1 – 3 – 4 7-13 5

Entah apa yang terjadi di dalam tubuh Persebaya, penampilan gagah perkasa di putaran pertama berubah 180° di putaran kedua yang diawali dengan penuh optimisme. Apakah ada isu suap? atau ada pengaturan skor? aku sama sekali tak mendengar dan percaya isu itu. Ataukah Persebaya dan pendukungnya terlalu sombong dan over confident?

Kekecewaan mendalam, sakit hati dan alergi membaca berita membuat aku tidak ingat, kapan lagi aku menyaksikan Persebaya bermain sebagai sebuah tim setelah hancur di kompetisi 1978-1979. Skuad Persebaya tahun 1970 an adalah salah satu skuad “Terkuat” sepanjang sejarah walau tidak bergelimang prestasi. Tim ini sudah mulai tumbuh perkasa sejak awal tahun 1970-an. Mereka adalah skuad yang melegenda dengan nama-nama besar.

Berarti, itulah terakhir kali aku mendengar mereka masih satu tim, karena setelah itu, para pemain Persebaya menapak jalan sendiri-sendiri bersamaan digulirkan Kompetisi Galatama.

Sunardi Rusdiana dan Budi Riva hijrah ke Warna Agung, Abdul Kadir ke Arseto, Johny Fahamsyah ke IM Jakarta dan sebagian besar pemain hijrah ke NIAC Mitra seperti Riono Asnan, Hamid Asnan, Wayan Diana, Rudy William Keeltjes, Joko Malis, Suyanto, Samun Reza, Yudhi Suryata bergabung dengan pemain Mitra seperti Syamsul Arifin, Budi Aswin, dan Hendriks Montolalu serta boyongan 4 pemain PSM, Yusuf Male, Malawing, Yance Lilipaly dan Dullah Rachim. Yang masih tinggal yaitu Suharsoyo, Subodro, Waskito dan Rusdy Bahalwan karena mereka adalah PNS.

Bagaimana dengan Hadi Ismanto? masyarakat Jawa Timur dan segenap pendukung Persebaya berharap dia memperkuat NIAC Mitra atau tetap di Persebaya, karena Hadi merupakan “Icon” atau Permata milik Persebaya dan Jawa Timur. Sebuah majalah yang sempat kubaca menulis bahwa Hadi Ismanto akan dibayar Rp 300.000 per bulan oleh A. Wenas bila mau gabung ke NIAC Mitra. Bila itu terjadi, maka jumlah itu mungkin akan menjadi bayaran termahal di Galatama, saat itu.

Namun akhirnya ada khabar bahwa Hadi Ismanto pindah ke IM bersama kompatriotnya, Johny Fahamsyah, bergabung dengan Johanes Auri, Yudo Hadianto, Dede Sulaiman, Junaedy Abdillah dan lainnya, tentu saja berita itu membuat sebagian kami patah hati, meski sadar bahwa Hadi Ismanto sendiri yang tahu persis, mengapa ia memilih hijrah ke IM Jakarta, semua percaya itu sudah diperhitungkan masak-masak.

Perlahan tapi pasti, NIAC Mitra ternyata bisa mencuri hati publik Surabaya dan Jawa Timur. Cinta publik kepada Persebaya lambat laun mulai diambil-alih. Rentetan hasil bagus dan tidak terkalahkan di laga-laga awal Kopetisi membuat massa membludak saat pertama kalinya NIAC Mitra menjalani laga home, tiga laga beruntun.

Sayangnya, justru saat jadi tuan rumah pertama itu NIAC Mitra dipecundangi 1-2 oleh tim yang belum dikenal, Jaka Utama Lampung yang diasuh ex bintang Persebaya, Jacob Sihasale, diperkuat pemuda-pemuda asal Jatim semisal Bambang Sunarto, Subangkit, Sucipto atau Maura Hally dan kiper Muhammad Asyik. Gol NIAC Mitra dibuat Sunardi Rusdiana.

Demikian pula yang terjadi dengan diriku, sejenak aku melupakan Ronny Pasla yang terkena skorsing lama dan beralih kepada kiper muda yang mencuri perhatian publik yaitu Purwono, kebetulan pemain ini membela NIAC Mitra. Purwono menunjukkan aksi hebatnya kala NIAC Mitra menjamu Pardedetex, pesta pora penonton yang sampai meluber ke sintelban bertambah ketika banana kick Yusuf Male dan sundulan indah Syamsul Arifin menjadi gol.

Saat menjamu Arseto, giliran Joko Malis menunjukkan olah bola yang menawan yang belum pernah kulihat sebelumnya saat dia memperkuat Persebaya. Gocekan Joko Malis begitu indah, melewati banyak bek Arseto, berputar-putar, saking indahnya sampai dia lupa mencetak gol, hingga Arseto sukses memaksa skor 0-0.

NIAC Mitra semakin berkibar kala sukses menjadi Juara Aga Khan Gold Cup 1979 di Dacca Bangladesh sebagai wakil PSSI, mengalahkan tim-tim kuat Asia semisal Korea Selatan dan China (meski keduanya tim B atau perwakilan klub), ditambah terpilihnya Dullah Rachim sebagai pemain terbaik. Sementara Persebaya makin tidak berdaya setelah dikalahkan Persija lewat adu penalti di Piala Surya (???) sejak kegagalan itu nama Rusdy Bahalwan, Waskito, Subodro dan Suharsoyo perlahan-lahan tidak terdengar lagi sebagai pemain.

Yah, perlahan-lahan… Sandyakalaning Persebaya. (bersambung)

*) Penulis: Eko Wardhana, Pensiunan BUMN yang tinggal di Sawojajar, Malang.

The post Persebaya, Kenangan Masa Remaja: Hancur Lebur (13) appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
13142
Persebaya, Kenangan Masa Remaja: Juara Paruh Musim (12) https://emosijiwaku.com/2017/12/27/persebaya-kenangan-masa-remaja-juara-paruh-musim-12/ Wed, 27 Dec 2017 03:15:24 +0000 http://emosijiwaku.com/?p=13127 Kekalahan telak dari Persija dan PSMS di Piala Fatahillah membuat para pendukung pesimis Persebaya bisa mempertahankan gelar. Apalagi di laga pertama Persebaya berhadapan dengan PSM yang terkenal ngotot. Kembali, radio menjadi alat monitoring langsung, karena live streaming di internet belum ada. Bahkan zaman Old hal yang demikian tidak terbayangkan sama sekali. Masih dalam taraf (dianggap) khayalan.

The post Persebaya, Kenangan Masa Remaja: Juara Paruh Musim (12) appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
Kekalahan telak dari Persija dan PSMS di Piala Fatahillah membuat para pendukung pesimis Persebaya bisa mempertahankan gelar. Apalagi di laga pertama Persebaya berhadapan dengan PSM yang terkenal ngotot. Kembali, radio menjadi alat monitoring langsung, karena live streaming di internet belum ada. Bahkan zaman Old hal yang demikian tidak terbayangkan sama sekali. Masih dalam taraf (dianggap) khayalan.

Beberapa pemain baru masuk ke skuad Persebaya yaitu Sunardi Rusdiana, Budi Riva keduanya dari Jakarta. Lalu ada Santoso Pribadi serta muka baru tetapi stok lama, yaitu Budi Santoso dari Malang.

Kali ini yang mendengarkan RRI Jakarta sangat ramai, bapak-bapak dan kakak-kakak semua cangkruk di Gang 2 (Belakang Sentral Telkom Jl Kampung Seng). Semua ikut nimbrung, termasuk tetangga Tionghwa, koh King Tek, King Hok, Swie, baik yang seneng bola maupun yang gak seneng ngumpul mengelilingi Radio. Ada yang mentraktir kacang godhog.

“Shooting Hadi Ismantoo!… Gooolllll…!!!”
“Budi Riva menembak!… Masuk!”

Setiap kali Persebaya dilaporkan mencetak gol, semua anak-anak dan remaja berdiri berjingkrak-jingkrak, yang seneng bola bergaya, berlari berputar… berselebrasi meniru pemain dunia, sambil berteriak “Gooollll…” betapa indah dikenang.

Sungguh di luar dugaan, laporan pandangan mata RRI Jakarta membuat para remaja kami tercengang, Persebaya menghajar PSM dengan skor 4-1, senang bercampur heran, sungguh kami tidak menduga PSM serapuh itu, nada-nada yang semula pesimistis mendadak penuh optimis.

Begitu laga usai, cangkrukan bola pun langsung digelar di perempatan. Kami bicara ngalor-ngidul tentang sepak bola dan Persebaya. Sampai malam tidak terasa capek, tidak bisa ngantuk, dan tidak merasa bosan, apalagi dengan berbagai camilan tersaji. Pesta dadakan.

Ada seseorang berbadan gemuk berseloroh “Dikandani kok gak percoyo, Persebaya nek cuman uji coba pancen sering melempem… tapi nek wis ndik kompetisi asli, ojok ngremehno!”

Pertandingan kedua ketemu lawan sepadan, PSMS Medan yang di hari pertama bisa merepotkan Persija dengan skor 2-2.

PSMS langsung unggul 1-0 di babak pertama, lalu terdengar seperti amat sulit bagi Persebaya menyamakan skor, semua serangan menemui jalan buntu. Kali ini aku menyetel RRI Jakarta dirumahku, gang IV, bersama teman-teman yang seneng bola saja.

Semua teman yang mengelilingi radio lama terdiam dalam ketegangan dan baru pecah menjadi sorak gembira ketika Rudy Keeltjes membuat skor 1-1. Tetapi semua kembali lemas tatkala laga hampir berakhir, tiba-tiba gawang Persebaya dibobol oleh Suwarno. Aku masih ingat kalimat reporter RRI Jakarta saat itu…

“ Yah, apa yang terjadi saudara-saudara?… Gooll… yah gol untuk PSMS. Mudah sekali bagi penyerang PSMS, Suwarno memasukkan bola ke gawang Persebaya yang kosong melompong, tinggal menggulirkan saja… dst…” suasana muram menggelayut. “Waduh, kalah…”

Dasar masih dinaungi dewi Fortuna, beberapa detik menjelang bubar tendangan melambung untung-untungan dari Budi Riva yang sebenarnya bisa diamankan kiper PSMS, Elwin, ternyata meleset bolanya malah masuk ke gawang. Suryanto berguling-guling saking gembiranya, tangannya mengepal seperti kejang-kejang… Gooll!!!… skor berubah jadi 2-2 di menit akhir, Persebaya selamat. Benar-benar kesalahan kiper Elwin, kata reporter RRI.

Setelah laga seru itu, Persebaya tampil amat perkasa dengan menghajar Persiraja 3-0 lalu di laga akhir, Persebaya mengacak-acak Persija 2-0 melalui gol Hadi Ismanto dan Joko Malis, untuk langsung menduduki singgasana klasemen putaran 1 tanpa tersentuh kekalahan. Kiper Sudarno pun dibuat merana (di putaran ke 2 diganti Endang Tirtana).

Kami sering merinding bangga kala reporter RRI Jakarta melaporkan…”Sunardi Rusdiana, kini mendapat bola, menusuk sisi kiri gawang… cepat sekali larinya…” sensasi yang kami rasakan dengan hanya mendengar sungguh luar biasa.

Siapakah Sunardi? Kami sama sekali belum pernah melihat, juga Budi Riva, dan Santoso Pribadi.

Persebaya 4 – 3 – 1 – 0 11-3 7 *) Juara Paruh Musim
PSMS 4 – 2 – 2 – 0 11-8 6
Persija 4 – 2 – 1 – 1 8-4 3
Persiraja 4 – 0 – 1 – 3 2-8 1
PSM 4 – 0 – 1 – 3 5-14 1

Kesuksesan Persebaya menjadi juara putaran 1 Divisi Utama 1978-1979 menyebabkan Stadion Gelora 10 November dipenuhi lautan manusia ketika Persebaya menjamu klub Shahbaz dari Iran. Daya tariknya jelas, Persebaya sang juara dan Shahbaz diberitakan diperkuat 2 pemain Nasional Iran yang turun dari kancah Piala Dunia 1978 Argentina beberapa bulan lalu. Salah satunya adalah kiper gagah tampan bernama Nasser Hejzasi.

Mulanya aku dan Basuki duduk di bawah Scoring Board, melihat dengan jelas bagaimana umpan jauh bek Persebaya kepada kiri luar Abdul Kadir menjadi bahan tertawaan penonton. Umpannya sih bagus dan terukur, tetapi meminta Abdul Kadir yang bertubuh pendek berduel udara melawan Nasser Hejzasi yang jangkung sungguh perbuatan ngawur.

“Sopo iku sing ngumpani? wis weruh kancane bujel dikongkon ngelawan cagak listrik.”

Secara teknik, Persebaya satu level di bawah Shahbaz, tetapi sebenarnya pertandingan itu agak berimbang, walau dari sekian banyak peluang yang dimiliki kedua pihak, Shahbaz bisa mencetak 2 gol sedangkan Persebaya tidak bisa, alias nol.

Hari itu Persebaya yang didukung penuh oleh penonton, turun mengenakan seragam baru, kaus Kuning celana Hijau, beberapa kali mendapat kesempatan mencetak gol, tapi Budi Santoso dan Hadi Ismanto sering ragu-ragu mengejar bola. Akhir babak 2 aku dan Basuki turun dari scoring board, pindah ke belakang Nasser Hejzasi di gawang selatan, agar bisa ikut menikmati kalau-kalau Persebaya bikin gol.

Dukungan penonton tidak surut manakala Persebaya malah tertinggal 0-3, serangan bertubi-tubi yang dilancarkan Persebaya akhirnya mampu juga menjebol gawang Nasser Hejzasi yang dicetak oleh Budi Santoso. Gemuruh stadion bergitu keras membahana seolah Persebaya lah yang mengalahkan Shahbaz. Kalah, tetapi terlihat penonton puas.

Baru sore itulah aku dan Basuki melihat dan mengenali pemain baru Persebaya yang bernama Sunardi Rusdiana, Santoso Pribadi dan Budi Riva.

Persebaya juga pernah dikunjungi kesebelasan Johor (atau Selangor?) dari Malaysia, tapi aku lupa kapan itu terjadi, sebelum Juara 1977 atau setelahnya. Tapi sayangnya, Persebaya dikalahkan Johor 0-1 melalui gol Irfan Bakti Abu Salim (yang kelak di tahun 2007 menjadi pelatih Persipura).

Tahun 1978 ini juga PSSI sudah mulai bersiap menggelar suatu kompetisi (semi) profesional yang disebut dengan GALATAMA (Liga Sepakbola Utama) yang akan digulirkan mulai tahun 1979 nanti dan klub-klub di dalamnya boleh memakai jasa pemain “Asing” seperti liga-liga profesional di Eropa atau di Amerika Latin.

Dengar-dengar kabar, calon peserta Galatama sudah ada beberapa klub, sebagian besar dari ibu kota, yaitu Warna Agung, Indonesia Muda, Arseto, Jayakarta dan klub dari Medan yang dulu sempat terkenal, Pardedetex. Sedang dari Surabaya khabarnya juga akan ada klub yang ikut berpartisipasi, namanya NIAC Mitra. Kalau Mitra aku sudah tahu itu klub anggota Persebaya, tetapi apa itu NIAC?

Akhirnya aku tahu NIAC Mitra kala ada uji coba di stadion Gelora 10 November melawan calon Galatama Warna Agung yang diperkuat oleh Rony Pattinasarany, nama-nama lain squad Warna Agung masih asing di telingaku, tetapi nama-nama di skuad NIAC Mitra, cukup dikenal, seperti Samun Reza, Hendriks Montolalu yang dulu kiper Persipal Palu dan juga Syamsul Arifin.

Uji coba itu dimenangkan oleh NIAC Mitra 2-1 dengan gol-gol yang dicetak oleh Samun Reza dan Syamsul Arifin, sedang Warna Agung lebih dulu unggul oleh gol libero Rony Pattinasarany.

Aku sudah duduk di kelas II SMP tahun 1978 ini, tetapi sepertinya kenaikan kelas akan ditunda oleh Menteri P dan K, diperpanjang satu semester karena banyaknya hari libur di tahun 1978. Sehingga kenaikan kelas atau kelulusan yang biasanya terjadi di bulan Januari, sejak tahun 1979 nanti berubah menjadi bulan Juli.

Tetapi semua itu aku tidak perduli, aku tenggelam dalam urusan sepakbola. Tiap hari, badan tubuhku ada di SMP Negeri 8 Jl Bunguran, Surabaya, tetapi jiwa dan pikiranku melayang-layang ke stadion Gelora 10 November, stadion Utama Senayan atau ke lapangan PJKA tempat IM, atau kampung Sidokapasan, tempat remaja gila bola berkumpul membahas sepakbola, bukan Matematika atau Fisika. Kami menyongsong Kompetisi Divisi Utama 1978-1979 putaran 2.

Viva Persebaya! (bersambung)

*) Penulis: Eko Wardhana, Pensiunan BUMN yang tinggal di Sawojajar, Malang.

The post Persebaya, Kenangan Masa Remaja: Juara Paruh Musim (12) appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
13127
Persebaya, Kenangan Masa Remaja: Juara, Rek (10) https://emosijiwaku.com/2017/12/25/persebaya-kenangan-masa-remaja-juara-rek-10/ Mon, 25 Dec 2017 04:55:55 +0000 http://emosijiwaku.com/?p=13083 Sudah jadi berita umum bahwa Grand Final Kompetisi PSSI 1977 akan disiarkan langsung oleh TVRI. Sejak pagi semua obrolan teman-teman dan khalayak ramai tidak lepas dari final itu. Termasuk Yusdi Ramli, teman sekelasku di SMP 8, yang juga putra pengurus Persebaya. Aboe Ramli mengatakan bahwa Persija bakal juara.

The post Persebaya, Kenangan Masa Remaja: Juara, Rek (10) appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
Sudah jadi berita umum bahwa Grand Final Kompetisi PSSI 1977 akan disiarkan langsung oleh TVRI. Sejak pagi semua obrolan teman-teman dan khalayak ramai tidak lepas dari final itu. Termasuk Yusdi Ramli, teman sekelasku di SMP 8, yang juga putra pengurus Persebaya. Aboe Ramli mengatakan bahwa Persija bakal juara.

“ Lho, kok kamu bisa yakin?”

Seakan komentator handal, Yusdi mengatakan bahwa Persija lebih baik daripada Persebaya. Di final Surya Cup 1977 saja Persebaya tidak bisa menang, belum lagi masalah wasit. Persija lebih disukai wasit-wasit. Kami percaya saja, wong dia anak pengurus Persebaya dan dia juga oke main bolanya di PSAD.

Koen eling gak Final Piala Bang Ali 1977? Waktu Slamet Pramono dikartu merah?” tanya Yusdi, pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban itu adalah ajakan untuk mengingat kala Persebaya dinyatakan kalah WO, artinya bahwa wasit juga bisa jadi akan berpihak. Harusnya Persebaya banyak juara, tapi sering dimusuhi wasit, begitu kira-kira inti bicara Yusdi.

Mugo-mugo ngko bengi wasit e netral.” Aku dan beberapa teman langsung menyergah meski otak ini mengatakan bahwa apa yang diomongkan Yusdi tidak sepenuhnya salah. Sepak bola zaman Old, kental nuansa non teknisnya. Tuan rumah, siapapun, dan di manapun, sulit kalah.

Semua sudah tidak sabar menanti siaran itu. Selepas Maghrib, pesawat TV rumah sebelah milik paklik (Om) Supi’i sudah aku tongkrongi, embah-embah dan ibu-ibu yang akan nonton “Kamera Ria” kudu mengalah.

Channel dihidupkan dan perebutan ranking 3 antara PSMS vs PSM Ujung Pandang (1-1) harus berakhir ke drama adu penalti. Eksekusi terakhir dari Pieter Fernandez berhasil membawa PSM meraih tempat ke 3. Dua kali PSMS kalah adu penalti.

Tubuh ini mulai menggigil panas dingin kala melihat pemain Persebaya dan Persija berbaris mengikuti wasit menuju lingkaran tengah. Meski gambar di TV hitam putih, tetapi kedua kesebelasan bisa dibedakan dengan jelas, Persebaya berkostum gelap (Hijau-Putih) sedang Persija mengenakan kostum putih-putih. Kapten Persija, Oyong Liza dan Rusdy Bahalwan melakukan toas dengan wasit Runtukahu dari Minahasa.

Kedua kapten berkacak pinggang tidak ramah, seakan mereka tidak pernah satu tim di PSSI.

Di layar TV penonton final penuh sesak, tidak terlihat ada ruang kosong, meski tidak sampai meluber ke Sintelban seperti Final Pre Olympic 1976 antara Indonesia-Korea Utara. Tetapi reporter TVRI (Sambas?) melaporkan penonton yang datang melebihi kapasitas stadion yang tercatat resmi 108.200 tempat duduk.

Tidak diketahui mana suporter Persija, mana Suporter Persebaya karena mereka memakai pakaian harian biasa, saat itu tidak ada atribut klub, tidak ada bendera dikibas-kibaskan, tidak ada poster atau spanduk satu lembar pun.

Bonek belum diproklamirkan, program tret tet tet juga belum ada, apalagi Jakmania. Tetapi semua orang Indonesia sudah tahu, basis suporter Indonesia berasal dari Surabaya, Bandung, dan Medan. Jakarta memang kota terpadat, tetapi saat itu fanatisme kedaerahan lebih kental.

Ada kejutan menyenangkan yang dilakukan pelatih Persija, Marek Janota, dia menurunkan kiper Sudarno sebagai line-up dan membangku-cadangkan Ronny Pasla. Sekilas, ini tampak seperti Janota telah melakukan blunder. Andilala juga duduk manis di bench. Wah, lega rasa hatiku. Dengan itu aku sudah punya firasat bahwa Persebaya akan memenangkan final ini.

Biasanya aku selalu merindukan sosok Ronny Pasla di bawah mistar, tetapi kini harus diakui, ketidakhadirannya di bawah mistar Persija, menyenangkan hatiku.

Kegembiraan itu mendadak berubah kecut! Baru 5 menit laga dimulai gawang Suharsoyo sudah dibobol sontekan lemah Taufik Saleh, Persija unggul 1-0.

Perlu waktu 15 menit bagi Persebaya untuk menyamakan skor, Hadi Ismanto jadi penyelamat lewat tendangan first time-nya dari dalam petak penalti. 1-1 dan nafasku kembali lega. Dari sorak-sorai yang terlihat di TV terlihat nyata bahwa pendukung Persebaya jauh lebih banyak daripada Persija.

Agak jengkel juga melihat Suharsoyo yang tidak mampu menahan sundulan kepala Taufik Saleh yang tidak seberapa keras, Persebaya kembali harus tertinggal 1-2 dan bertahan sampai turun minum. Barulah aku ke kamar mandi untuk pipis yang aku tahan sedari tadi.

Aku terus memohon doa, ketika babak 2 dimulai. Akankah Persebaya kalah dan gagal lagi meraih juara nasional? … sudah 25 tahun lho nggak menjadi juara.

Babak 2, terlihat Persebaya mulai bangkit, dan butuh waktu 10 menit bagi Persebaya membuat skor menjadi 2-2, lagi-lagi penyelamatnya adalah Hadi Ismanto.

Mendapat bola liar di dekat kotak kecil, dengan kaki kanan diembatnya bola itu sekeras mungkin. Sudarno tak kuasa menghalau. Kembali penonton Senayan bersorak-sorai gembira, segembira hatiku yang juga ingin melonjak-lonjak. Tapi laga masih lama.

Setelah gol itu, Persija terlihat kocar-kacir, Johny Fahamsyah dan Rudy Keeltjes merajalela di lapangan tengah. Para bek Persija yang diminta Janota untuk menjaga ketat Hadi Ismanto malah seperti dipermainkan, aroma kemenangan semerbak terasa. Beberapa kali tembakan Waskito dan Abdul Kadir nyaris menjadi gol, bahkan tendangan keras Johny Fahamsyah membentur mistar Sudarno, tanpa dia bereaksi sedikitpun.

Mencermati keadaan itu, Marek Janota tidak tinggal diam, dia lalu memasukkan Iswadi Idris menggantikan Anjas Asmara guna meningkatkan daya dobrak yang melempem. Tapi semua itu tidak menolong, malah gawang Sudarno kembali jebol, kali ini oleh Rudy William Keeltjes.

Embahku yang sedang tidur terbangun oleh teriakanku.

“Goooolll…!!!”

“Onok opo Le, Persibaya menang ta?”

Sebenarnya tendangan Rudy kurang sempurna, bola mengenai tulang keringnya, tapi justru itu yang membuat Sudarno tidak mampu menahan bola. Kini Persebaya berbalik unggul 3-2 dan berada di atas angin.

Tak ada Junaedy Abdillah di sana, maka permainan Johny Fahamsyah dan Rudy Keeltjes di tengah serta Hadi Ismanto, Kadir dan Waskito di depan semakin menjadi jadi, gocekan dan tipu daya mereka mengacaukan nama-nama besar Persija yang dihuni deretan bekas pemain Pre Olympic yang termasyhur.

Meski aku sumringah tetapi badan ini tambah adem panas, karena laga masih kurang 25 menit lagi, masih amat lama bagi Persebaya mempertahankan keunggulan, jangan-jangan malah kebobolan.

Sorak sorai pendukung Persebaya makin menjadi-jadi manakala Joko Malis lolos dari jepitan Oyong Liza dan Dananjaya, kiper Sudarno hendak maju memperkecil ruang namun kalah cepat dengan roket yang dilesakkan Joko Malis di atas kepalanya. Gol, Persebaya unggul 4-2, aku bersorak kegirangan di depan TV. Persebaya bisa juara nih.

Suara noise TV sangat bising, pendukung Persebaya lebih mendominasi, maklum semua orang Jawa Timur dan dari provinsi lainnya mendukung Persebaya. Belum ada sempalan-sempalan suporter seperti Aremania, La Mania, Deltamania… saat itu semuanya berhati Ijo. Semuanya bangga kepada Persebaya.

Masih ada lebih dari 15 menit bagi Persija untuk mengejar, Marek Janota lalu memasukkan Andilala menggantikan Junius Seba, serangan Persija mulai meningkat tajam, tapi kini penampilan kiper Suharsoyo juga meningkat, berkali-kali dia menggagalkan peluang Persija, termasuk ketika berhadapan langsung dengan Andilala atau Iswadi Idris.

M. Basri-Mudayat juga tidak tinggal diam, mereka memasukkan Subodro (entah mengganti siapa) untuk memperkuat pertahanan, mengingat kita sudah unggul 2 gol. Wayan, Subodro, suyanto, Rusdy bermain lugas dan sapu bersih. Persija mulai mengurung, bombardir serangan Persija akhirnya menuai hasil ketika Andilala memanfaatkan kekalutan koordinasi pertahanan Persebaya, kini Persija mendekat 3-4.

Jantung ini berdetak semakin cepat dan keras. Sisa waktu yang ada terasa begitu lama, sampai-sampai Subodro tak mampu menghalau bola dengan baik dan mulai banyak membuat pelanggaran.

Sudah pasti, pendukung Persebaya di manapun berada, tentu diliputi kecemasan level tinggi menantikan wasit Runtukahu meniup peluit. Dan ketika peluit itu benar-benar dibunyikan, melonjaklah seluruh pendukung Persebaya, mereka berhambur ke lapangan, tangis dan peluk cium berpadu dengan teriakan-teriakan. Selebrasi jaman dulu biasanya dihiasi dengan mengibarkan bendera klub, lalu diarak berlari mengelilingi sintelban. Aku dan lik Supi’i terdiam seribu basa, tanpa bisa berkata-kata, tetapi jelas gembira.

Persebaya JUARA!!! Congratulations.

Ini mungkin juga rejekiku (GR-nya), sebab, selama puluhan tahun Persebaya puasa gelar, eh begitu aku mulai mencintai bola, mereka menjadi juara, Alhamdulillah. Tak lupa ucapan terima kasih kepada segenap punggawa Persebaya, kalian, kakak-kakak semua telah memberi kegembiraan tak ternilai kepada masyarakat Surabaya dan Jawa Timur pada umumnya. (bersambung)

PERSIJA: Sudarno (kiper), Dananjaya, Simpson Rumahpasal, Oyong Liza (c), Suaib Rizal, Suapri, Anjas Asmara (Iswadi Idris), Ali Tuharea, Taufik Saleh, Junius Seba (Andilala), Robby Binur. Pelatih: Marek Janota (Polandia)

PERSEBAYA: Suharsoyo (kiper), Yudhi Suryata, Rusdy Bahalwan (c), Suyanto, I Wayan Diana, Johny Fahamsyah, Rudy William Keeltjes, Waskito, Abdul Kadir, Hadi Ismanto, Joko Malis. Pengganti: Subodro & Sapuwan (?).
Pelatih: JA. Hattu, M. Basri, dan Mudayat.

*) Penulis: Eko Wardhana, Pensiunan BUMN yang tinggal di Sawojajar, Malang.

The post Persebaya, Kenangan Masa Remaja: Juara, Rek (10) appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
13083