Blog Archives | Emosi Jiwaku https://emosijiwaku.com/tag/blog/ Portal informasi terpercaya dan terkini tentang Persebaya dan Bonek Sat, 22 Apr 2017 04:12:09 +0000 en-US hourly 1 145948436 Dua Hal Yang Perlu Dievaluasi Panpel Pasca Home Pertama https://emosijiwaku.com/2017/04/22/dua-hal-yang-perlu-dievaluasi-panpel-pasca-home-pertama/ https://emosijiwaku.com/2017/04/22/dua-hal-yang-perlu-dievaluasi-panpel-pasca-home-pertama/#respond Sat, 22 Apr 2017 04:12:09 +0000 http://emosijiwaku.com/?p=7656 Beberapa catatan, saya berikan untuk manajemen Persebaya. Baik itu catatan positif maupun negatif.

The post Dua Hal Yang Perlu Dievaluasi Panpel Pasca Home Pertama appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
Pertandingan antara Persebaya melawan Madiun putra pada Kamis (20/4) malam, memberikan beberapa catatan untuk seluruh komponen tim Persebaya. Tak terkecuali manajemen. Beberapa catatan, saya berikan untuk manajemen Persebaya. Baik itu catatan positif maupun negatif.

Saya sangat mengapresiasi manajemen Persebaya yang telah berhasil menyelenggarakan pertandingan home pertama liga 2 musim ini. Apresiasi saya berikan karena jika dibandingkan dengan homecoming game melawan PSIS Semarang pada 19 Maret lalu, pertandingan home melawan Madiun putra ini terlihat lebih rapi. Sudah tidak ada lagi kemacetan horor seperti saat homecoming game lalu. Parkir-parkir pun tertata rapi.

Masalah ticketing juga pelan-pelan sudah mulai teratasi. Calo tiket pun pelan-pelan sudah mulai berkurang. Saya apresiasi manajemen yang mau belajar dari pengalaman. Sedikit demi sedikit permasalahan yang muncul di homecoming game mulai ada solusinya, walaupun belum semua masalah terpecahkan.

Beberapa masalah yang masih dicarikan solusi untuk diselesaikan yaitu, pertama terkait sterilisasi area stadion dari penonton tak bertiket. Kebijakan ini baik menurut saya, karena bisa meminimalisir aksi oknum suporter yang nekat ingin masuk stadion tanpa tiket. Namun perlu dipertimbangkan juga akses pintu masuk pemeriksaan tiket untuk pemegang tiket fans (ekonomi).

Jalan masuk yang harus dilalui penonton dengan tiket kategori fans. (Foto: Iwan Iwe/EJ)

Dari pengamatan saya, pintu masuk pemeriksaan tiket ekonomi dibuat melingkar dengan pagar-pagar pembatas (seperti antri mau naik rollercoaster di wahana hiburan). Menurut saya, ini sangat menyengsarakan Bonek. Antriannya sangat panjang. Terjadi penumpukan massa di sini. Saling dorong mendorong pun tak terhindarkan. Apalagi banyak anak kecil juga dan perempuan yang mengantri. Banyak anak kecil yang menangis saat mengantri. Hendaknya ini bisa menjadi bahan evaluasi manajemen terkait pintu masuk pemeriksaan bagi pemegang tiket kategori fans (ekonomi).

Permasalahan yang kedua, yang banyak dikeluhkan Bonek adalah terkait sikap panpel pertandingan. Para Panpel dalam melaksanakan tugasnya dirasa banyak merugikan Bonek. Beberapa barang bawaan Bonek seperti roll paper, kertas untuk aksi koreo serta joran stick untuk giant flag banyak yang disita oleh Panpel. Padahal sudah tertera jelas di banner pintu masuk gate barang-barang apa saja yang tidak boleh dibawa masuk kedalam stadion, yaitu flare, laser, smoke bomb, buzzer (terompet gas), botol, korek api, peluit dan pisau (Sajam). Artinya roll paper, joran, dan kertas koreo tidak dilarang, karena tidak termasuk dalam list barang-barang yang tidak boleh dibawa masuk kedalam stadion. Lantas siapa yang disalahkan? Toh, roll paper, kertas koreo dan joran digunakan Bonek untuk kreativitas mendukung Persebaya.

Dua jempol layak diberikan kepada Bonek. Komitmen mereka dengan tidak membawa flare atau hal-hal yang bisa merugikan Persebaya layak diapresiasi. Mereka percaya bahwa mendukung Persebaya tidak harus dengan flare, smoke bomb, terompet atau barang “terlarang” lainnya. Mereka mendukung dengan kreativitas melalui roll paper, kertas untuk koreo, serta giant flag.

Selain itu, adanya pemeriksaan barang bawaan dengan mengharuskan melepas sepatu juga agak mengherankan. Terlalu berlebihan bahkan menurut saya. Dan bisa menghambat antrian masuk gate.

Ayolah manajemen, saling percaya dengan Bonek. Duduk bersama dengan Bonek, cari solusi permasalahan diatas bersama-sama. Dengarkan aspirasi Bonek, agar tidak ada prasangka di antara kita.

Tulisan ini pendapat pribadi penulis. Kritikan membangun yang berharap didengar manajemen Persebaya. Tidak mewakili siapapun, hanya seorang Bonek yang ingin melihat klub Pujaannya kembali berjaya di persepakbolaan nasional.

Salam nyali! Wani!

*) M. Faishal Rizky A., pemilik akun Twitter @FaishalRizkyA

The post Dua Hal Yang Perlu Dievaluasi Panpel Pasca Home Pertama appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
https://emosijiwaku.com/2017/04/22/dua-hal-yang-perlu-dievaluasi-panpel-pasca-home-pertama/feed/ 0 7656
‘Orde Dikte’ Sepak Bola, Gelinding PSSI dan Industri Televisi https://emosijiwaku.com/2017/04/07/orde-dikte-sepak-bola-gelinding-pssi-dan-industri-televisi/ https://emosijiwaku.com/2017/04/07/orde-dikte-sepak-bola-gelinding-pssi-dan-industri-televisi/#respond Thu, 06 Apr 2017 17:34:07 +0000 http://emosijiwaku.com/?p=7207 Sekali lagi penulis tidak menampik kebutuhan PSSI untuk mendanai federasi, akan tetapi mustilah dengan melihat kebaikan bersama yang tentu melibatkan suporter klub juga.

The post ‘Orde Dikte’ Sepak Bola, Gelinding PSSI dan Industri Televisi appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
“... Saya katakan sementara waktu, karena diktator menyalahi peradaban, menekankan kemauan orang-seorang atau segolongan kecil kepada orang banyak, dengan tidak ada kontrolnya. Perasaan adab dan keadilan, yang hidup di dalam jiwa manusia, suatu waktu akan berontak terhadap diktator, seperti terbukti di dalam sejarah segala masa.” (Moh. Hatta, 1951)

Awalnya, penulis mengira bahwa masa paling susah di lapangan hijau Indonesia adalah tahun saat IPL vis a vis ISL. Penulis pikir bahwa hal yang paling menguras tenaga pecinta sepak bola tanah air yakni kerusuhan antar suporter. Dan penulis membayangkan bahwa kemelut yang paling memuakkan dalam sejarah sepak bola yaitu pertandingan gajah. Seiring perjalannya, asumsi yang menjadikan ketiga hal itu sebagai ‘biang-kerok’ dan penyakit sepak bola Indonesia, nyatanya tidak menjadi sebab yang signifikan.

Era IPL dan ISL harus diyakini sudah selesai. Chant-chant rasis yang menjadi api pertengkaran antar suporter mulai dianggap basi. Begitupun sepak bola gajah juga tampaknya telah sadar diri. Namun, sepak bola baik liga maupun timnas Indonesia masih saja begini: tidak meraih prestasi namun berlagak meninggi. Lantas apa penyebab utamanya? Mari bersama kita cari jawabannya dengan mengukur hubungan empat komponen dalam penyelenggaraan sepak bola, yakni 1) PSSI, 2) Manajemen, 3) Pemain, dan 4) suporter. Oleh karena dalam penulisan harus fokus, maka penulis akan menggunakan medium salah satu klub sepak bola saja, yakni Persebaya. Bukan karena penulis adalah bagian dari suporter klub berjuluk ‘Bajul Ijo’ itu, melainkan sebab tidak terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa Persebaya telah mengalihkan perhatian pecinta sepak bola Indonesia, terutama aksi suporternya untuk mengembalikan kejayaannya. Sebagaimana ilmu komunikasi menurut Carl I. Hovland (dalam Effendy, 1986) ada istilah ‘transmisi stimulus’, maka Persebaya telah memberi rangsangan kepada pecinta sepak bola Indonesia untuk melihat kulit bundar tidak hanya dari luar, melainkan terlibat penuh untuk merubah keadaan.

Sebagaimana falsafah Jawa berkata ojo rumongso bisa nanging sing biso rumongso, musti disadari sebagai masalah kolektif, bahwa sepak bola nasional kembali diguncang permasalahan. Bukan dalam hal prestasi yang semua pihak tampaknya sudah tidak mempertanyakan lagi. Bukan pula mengenai mafia sepak bola, meskipun kelompok hitam itu pastilah ikut campur. Akan tetapi fakta bahwa sepak bola sedang berhadapan dengan dua masalah besar, yakni media dan nalar ‘dikte’ pengurus sepak bola Indonesia, telah memasuki domain represi (kekerasan) eksistensi.

Jika menggunakan teori Barrington Moore (1976), perubahan sosial ke arah yang lebih modern bisa dicapai dengan menggunakan banyak cara, mulai jalur yang demokratis sampai dengan kekerasan diktatorial. Pemilihan kepada salah satu model politik itu tergantung pada penyikapan terhadap kebutuhan ekonomi. Untuk mengejar prestise sebagai ‘negara digdaya ekonomi’, setiap pemimpin negara melakukan cara-cara politik sendiri-sendiri, bisa pemaksaan juga penyerapan aspirasi. Apa yang dipaparkan oleh Moore mengenai perubahan sosial di atas menurut penulis bisa dijadikan pisau penyelidikan untuk membaca gaya kepemimpinan yang dipraktekkan oleh PSSI. Sebab di satu sisi harus diakui bahwa PSSI merupakan organisasi yang tidak bisa dipisahkan dari kebutuhan ekonomi sebagai syarat transisi kemajuan sepak bola. Tetapi di sisi lain, sepak bola Indonesia musti tidak dicerabut dari akar tradisi lewat tangan-tangan industri, utamanya media televisi.

Penulis sadar-seperti Moh. Hatta menyadari-, bahwa dalam teori manajemen organisasi-termasuk berbentuk federasi-dikenal juga tipologi kepemimpinan besi, akan tetapi itu pun untuk normalisasi keadaan dengan syarat kebijakan yang dikeluarkan tetap masuk akal. Pertanyaannya, apakah akal kita harus dipaksakan menyetujui pendapat yang akan membunuh klub kecintaan? Bagaimana mungkin akal dituntut menerima kebijakan usia dengan dalih regenerasi, jika legenda klub dipaksa berhenti? Bukankah negara-negara yang terkenal sepak bolanya juga masih memberi ruang bagi pemain tua untuk mendampingi yang muda?. Sampai sini penulis harus berkata, bahwa PSSI sedang ‘gagal paham’ kebijaksanaan dalam iktikad kemajuan. Bahwa sepak bola Indonesia dengan tanpa aspirasi dan logika massa, hanya akan melahirkan ‘orde dikte’, yakni sistem, tatanan, atau peraturan yang melulu menyuruh tanpa boleh bertanya terhadap kebijakan apalagi menolaknya.

Melihat Kebijakan

Jika dikontekskan dengan logika gotong royong, kebijakan hanya bisa diambil dengan mekanisme rembuk atau musyawarah. Itu artinya, Indonesia tetap menempatkan penyerapan aspirasi dari komponen bawah untuk membuat setiap kebijakan. Tradisi luhur para sesepuh itu tak lapuk jika dikontekskan pun dikontekstualisasikan. Sayangnya seiring perkembangan waktu, para pemuka-dalam hal ini adalah PSSI juga manajemen-tidak selalu menjadikan ragam pendapat sebagai penguat kebijakan agar dapat legitimate (diakui oleh masyarakat).

Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa sepak bola Indonesia sedang diramu oleh PSSI sesuai nalar kemajuan bermain dan profesionalitas pengelolaan. Sekilas prinsip yang tertuang dalam statuta PSSI tersebut terkesan normal dan memiliki progres baik untuk sepak bola Indonesia. Akan tetapi celakanya-tanpa disadari-, iktikad baik PSSI malah menimbulkan masalah baru, yakni pengejaran akan status ‘maju’ dengan tidak menghiraukan kultur yang dibangun oleh para komponen sepak bola Indonesia sepanjang sejarah. Hal ini bisa dilihat dari fakta tentang kebijakan PSSI yang kerap kali menimbulkan kegaduhan. Seperti kebijakan mengenai Liga 2 yang memupus catatan Indonesia untuk mencetak legenda-legenda, sekaligus menghantam hak ‘humanistik’ suporter.

Mengingat sepak bola Indonesia adalah anak kandung dari sejarah dan budaya, maka segala kebijakan ke arah pembenahan haruslah menyerap sejarah dan budaya yang ada. Secara gamblang, dua unsur penting itu tampaknya bisa dilihat dari dua hal utama, yakni suporter dan legenda klub. Hal ini linier dengan pendapat Antony Sutton dalam wawancaranya oleh salah satu media. Selain Sutton menegaskan identitas sepak bola Indonesia sangat kuat unsur penghormatan kepada legenda hidup sebuah klub, ia juga menaruh perhatian khusus kaitannya dengan suporter, terutama saat ia menyaksikan heroiknya Bonek saat mengawal Persebaya (14/02).

Pendapat Sutton di atas penulis interpretasikan sebagai dua hal esensial. Pertama, sepak bola Indonesia tetap harus berjalan sesuai dengan keunikannya. Meski demikian, tidaklah bijak jika menganggap hal itu sebagai antipati terhadap perbaikan dan perubahan. Masih terdapatnya konflik vertikal dan horizontal di sepak bola Indonesia adalah bukti perlunya pekerjaan baik di setiap lini itu. Kedua, kebijakan sepak bola Indonesia musti terlepas dari sentimen politis pribadi apalagi nalar picik ekonomi. Selama ini banyak pakar yang melihat PSSI sebagai perkumpulan yang didominasi kalangan politisi dengan tipologi kepemimpinan elitis, baik militeristik maupun birokratik. Elitis tadi membawa konsekuensi kepada kemungkinan adanya monopoli dan akumulasi keuntungan-sebagaimana Gaetano Mosca (1858-1941) menjelaskan. Di era Edy Rahmayadi ini, monopoli kekuasaan sekilas tidak terlihat jelas, akan tetapi dapat dirasakan saat mengamati lahirnya kebijakan. Hal itu bersumber dari asumsi penulis bahwa termasuk monopoli adalah sikap penguasa yang tidak mendengarkan aspirasi massa. Meski demikian dengan bijak penulis musti bersyukur jika dalam perjalanannya sudah ada revisi dan klarifikasi terkait agenda liga (berita rapat Exco PSSI, 05/04).

Mengenai akumulasi keuntungan, media televisi menurut Habermas (1986) dalam domain public sphere (ruang publik) sangatlah berpengaruh kuat. Media yang awalnya sebagai tempat transfer dan dialektika wacana, berubah menjadi ruang komersil untuk mengeruk keuntungan lewat frekuensinya. Dalam hal ini, Persebaya di Liga 2 yang dikenal merupakan klub dengan banyaknya basis pecinta dapat menjadi medium akumulasi keuntungan di ranah tontonan sepak bola. Selain Persebaya, berdiri Persib di Liga 1 dengan keuangan yang tidak diragukan lagi jumlahnya. Dua tim tersebut penulis anggap paling menjual karena dua hal, yakni peminat yang membludak, Persebaya dengan fakta menarik perjalannya dan Persib dengan iklan-seperti Habermas mengatakan-yang terpampang begitu banyak. PSSI tentu tidak ingin melewatkan ini. Maka media televisi dijadikan partner untuk menampilkan laga kedua klub itu di setiap liga. Persib di sekitar hari Sabtu-Minggu, sedang Persebaya di Senin-Kamis.

Sekali lagi penulis tidak menampik kebutuhan PSSI untuk mendanai federasi, akan tetapi mustilah dengan melihat kebaikan bersama yang tentu melibatkan suporter klub juga. Dengan demikian, penulis akan mengapresiasi langkah PSSI untuk tetap melaksanakan Liga 1 dan Liga 2 di hari-hari libur, dan untuk penampilan di televisi masih tetap seperti format semula (Sabtu-Minggu di Liga 1 dan Senin-Kamis di Liga 2).

Akhirnya, mari sejenak mendengarkan nasihat UEFA sembari berharap semoga PSSI mengingat luhurnya spirit pendirian di tahun 1930. “Dalam dunia yang ideal klub sepakbola akan secara terstruktur dan diatur dengan cara yang memprioritaskan tujuan olahraga di atas aspek keuangan. Selain itu, semua klub akan dikontrol dan dijalankan oleh anggotanya – misalnya pendukung – sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi” (Strategy Document, UEFA). (*)

*) Ferhadz Ammar Muhammad, Kalijaga Class Bonek Jogja

The post ‘Orde Dikte’ Sepak Bola, Gelinding PSSI dan Industri Televisi appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
https://emosijiwaku.com/2017/04/07/orde-dikte-sepak-bola-gelinding-pssi-dan-industri-televisi/feed/ 0 7207
Industri Bola, Tiket, dan Regenerasi https://emosijiwaku.com/2017/04/06/industri-bola-tiket-dan-regenerasi/ https://emosijiwaku.com/2017/04/06/industri-bola-tiket-dan-regenerasi/#respond Thu, 06 Apr 2017 02:45:36 +0000 http://emosijiwaku.com/?p=7169 Sambil menunggu rilis jadwal Liga 2 yang rencananya akan dilakukan pada Jumat 7 April 2017 sebaiknya ada konsolidasi yang baik antara manajemen dengan Bonek.

The post Industri Bola, Tiket, dan Regenerasi appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
Minggu, 19 Maret 2017, puluhan ribu Bonek suporter Persebaya tumplek blek di StadionGelora Bung Tomo. Baik itu yang di dalam stadion maupun yang tidak bisa masuk stadion. Animo luar biasa yang bisa menggambarkan betapa cintanya Bonek kepada Persebaya. Hampir empat tahun tidak ada pertandingan resmi. Kesetiaan bonek sudah pada level yang sangat tinggi. Yakini kebenarannya perjuangkan selamanya diterapkan betul dalam nyali dan hati seorang Bonek.

Dua minggu lagi, kompetisi Liga 2 akan diputar oleh operator PT Liga Indonesia Baru. Jadwal resmi belum juga dirilis. Tetapi draf rencana dari pemegang hak siar televisi sudah menyatakan akan memainkan atau menyiarkan pada Senin sampai Kamis. Kebijakan tersebut membuat bonek beraksi. Minggu, 2 April 2017, Bonek melakukan aksi menolak regulasi yang akan mengatur tentang jadwal main di hari kerja.

Aksi Bonek tersebut menjadi viral di media sosial bahwa masih ada perlawanan Bonek untuk kebijakan yang tidak memberi rasa adil kepada suporter. Suporter adalah bagian penting dari sepak bola itu sendiri. Sepak bola boleh menjadi suatu industri tetapi tidaklah untuk rakus. Bonek sudah mendukung kampanye no ticket no game dalam homecoming game. Jika pertandingan di hari kerja, Bonek yang mayoritas kelas pekerja akan susah. Bonek juga heran dengan tidak adanya pemberitaan sedikit pun aksi mereka dimuat di koran Jawa Pos yang notabene pemilik Persebaya. Ada apa gerangan ?

Belum berhenti disitu, kemarin 4 April 2017, manajemen Persebaya mengumumkan bahwa akan menjual tiket terusan. Tiket yang dinamakan Fans dan Super Fans. Tiket Fans seharga Rp 200.000 untuk tujuh pertandingan home dan Rp 750.000 VIP dengan bonus jersey original. Secara nominal harga tiket terusan memang lebih murah untuk kelas pekerja. Tetapi dengan jadwal liga yang kemungkinan besar akan bermain di weekdays akan sangat sulit untuk bisa menonton ke stadion.

Tiket on the spot yang seharga Rp.50.000 ini juga masalah yang sangatlah besar. Memang mengurus sepakbola membutuhkan modal besar. Tetapi tiket hanyalah satu faktor untuk membiayainya. Ketahuilah bahwa puluhan ribu bonek yang membanjiri GBT bukan hanya dari Surabaya. Ribuan bonek datang dari luar kota dan pulau. Kelas mereka bermacam-macam dan sangat banyak yang masih kelas pelajar atau mahasiswa yang belum berpenghasilan. Suporter bukan Customer begitu slogan terkenal hubungan suporter dengan klub.

Terkesan ada pemaksaan untuk pembelian tiket terusan dengan harga tiket on the spot yang begitu mahal. Tanpa ada alternatif tiket untuk pelajar maupun anak. Bayangkan yang luar kota jika jadwal nanti banyak bermain di weekdays terus beli tiket terusan sudah pasti mereka akan absen. Juga banyak yang membeli tiket di hari pertandingan atau beberapa hari sebelumnya jika Bonek sudah terkumpul uangnya. Artinya untuk bisa beli yang tiket terusan masih sangatlah berat bagi yang bukan kelas pekerja.

Jawa Pos sebagai pemiliknya melalui lembar Deteksi sekarang Netizen adalah upaya untuk mempertahankan atau regenerasi pembaca koran manual. Kuncinya ada di kata regenerasi. Nah begitupula dengan Bonek. Masa depan suporter Persebaya ada pada Bonek pelajar dan anak-anak saat ini. Berilah mereka harga tiket yang wajar untuk kelas mereka. Presiden klub pernah mengatakan akan mengelola Persebaya untuk jangka panjang. Jangka panjang ini juga terkait dengan regenerasi bonek sebagai bagian tak terpisah dari Persebaya.

From father to son. Slogan lain dimana seorang bapak mengenalkan sepakbola (Persebaya) pada anak-anaknya. Ini juga regenerasi yang selalu Bonek lakukan. Persebaya harus mengetahui ini. Jadi kenapa perlu adanya tiket kelas anak atau pelajar adalah juga untuk masa depan Persebaya sendiri jika tidak akan kehilangan dukungan dari generasi muda.

Pedagang pasar tradisional punya prinsip bisa menjual lebih banyak dagangannya dengan margin keuntungan lebih sedikit. Daripada margin keuntungan banyak barang terjual sedikit dengan sisa barang busuk. Keuntungan masih lebih masuk akal dan lebih besar.

Suara Bonek sudah sangat keras memberi kritikan dan masukan. Belum ada keterangan resmi via koran Jawa Pos ataupun perwakilan manajemen di media sosial terkait tiket. Berharap undangan bonek untuk rapat akbar kepada manajemen secepatnya terlaksana. Masih ada waktu sebelum kompetisi dimulai. Persebaya tanpa Bonek hambar begitu pula sebaliknya. Tetapi harap diingat Bonek (pernah) bisa hidup tanpa Persebaya tetapi selalu memperjuangkan Persebaya.

Sambil menunggu rilis jadwal Liga 2 yang rencananya akan dilakukan pada Jumat 7 April 2017 sebaiknya ada konsolidasi yang baik antara manajemen dengan Bonek. Semua cinta Persebaya. Satukan langkah untuk kebanggaan dan prestasi Persebaya.

The post Industri Bola, Tiket, dan Regenerasi appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
https://emosijiwaku.com/2017/04/06/industri-bola-tiket-dan-regenerasi/feed/ 0 7169
Operator, Segeralah Rilis Jadwal Liga 2! https://emosijiwaku.com/2017/04/05/operator-segeralah-rilis-jadwal-liga-2/ https://emosijiwaku.com/2017/04/05/operator-segeralah-rilis-jadwal-liga-2/#respond Tue, 04 Apr 2017 17:33:51 +0000 http://emosijiwaku.com/?p=7148 Kita harus menekan operator liga agar segera merilis jadwal. Kita juga perlu menekan operator agar tidak menyengsarakan suporter. Karena jadwal adalah wilayahnya operator liga, bukan klub. Dengan kepastian jadwal maka kita dan manajemen bisa menentukan langkah lanjutan.

The post Operator, Segeralah Rilis Jadwal Liga 2! appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
Jelang Liga 2 bergulir 19 April, Bonek menolak jadwal pertandingan digelar Senin hingga Kamis. Penolakan itu dipicu kabar jika mayoritas pertandingan akan digelar pada hari kerja. Bonek menganggap kebijakan itu akan merugikan mereka dan klub. Bonek yang kebanyakan berasal dari kelas pekerja tentu tak akan bisa menonton pertandingan. Sementara bagi klub, hari kerja mengurangi minat para penonton sehingga mengurangi pendapatan. Hasilnya klub bakal merugi.

Timeline di media sosial belakangan ini riuh dengan penolakan-penolakan. Banyak juga yang memprotes manajemen Persebaya yang terkesan diam terkait rencana jadwal liga. Panasnya timeline sontak menutupi berita-berita tentang persiapan Persebaya menghadapi Liga 2.

Pro kontra akan semakin meruncing karena operator tak kunjung mengeluarkan jadwal resmi. Di sini mungkin letak permasalahannya. Tak ada pernyataan resmi yang keluar dari operator liga yang menyatakan SEMUA pertandingan akan digelar Senin hingga Kamis. Operator hanya memberi sinyalemen jika pertandingan Liga 2 yang digelar pada hari kerja, hanyalah pertandingan-pertandingan yang disiarkan TV One. Dan hanya enam pertandingan yang akan disiarkan. Padahal lebih dari enam pertandingan yang akan dimainkan klub-klub Liga 2 dalam sepekan.

Dari sini kita bisa berspekulasi jika mungkin saja pertandingan selain yang disiarkan langsung, akan digelar pada akhir pekan. Semua serba mungkin kan?

Okelah taruh kata minggu ini Persebaya disiarkan pada hari Kamis. Apakah mungkin jika minggu depan Persebaya disiarkan lagi? Jika tidak disiarkan, jadwal Persebaya bisa dialihkan ke akhir pekan. Begitu juga dengan jadwal klub-klub lain. Bakal ada puluhan pertandingan klub-klub Liga 2. Tentu selain enam pertandingan yang disiarkan televisi, bisa dijadwalkan saat akhir pekan.

Bisa juga pertandingan Persebaya, meski digelar tengah pekan, dijadwalkan pada malam hari. Apalagi infrastruktur Stadion GBT memadai untuk pertandingan malam. Langkah ini untuk mengakomodasi suporter yang baru bisa menonton pertandingan sehabis kerja.

Semua serba memungkinkan.

Dengan segala kemungkinan itu, kita perlu menuntut operator liga untuk segera merilis jadwal resmi. Dengan adanya jadwal yang pasti, kita bisa menentukan langkah selanjutnya.

Pelatih Persebaya, Iwan Setiawan, dalam sebuah wawancara di media online menolak berkomentar tentang rencana jadwal liga Senin hingga Kamis. Alasannya sederhana. Jadwal resmi Liga 2 belum keluar.

“Gak mau saya menanggapi itu, wong belum ada jadwalnya, ngapain saya nanggapi hal-hal yang belum pasti,” ungkap Iwan seperti dikutip dari Bola.net.

Pernyataan Iwan bisa saya pahami. Bagaimana kita memprotes jadwal yang masih dalam wacana? Apa dasar yang akan kita pakai untuk memprotes operator sementara jadwal yang memastikan Liga 2 digelar hanya pada hari kerja tidak ada?

Itu mungkin yang ada di pikiran manajemen mengapa mereka tidak melakukan protes dan terkesan diam saja menanggapi penolakan-penolakan Bonek. Jika manajemen berangkat ke Jakarta dan memprotes jadwal kemudian operator mengatakan jika mereka belum mengeluarkan jadwal apapun ataupun membuat pernyataan liga hanya digelar di hari kerja, apa yang bisa dilakukan manajemen?

Semua harus dipikirkan masak-masak sebelum melakukan sesuatu. Jika jadwal keluar dan memang operator memaksa klub-klub Liga 2 bermain di hari kerja, dasar itulah yang bisa kita pakai untuk protes. Bukan asumsi ataupun spekulasi.

Di sini saya tidak sedang membela manajemen atau pun melarang Bonek untuk protes. Saya hanya menempatkan permasalahan pada proporsi yang tepat. Bonek itu demokratis. Tak ada monopoli aspirasi. Pro kontra adalah hal biasa. Asal masing-masing pihak saling menghormati pilihan.

Selama bertahun-tahun, kita berjuang mengembalikan Persebaya. Tentu kita lelah berkonflik. Apalagi berkonflik sesama saudara. Terlalu banyak energi yang kita buang untuk berkelahi. Diakuinya kembali Persebaya tentu sangat melegakan. Karena kita bisa kembali ke stadion menonton klub pujaan. Kita pasti punya tujuan yang sama. Ingin Persebaya berprestasi di level tertinggi. Dan semua hanya bisa dicapai jika kita bersatu, manajemen dan Bonek. Dan persatuan tidak harus dimaknai secara negatif, bukan?

Apakah manajemen bisa berjalan sendiri tanpa Bonek? Nope! Sebaliknya, apakah Bonek bisa berjalan sendiri tanpa manajemen? Tentu tidak! Semua bisa berjuang di koridor masing-masing tanpa saling menganggap pihaknya paling benar.

Persebaya membutuhkan kita. Klub pujaan kita ini baru saja kehilangan sang kapten Mat Halil akibat regulasi. Persebaya membutuhkan pasokan striker karena stok stiker sekarang masih kurang. Lini belakang Persebaya sedang mengalami krisis tenaga seusai kepergian sang legenda. Dengan segala permasalahan itu, apakah Persebaya pasti mentas ke Liga 1?

Selain itu, disadari atau tidak, Persebaya mengikuti liga yang dijalankan oleh orang-orang yang kita anggap tidak bersih. Persebaya berkompetisi di lingkungan orang-orang yang sering kita musuhi. Faktanya, musuh Persebaya ada di mana-mana. Keadaan ini harus dihadapi Persebaya saat liga berjalan. Apalagi “musuh” sebenarnya yakni klub-klub Liga 2 yang ingin promosi ke Liga 1. Mau tidak mau, kondisi tidak ideal ini harus kita telan.

Dengan kondisi seperti ini, apakah kita harus curiga manajemen sengaja menyengsarakan Bonek? Apakah kita akan menambah daftar musuh manajemen?

Antara manajemen dan Bonek adalah partner, bukan pihak yang saling berhadap-hadapan. Bonek tidak di bawah manajemen dan manajemen tidak di bawah Bonek. Manajemen dan Bonek itu sejajar. Dan musuh kita tetap sama: mafia kompetisi.

Kita harus menekan operator liga agar segera merilis jadwal. Kita juga perlu menekan operator agar tidak menyengsarakan suporter. Karena jadwal adalah wilayahnya operator liga, bukan klub. Dengan kepastian jadwal maka kita dan manajemen bisa menentukan langkah lanjutan.

Darah kita masih sama: hijau. Tujuan kita masih satu: berprestasi. Salam kita masih sama: salam satu nyali!

Wahai operator, segeralah rilis jadwal resmi liga. Dan jangan buat jadwal liga yang merugikan klub dan suporter. (*)

The post Operator, Segeralah Rilis Jadwal Liga 2! appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
https://emosijiwaku.com/2017/04/05/operator-segeralah-rilis-jadwal-liga-2/feed/ 0 7148
Arek-Arek, Warung Kopi, dan Perlawanan https://emosijiwaku.com/2017/04/04/arek-arek-warung-kopi-dan-perlawanan/ https://emosijiwaku.com/2017/04/04/arek-arek-warung-kopi-dan-perlawanan/#respond Tue, 04 Apr 2017 05:05:37 +0000 http://emosijiwaku.com/?p=7122 Apapun ketegangan yang dihadapi, warung kopi tetap tujuan bagi arek-arek. Kedinamisan semacam ini hanya ada di sini, di kota yang sampai detik ini tidak akan memadamkan api perlawanan.

The post Arek-Arek, Warung Kopi, dan Perlawanan appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
Jika di daratan Barat sana terkisah sehidup semati antara Rose dan Jack di film Titanic atau bahkan kisah kasih Romeo Juliet yang diperankan Leonardo de Caprio dan Claire Danes, di kota perlawanan Surabaya tak kalah juga terdapat kisah romantis. Kisah arek-arek dan warung kopi yang mereka sendiri pun juga tak sadar jika mereka saling mengerti dan memahami. Dua gatra berbeda yang sama, arek-arek dan warung kopi yang bersendi dinamis tapi tak meninggalkan esensi dari kemahsyuran itu sendiri. Keduanya mampu berkolaborasi laiknya sepasang alas dari sepasang kaki tujuan hingga itu tercapai.

“Rek, engkok bengi yo!”

Sebuah ungkapan, ajakan, lambaian simptom ritual di paku-an bangku lembab yang menyatukan  dua kesederhanaan dan ke-apa adanya-an yang tak dibuat-buat.

Di warung kopi, arek-arek tak harus memesan kopi. Boleh saja menengguk teh, beragam minuman sachet, panas dingin pun tak ada larangan. Menghisap rokok jua sebuah kebebasan entah bersaring atau yang kretek meski harus ber tepo seliro dengan arek lain yang tidak merokok.

Di warung kopi boleh cuma nonton televisi atau cuma numpang cari wifi. Warung berimbuhan kata kopi dengan kebesaran hatinya pun juga menyajikan bermacam gorengan hangat dan kriuk kerupuk yang tercantol di dinding berpaku. Berceloteh ngalor ngidul ngetan ngulon yang cuma basa basi, hingga sambat tuk mengeluarkan isi hati. Diskusi ala politisi yang membahas regulasi, meskipun kadang benak juga tak bertambah sari.

Kedewasaan warung kopi dan juga kematangan memilih oleh arek-arek diselingi cekikik’an canda tawa menjadi nuansa yang boleh penulis bilang, “Suasana se gayeng ini, tak saya dapatkan di tempat lain yang selama ini saya pijak”.

Apapun ketegangan yang dihadapi, warung kopi tetap tujuan bagi arek-arek. Kedinamisan semacam ini hanya ada di sini, di kota yang sampai detik ini tidak akan memadamkan api perlawanan. Api perlawanan terhadap apapun dan siapapun yang mengusik keharmonian jiwa raga yang mereka jaga dengan sebaik-baiknya.

Awalnya hanya semacam ritual saja, tapi kok arek-arek merasa tersuntik setiap sruputan kopi hitam yang menggelorakan perlawanan kala jiwa raga diusik paksa oleh mereka yang berkuasa. Pekik ke“ayo”an untuk melawan semakin kencang nan masif di setiap sudut-sudut bangku berdebu yang kaku.

Arek-arek dan warung kopi serasa semakin menyatu di tengah bulatan perlawanan yang membara laksana tirta bergolak yang siap diseduhkan bubuk kopi. Sebuah saksi bisu, di setiap yaum, rembulan dan warsa nan menanti ganjaran dari perlawanan atas pesewenang-wenangan ketidakadilan yang melukai prinsip suci arek-arek dan warung kopi yang saling berjanji di hitam konsistennya kopi.

Arek-arek menang di pertarungan akhir, tapi bukan yang terakhir. Arek-arek dengan kawalan kopi kembali siap tuk memandu ke jalan kebenaran yang hakiki. Cercaan adalah pasti yang justru mempertebal langkah percaya diri kami, arek-arek dan kopi. Kemenangan adalah sebuah tradisi merdesa-nya arek-arek dan kopi yang semakin hari semakin satu tak terganti.

Saudara se-warung kopi, kembali genggam keras dan lontarkan ke atas hendaknya mata dunia, ketidakmampuan kita adalah kemenangan atas segala pangestu dan segenggam asa Yang Maha Kuasa. Ayo kembali kita permalukan sampah-sampah yang merusak tradisi kulit bundar kita dan kopi hitam yang setia.

Ini Surabaya, Bung!

The post Arek-Arek, Warung Kopi, dan Perlawanan appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
https://emosijiwaku.com/2017/04/04/arek-arek-warung-kopi-dan-perlawanan/feed/ 0 7122
Jadilah Suporter Yang Merdeka https://emosijiwaku.com/2017/04/04/jadilah-suporter-yang-merdeka/ https://emosijiwaku.com/2017/04/04/jadilah-suporter-yang-merdeka/#respond Tue, 04 Apr 2017 04:42:04 +0000 http://emosijiwaku.com/?p=7114 Menurut kami suporter yang merdeka adalah suporter yang bebas bisa mendukung tim kebanggaannya tanpa dibatasi dengan peraturan yang njelimet sehingga bisa mengurangi dukungan untuk kebanggaan.

The post Jadilah Suporter Yang Merdeka appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
Suporter adalah penonton yang mendukung sebuah kesebelasan sepakbola dengan nyanyian teriakan dan gerakan di tribun (koreo) yang bisa membangkitkan semangat pemain di lapangan. Lalu, apa yang dimaksud dengan merdeka? Menurut KBBI, merdeka adalah bebas dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya.

Dalam era sepakbola moderen penjajahan dirasakan kalangan suporter, khususnya dari kelas pekerja (working class), dengan harga tiket pertandingan yang melambung tinggi, pelarangan pengibaran bendera raksasa (giant flag) di tribun dan tidak diperbolehkannya menyalakan flare. Baru-baru ini juga terdengar info untuk jadwal pertandingan Liga 2 yang hanya bergulir Senin-Kamis.

Bagi Bonek kelas pekerja, hal ini tentu saja menyulitkan untuk datang ke stadion karena  Senin-Kamis adalah hari efektif bekerja. Pergi ke stadion untuk mendukung tim kebanggaan sejatinya adalah hiburan di akhir pekan setelah seminggu bergelut dengan padatnya rutinitas pekerjaan.

Masih teringat jelas saat laga Homecoming Game Persebaya vs PSIS tanggal 19 Maret lalu, dimana ada isu pelarangan membawa stik joran untuk mengibarkan giant flag di tribun. Ini jelas mengurangi bentuk kekreatifitasan Bonek untuk mendukung Persebaya. Lha iki malah jadwal pertandingan digelar pada hari kerja. Tentu saja ini menyulitkan Bonek untuk datang ke stadion langsung karena terbentur jadwal kerja, kuliah dan sekolah.

Tidak bermaksud terlalu mengeluh untuk jadwal pertandingan dihari kerja, namun ada dugaan sesuatu dibalik itu. PSSI lebih mengutamakan kepentingan kerjasama dengan hak siar unuk kepentingan bisnis. Ya, bisnis yang serakah. Aspirasi dari suporter tidak dimasukkan sebagai pertimbangan untuk memutuskan sebuah keputusan dalam sepak bola moderen.

Bonek yang bertahun-tahun tidak menyaksikan secara langsung Persebaya berlaga di liga resmi sudah terlalu horny untuk bercengkrama dan mendukung Persebaya secara langsung di stadion tidak ingin dipersulit untuk mendukung tim kebanggaannya dengan jadwal pertandingan dihari kerja. Ibarat pasangan suami istri yang masih baru, buat apa sudah sunat dan nikah tapi buat ngencuk hanya tiapa 3 bulan sekali. Buat apa bekerja keras selama seminggu, menabung untuk beli tiket tetapi hanya datang ke stadion 3 bulan sekali karena terbatasnya jatah bolos sekolah, titip absen kuliah dan cuti bekerja.

Menurut kami suporter yang merdeka adalah suporter yang bebas bisa mendukung tim kebanggaannya tanpa dibatasi dengan peraturan yang njelimet sehingga bisa mengurangi dukungan untuk kebanggaan. Pergi ke stadion di akhir pekan untuk melepaskan rasa lelah setelah seminggu bekerja, sekolah dan kuliah. Bisa pulang dengan senyum bahagia setelah menonton pertandingan dan membahasnya di warung kopi sambil bersenda gurau. Apakah anda sudah menjadi suporter yang merdeka ?

Dalam tulisan ini pro kontra pasti ada, jadi mohon maaf jika ada salah kata dalam tulisan ini. Sebagai penutup ada sebuah lagu dari Pipis di Celana yang berjudul Merdeka Tanda Tanya.

Salam Satu Nyali! Wani!

The post Jadilah Suporter Yang Merdeka appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
https://emosijiwaku.com/2017/04/04/jadilah-suporter-yang-merdeka/feed/ 0 7114
Kala Tribun Stadion Dibunuh Rating https://emosijiwaku.com/2017/04/03/kala-tribun-stadion-dibunuh-rating/ https://emosijiwaku.com/2017/04/03/kala-tribun-stadion-dibunuh-rating/#respond Mon, 03 Apr 2017 13:05:09 +0000 http://emosijiwaku.com/?p=7106 Maka secara sarkas bisa disebut bahwa rating telah membunuh jadwal ke stadiun para suporter Liga 2.

The post Kala Tribun Stadion Dibunuh Rating appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
Jadwal Liga 2 yang dihelat hanya pada hari Senin sampai dengan Kamis mengundang protes suporter klub yang berasal dari Liga 2. Di linimasa media sosial, kicauan protes suporter yang dialamatkan pada PT Liga Indonesia Baru dan PSSI terus bergelora. Sementara itu di Surabaya, suporter Persebaya bahkan turun ke jalan. Emosi Jiwaku menulis dalam beritanya di tanggal 2 April 2017 menuliskan, “Sekitar 5.000-an Bonek turun ke jalan memprotes jadwal Liga 2 yang mereka anggap ngawur karena digelar pada hari kerja, Senin hingga Kamis. Mereka membawa banner, spanduk yang berisi tuntutan saat kegiatan Car Free Day di Jalan Raya Darmo, Minggu (2/4). Seperti diketahui, kebijakan tersebut karena mengakomodasi kepentingan TV One untuk bisa menyiarkan pertandingan Liga 2 agar tidak berbenturan dengan pertandingan Liga 1 yang digelar akhir pekan.”

Stasiun televisi pemegang hak siar pertandingan Liga Gojek Traveloka adalah TVOne, sebuah stasiun televisi yang berada di bawah payung kelompok bisnis media Viva. Selain memiliki TVOne, kelompok bisnis ini juga memiliki stasiun televisi ANTV. Jadwal pertandingan pun disesuaikan dengan permintaan stasiun televisi pemegang hak siar. Permintaan yang didasari pada rating, dimana stasiun televisi akan cenderung menyiarkan pertandingan sepak bola pada jam siar yang berpotensi memiliki rating tinggi dan klub yang bertanding.

Liga 1 dianakemaskan dengan dijadwalkan di akhir pekan, yang berpotensi rating tinggi dan di sisi lain tetap nyaman bagi fans klub Liga 1 untuk datang ke stadion guna menonton secara langsung. Sebaliknya Liga 2 disiarkan di awal sampai dengan tengah pekan. Jadwal yang tentu menyusahkan fans klub Liga 2 karena hari kerja. Maka secara sarkas bisa disebut bahwa rating telah membunuh jadwal ke stadiun para suporter Liga 2. Tribun stadion terancam sepi karena fans sepak bola dari klub Liga 2 kesusahan mengatur jadwal kerja dan ke stadion gara – gara rating menjadi anak emas otoritas sepak bola. Lalu apa sebenarnya rating dan anak kandung siapakah rating itu?

Fenomena bagaimana rating bisa berkuasa dalam isi siaran televisi bisa dijabarkan dari dominasi pengukuran rating oleh satu pihak saja. Adalah Survai Research Indonesia (SRI) yang mengawali pengukuran rating program televisi Indonesia pada tahun 1990. Kemunculan SRI tidak bisa dilepaskan dari pemberian ijin pada pihak swasta untuk mendirikan stasiun penyiaran oleh pemerintah di masa tersebut. Lampu hijau pemberian ijin pendirian lembaga penyiaran televisi swasta ini dibersamai dengan perijinan siaran niaga iklan di stasiun televisi swasta. Sebelumnya, siaran iklan niaga dilarang tayang di TVRI sejak dekade 1980-an. Kesempatan untuk beriklan di stasiun televisi swasta memberikan peluang bisnis untuk mengukur efektifitas program siaran televisi yang layak untuk diisi slot iklannya. Rating menjadi jawaban paling praktis tentang efektifitas penempatan iklan dalam program televisi, karena dianggap mewakili jumlah kepemirsaan suatu program televisi.

Puji Rianto dkk dalam buku Dominasi TV Swasta Nasional, Tergerusnya Keberagaman Isi dan Kepemilikan (2013) menyebutkan bahwa pada perkembangannya, SRI diambil alih oleh perusahaan riset pemasaran dari Amerika Serikat bernama AC Nielsen pada tahun 1994. Pengambilalihan ini sekaligus mengubah nama SRI menjadi AC Nielsen – SRI. Selanjutnya beberapa kali perusahaan ini berganti nama. Awalnya adalah AC Nielsen Media International, kemudian berganti nama lagi menjadi Nielsen Media Research (NMR). Secara internasional NMR adalah bagian dari kelompok usaha VNU Media Measurement & Information. Terakhir pada tahun 2004, membangun aliansi joint venture dengan AGB, penyelenggara survei kepemirsaan terbesar kedua di dunia. Aliansi ini sekaligus mengubah nama perusahaan ini menjadi AGB Nielsen Media Research. Melalui bendera AGB Nielsen Media Research, yang lazim disebut Nielsen, 30 negara menjadi wilayah risetnya, termasuk di dalamnya adalah Indonesia (Wirodono dalam Rianto dkk,2012:66).

Audience rating, yang kemudian hanya disebut sebagai rating, bisa diartikan sebagai persentase individu atau rumah tangga dalam populasi yang menggunakan televisi untuk stasiun televisi yang spesifik, kanal atau jaringan televisi. Oleh karena itu rating, diekspresikan sebagai khalayak stasiun atau jaringan televisi dibagi total jumlah rumah tangga atau individu penonton televisi dalam target populasi. Sementara itu, angka rating dari seluruh stasiun televisi bisa didapat dengan menghitung HUT (House Using Television). HUT merupakan kombinasi rating dari stasiun televisi atau seluruh jaringan pada periode tertentu. HUT dapat diperoleh dengan dengan menambahkan secara bersamaan rumah tangga-rumah tangga atau individu-individu yang menggunakan televisi, atau menghitung total rating dan mengalikannya dengan sampel saat itu (atau populasi jika digeneralisasikan) (Yusuf dan Utami dalam Rianto dkk,2012:66-67).

Selain angka rating, jumlah audience share juga diangkap angka yang ”magis” dalam menentukan program televisi yang layak jual atau tidak. Audience share berarti persentase dari HUT yang menyalakan pesawat televisinya pada stasiun, saluran atau jaringan tertentu. Jika audience share televisi X adalah p%, maka hal ini berarti bahwa jumlah penonton televisi X adalah p% dari keseluruhan atau total penonton televisi pada saat yang bersamaan.

Rating diukur dengan menggunakan alat yang dinamakan people meter. Alat ini oleh penyelenggara rating, ditanam pada sampel artinya tidak semua pesawat televisi di sebuah negara dilengkapi dengan people meter. Anehnya, walaupun tidak diletakan pada semua pesawat televisi, angka rating yang dihasilkan oleh people meter dianggap akurat oleh kalangan industri penyiaran televisi. Hal ini setidaknya diperlihatkan dengan digunakannya angka rating untuk menilai prestasi sebuah program siaran. Nielsen juga tidak pernah terbuka menyebutkan dimana people meter ditempatkan.

Maka bisa didedah dengan kajian ekonomi politik media, bahwa penempatkan jadwal pertandingan Liga 2 hanya pada hari Senin sampai dengan Kamis tidak bisa dilepaskan dari kepentingan kelompok usaha Viva yang memayungi TVOne untuk memeroleh rating yang tinggi dari pertandingan Liga 1, yang dianggap lebih prestisius oleh stasiun televisi, di akhir pekan dan serempak tetap mendapatkan rating yang layak dijual kepada pengiklan dari pertandingan Liga 2 yang dimainkan di awal sampai dengan tengah pekan. Dalam logika rating televisi, penonton atau audiens sebenarnya adalah aset yang didapatkan oleh stasiun televisi untuk dijual kepada para pengiklan, tanpa disadari oleh penonton. Bahwa benar menonton televisi, terutama televisi terrestrial, sifatnya gratis tanpa perlu membayar kepada stasiun televisi. Namun perlu disadari bahwa akumulasi dari jumlah individu yang menonton itu dikomodifikasi oleh stasiun televisi untuk dijual kepada pengiklan.

Tentang bagaimana relasi audiens dan media yang seperti ini telah disebutkan oleh Eoin Devereux dalam bukunya Understanding The Media (2003), yang menyebutkan bahwa konglomerasi media massa, terutama media televisi, telah menabalkan redefinisi audiens sebagai konsumen bukan lagi sebagai warga. Hal ini berimplikasi pada akses yang tidak setara terhadap isi media dan teknologi media. Akar dari persoalannya adalah, kekuatan ekonomi politik dari individu yang menguasai kekaisaran media (Devereux,2003:54). Kini kekaisaran media televisi di Indonesia bahkan berkuasa mengatur jadwal Liga 2. Apa yang perlu dilakukan oleh suporter sepak bola, terutama dari klub Liga 2, sebagai pihak yang paling dirugikan? Jawabnya ada dua, pertama, “kaum suporter dari Liga 2 bersatulah!” dan “cukup satu kata: lawan!”. (*)

Fajar Junaedi, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Peneliti dan penulis komunikasi dan sepak bola. Twitter @fajarjun

The post Kala Tribun Stadion Dibunuh Rating appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
https://emosijiwaku.com/2017/04/03/kala-tribun-stadion-dibunuh-rating/feed/ 0 7106
Teruntuk PSSI Yang Tak Kunjung Sehat https://emosijiwaku.com/2017/04/02/teruntuk-pssi-yang-tak-kunjung-sehat/ https://emosijiwaku.com/2017/04/02/teruntuk-pssi-yang-tak-kunjung-sehat/#respond Sun, 02 Apr 2017 03:01:35 +0000 http://emosijiwaku.com/?p=7061 Ketidak turunnya kalian ke berbagai komponen sepak bola adalah bukti dari menjulang tingginya leher dan kepala.

The post Teruntuk PSSI Yang Tak Kunjung Sehat appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
Salam nada sumbang keadilan teruntuk anda sekalian, PSSI

PSSI apa kabar? Teriring doa semoga federasi bersejarah itu senantiasa dalam keadaan kuat meski sedang tak sehat. Pengurus PSSI masih sadar? Tentu janji komitmen di awal kenaikan roda kepengurusan baru masih ingat bukan?. Jikalau sudah agak amnesia, mari izinkan kami mengingatkannya lewat beberapa paragraf tulisan. Tidak ada niatan untuk melakukan perang denganmu, sebab hakikat perang adalah klaim kebenaran berdasar sentimen klan atau golongan. Akan tetapi latar belakang penulisan surat ini adalah kegelisahan yang dirasakan oleh seluruh lapisan suporter, utamanya Liga 2, meski kami tak pernah melakukan polling juga. Kami meyakini hal itu dikarenakan pada hakikatnya logika suporter adalah sama, yakni butuh (bukan ingin) akan keadilan dan kebijaksanaan, entah itu regulasi dari birokrasi atau sekedar iklim hubungan antar komponen di klub yang digeluti.

Kami tak perlu memberi data terkait tingkat kepuasan suporter terhadap kinerja kalian, sebab ini bukan tulisan yang hilang setelah dibaca. Pun juga tulisan ini bukan seperti skripsi dengan judul “Tingkat Kepuasan Penonton terhadap Kinerja Penyelenggara”. Oleh karena itu, kami justru akan lebih banyak memberi bukti bahwa regulasi kalian, terutama pembatasan usia dan jadwal laga di hari padat agenda sungguh tertolak dalam berbagai domain, baik kajian akademik-senjata kalian- maupun birokratik-watak kalian-.

Sebelum lebih jauh mencatatkan angin protes lewat tulisan ini, kami ingin menjelaskan kepada anda sekalian terkait judul tulisan atas diksi ‘Terhujat’ dan ‘Sehat’. Pertama, sungguh pun kami menutupi diri agar tampak sopan dan berbudi di depan anda sekalian, tetap saja pukulan sebab ketidakadilan yang dirasakan suporter akan menerobos ke telinga kalian. Bahwa setiap mulut suporter saat ini tak lebih dari memantrakan hujatan akibat kepongahan kalian sebagai penguasa federasi. Bahwa setiap dada para suporter adalah emosi yang suatu saat pastilah akan memaksa tangan untuk meninju akibat ketidakseronohnya perlakuan kalian sebagai raja segala aturan sepak bola Indonesia.

Kedua, kalau pun kami berkata kalian ‘sudah adil’ dan ‘sehat’, maka bukankah justru akan memperpanjang barisan kebohongan dan penyakit yang mematikan: kepalsuan. Dan sejujurnya kami diajarkan tidak untuk demikian. Bahwa Indonesia berkumpul banyak orang pintar, tetapi betapa miskinnya Indonesia ini dari orang sehat mental: kejujuran. Maka dengan tegas sebagai murid yang sadar akan krisis itu, kami berkata: bahwa kemelut yang sedang terjadi di dunia sepak bola kita saat ini dianggap-dan harus diakui- merupakan lanjutan dari tingkah laku agresif kalian.

Ketidak turunnya kalian ke berbagai komponen sepak bola adalah bukti dari menjulang tingginya leher dan kepala. Terutama suporter yang senantiasa kalian anggap suaranya laksana teriakan kambing di padang pasir seperti puisi penyair menganalogikan. Kalian tak pernah menyadari bahwa dengan pembiaran terhadap suara dari basis suporter itu telah menandakan betapa bodoh dan dungunya kalian sebagai pemegang kebijakan. Secara akademik, bukankah teori public policy (pengambilan kebijakan) dalam sistem ala David Easton membahas tentang adanya demand (tuntutan). Jika kalian betul-betul pintar, tentu kalian memahami teori demikian, dan otomatis tidak akan pernah berbuat tuli di depan suporter. Sayangnya, kalau toh ternyata kalian memahami teori itu, tetap saja ketidakjujuran telah membuat kalian tampak bodoh dan membodohkan.

Secara birokratik, bukankah ada dalam tradisi kekuasaan Indonesia suatu adagium-yang mudahnya secara istilah-, yakni ‘Raja yang bertelinga rakyat’. Kami berharap kalian tidak lupa dengan ajaran luhur kepemimpinan itu. Kami berdoa semoga identitas kalian sebagai orang Indonesia tidak hilang hanya karena federasi kalian berpusat di Eropa sana. Semoga masih ada cerita tentang Hayam Wuruk yang didatangi para rakyatnya dengan didampingi pengawal berwajah ceria. Pun semoga catatan sejarah berdirinya PSSI di tahun 1930 sebagai wadah untuk melawan watak kolonial di sepak bola tidak hanya menjadi pajangan belaka. Jika ternyata-dan tampaknya sudah berlaku- berbagai sikap pendahulu kalian telah terlupakan, maka sungguh kami tidak heran dengan bobroknya birokrasi PSSI kini. Tetapi biarlah semangat pendahulu itu kami ambil dan jadikan tangan untuk menampar mulut sumbing kalian, semoga sehat kembali.

Terkhusus kepada Pak Edy, anda dulu berlagak seperti tokoh yang dalam teori kepemimpinan disebut ‘inisiatif transisional’, yakni pemimpin yang berlaku tak lazim dibanding sebelum-sebelumnya demi memperkuat basis rakyat-dalam hal sepakbola: suporter-. Kami mengapresiasi, karena kami sadar bahwa sebelum bapak, betapa bejatnya kepemimpinan di PSSI. Tetapi itu tak bertahan lama. Seketika kami mulai meragukan konsistensi bapak dalam domain penguasa sepak bola Indonesia. Terbaru saja, bapak bersama dengan manajer liga 2 membuat regulasi yang bukan malah merangkul pendapat dan keadaan yang jelas masuk akal jika dijadikan pertimbangan, yakni kesibukan sekaligus loyalitas kemanusiaan kepada ‘ tim kebanggaan’ yang pastinya bermanfaat buat keberlangsungan liga 2, melainkan regulasi itu justru tuli sebelah dengan hanya mendengarkan media.

Hujatan sudah banyak yang disematkan ke bapak, dan itu semua haruslah menjadi bahan evaluasi. Tidak ada yang terlambat, jika memang bapak masih mengakui kata penulis ‘Aksi Massa’, bahwa ‘daulat rakyat’ (aksi massa suporter) mampu meruntuhkan ‘kekuasaan’ (baca: keangkuhan penguasa bola Indonesia). Tetapi jikalau bapak lebih menghamba pada media, kami yakin bahwa ucapan bapak di awal hanyalah ilusi yang akan melahirkan resistensi. Kami tidak bermaksud mengancam, tetapi mencoba rasional sebab harus diakui kekuatan yang bersumber dari i’tikad (keyakinan) suporter sunggulah besar, bahkan miriam pun tak akan bisa menghancurkan-sebagaimana isi paparan pahlawan KH. A. Wahid Hasyim-.

Akhirnya, lewat nasehat suci dari Bapak Koperasi Republik Indonesia surat ini kami akhiri, semoga anda sekalian membaca dengan telinga: Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur itu sulit diperbaiki. (*)

The post Teruntuk PSSI Yang Tak Kunjung Sehat appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
https://emosijiwaku.com/2017/04/02/teruntuk-pssi-yang-tak-kunjung-sehat/feed/ 0 7061
Klub Indonesia Masih Butuh Pemain Senior https://emosijiwaku.com/2017/03/30/klub-indonesia-masih-butuh-pemain-senior/ https://emosijiwaku.com/2017/03/30/klub-indonesia-masih-butuh-pemain-senior/#respond Thu, 30 Mar 2017 09:31:09 +0000 http://emosijiwaku.com/?p=6971 Apakah pemain muda benar-benar bisa profesional, benar-benar bisa regenerasi tanpa kehadiran pemain senior yang berpengalaman?

The post Klub Indonesia Masih Butuh Pemain Senior appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
“Pohon bisa hidup tanpa buah tapi bukan tanpa akar dan daun.”

Hari yang ditunggu-tunggu tentang berbagai hal mengenai Liga 2 beserta perangkatnya akan diputuskan. Namun yang menarik perhatian adalah regulasi batasan usia pemain yang diperbolehkan berlaga di Liga 2. Bisa dibilang, liga kasta kedua ini adalah Liga Murni Indonesia. Mengapa demikian? Ya karena di liga ini, tak diperbolehkan seorang pun pemain asing merumput. Hal ini tentu bagus untuk persaingan pemain lokal.

Namun soal pembatasan usia, apakah memang harus dilakukan saat ini? Apakah memang bagus untuk meregenerasi pemain muda tanpa kehadiran pemain senior yang berpengalaman dan masih bisa menunjukkan kemampuan serta menularkan ilmunya kepada pemain muda? Pemain senior di Indonesia memang banyak tapi senior yang berpengalaman di Liga 2 tak sebanyak di Liga 1. Begitupun sebaliknya. Kesempatan mereka bermain di Liga 1 pasti kalah dengan pemain muda yang sedang bagus-bagusnya.

Seperti yang diutarakan salah satu pemain senior yang juga pemain Inti Persebaya, Rachmat Afandi. Ia mengungkapkan kesempatan bermain di Liga 1 tidak sebanyak bermain di Liga 2. Sedangkan ia sudah diikat kontrak oleh manajemen Persebaya. Lantas apa tanggung jawab PSSI mengenai hal tersebut jika regulasi usia benar-benar diterapkan?

Dan bukan hanya Rachmat Afandi saja yang bernasib demikian, Abah Mat Halil pun terancam kariernya sebagai pemain sepak bola karena regulasi yang bikin cemas ini. Memang masih ada kesempatan bermain di Liga 1 tapi apakah ada jaminan jam bertanding atau mendapatkan klub sesuai dengan keinginan mereka terutama pemain yang memiliki loyalitas tiada batas kepada klub yang dicintainya.

Jika PSSI mau bertanya peran kedua pemain kepada semua pemain muda di Persebaya, tentu posisi mereka sangat vital. Pemain muda Persebaya membutuhkan mereka berdua. Pemain muda Persebaya membutuhkan sosok rekan lapangan sekaligus “penuntun, panutan dan pelatih”. Dan masalah ini tidak terjadi di Persebaya, namun di semua peserta Liga 2.

Apakah pemain muda benar-benar bisa profesional, benar-benar bisa regenerasi tanpa kehadiran pemain senior yang berpengalaman? Jika memang diberlakukan, setidaknya PSSI dengan arif memperlakukan regulasi ini pada kompetisi berikutnya. Karena ini adalah hal baru bagi liga kasta 2.

Kiranya, Ketua Umum PSSI mau dan berkenan menahan regulasi ini untuk sementara waktu. Reformasi PSSI sudah berjalan ke arah yang benar, hanya membutuhkan waktu saja agar sepak bola Indonesia benar-benar kembali sehat dan berprestasi., Klub-klub Liga 2 ibarat sebuah pohon yang baru ditanam mulai dari pemain senior yang berpangalaman yang menjadi akar yang kuat serta pemain muda potensial sebagai cabangnya dan suporter sebagai daunnya untuk bernafas. Biarkan pohon tersebut tumbuh dahulu hingga berbuah pada suatu saat nanti. Jangan biarkan pohon tersebut tanpa sebuah akar kuat yang menopangnya.

Kami tahu Ketua Umum PSSI yang terhormat bapak Edy Rahmayadi berlatar militer yang berdisiplin tinggi, arif dan bijaksana. Tentu semua klub Liga 2 juga ingin merasakan kebijaksanaan dan kearifan bapak. Tolong biarkan pemain muda klub-klub Liga 2 belajar langsung kepada pemain senior yang berpengalaman sebelum mereka menjadi pemain Liga 1 jika klub mereka promosi. Dan ijinkanlah para pemain senior yang berpengalaman mengajari dan menularkan ilmu mereka kepada juniornya.

Pemain junior membutuhkan pemain senior yang berpengalaman bukan hanya dari segi umur semata. Dan semoga kita masih bisa melihat penampilan pemain senior yang dulu hingga kini menjadi pemain kebanggaan kita pada kompetisi musim ini dan musim-musim berikutnya hingga mereka memutuskan gantung sepatu. Dan semoga regulasi tersebut hanya membatasi jumlah pemain di tiap klubnya bukan umurnya. Karena setiap klub mengontrak pemain senior bukan tanpa sebab maupun alasan yang tidak jelas. (*)

The post Klub Indonesia Masih Butuh Pemain Senior appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
https://emosijiwaku.com/2017/03/30/klub-indonesia-masih-butuh-pemain-senior/feed/ 0 6971
Bonek dan Persebaya, Kisah Cinta Paling Romantis https://emosijiwaku.com/2017/03/29/bonek-dan-persebaya-kisah-cinta-paling-romantis/ https://emosijiwaku.com/2017/03/29/bonek-dan-persebaya-kisah-cinta-paling-romantis/#respond Wed, 29 Mar 2017 06:16:59 +0000 http://emosijiwaku.com/?p=6960 Bonek dan Persebaya adalah jantung hati yang silih berganti berirama berbalas-balasan mengimbangi.

The post Bonek dan Persebaya, Kisah Cinta Paling Romantis appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
Persebaya, deretan sembilan huruf biasa bagi orang-orang biasa yang menganggap tidak ada yang luar biasa. Bagi Bonek, tentu tidak sesederhana itu. Ribuan versi rangkaian kata-kata definisi tentang Persebaya menandakan betapa luar biasanya sembilan huruf yang dianggap biasa bagi sebagian kalangan yang kesulitan memahami arti sebuah cinta.

Tuhan tak mungkin tak punya alasan menggerakkan mbah-mbah kita hampir sembilan dekade lalu untuk berhimpun mendirikan pondasi harga diri Arek Suroboyo yang dipandang sebelah mata oleh pemerintahan kolonial kala lalu.

Fleksibilitas “sembilan huruf” mengarungi zaman bersama lika-likunya kini menjelma menjadi kebanggaan arek-arek. Arek-arek yang dijuluki Bonek yang mengangkat akronim jawa Bondo Nekat sebagai representasi tanpa batasnya arek-arek mengawal Persebaya di setiap arena pertarungan.

Cinta adalah kata kerja dari Bonek ke Persebaya, dan itu bukanlah basa-basi bualan semata. Kecintaan yang dibuktikan dengan pengorbanan meskipun kadang darah merah segar mau tak mau jadi tumpahan.

Tak sedikit pun arek-arek mengharapkan ganjaran atas semua pengorbanan. Hanya saja, kewajiban bertarung ngeyel sepenuh hati demi menjaga warisan harga diri sampai titik nadir terakhir yang akan mengobati semua loyalitas dan dedikasi.

Bonek dan Persebaya adalah jantung hati yang silih berganti berirama berbalas-balasan mengimbangi. Tak ada apa-apanya cerita Romeo Juliet atau Galih dan Ratna jika dipadankan keromantisan Bonek dan Persebaya atau Persebaya dan Bonek.

Jangan pernah bertanya, mengulangi pertanyaan yang sama dan repot-repot mencari jawaban seberapa besar kadar kecintaan yang saling dituangkan antara keduanya. Suratan pena di lembaran pun tak mampu untuk menjawabnya. Satu tindakan saja pun tak cukup untuk menjadi landasan atas semua bidasan. Lihainya lisan tak cukup mencurahkan tanda tanya besar. Karena, Bonek dan Persebaya adalah sebuah sebab yang tak butuh mengapa. Sebuah kenikmatan Tuhan yang harus dijaga bersama-sama. (*)

The post Bonek dan Persebaya, Kisah Cinta Paling Romantis appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
https://emosijiwaku.com/2017/03/29/bonek-dan-persebaya-kisah-cinta-paling-romantis/feed/ 0 6960