analisis cetek Archives | Emosi Jiwaku https://emosijiwaku.com/tag/analisis-cetek/ Portal informasi terpercaya dan terkini tentang Persebaya dan Bonek Fri, 04 Sep 2020 09:45:35 +0000 en-US hourly 1 145948436 Bangun Roda Ekonomi Lewat Kreatifitas https://emosijiwaku.com/2020/02/09/bangun-roda-ekonomi-lewat-kreatifitas/ Sun, 09 Feb 2020 14:19:51 +0000 https://emosijiwaku.com/?p=30901 Sepak bola Surabaya patut bergembira. Dua tahun berada di Liga 1, dua tahun penuh cerita dari Persebaya.

The post Bangun Roda Ekonomi Lewat Kreatifitas appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
Sepak bola Surabaya patut bergembira. Dua tahun berada di Liga 1, dua tahun penuh cerita dari Persebaya.

Tahun ketiga di kasta tertinggi persepakbolaan tanah air adalah tahun yang baik untuk Persebaya meningkatkan kemampuannya berbicara di Liga 1. Setidaknya itu menurut penilaian penulis dalam tulisan-tulisan pemikiran terdahulu. Meskipun singkat, dua tahun di kasta tertinggi rasanya cukup untuk mengetahui gambaran besar liga dan potensinya. Bisa baik juga buruk.

Menariknya, musim lalu semua klub rata mendapatkan permasalahan yang sama yaitu soal jadwal. Imbasnya hitung-hitungan ekonomi klub di belakangnya pasti juga berantakan. Untuk klub yang menggantungkan hidupnya dari industri sepak bola pasti tim manajemennya mengakui musim lalu adrenalin mereka meningkat. Meningkat cepat karena ketidakpastian. Lain cerita kalau klubnya memang tidak menggantungkan hidupnya dari industri ini, mungkin peristiwa musim lalu itu hanya dianggap angin lalu. Alias biasa saja.

Bisnis tentu membutuhkan kepastian. Karena dari kepastian akan datang pula (kepastian) pemasukan. Kalaupun tiba-tiba rugi, kerugian bisa didiagnosa lebih awal dengan menyebutnya sebagai salah strategi. Tentunya salah strategi ini akan diperbaiki di kemudian hari pada kesempatan tahun selanjutnya.

Kita sama-sama tahu bahwa produk utama dari industri sepak bola tentu saja adalah pertandingan. Pertandinganlah yang menggerakkan emosi jutaan pasang mata juga ekonomi turunan yang banyak sekali macamnya. Semuanya berputar dan dimulai dari sana.

Permasalahannya, di Indonesia seringkali jadwal sebagai salah satu komponen dari sebuah pertandingan tidak berjalan sebagaimana mestinya. Lebih seringnya berubah-ubah. Akibatnya ekosistem sepak bola dari hulu sampai hilir merasakan kerugiannya. Rugi waktu, rugi biaya, rugi semua-muanya.

Kerugian paling parah, terjadi akibat jadwal yang berubah-ubah ini dimana pada akhirnya lahir dugaan-dugaan juga asumsi-asumsi liar bahwa ini semua permainan belaka dari operator juga regulator untuk memenangkan atau memastikan suatu klub tertentu untuk juara atau agar supaya tidak terdegradasi. Kredibilitas mereka akan terus dipertanyakan juga dipertaruhkan. Meski faktanya, asumsi-asumsi ini lebih sering sulit untuk dibuktikan.

Mencoba berpikir positif, belajar dari pengalaman Persebaya selama mengadu kekuatan di kasta kedua maupun yang tertinggi ini akhirnya menghasilkan data yang menarik. Sejarah mencatat, problem jadwal yang terjadi di liga selalu datang dari problematika keamanan.

Grafis: Adipurno Widi Putranto

Mulai dari teror bom, persoalan pemilihan umum dan kepala daerah, unjuk rasa buruh nasional hingga buntut kerusuhan di stadion. Artinya permasalahan akan selalu berkutat pada stakeholder utama yang mengurusi keamanan, yaitu pihak kepolisian. Analisanya jika ada suatu kegiatan yang mampu memecah konsentrasi mereka, karena menyangkut jumlah massa yang besar maka akan sangat mungkin laga sepak bola akan ditunda atau diundur. Tentu kalau hal-hal seperti ini kecolongan, dapat mengganggu Indikator Kinerja Utama (IKU) mereka karena kepentingan keamanan masyarakat diatas segala-galanya.

Koordinasi dan Sinergi jadi Kunci

Untuk mengatasi kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja kembali terjadi lagi, masing-masing pihak mulai mengevaluasi diri mereka. Di strata paling atas, pihak operator mulai berani mengakui kekurangannya musim lalu dan mencoba memberi solusi dengan mengadakan pertemuan koordinasi dengan pihak kepolisian sebelum liga dimulai. Di strata bawah atau di lapangan, setelah berakhirnya Liga 1 musim lalu, klub melalui sang Presiden berani bersuara mengajak suporter untuk melakukan dukungan-dukungan yang positif untuk klub ke depan. Pangkal penyebabnya karena tanpa pertandingan dan atau pertandingan tanpa penonton pun tidak akan baik bagi keberlanjutan klub.

Koordinasi dan sinergi antar pemangku kepentingan memang amat perlu dilakukan. Bisa dengan Polisi, bisa dengan suporter, bisa dengan TNI, bisa dengan pemerintah daerah, bisa dengan siapa saja pemangku kepentingan yang tepat untuk menggelar sebuah pertandingan. Evaluasi yang sudah dilakukan tentu bukan untuk menunjuk siapa salah dan siapa yang benar. Terlalu kekanakan kalau kelasnya masih seperti itu, tapi untuk saling menjaga. Menjaga dari kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan terjadi (lagi). Artinya, kepentingan klub diatas segala-galanya bukan? Bukan untuk kepentingan pribadi atau segelintir golongan saja.

Langkah-langkah preventif bisa saja sudah dilakukan namun tidak tertutup kemungkinan jadwal pertandingan kembali tidak berjalan sebagaimana yang sudah disepakati karena satu dan lain hal. Atau bisa juga klub harus merasakan tanpa dukungan penonton karena satu dan lain hal. Semua kemungkinan masih sangat terbuka. Tapi klub harus tetap berjalan kan? Karena di dalam sebuah klub bukan hanya pemain saja, tapi ada keluarga pemain, keluarga manajemen, keluarga pedagang asongan di sekitar stadion, keluarga pemilik warung-warung kopi yang mengambil rezeki dari menyediakan TV untuk nonton Persebaya bareng, dan keluarga-keluarga lainnya. Ekonomi keluarga tentu harus tetap berputar. Ada atau tidak ada pertandingan di stadion. Ini yang harus dicari jalan keluarnya.

Dari Kreativitas ke Ekonomi

Sudah dua kali Persebaya melakukan live streaming pertandingan mereka selepas musim 2019 selesai. Jika dipelajari dan didata betul, ini peluang besar. Tampilan dan suguhannya tidak kalah dari TV nasional. Lebih menarik lagi karena live streaming tersebut punya nilai lebih yang tidak dimiliki siapapun, yaitu bersinergi dengan salah satu SMK di Surabaya. Memperlihatkan kepada dunia bahwa anak-anak SMK ini mampu. Value Persebaya inilah yang tidak dimiliki oleh klub manapun di Indonesia saat ini (tolong koreksi jika saya salah).

Bicara soal keberhasilan live streaming maka akan bicara juga soal referee cam. Ide tersebut memang sedikit terkesan biasa saja (bukan sebuah ide baru karena sudah diaplikasikan di olahraga yang lain) namun solutif bagi perkembangan sepak bola tanah air dan yang terpenting tetap bisa jadi pundi-pundi ekonomi untuk klub. Konten referee cam pada akhirnya ditunggu publik dan diklik untuk mencari tahu isinya. Termasuk oleh penulis.

Ekonomi kreatif memang butuh ide-ide baru. Begitupula Liga Indonesia. Tentunya ide-ide baru yang solutif agar industri sepak bola yang masih sangat hijau ini dapat terus berkembang ke arah yang lebih baik.

Keberhasilan live streaming dan konten referee cam memperlihatkan bagaimana roda ekonomi dari internet bisa digenjot menuju maksimal. Penulis saat ini tidak mengetahui berapa puluh ribu jumlah pasti anggota Persebaya Selamanya (PS) yang terdata dan berapa jumlah penikmat sepak bola Indonesia dan Persebaya Surabaya di luar sana. Tentu menurut hitung-hitungan asal penulis angkanya pasti lebih banyak ketimbang anggota Persebaya Selamanya.

Suporter dunia maya yang tak terhitung jumlahnya ini perlu digarap maksimal oleh Persebaya, karena peluangnya ada dan terbuka lebar. Keberhasilan live streaming dan konten referee cam serta iklan sponsor klub yang sukses diputar berulang kali membukakan mata penulis bahwa peluang Persebaya untuk membuat streaming over-the-top (OTT) sudah tinggal disegerakan saja.

Bagi yang tidak tahu apa itu OTT, ia adalah konten video yang didistribusikan kepada penikmat atau penontonnya melalui jaringan internet dan diharuskan untuk subscribe. Biasanya lewat suatu platform seperti Netflix, Amazon Prime, ESPN+, Disney+, NFL Game Pass dan lain-lainnya. Kalau di Indonesia, OTT saat ini seperti Vidio, Mola TV, atau RCTI+ misalnya. Tapi bisa juga dengan menggunakan platform milik klub sendiri (apps).

Bicara sedikit lebih jauh, biasanya akan ada yang tidak terima jika harus berbayar. Hal ini lumrah. Tapi rasanya kalau hal itu (OTT) sampai benar terjadi di Persebaya maka akan selalu ada solusinya. Sebagai contoh kecil saja, bagaimana lisensi terkait jual beli merchandise Persebaya non-original pun sampai saat ini masih berjalan dengan baik. Persebaya dengan pasar mereka pun sama halnya dengan para pedagang di luar sana juga dengan pasar mereka sendiri. Kembali lagi, mereka hanya tinggal adu kreativitas saja dan penulis melihat manajemen Persebaya tidak mematikan hal ini kepada para pedagang di luar sana (sampai 3 tahun ini).

Konten yang dibuat oleh Persebaya memang sudah cukup dekat dengan kehidupan kita sehari-hari juga kehidupan sebagai seorang pemain. Yang menuntut mereka untuk berlatih, fisik (gym) dan lain-lainnya. Maupun main Play Station, tebak-tebakan atau sekedar jalan-jalan dan kulineran supaya mentalnya seimbang dan juga sehat. Sebagai contoh, penulis sangat suka sekali dengan konten Ricky Kambuaya dan Patrich Wanggai yang sangat natural, jenius dan sedikit komedi. Sehingga kita bisa lihat sisi lain seorang Patrich misalnya yang menurut penulis cocok jadi aktor karena pintar. Mungkin perlu ada segmen khusus untuknya di masa depan.

Persebaya sebagai klub memang perlu beradaptasi dengan ekosistem industrinya yang saat ini masih belum memberikan kepastian seratus persen bagi usaha dan modal yang mereka tanam. Tapi dengan kreativitas, menurut penulis problem itu lambat laun akan menjadi hal lalu bagi Persebaya.

Menaikkan standar industri sepak bola nasional beberapa kali lagi, bukanlah hal baru dan juga susah bagi Persebaya. Ini saatnya Persebaya dan juga suporter mereka, Bonek-Bonita memakai pemikiran kritisnya untuk menjawab tantangan-tantangan ekosistem yang masih ada dengan cara yang positif dan berkelas. Karena pada hakikatnya, dengan nilai-nilai dan pengalaman yang dimiliki Persebaya dan suporternya, apapun tantangan yang ada di depan mata sudah selayaknya bisa beradaptasi dengan kondisi ketidakpastian itu.

Akhir kata mari perbanyak kreatifitas (bisa dalam bentuk konten dan lain-lain) sehingga roda ekonomi dalam ekosistem ini dapat berjalan dengan baik dan industri sepak bola Indonesia perlahan bisa berkembang dan tumbuh dengan baik di masa depan. Jangan sampai terlambat, karena terlambat sedikit kalian tidak akan mendapatkan manfaat maksimal dari masih hijaunya industri ini sekarang. Segerakan!

*) Adipurno Widi Putranto, tinggal di Surabaya. Bisa ditemui di akun @analisiscetek atau [email protected]

The post Bangun Roda Ekonomi Lewat Kreatifitas appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
30901
Mentalita Persebaya https://emosijiwaku.com/2019/01/06/mentalita-persebaya/ Sun, 06 Jan 2019 05:45:23 +0000 https://emosijiwaku.com/?p=22970 Sama halnya dengan mentalita yang telah dijelaskan sebelumnya, perjalanan Persebaya di Liga 1 yang lalu punya analogi yang sama. Klub amat percaya diri dan punya tujuan bahkan dari sebelum Liga dimulai. Sistemnya dibuat terstruktur sejak awal. Mereka punya sikap dan tingkat percaya diri yang sangat besar dengan para pemainnya.

The post Mentalita Persebaya appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
Lalu bagaimana jika tidak ada tambahan pemain baru. Alias hanya mengandalkan pemain-pemain lama? Tanya penulis kepada sosok di seberangnya.

“Wani!,” jawab lelaki bertopi hitam di seberang sana. Dengan percaya diri, si rekan “gosip” ini menjelaskan alasan mengapa dirinya amat percaya kalau para pemain yang mengantarkan Persebaya juara Liga 2 tersebut sangat mumpuni dan layak diadu untuk bertarung di Liga 1. Titik.

Ya, itulah tadi sekelumit penggalan cerita “gosip” penulis dengan dua kenalannya, hampir satu tahun lalu. Saat itu kami bertiga janjian bertemu di salah satu mall di Surabaya Timur sambil ngopi dan makan donat, berawalan J berakhiran Co. Salah satu kenalan yang saya temui merupakan orang dalam klub dan baru saja dapat libur setelah berhasil menjadi juara Liga 2. Sedangkan 1 kenalan penulis lainnya, punya jangkauan relasi yang luas di Surabaya dan paham sejarah klub. Meskipun jersey yang dipakai bertemu saat itu Persiba Bantul, klub asal Yogyakarta. Bukan klub idolanya, Persebaya Surabaya.

Seiring berjalannya waktu, “gosip” kami sebelumnya itu berakhir dengan perpanjangan kontrak 17 pemain lama. Mereka dijadikan sebagai pondasi bagi klub untuk mengarungi tantangan di level selanjutnya, Liga 1. Atau dengan kata lain, ini sama halnya dengan lebih dari setengah punggawa Persebaya di Liga 2 akan mengadu kemampuan di Liga 1. Oleh karena itu jawaban di kedai makan donat waktu itu bukanlah jawaban main-main. Namun jawaban yang sangat jelas dan berdasar.

Mentalita?

Sebelum lanjut membaca, sejujurnya saya hanya tergelitik untuk kasih judul mentalita. Kenapa? Karena saya sebenarnya nggak tau apa itu mentalita yang sepertinya sedang hot-hotnya di kalangan suporter. Mentalita Jakarta lah, Surabaya lah, Bandung lah, dan lain-lainnya. Beberapa diantara suporter-suporter ini biasanya juga menambahkan kata ini sebagai caption dalam profile picture atau postingan media sosial berbagi foto miliknya. Bukan hanya itu saja, banyak dari mereka ini ketika difoto justru ngumpet-ngumpetin muka (tapi tetap minta difoto) sambil mengepalkan tangan seperti petinju yang sedang memperlihatkan kesiapannya untuk bertarung. Ini sebenarnya belajar dari mana ya?

Dari beberapa tulisan dan penelitian terdahulu, kata mentalita asalnya dari Italia yang berarti mentality dalam bahasa Inggris atau mentalitas dalam bahasa Indonesia. Dalam dunia persepakbolaan dan suporter, mentalita ini lebih menjelaskan kepada sikap atau perilaku yang dipegang kuat, optimis dan percaya diri oleh seseorang untuk mencapai cita-cita atau tujuan yang diinginkan. Sedangkan menurut penjelasan KBBI, mentalitas adalah faktor penentu dalam pembangunan (kepercayaan diri) untuk mencapai tujuan.

Kunci dari kata mentalita, selain sikap yang dipegang kuat adalah adanya cita-cita dan tujuan. Mentalita yang akan dituliskan dibawah ini bukan cerita mentalita suporter yang pemaknaannya lebih jauh sudah berubah dari aslinya. Apa bedanya? Mentalita suporter akan bercerita soal kumpulan orang yang biasanya terorganisasi secara terstruktur. Mereka juga punya ideologi dan tujuan pergerakan yang sama. Sayangnya, umumnya mentalita jenis ini (ultra) di Italia sana, membutuhkan musuh dan juga lawan untuk memperlihatkan eksistensi dan pengaruhnya.

Mereka umumnya punya musuh dan lawan bersama seperti polisi, otoritas sepakbola dan tentu ultra grup lainnya. Tidak salah memang gaya suporter-suporter (di Indonesia) yang gemar bicara atau menyebut dirinya mentalita, setiap difoto seperti layaknya seorang petinju dan lebih sering nggak mau memperlihatkan mukanya. Meski anehnya tetap ingin tampil di dalam foto. Mungkin itu keren ya? No! Tapi tulisan ini tidak akan kesana karena itu bukan karakter atau budaya kita. Jadi kita tinggalkan saja di Italia sana.

Alfredo Vera dan Gol-Gol Cantiknya

Sama halnya dengan mentalita yang telah dijelaskan sebelumnya, perjalanan Persebaya di Liga 1 yang lalu punya analogi yang sama. Klub amat percaya diri dan punya tujuan bahkan dari sebelum Liga dimulai. Sistemnya dibuat terstruktur sejak awal. Mereka punya sikap dan tingkat percaya diri yang sangat besar dengan para pemainnya. Tak ayal 17 pemain lama dijadikan pondasi. Tidak berhenti disitu saja, organisasi permainannya pun dibuat sedemikian rupa untuk menghasilkan sistem permainan yang diinginkan Vera. Sepanjang pengamatan dan ingatan penulis, fokusnya lebih ke proses-proses-proses. Baik ketika menyerang maupun saat bertahan. Satu tujuan. Semua based on template skema yang sepertinya telah dibuat oleh tim pelatih dan harus dijalankan sempurna.

Untuk membuktikan analisis di atas, tentunya paling kentara terlihat dari cara bermain Persebaya. Era Vera jauh lebih menitikberatkan pada passing bawah dari kaki ke kaki, memindahkan bola dari kanan ke kiri dan sebaliknya. Di mana penekanannya diarahkan untuk mencari ruang terbuka bagi satu orang pemain yang akan muncul tanpa terjaga di sisi sayap. Barulah proses terakhir untuk mencari gol dimulai dari sana.

Banyak peluang memang tercipta. Sayangnya, proses ketika mencari ruang terkesan lebih lama daripada jumlah konversi peluang menjadi golnya. Ini terlihat dari jumlah gol yang dihasilkan oleh Persebaya ketika dibesut oleh Vera, di mana hampir setengah dari 26 gol yang dihasilkan, terjadi di atas menit 70.

Meski begitu, proses gol saat era Vera memang cenderung jempolan. Selama 18 pertandingan, mayoritas gol lahir dari umpan terobosan. Kehadiran Robertino dan cara bermain Rendi memang cukup menjadi nyawa bagi aliran bola dan serangan Persebaya pada saat itu. Sayangnya, kecantikan proses gol-gol tersebut seakan tidak memiliki banyak arti. Penyebabnya karena di balik cantiknya gol-gol Persebaya, Vera dan tim pelatih tak mampu menyembunyikan kekurangannya di sektor belakang.

PR Vera Tak Pernah Terjawab

Sampai hari ini Alfredo Vera belum bisa memberikan bukti kepada publik maupun dirinya sendiri untuk menjawab problem yang terus terjadi sejak Liga 2. Penyebabnya karena ia tak lagi menjabat posisi pelatih kepala Persebaya selepas pulang dari Serui, Papua.

Sistem high defensive line yang terlihat sering dipilih Vera, ketika itu cukup sering membuat bek-bek Persebaya lomba lari dengan para penyerang tengah maupun sayap lawan. Ada kalanya proses ini berakhir menjadi gol namun ada kalanya juga Miswar dan para bek lebih cekatan menggagalkan peluang yang tercipta ini. Tapi tak seluruhnya salah sistem yang dibuat Vera.

Jika dibandingkan dengan penggantinya, Vera tidak beruntung karena punya masalah dengan tingkat kebugaran fisik Otavio Dutra. Fisik bek yang dielu-elukan para bonek ini entah mengapa tak lagi sama seperti ketika ia bermain dengan Persipura dan Bhayangkara. Ini cukup jadi masalah karena tentunya dengan label pemain asing, satu posisi di belakang sudah hampir pasti diberikan untuknya. Selama 18 pertandingan dibesut Vera, Dutra hanya main 9 kali. Delapan kali sebagai starter dan satu kali sebagai pengganti.

Dari catatan-catatan pertandingan yang dilihat dan diingat, Dutra terlihat sering kalah lari dan kalah bola atas ketika set piece tiba. Fisiknya saat itu juga terlihat lebih cepat terkuras bahkan sebelum wasit meniup peluit di akhir pertandingan. Tapi, lagi-lagi ini juga bukan salah Dutra sepenuhnya. Posisi kanan yang ditempati Abu Rizal Maulana ketika itu juga jadi penyebab. Karena sepanjang 18 pertandingan tersebut kerap dieksploitasi lawan atau jika boleh diartikan jadi salah satu lubang dan titik lemah Persebaya era Vera.

Organisasi di belakang memang dalam beberapa pertandingan saat itu seringkali terlihat berantakan. Utamanya ketika masa transisi dari menyerang ke bertahan. Kadang, untuk mengamankan gawang agar tak kebobolan para pemain terdekat dari lawan berusaha menghentikannya sebelum masuk kotak 16. Namun seringkali peluang dari bola mati inilah yang menjadi keuntungan bagi lawan untuk mengkonversinya jadi gol. Penyebabnya karena organisasi Persebaya sewaktu set piece mengkhawatirkan. Padahal postur para beknya terhitung cukup mumpuni. Mulai dari 170 cm hingga 190 cm. Problemnya mungkin ada didalam timing lompatan serta kemampuan membaca arah bola dan ketika menjaga pemain lawan (problem individu) atau memang pengorganisasiannya (saat itu) tidak dipersiapkan dengan benar sewaktu latihan. Hanya Vera dan tim pelatih yang bisa menjawabnya.

Adaptasi jadi Kunci

Langkah Persebaya memilih Bejo Sugiantoro sebagai caretaker untuk mengganti Vera bisa dimengerti. Selain dirinya adalah bagian dari sistem kepelatihan di Persebaya, ia juga akan jauh lebih diterima oleh suporter ketika fase transisi kepelatihan tim utama tersebut. Mengapa? Karena pada fase-fase kritis semacam ini pilihannya hanya ada 2, Persebaya makin menurun atau justru bounce back dan berhasil mendapatkan simpati serta kepercayaan kembali dari suporter dan juga pemain. Sosok simbol semacam ini maka perlu untuk ditonjolkan.

Pemilihan tersebut memang tidak salah. Jika diperhatikan secara seksama, dari segi permainan era Bejo bersama Djadjang Nurdjaman memang terjadi perubahan penampilan. Namun sejatinya menurut analisis penulis mereka berdua hanya meneruskan dan merapihkan skema yang dibuat sebelumnya oleh Vera. Jika diperhatikan lebih mendetail lagi beberapa PR Vera juga diperbaiki terus menerus. Artinya, keduanya berhasil memberikan solusi atas permasalahan-permasalahan yang muncul pada kepemimpinan Vera tersebut.

Djadjang dan Bejo memang jauh lebih beruntung dibandingkan Vera. Mereka mendapatkan fisik pemain yang jauh lebih bugar. Dutra contohnya, di beberapa pertandingan akhir musim, ia berhasil mengembalikan performanya. Fisik tak lagi terkuras sebelum 90 menit serta gerakan badannya kali ini jauh lebih rileks, lincah dan tidak terkesan kaku seperti sebelum-sebelumnya. Problem di sisi kanan juga dikurangi dengan memberikan Mokhamad Syaifuddin menit bermain sebagai solusi. Pemain multi posisi ini juga ketika Vera menjabat sering dibekap cedera.

Apakah ini ada hubungannya dengan keberhasilan salah satu transfer tengah musim Persebaya, dengan hadirnya dokter olah raga baru? Bisa ya, bisa juga tidak karena tentu hal ini ada pengaruhnya juga dengan intensitas dan jenis latihan yang dipersiapkan oleh tim pelatih serta kemampuan si dokter beradaptasi dengan rencana pelatih dan situasi yang terjadi di lingkungan sepak bola Indonesia. Seperti tingkat kekerasan lapangan latihan atau stadion, kontur tidak rata serta kondisi cuaca. Pokoknya semua yang akan mempengaruhi performa para pemain di lapangan.

Djadjang dan Bejo juga penulis yakini dianugerahi kemampuan komunikasi yang baik. Mengapa? Indikasinya sangat mudah. Terjadi perbedaan semangat bermain yang terlihat signifikan hampir di setiap pertandingan atau bahasa inggrisnya adalah permainan mereka kini lebih terlihat ngosek. Indikasi lainnya, gol-gol yang tercipta saat diracik oleh keduanya sebenarnya melalui skema yang sama seperti gol-gol cantik di era Vera. Untuk memperkuat analisis ini, lihatlah skema gol Persebaya di pekan ke-2 dan ke-4. Lalu kalau masih ingat, lihatlah pertandingan pekan 13 ada satu momen yang kami sebut sebagai cikal bakal lahirnya blitzkrieg (serangan kilat) Persebaya untuk gol-gol Da Silva dan Osvaldo Haay di era Djadjang dan Bejo. Bedanya, mereka kini main jauh lebih direct karena sudah mengerti kemampuan masing-masing pemain dan seperti punya target. Tanpa gol tidak akan tercipta kemenangan. Jadi gol adalah tujuan akhirnya.

Pemain juga kini jauh lebih tahu kapan harus mengumpan panjang, kapan harus mengumpan pendek. Kapan harus maksimalkan crossing, kapan harus maksimalkan peran sayap-sayap mereka dan kapan harus main dari tengah. Di antara pemain pun kini juga terlihat saling mengerti kemauan masing-masing pemain serta bagaimana posisi mereka dan perannya. Mau bukti? Bandingkan cara main Oktafianus Fernando sebelum dan sesudah dipegang oleh Djadjang dan Bejo. Atau lihat saat Djajang dan Bejo memberi kejutan dengan menampilkan kuartet Osvaldo Haay-Irfan Jaya-Oktafianus Fernando-Fandi Eko Utomo saat melawan Persib. Umpan tik-tak, sinkronisasi gerak serta gestur yang diperlihatkan keempatnya saat itu, kita seperti sedang diperlihatkan tontonan kemampuan mereka berkomunikasi telepati antar satu dan lainnya. Ini sesuatu yang progresif dan tidak pernah terjadi di era Vera. Nah itu baru dari sisi penyerangan. Lalu bagaimana dengan di belakang?

Josep Guardiola, pelatih Manchester City dalam suatu kesempatan mengatakan bahwa klub yang memainkan bola di belakang memiliki tingkat risiko lebih tinggi terhadap counter attack jika kehilangan bola. Penyebabnya karena ada ruang tersisa di belakang yang dapat dimanfaatkan lawan untuk membuka peluang gol. Sama halnya dengan Persebaya. Bedanya, kini para pemain belakang jauh lebih fokus dan bisa menyeimbangkan kemampuan mereka ketika menyerang dan bertahan. Belum lagi ada dukungan kebugaran fisik yang jauh lebih baik, sehingga episode kocar-kacir dan kalah lari yang biasa terlihat sebelumnya kini kurang lebih mulai dapat diminimalisir.

Mentalita Persebaya

Tren Persebaya yang positif selepas pekan ke-26 serta didukung pula dengan fluktuatifnya hasil pertandingan klub-klub lainnya, berhasil mengerek Bajol Ijo ke posisi 5 di klasemen akhir. Ini merupakan pencapaian yang sangat baik untuk sebuah klub debutan Liga 1. Menariknya lagi, selama semusim, lebih dari setengah atau 60 persen dari daftar starting line-up diisi oleh muka-muka lama.

Persebaya memang tak seperti klub lainnya. Mereka memilih untuk memaksimalkan para pemain lama karena percaya diri dengan kemampuan para pemain yang mengantarkan mereka naik kasta ke Liga 1. Slogan klub Wani! tersebut ternyata bukan hanya identitas di mulut, tulisan maupun merchandise mereka. Melainkan juga dipraktikkan secara nyata, dalam artian yang positif dan diperlihatkan benar sebagai mentalitas klub.

Posisi klasemen akhir bisa jadi gambaran analisis ini. Persebaya yang notabene sering diopinikan oleh beberapa pihak sebagai klub pelit karena tidak mau mengeluarkan koceknya untuk membeli pemain mahal juga berlabel bintang, kini justru secara posisi berdiri gagah di antara 2 klub yang di awal musim royal dan tak pernah pelit. Seperti Sriwijaya FC dan Bali United.

Delapan belas tim yang berlaga di Liga 1 ini juga tak melulu bicara soal pemain bintang bergaji tinggi. Selain Persebaya, contoh lainnya adalah Persib Bandung. Khusus pada musim 2018 lalu, Pangeran Biru diisi materi yang menurut penulis di luar dugaan. Tidak ada lagi nama Essien, Carlton Cole ataupun Van Dijk disana. Siapa yang membayangkan seorang muka baru bernama Ardi Idrus justru jadi pemain utama di Persib dan punya peran cukup besar bagi klub. Eka Ramdani juga diujung akhir kariernya justru dapat kembali ke Persib dan bersaing dengan nama-nama beken yang sudah ada sebelumnya disana untuk bahu-membahu membantu Persib mencapai targetnya. Meski akhirnya pun gagal juara.

Patut diingat, pertandingan sepak bola di era industri bukanlah tarkam yang biasa kita lihat di kampung-kampung atau antar desa. Klub-klub ini tak melulu harus bergantung dengan pemain bintang untuk menang ataupun untuk juara. Klub pun tak melulu harus juara setiap waktu dan juga setiap saat. Kalau dikelola dengan kaidah-kaidah industri secara benar maka mereka jauh lebih perlu bergantung dengan keseimbangan neraca bisnisnya terlebih dahulu. Kenapa? Karena inilah motor penggeraknya.

Bicara bisnis dan industri kita harus sama-sama tahu bahwa untuk maju, bisnis tersebut harus berkembang. Bagaimana kita dapat memastikan sebuah bisnis berkembang? Paling mudahnya adalah memastikan apa yang diinput harus lebih kecil dibandingkan outputnya. Kalau ini bisa dipraktikkan dan menghasilkan artinya bisnisnya berkembang atau bahasa jawanya adalah growth. Sedangkan kalau antara input dan output sama, hasil akhirnya adalah impas atau balik modal saja. Lalu bagaimana jika input yang diberikan besar namun tidak memberikan hasil output yang diinginkan? Itulah Sriwijaya FC dan Bali United di musim kali ini.

Ilusi Klub Kaya

Persebaya menurut penulis adalah klub yang kini sedang dalam tahap evolusi. Seperti yang pernah dituliskan dalam analisis terdahulu bahwa tak ada yang benar-benar bisa diharapkan dari sisi bisnis maupun tim dalam waktu baru menginjak tahun kedua selain wait and see.

Posisi si pemodal kini tentunya masih meraba. Untungnya juga manajemen tim ini bukan tipe pendongeng janji yang muluk-muluk. Mereka kelihatan lebih senang diam dan memperlihatkan hasilnya (terlepas baik dan buruk pada akhirnya) meski banyak juga media yang menggoreng berita di luar sana. Baik surat kabar, daring ataupun media-media kekinian yang menjamur dan berkembang pesat saat ini lewat instagram. Bahkan sekarang kelompok suporter pun punya media. Luar biasa memang. Tapi, inilah hakikat industri sepak bola yang sebenarnya. Klub bisa memberikan manfaat berupa engagement dan oplah dalam bentuk revenue bagi “lingkungan” di sekitarnya. Jadi sejatinya di luar sana banyak yang mendapatkan manfaat dari Persebaya jika mampu membuat model bisnisnya.

Tahun ini adalah tahun ketiga. Tahun dimana di akhir musim nanti, klub sudah jauh lebih mengerti dan memahami lingkungan sekaligus pola bisnis dan pendapatan mereka. Kalau masih bicara tahun kedua, menurut analisis kami Persebaya berada dalam posisi menjanjikan dan punya peluang besar untuk tumbuh jauh lebih baik lagi. Tapi menurut penulis, Persebaya saat ini bukanlah klub kaya dari usaha bisnisnya.

Tahun ini, Bajol Ijo memang sudah naik kasta ke Liga 1 namun jumlah rata-rata penonton Persebaya di Gelora Bung Tomo ternyata baru terisi sekitar 57 persen dari total kapasitasnya atau 28.535 penonton dari 50 ribu tempat duduk yang tersedia. Secara kuantitas, jumlah ini terbilang kecil jika dibandingkan penonton Persija sewaktu mereka berkandang di Jakarta tahun ini. Dengan total jumlah kapasitas sebesar 76.126 tempat duduk, selama 3 kali penyelenggaraan tingkat keterisiannya mencapai 84 persen atau rata-rata 63.912 penonton.

Bukan hanya kuantitas, secara kualitas juga masih banyak ruang kosong di stadion. Terlebih jika jadwal yang dipertandingkan bukan klub besar. Ketika melawan PSMS Medan misalnya, jumlahnya terjun bebas menjadi hanya 10.426 penonton saja atau sebesar 20 persen dari total kapasitas Gelora Bung Tomo.

Kondisi berbeda terlihat di Makassar. Apapun lawannya, suporter mereka terus memadati setiap pertandingan. Lebih dari 11 ribu penonton terus hadir mensupport tim tak peduli klub besar atau klub yang kekuatannya tidak setingkat sekalipun. Selama 17 pertandingan, rata-rata jumlah penonton di Makassar mencapai 13 ribu dari total kapasitas sebesar 15 ribu.

Tapi GBT kan sering full house? Stadion sering full house itu juga bukan jaminan sebuah klub menjadi kaya. Apalagi jika tingkat seringnya hanya 4 dari 17 kali pertandingan home. Sama sekali bukan jaminan. Karena pendapatan dari tiket ini juga belum sepenuhnya maksimal, maka tentunya akan ada pertimbangan-pertimbangan yang jauh lebih mendetail lagi untuk mengeluarkan uang. Contohnya misalnya terkait dengan budget pembelian pemain. Kenapa? Karena jawabannya ada didalam teori input-output sebelumnya.

Perlu diketahui pula pendapatan dari tiket biasanya di klub-klub Eropa porsinya mencapai 30 persen dari modal klub selama semusim. Nah sekarang dihitung lagi saja, kalau misalnya ruang-ruang kosong di stadion tersebut masih sering terlihat artinya pemasukan klub tidak sepenuhnya maksimal. Jadi cukup masuk akal juga kan kalau beberapa pihak melihat manajemen klub ini pelit? Karena sejatinya kesulitannya ada di sana. Belum lagi uang-uang yang dikumpulkan tersebut juga di dalamnya untuk membiayai administrasi klub serta pengembangan tim junior, menjalankan kompetisi internal, atau juga untuk membayar denda Komdis dan lain-lainnya. Tidak hanya untuk membiayai kebutuhan tim utama saja.

Oleh karena itu, klub butuh suporter-suporter baru yang mendadak bonek untuk mengisi ruang-ruang kosong tersebut. Namun sebelum sampai kesana klub perlu menjawab isu utama yang muncul sejak Liga 2, yaitu akses menuju Gelora Bung Tomo yang masih bermasalah. Tantangan ini harus dijawab oleh manajemen dengan mendekat ke Pemkot Surabaya untuk menjaring lebih banyak mendadak bonek lainnya. Tak hanya itu, inovasi-inovasi berkaitan dengan fan experience dan fan engagement juga harus terus diupayakan didalam lingkungan stadion. Sehingga apa yang dipersepsikan oleh beberapa pihak bahwa Persebaya adalah klub kaya, cepat atau lambat menjadi kenyataan dan tak lagi menjadi ilusi.

Sampai Jumpa di 2019     

Kapan dimulainya Liga 1 2019 masih samar. Namun banyak klub mulai berbenah dan memberanikan diri mengontrak pemain-pemainnya. Termasuk Persebaya. Berkaca dari refleksi musim lalu dan benchmark dari klub-klub kontestan Liga 1 lainnya, maka Persebaya kini tidak boleh telat start untuk memulai latihan. Fisik jadi hal yang utama untuk diperbaiki di musim ini. Selain itu klub perlu juga menyiapkan sejumlah uji coba yang telah disesuaikan jadwal dan waktunya agar para pemain bisa mencapai peaknya tepat waktu. Bukan malah sebaliknya, kelelahan karena tidak tepat mengatur ritme latihan dan jadwal uji coba.

Pengalaman musim lalu bisa jadi acuan. Juara liga, Persija mulai mempersiapkan diri 1 bulan setelah pertandingan terakhir mereka atau 18 Desember 2017. Total 20 pertandingan mereka lahap hingga Liga 1 dimulai. Sedangkan PSM Makassar, memulai pre-season pada 6 Januari 2018 atau 2 hari lebih lambat bahkan dari Persebaya dan hanya mengikuti 5 pertandingan pre-season resmi. Jumlah ini juga lebih sedikit dari jumlah pertandingan pre-season resmi yang diikuti Persebaya, yaitu 9. Artinya apapun pilihannya, pendekatan dan perencanaan yang tepat dari tim pelatih di awal musim akan mendekatkan peluang untuk masuk ke jalur 3 besar posisi akhir klasemen. If you fail to plan you are planning to fail.

Sampai jumpa di Liga 1 2019. Semoga mentalitas Wani! yang diperlihatkan Persebaya di Liga 1 2018 dapat diikuti dan diperlihatkan oleh seluruh stakeholdernya di tahun yang baru. Wani!

*) Adipurno Widi Putranto, tinggal di Surabaya 7 hari setiap bulannya. Bisa ditemui di akun @analisiscetek atau [email protected]

The post Mentalita Persebaya appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
22970
Harga Tiket, Berkah atau Musibah? https://emosijiwaku.com/2018/03/19/harga-tiket-berkah-atau-musibah/ Mon, 19 Mar 2018 05:17:17 +0000 http://emosijiwaku.com/?p=15290 Laga pamungkas pre-season bersiap dilangsungkan, suara-suara menyoal harga tiket kemudian bermunculan. Namun laga harus tetap dimainkan.

The post Harga Tiket, Berkah atau Musibah? appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
Laga pamungkas pre-season bersiap dilangsungkan, suara-suara menyoal harga tiket kemudian bermunculan. Namun laga harus tetap dimainkan.

Satu bulan lalu, salah satu kontestan Liga 1 yang bermarkas di kota Seribu Sungai, Barito Putera melakukan launching tim dengan bershalawat. Tradisi mendoakan ini sejatinya tidak asing di sana, karena kultur yang dibangun keluarga pemilik Hasnur sejak dulu memang juga demikian. Tradisi yang dibawa ke acara launching Barito Putera tersebut diharapkan dapat memberikan kelancaran bagi klub dalam mengarungi kompetisi Liga 1 musim ini.

Minggu (18/3), hal yang sama juga terjadi di Surabaya. Persebaya bersiap melakoni doa akbar untuk kelancaran perjalanan klub semusim ke depan. Bedanya, doa akbar yang rencananya akan dilakukan oleh tokoh-tokoh agama dan anak-anak yatim piatu tersebut diisi pula dengan laga pamungkas pre-season Bajol Ijo. Tidak tanggung-tanggung, lawannya klub dari negeri jiran Malaysia, Sarawak FA.

Laga pamungkas melawan klub yang bermain di kasta kedua Liga Malaysia tersebut masuk sebagai bagian dari international friendly match. Sampai di sini tidak ada masalah. Masalah baru bermula ketika publik mengetahui harga tiketnya. Tiket termurah dibanderol pada angka Rp 50 ribu. Suara-suara mulai bermunculan, aksi juga dilakukan oleh kalangan suporter terkait harga tiket ini. Lalu apa yang salah?

Harga Tiket Melonjak

Harga tiket Rp 50 ribu untuk sebuah match dianggap kelewat tinggi oleh sebagian kalangan suporter. Pasalnya harga tiket yang biasa dijual saat laga-laga Persebaya sebelumnya di Liga 2 adalah Rp 35 ribu untuk sekali pertandingan. Harga tiket terbaru, diperkenalkan oleh panitia penyelenggara (panpel) Persebaya pada laga Celebration Game dan ketika Piala Presiden. Angkanya? Rp 40 ribu untuk sekali pertandingan.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan harga tiket Rp 50 ribu tersebut, karena alasan yang digunakan juga masuk akal. Laga ini bertajuk international friendly match. Alias laga internasional. Klub yang didatangkan adalah klub luar, ada biaya yang harus dikeluarkan di sana dalam kaitannya dengan match fee dan juga akomodasi untuk klub tersebut selama tinggal di Surabaya.

Sederhananya begini, masih ingat cerita dari Tasikmalaya beberapa waktu lalu? Mario Gomez, pelatih baru Persib berani menyentil klubnya sendiri dan pihak pengundang terkait bayaran match fee yang tak kunjung datang untuk Persib dan para pemain (mungkin sampai hari ini?). Padahal mereka sudah menunaikan tugasnya di sana melakukan laga eksibisi.

Apa yang disuarakan sang pelatih, dalam kerangka berpikir industri sepak bola sudah benar dan memang sudah selayaknya klub dengan nama besar dibayar untuk bermain di sana. Kenapa? Karena nama besar klub memiliki nilai masing-masing. Bicara profesionalisme maka semua orang yang bekerja, tidak bisa lelahnya hanya dibayar dengan kata terima kasih dan sebatas salaman atau cium pipi kanan dan kiri lalu pulang. Kecuali atas hubungan teman, kolega atau keluarga. Nah itu lain cerita.

Belajar dari sentilan Mario Gomez lalu, sebenarnya itu yang terjadi dalam laga Persebaya kali ini. Pengundang dalam hal ini bisa klub lewat manajemen, bisa pula dibantu lewat promotor.

Peran promotor ini juga pasti ada biayanya. Mereka berperan sebagai middle men, orang yang mengais rezeki (juga kerugian) dari bisnis hingar bingar sepak bola. Dalam kaitannya dengan industri sepak bola, mereka berjudi dengan uangnya untuk menyelenggarakan suatu pertandingan. Caranya dengan mengundang dua tim untuk bertanding atau membantu mempertemukan salah satu tim dengan tim lainnya. Harapannya pertandingan tersebut laku dijual di mata para suporter.

Lalu apa hubungannya dengan laga ini? Ada yang menarik dari munculnya kehadiran promotor dalam rangkaian laga persahabatan internasional ini. Dengan kata lain sebenarnya laga ini adalah laga kerja sama besutan antara Persebaya dan promotor. Bukan laga besutan panpel Persebaya seutuhnya. Ini dua hal yang berbeda dengan laga persahabatan internasional yang dihelat Sriwijaya FC beberapa waktu lalu. Apa saja indikatornya? Selain karena ketiadaan promotor, hal yang lain adalah formula harga tiket yang dijual di sana merupakan harga tiket yang dipersiapkan untuk mengarungi laga kandang Sriwijaya FC Liga 1 musim depan.

Kalau masih bingung, perlu belajar lagi dari laga persahabatan tim nasional senior melawan Islandia yang lalu. Harga tiketnya melonjak tinggi dalam sejarah tim nasional. Tapi dibalik itu, ada lawan berkualitas dengan embel-embel anggota Piala Dunia 2018. Laga itu? Besutan promotor juga dengan nama Mediapro yang bertugas mewujudkan pertandingan tersebut. Sekarang tinggal objective atau tujuan dari pelaksanaan pertandingan itu apa? Pemantapan strategi dan taktik tim kah? uji coba penjualan tiket online kah? atau 100 persen murni hiburan. Bisa apa saja, bahkan bisa dibuat untuk membantu laga penyetaraan lisensi sang pelatih misalnya. Itu tergantung kedua belah pihak dan akan menentukan dari segi pemasukan.

Untuk biaya jasanya, namanya bisnis dan industri ya tinggal urusan matematika saja di belakangnya. Di titik inilah nilai sebuah timnas atau klub akan menentukan biaya yang didapatkan atau dibayar oleh mereka. Jika 100 persen promotor yang membuat pertandingan tersebut (contohnya adalah gelaran International Champions Club (ICC) setiap tahunnya) maka kedua klub yang bertanding mendapatkan fresh money dari match fee dan juga tanggungan akomodasi. Namun jika pihak timnas atau klub yang meminta untuk dicarikan lawan tanding, pilihannya tinggal membayar langsung jasa tersebut ke pihak promotor atau melalui pembagian share dari penjualan tiket. Sesederhana itu.

Untuk pertandingan kali ini, dari penjelasan yang ada sejatinya Persebaya bekerja sama dengan pihak promotor untuk dicarikan klub lawan yang juga bertanggung jawab pula dengan kontrak broadcastingnya. Hal ini tergambar dalam kaitannya dengan masalah penyedia layanan siaran langsung yang dapat berubah dalam waktu hitungan hari dan yang sibuk mengurusnya adalah promotornya. Selain itu, dari posisi dan statement Presiden Persebaya baru-baru ini terlihat sekali dalam posisi nothing to lose dengan dinamika yang ada.

Seperti penjelasan sebelumnya, artinya tujuan atau objective dari pelaksanaan pertandingan Blessing Game ini bukan melulu soal meraup keuntungan. Namun ada hal lainnya yang hanya bisa dijawab oleh pihak klub. Menariknya, dinamika yang terbentuk karena harga tiket yang melonjak tersebut juga menguntungkan bagi manajemen untuk membaca dan menghitung besar kecilnya nilai Persebaya di mata suporter dan juga dalam kaitannya dengan penentuan harga tiket ke depan. Meski mekanisme trial and error seperti ini juga seharusnya tidak dilakukan oleh klub sekelas Persebaya karena seharusnya lebih bisa diminimalisir lewat riset lapangan sebelumnya.

Berkaca dari Kawan Lainnya

Problem harga tiket yang menyembul lewat laga pamungkas ini menurut penulis merupakan berkah bagi manajemen. Mereka akhirnya tahu dan mendengar sendiri suara suporter serta seperti apa gambaran kondisi suporter Persebaya saat ini. Dari pandangan penulis, hal ini perlu untuk menyesuaikannya dengan langkah manajemen pada program-program turunan selanjutnya dengan muara akhirnya tetap pada visi klub. Apa saja program turunannya? Silahkan ingat-ingat atau kembali baca konten mereka dalam tanda pagar PRESIDENMENJAWAB.

Pandangan soal harga tiket dari suporter memang sudah dapat didengar. Meski begitu kita perlu melihat situasi lingkungan yang ada di Liga 1, seperti apa harga tiket kawan-kawan baru Persebaya ini musim lalu. Tak lain supaya kita melihat problematika harga tiket ini secara obyektif.

Dari 15 klub yang masih tetap akan berlaga di Liga 1 musim ini, harga tiket untuk kelas ekonomi musim yang lalu bervariasi. Dari hasil riset kami, rata-rata harga tiket untuk kelas ekonomi ada di angka Rp 34.200 dengan harga tiket terendah untuk kelas ekonomi dipegang oleh Perseru Serui dan harga tiket kelas ekonomi tertinggi dipegang oleh Persija dan Bali United.

Meski harga tiket Persija dan Bali United tertinggi, namun harga tiket mereka tidak terpengaruh dengan adanya laga-laga yang dihitung sebagai big match. Di beberapa klub, harga tiket untuk laga big match mengikuti teori ekonomi, supply dan demand. Meski juga naiknya harga tersebut diikuti dengan dalih keamanan dan sebagainya. Tapi kondisinya di beberapa klub sejak tahun lalu seperti itu. Menariknya, dari data yang dihimpun tersebut harga tiket untuk laga big match tertinggi musim lalu dipegang oleh PS TNI (saat ini PS TIRA) dengan harga Rp 70 ribu (sewaktu melawan Persib Bandung). Sebelumnya bahkan harganya ditetapkan Rp 80 ribu sebelum akhirnya mereka “mengalah” dengan menurunkannya.

Kebanyakan klub yang mempunyai nilai jual tinggi dan basis massa besar menjual harga tiket untuk kelas ekonomi antara Rp 40 dan 50 ribu. Namun ada pula anomali dimana sebuah klub besar menjual harga tiket untuk 2 tribun ekonominya sebesar Rp 20 dan 30 ribu saja per pertandingan. Klub tersebut adalah Sriwijaya FC. Selain Sriwijaya, ada pula PSM Makassar dengan tingkat okupansi penonton per pertandingannya diatas 80 persen, menjual tiket ekonominya dengan harga hanya Rp 30 ribu saja. Fakta ini cukup mengejutkan karena menurut penulis, kelas PSM sudah setara dengan Persija dan Persib.

Satu hal yang menarik dari harga tiket kelas ekonomi 15 klub besar ini adalah harga tiket laga kandang Persela yang masih berada pada angka Rp 25 ribu saja per pertandingan meski lokasi mereka di Pulau Jawa. Setelah melihat beberapa parameternya, harga tersebut masuk di akal karena harga Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) Lamongan termasuk kecil di Pulau Jawa, sebesar Rp 1,9 juta per bulan tahun 2017 lalu. Bandingkan dengan UMK Surabaya tahun 2017 lalu yang ada di angka Rp 3,3 juta.

Bonek Card sebagai Solusi

Harga tiket beberapa klub besar dengan nilai klub yang sama dengan Persebaya tahun lalu berada di angka Rp 40 dan 50 ribu rupiah per pertandingan. Tentunya dengan pengalaman dari kawan-kawan klub tersebut dan masuknya Persebaya ke Liga 1 maka akan ada kenaikan dari harga jual tiket tersebut. Hal ini sudah dibuktikan dengan melonjaknya harga tiket per pertandingan yang dijual di dalam Bonek Card kategori Fans yang dibanderol dengan harga Rp 37.500 (quarter dan half season). Hal yang sama tidak terjadi jika membeli Bonek Card kategori Fans secara full season dimana per pertandingannya lebih menguntungkan karena hanya akan dikenakan Rp 29.411.

Naiknya harga tiket tersebut sejatinya bukan hanya terjadi di Persebaya. Beberapa klub sudah memperkenalkan harga tiket baru mereka dimana ada kenaikan sebesar Rp 5-10 ribu di beberapa kategori, seperti yang terjadi di Sriwijaya FC dan Persib Bandung. Persebaya sendiri juga sudah menguji cobakan harga tiket berbeda pada laga Piala Presiden lalu yang angkanya naik Rp 5 ribu dari harga tiket kategori fans sebelumnya di Liga 2.

Menyikapi situasi saat ini, perbedaan harga yang sudah diberikan dalam bentuk Bonek Card menurut penulis secara rata-rata ternyata sudah berada di bawah harga jual tiket ekonomi klub-klub besar lainnya. Sehingga menurut pandangan penulis, berdasarkan data yang ada dan parameter lainnya seperti UMK Surabaya tahun 2018 yang ditetapkan sebesar Rp 3,6 juta atau tertinggi se-Jawa Timur tersebut maka Bonek Card kategori fans adalah real deal untuk suporter. Mengapa? Karena harga tiket per pertandingan diluar Bonek Card tentu harganya akan lebih tinggi daripada nilai yang telah dijabarkan pada paragraf diatas sebelumnya tersebut.

Jika dirasa harga tersebut masih belum sesuai dengan keekonomian beberapa orang lainnya yang belum bekerja, tenang saja. Kenapa? Karena Indonesia adalah surganya tayangan langsung sepak bola secara gratis.

Meski saat ini telah masuk era industri sepak bola, namun pengenaan pay-per-view seperti yang kita rasakan lewat Liga Inggris maupun liga-liga lainnya via streaming berbayar belum dipraktikkan di Indonesia. Jadi, sepanjang semuanya belum dikomersialkan oleh operator dan klub mari kita nikmati bersama fasilitas tersebut. Suporter sepak bola di Indonesia sebagai bagian dari industri sudah sepantasnya bersyukur dengan berkah yang sampai hari ini masih dirasakan lewat tayangan gratis tersebut. Mau kapanpun, dimanapun, dan lagi apapun tinggal cari TV jika Persebaya bertanding selagi mempersiapkan untuk merasakan kembali pengalaman menonton di stadion di waktu yang lain.

Terakhir, seperti tajuk laga persahabatan pamungkas Persebaya hari ini mari sematkan doa terbaik untuk langkah Persebaya dan pemain mengarungi Liga 1 tahun ini. Semoga doa yang diberikan dapat memudahkan langkah Bajol Ijo dan kalian di setiap pertandingan baik kandang maupun tandang. Wani!   

Adipurno Widi Putranto, tinggal di Surabaya 7 hari setiap bulannya. Bisa ditemui di akun @analisiscetek atau [email protected] 

The post Harga Tiket, Berkah atau Musibah? appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
15290
Awal Baru, Kita Persebaya! https://emosijiwaku.com/2018/01/14/awal-baru-kita-persebaya/ Sun, 14 Jan 2018 10:04:29 +0000 http://emosijiwaku.com/?p=13559 Tak ada yang pernah menyangka. Satu klub menyatukan kita semua.

The post Awal Baru, Kita Persebaya! appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
Tak ada yang pernah menyangka. Satu klub menyatukan kita semua.

Slogan dengan tanda pagar (tagar) KITAPERSEBAYA diperkenalkan ketika fase 8 besar yang menyita waktu, mental dan uang yang tidak sedikit. Baik dari sisi pemain, manajemen dan juga Bonek. Meski dipermainkan oleh situasi dan kondisi yang tak menentu pada saat itu, namun akhirnya kesamaan fokus pada tujuan yang sama tersebut berhasil menjadi pemenangnya. Persebaya secara meyakinkan berhasil kembali ke kasta tertinggi bahkan dengan hasil maksimal. Juara Liga 2.

Selamat untuk Persebaya telah berhasil menjadi juara dan masuk ke Liga 1. Sayangnya euforia juara ini untuk sementara waktu harus cepat dibuang jauh-jauh dari memori. Tantangan Persebaya di Liga 1 pastinya jauh lebih besar, utamanya dari segi kekuatan dan kedalaman skuad, manajemen suporter hingga biaya operasional tim yang jauh akan membengkak hingga 2 sampai 3 kali lipat dari sebelumnya. Belum lagi dengan adanya tambahan tantangan regulasi Liga yang tidak bisa diprediksi baik di dalam maupun di luar pertandingan, yang tentunya dapat menguras mental maupun biaya yang juga tidak sedikit.

Lalu pertanyaannya, mampukah? Kalau bicara mental, jangan bicara dengan Persebaya. Mereka punya nyali dan berani memperjuangkan keyakinan mereka. Jadi untuk hal ini tak perlu diragukan lagi. Namun kalau bicara biaya, dengan sejumlah tantangan yang mengemuka dan nyata tersebut, ada tidak ya biayanya?

Adios Jawa Pos?

Jawa Pos yang notabene dianggap sebagai investor Persebaya (karena anak usaha mereka di lini usaha sportainment mengakuisisi saham mayoritas PT Persebaya Indonesia) kini perlahan mulai menghilang. Pertama, hilang sebagai sponsor di jersey pemain. Terbukti tak ada lagi alih-alih logo Jawa Pos sebagai apparel di jersey pemain. Bahkan tak hanya jersey, tapi juga di kaos dan seluruh merchandise Persebaya lainnya selepas artikel mereka di bulan November yang bertemakan Pahlawan dan Tret Tet Tet. Kedua, suplemen khusus Persebaya di Jawa Pos juga tak berlanjut. Meski sebenarnya model pemberitaan jenis ini juga tak berlanjut di daerah lainnya seperti Solo yang mendapatkan keistimewaan yang sama lewat anak perusahaan Jawa Pos di daerah. Ketiga, strategi marketing lainnya melalui bundling pembelian jersey dan berlangganan Jawa Pos selama 2 bulan juga sudah tidak digunakan kembali pada jersey pre-season mereka tahun ini. Tanda-tanda lepasnya Jawa Pos dari Persebaya terasa makin nyata.

Menghilangnya Jawa Pos dari Persebaya mungkin juga sudah direncanakan sejak sebelum November. Entah ada hubungannya atau tidak, namun di sela-sela 8 besar tersebut juga muncul berita di beberapa media online mengenai Azrul Ananda yang mengundurkan diri dari kursi pemimpin Jawa Pos Koran dan keinginan Dahlan Iskan untuk melego saham miliknya di Jawa Pos Holding. Pada akhirnya berita nomor 1 itu yang terkonfirmasi benar, diikuti dengan cerita Persebaya menjuarai Liga 2 dan berakhirnya suplemen khusus Persebaya di Jawa Pos pada awal Desember lalu.

Sebuah Awal Baru

Menghilangnya Jawa Pos adalah awal baru bagi Persebaya. Sebuah tantangan awal yang tidak main-main bagi Persebaya untuk keluar dari zona nyaman mereka selama ini. Biaya operasional tim yang sebelumnya banyak dipasok dari kocek Jawa Pos, tahun ini kemungkinan berkurang atau bahkan tidak akan ada lagi. Sehingga tidak dapat disalahkan pula jika manajemen akhirnya mengandalkan pemasukan utama mereka dari keberadaan sponsor. Pada akhirnya bargaining di sisi sponsorship inilah yang akan menentukan seberapa jauh dan cepat langkah klub ke depan nantinya. Beruntungnya, posisi tawar klub terhadap pihak sponsor kali ini terangkat karena adanya trofi juara Liga 2; sejarah dan nama besar klub yang tak bisa ditawar; penjualan jersey yang mencapai 10 ribu sampai akhir Desember lalu; serta stigma positif atas usaha perubahan yang dilakukan oleh Bonek sepanjang tahun kemarin. Seluruhnya mendukung ke arah coverage nasional yang lebih luas, baik melalui media cetak, televisi, online maupun orang per orang.

Tidak hanya dari sponsor, pemasukan sebuah klub juga datang dari broadcast (hak siar televisi), penjualan tiket dan penjualan merchandise. Khusus di Indonesia, ada tambahan pemasukan berupa subsidi klub dari pihak operator.

Belajar dari pengalaman klub-klub Liga 1 dan fokus klub pada visi Persebaya Forever rasanya untuk pemasukan dari hak siar kita anggap saja tidak ada. Mengapa? Alasannya karena nilai yang diterima klub tidak sesuai dengan pendapatan stasiun TV dari penjualan slot iklan pertandingan. Seluruhnya gelap. Selain itu skema penilaian berdasarkan rating juga tidak memberikan keadilan bagi seluruh kontestan karena indikator penilaiannya tentunya akan sangat subjektif dan terpengaruh dari nilai dan nama besar klub (basis suporter), kedalaman skuad (nama besar pemain), posisi klasemen, serta jadwal pertandingan (sore atau malam). Artinya, operator memiliki peran terbilang cukup besar untuk menentukan pendapatan hak siar yang akan diterima oleh klub di akhir penyelenggaraan Liga melalui jadwal yang mereka buat. Kalau Persebaya masih sangat berharap dari pendapatan ini tentunya akan berimplikasi pada keberlanjutan ongkos operasional tim di depan nantinya.

Dari sisi penjualan tiket, Persebaya sepertinya merupakan satu-satunya klub yang memiliki banyak pengalaman berharga dari musim lalu. Mulai dari inovasi Bonek Card, tiket online hingga offline semua memiliki masalah masing-masing yang sama besarnya.

Bonek Card sebagai terobosan yang brilian masih menyisakan masalah yang akan sangat mungkin muncul pada tahun ini, terutama ketika masuk pada fase pendistribusian kartunya. Sebenarnya jadwal serta regulasi yang belum jelas memang menjadi biang keladi utama untuk pendistribusian ini. Namun mengingat basis suporter Persebaya yang tidak hanya ada di Surabaya, serta menghitung tingkat fanatisme Bonek terhadap Persebaya yang sangat fanatik maka sistem distribusi ini menjadi hal utama yang harus segera dipersiapkan dari sekarang.

Tiket online dan offline juga memiliki masalah tersendiri yang sejatinya saling berkaitan satu sama lain. Untuk mengurangi peredaran calo, niat manajemen untuk membuka tiket online sudah benar. Sayangnya dalam perjalanannya sistem online yang digunakan pada musim lalu tidak terlalu memudahkan penonton. Sistem ticketing online yang lebih dekat dan mudah bagi masyarakat rasanya bisa menjadi pilihan. Apalagi jika sistem ini bisa turut pula dikomersilkan sebagai salah satu sponsor teknologi Persebaya ke depan.

Tidak berhenti di sana, dalam urusan tiket masih ada permasalahan yang perlu dicari jalan keluarnya terkait akses masuk stadion, yang puncaknya terjadi pada Celebration Game yang lalu. Jika mengacu pada komentator Liga 1 di televisi, maka kategori laga di Liga 1 hanya ada 2 menurut mereka. Big Match dan Super Big Match. Dimana pertandingan jenis ini sama hal nya dengan laga homecoming, anniversary dan celebration game yang lalu. Potensi membludaknya penonton sewaktu-waktu akan selalu ada di setiap pertandingan. Belajar dari pertandingan terakhir, hal ini berpotensi juga pada munculnya gridlock kemacetan di beberapa titik menuju stadion. Masalah ini harus dicari jalan keluarnya bersama dengan pemerintah kota jika ingin mendapatkan pemasukan maksimal dari penjualan tiket.

Dari sisi penjualan merchandise, Persebaya bisa dikatakan berhasil menjadi pendobrak penjualan merchandise klub di tanah air. Semua saluran distribusi penjualan dimasuki baik offline dan online. Setahun kemarin saja ketika masih di Liga 2, tiga offline store dibuka di lokasi-lokasi strategis. Mulai dari Graha Pena, Manyar (Surabaya Timur) hingga Bandara Internasional Juanda. Awal tahun ini bahkan mereka sudah meresmikan satu store di Surabaya Barat. Untuk ukuran Surabaya saja, penetrasi manajemen di sektor ini sangat masif. Artinya, manajemen sejatinya sangat bertumpu pada penjualan merchandise untuk menambah pemasukan bagi biaya operasional mereka. Padahal biaya untuk membuat satu store di sebuah ruko di Surabaya juga membutuhkan dana yang tidak sedikit.

Meski terlihat masif dan berhasil menjual 10 ribu jersey sampai Desember lalu, namun beberapa produksi jersey yang lalu sebenarnya masih menyisakan beberapa masalah. Harapannya pada tahun ini masalah tersebut dapat berkurang atau tidak ada sama sekali, seperti warna bahan yang tidak sama satu dengan yang lainnya. Sizing antar logo sponsor yang berbeda antar jersey meskipun dalam size yang sama, jahitan yang kurang rapih, serta size jersey yang berbeda meski dalam kategori produk yang sama. Dengan penetrasi yang sangat masif dalam hal merchandise, kontrol kualitas menjadi kunci untuk mendapatkan repeat order dari suporter, sehingga pendapatan dari sektor ini terus dapat dimaksimalkan bagi keberlanjutan klub ke depan.

Terakhir, jika pelaksanaannya sama dengan pelaksanaan Liga 1 tahun lalu maka Persebaya akan diberikan subsidi dari pihak operator yang nilainya akan ditentukan. Untuk hal ini, berkaca dari pelaksanaan yang lalu pembayaran subsidi ini ternyata masih dicicil sampai hari ini. Tentunya jika ingin melaksanakan visi Persebaya Forever maka biaya operasional dan bisnis klub sebaiknya tidak bergantung dari pemasukan ini.

#KITAPERSEBAYA

Sejumlah tantangan memang mengemuka untuk perjalanan Persebaya ke depan. Tantangan ini bahkan tidak mudah bagi masing-masing pihak yang cinta dan memberikan emosi serta waktunya untuk Persebaya dalam berbagai bentuk. Baik manajemen dengan beragam aspek dan modal dalam pengelolaannya, Bonek dengan beragam bentuk usaha dukungan, waktu dan biaya yang tidak ternilai untuk Persebaya serta sponsor dan investor yang memberikan dukungannya ke klub lewat dana dan program-program di luar sebagai sarana timbal balik bagi produk mereka. Seluruhnya saling terintegrasi dan berkontribusi satu sama lain bagi kemajuan Persebaya.

Kembalinya Persebaya di belantika kompetisi Liga Indonesia adalah buah dari usaha tak kenal lelah masing-masing pihak yang telah disebutkan di atas sebelumnya. Mulai dari Bonek, Manajemen, Sponsor hingga pihak-pihak di luar sana yang tidak tersorot sekalipun. Apa yang dicapai dan diperlihatkan oleh Persebaya sampai saat ini seperti rangkaian regu pelari estafet yang bermandi peluh keringat di sebuah lomba dan menjadi juara. Mereka bekerja sama. Bekerja keras di tiap fasenya untuk regunya. Bisa klubnya bisa juga atas nama negara.

Begitu pula yang terjadi di Persebaya pada fase awal Liga 1 saat ini. Kalaupun berita hilangnya dukungan Jawa Pos ke Persebaya itu benar dan ataupun seorang Andik Vermansah tidak jadi dikontrak Persebaya (yang mana sepertinya tidak mungkin :p) sejarah sudah membuktikan jika dilakukan bersama-sama dan sesuai dengan porsi dan peran masing-masing pihak, maka apa yang diimpikan bersama untuk Persebaya akan tercapai. Bahkan bukan tidak mungkin Persebaya tidak hanya menjadi lawan tangguh bagi klub lain, tapi justru menjadi kompetitor untuk menjadi juara di tahun pertama mereka di Liga 1 musim depan.

Mungkinkah?

Semua kembali lagi ke diri kalian. Apakah #KITAPERSEBAYA itu hanya akan berakhir sebatas tagar atau bisa menciptakan sejarah baru sebagai pendobrak kemajuan industri sepakbola di tanah air?

Semua kembali lagi ke diri kalian. Wani!    

*) Adipurno Widi Putranto, tinggal di Surabaya 7 hari setiap bulannya. Bisa ditemui di akun @analisiscetek atau [email protected].

The post Awal Baru, Kita Persebaya! appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
13559
Persebaya, Solusi Pembangunan Berkelanjutan Surabaya https://emosijiwaku.com/2017/10/04/persebaya-solusi-pembangunan-berkelanjutan-surabaya/ https://emosijiwaku.com/2017/10/04/persebaya-solusi-pembangunan-berkelanjutan-surabaya/#respond Tue, 03 Oct 2017 17:13:09 +0000 http://emosijiwaku.com/?p=11214 Ke depan Persebaya berpeluang besar menorehkan banyak sejarah positif di kancah industri persepakbolaan di Tanah Air maupun bagi kota Surabaya.

The post Persebaya, Solusi Pembangunan Berkelanjutan Surabaya appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
Persebaya sudah memastikan langkahnya ke 16 besar dengan percaya diri. Namun di kota ini mereka justru baru bersiap memulai langkah besarnya. Tidak ada salahnya tulisan ini membantu mereka mempercepat lompatan kuantumnya.

Selamat untuk Persebaya. Mereka sudah berhasil memastikan langkahnya ke 16 besar dengan percaya diri. Meski dalam beberapa pertandingan tandang saat fase grup lalu masih sering terlihat bermuka dua. Tidak segarang seperti apa yang mereka tampilkan di kandang. Namun seiring berjalannya waktu, semua itu masih bisa dibenahi dalam setiap latihan guna meminimalisir kondisi-kondisi di luar dugaan yang kerap terjadi seperti kebijakan tanpa dukungan penonton, wasit yang berat sebelah, maupun kontur lapangan tim lawan yang tak pernah mendukung cara main mereka. Selain ketiga masalah besar tersebut, dilihat dari segi tim secara umum Persebaya sudah cukup kuat dan mampu berbicara banyak di Liga 2.

Cerita mengenai tim Persebaya yang berlaga di kompetisi dengan segudang taktik dan strateginya akan berhenti disana. Tulisan di bawah ini jauh dari cerita-cerita atau analisis mengenai hal itu. Lebih jauh, tulisan kali ini akan berbicara mengenai bagaimana Persebaya sebagai sebuah klub bisa mengaplikasikan visi “Persebaya Forever” yang terus dikenalkan oleh sang Presiden, Azrul Ananda di kota mereka, Surabaya.

Visi besar butuh dukungan

Persebaya Forever berulang kali diucapkan oleh Azrul Ananda. Diulang-ulang supaya kita semua mengerti. Saya, kamu, calon investor, pihak sponsor, kalian yang bekerja di Persebaya, atau kalian para Bonek sejati Persebaya. Visi ini menurut penulis juga ditujukan untuk seluruh warga Surabaya.

Ini adalah visi besar yang perlu dimengerti untuk diaplikasikan. Tanpa visi ini, Persebaya bisa hilang dalam waktu kurang dari tiga tahun. Apalagi jika sang pengelola hanya bicara profit. Entah itu profit dalam hal menjual nama sang pemilik untuk kepentingan politik atau profit bisnis klub itu sendiri. Dimana lazimnya yang terjadi di Indonesia ketika dirasa sudah tidak menguntungkan, maka dengan mudahnya si pemodal akan lari keluar dari klub. Meninggalkan klub dengan cara seperti ini sama artinya dengan mendorong klub jatuh ke jurang bersama nama besar dan sejarahnya dalam waktu sesingkat-singkatnya.

Pendekatan Persebaya sepertinya berbeda. Ini bukan berarti Azrul dan manajemen tidak mengincar profit, melainkan mereka menargetkan hal yang lain. Hal yang lebih besar dari sekedar hanya bicara profit bisnis semata. Mengapa? karena mengincar profit bisnis melalui nama besar klub secara langsung, menurut penulis sama saja bunuh diri. Apalagi untuk klub sekelas Persebaya.

Logikanya mudah. Jika dilakukan secara serampangan dengan orientasi penuh untuk kepentingan bisnis, dampaknya akan terasa dari sisi pendukung. Mereka akan lari. Kehilangan pendukung tentu akan menghilangkan satu sumber pemasukan yang setidaknya masih bisa diprediksi oleh manajemen hitung-hitungannya. Tapi bukan itu saja. Lebih jauh, kehilangan pendukung juga akan berdampak pada posisi klasemen.

Tanpa kehadiran suporter, mustahil rasanya suatu klub bisa bersanding di papan atas klasemen. Kalau tidak percaya, lihat saja kiprah Persija saat TSC lalu dan kiprah Persiba Balikpapan pada awal musim tahun ini di Liga 1. Padahal kita tahu bahwa posisi di klasemen akan menjadi salah satu penentu lirikan sponsor untuk menanamkan uangnya di klub. Jika tidak dilirik oleh sponsor, artinya pihak manajemen harus keluar kocek sendiri untuk membiayai klub. Jika ini yang terjadi, nanti dampaknya akan dirasakan langsung ke tim. Mulai dari komposisi tim kepelatihan, pemilihan pemain hingga perasaan tidak aman di pikiran pemain karena gaji yang sewaktu-waktu bisa saja tidak terbayarkan. Seperti itulah gambaran besar sebuah klub bekerja.

Lalu bagaimana menghilangkan kekhawatiran tersebut? Cara terbaik dengan memastikan masing-masing roda berjalan berkesinambungan. Contohnya seperti tim, yang diisi oleh sekumpulan pemain dan staf pelatih, mesin ini harus berjalan sempurna terlebih dulu di dalamnya. Dengan begitu, suporter akan berminat untuk mengetahui lebih jauh perjalanan tim. Masing-masing suporter (baik yang lama dan fanatik maupun suporter baru) sendiri juga memiliki alasan masing-masing mengapa mereka berminat mengikuti tim tersebut. Mungkin ada yang ingin merasakan kegembiraan menonton di stadion, ada juga yang ingin mengekspresikan diri dengan kreatifitasnya mendukung pemain, maupun yang sudah dalam tingkatan paling master dalam mendukung. Dimanapun, kapanpun tim itu bermain, ia akan selalu hadir. Menang atau kalah.

Masing-masing roda harus berjalan berkesinambungan. Untuk itu, perlu nakhoda yang tepat untuk menjalankannya dalam lingkup manajemen. Menurut penulis, Persebaya kini secara perlahan sudah berhasil berjalan berkesinambungan dari beberapa aspek sisi internal seperti yang telah dijelaskan dalam paragraf sebelumnya. Namun itu semua belum cukup.

Surabaya dan pembangunan berkelanjutan

Tantangan terbesar Persebaya adalah memastikan klub ini terus ada dan berkelanjutan. Jadi tidak hanya berkesinambungan, melainkan juga berkelanjutan. Ini sama halnya dengan tantangan basis-basis kelompok fans mereka, untuk tetap ada dan berkelanjutan. Siapapun pengurusnya dan juga anggotanya. Mengapa? Karena Persebaya adalah representasi kota Surabaya. Klub ini adalah wajah sebenarnya masyarakat kota Surabaya.

Sama hal nya dengan kota-kota besar lainnya di Indonesia, beragam hal mengenai karakter kehidupan perkotaan dan masyarakatnya baik plus maupun minus juga ada di Surabaya. Banyak nilai plus dari perpaduan kehidupan kota kecil yang besar seperti Surabaya, juga karakter kebanyakan masyarakatnya yang masih guyub. Meski begitu, masih banyak hal juga yang perlu dibenahi di sana-sini untuk kemajuan kota dan masyarakatnya. Khusus hal ini, Persebaya bisa mengambil peranan besar bagi Kota Surabaya.

Seperti lazimnya pembangunan, di Indonesia sekalipun sampai saat ini tidak bisa seluruhnya dipenuhi oleh pemerintah. Begitu pula dalam lingkup pembangunan perkotaan seperti Surabaya. Tidak bisa seluruhnya dipenuhi oleh Pemerintah Kota Surabaya. Perlu ada bantuan-bantuan positif dari pihak swasta untuk mencapai kemajuan pembangunan yang diidamkan oleh Kota Surabaya. Sekali lagi, Persebaya bisa mengambil peranan besar di sektor ini bagi Kota Surabaya.

Bicara mengenai Kota Surabaya, maka terlebih dulu kita perlu tahu apa visi misi kota ini. Mungkin tidak banyak dari kalian yang ngeh dan tahu bahwa visi Kota Surabaya sampai tahun 2021 adalah “Surabaya Kota Sentosa yang Berkarakter dan Berdaya Saing Global berbasis Ekologi”. Sentosa artinya Surabaya adalah kota yang mampu menjamin warganya dalam kondisi makmur, sehat, aman, selamat, damai untuk berkarya dan beraktualisasi diri. Karakter terkait pada kepribadian warganya untuk mempertahankan budaya lokal melalui cerminan perilaku warga kota. Sedangkan berdaya saing global ingin memperlihatkan bahwa Surabaya mampu menjadi pusat penghubung perdagangan dan jasa antar pulau dan internasional melalui dukungan pemerataan akses ke sumberdaya produktif, good governance, infrastruktur dan utilitas kota yang terpadu dan efisien serta mampu memantapkan usaha-usaha ekonomi lokal, inovasi produk dan jasa serta pengembangan industri kreatif berdaya saing global.

Dari penjelasan visi tersebut, maka akan ada 10 misi yang diterjemahkan oleh Pemerintah Kota Surabaya yang menurut penulis intinya adalah pembangunan manusia, pemberdayaan masyarakat, penguatan budaya lokal, dan daya saing ekonomi lokal melalui inovasi dan pengembangan industri kreatif. Inilah sektor-sektor dimana Persebaya perlu mengambil peranan besar untuk Kota Surabaya.

Antara Persebaya dan Surabaya

Kota tidak bisa terlepas dari warga masyarakatnya. Begitu pula Persebaya, tidak bisa lepas dari dukungan Bonek juga masyarakat Surabaya. Dukungan berlimpah suporter sampai pertandingan melawan Persigo Semeru FC lalu terus menunjukkan pertumbuhan. Secara hitungan CAGR, angka pertumbuhan penonton Persebaya mencapai 11 persen dengan rerata jumlah penonton sebanyak 29.335 setiap laganya (sampai laga kandang ke 9). Yang menarik, ketika pertandingan dihelat pada akhir pekan jumlahnya melonjak mencapai 46.359 penonton atau setara dengan 92,7 persen dari total kursi penonton di Gelora Bung Tomo, terisi. Sebuah pencapaian yang luar biasa untuk klub Indonesia. Catat, I-N-D-O-N-E-S-I-A.

Lalu apa hubungannya antara pertumbuhan jumlah penonton, Persebaya itu sendiri dan Kota Surabaya? Jawabannya sederhana, masyarakatnya. Artinya Persebaya sudah bisa menjadi alat bagi perbaikan positif untuk masyarakatnya. Dimulai dari lingkup terkecil, yaitu Bonek.

Bonek menurut penulis adalah representasi apa yang disebut oleh Pemerintah Kota Surabaya dalam salah satu misinya, yaitu pembangunan manusia. Membangun manusia butuh wadah, butuh pendampingan dan butuh waktu yang tidak sedikit. Persebaya bisa menjadi solusi bagi pembangunan berkelanjutan ini di Surabaya. Bagaimana caranya?

Persebaya bisa berdampingan membuat suatu program positif untuk masyarakat Surabaya (dalam hal ini Bonek) dengan pihak sponsor. Salah satu contohnya seperti pelatihan safety riding dan mechanical skill yang dilakukan oleh salah satu sponsor mereka. Contoh-contoh seperti ini sangat baik untuk mewujudkan misi Pemerintah Kota Surabaya dan memperlihatkan wujud positif keberadaan Persebaya bagi Kota Surabaya selain memberikan tambahan pendapatan bagi daerah. Artinya, keberadaan Persebaya, sponsor dan Bonek dapat berdampak positif bagi kemajuan masyarakatnya. Apalah arti penerimaan daerah tinggi kalau masyarakatnya tidak maju dan berdaya saing? Model sponsor seperti ini sangat baik bagi “jualan” Persebaya kepada pihak-pihak sponsor lain yang akan mendukung mereka musim depan juga bagi masyarakat Surabaya dan Bonek khususnya.

Bicara mengenai sponsor, belajar dari musim ini di musim depan Persebaya juga dapat memaksimalkan sponsor lokal untuk mendukung kegiatan di luar sepakbola dan berbasis komunitas yang bisa menjadi rujukan mereka. Sponsor lokal tentunya akan jauh lebih senang untuk mensponsori Persebaya karena mereka sekaligus dapat memberi dampak positif kepada masyarakat juga dapat secara langsung berkomunikasi dua arah dengan calon customer potensial produk mereka. Bagi sponsor atau perusahaan pun lebih bermanfaat. Hitung-hitung dana CSR (corporate social responsibility) atau marketing yang digelontorkan oleh perusahaan akan jauh lebih tepat sasaran jika bekerjasama dengan Persebaya. Di dalam bayangan saya, seperti beberapa klub sepakbola di Inggris, keberadaan Persebaya bisa menjadi wadah positif bagi masyarakat lokal. Mulai dari edukasi, sekolah vokasi, bursa pekerjaan, hingga pelatihan dan akademi sepakbola bagi masyarakat Surabaya.

Lompatan kuantum ala Persebaya

Lima tahun terakhir, Persib hampir selalu disebut sebagai role model klub dengan manajemen profesional terbaik di Indonesia. Nyatanya kini label itu telah bergeser dan diganti ke saudara muda mereka, Bali United. Dalam kurun waktu tiga tahun mereka bahkan mampu menjelma menjadi klub Indonesia dengan visi terbaik, manajemen profesional dan menjalankan roda bisnis yang berjalan sebagaimana mestinya industri sepakbola itu berputar. Mereka berhasil mendobrak pengelolaan uzur ala klub-klub perserikatan meski harus merasakan label klub siluman yang sampai saat ini masih menempel dari sebagian suporter sepakbola Indonesia.

Persebaya berbeda. Berangkat dari Liga 2, klub ini justru percaya diri dengan konsep pengelolaan klub ala mereka. Tanpa banyak bicara, konsep mengawinkan sepakbola dan entertainment ala klub-klub MLS (Liga Amerika Serikat) dijalankan dengan baik di Liga 2. Ya, Liga 2. Meski Liga 2, jumlah penonton mereka bahkan melebihi jumlah penonton tertinggi di kasta tertinggi Indonesia, Liga 1. Ke depan Persebaya berpeluang besar menorehkan banyak sejarah positif di kancah industri persepakbolaan di Tanah Air maupun bagi kota Surabaya. Apalagi jika berhasil promosi ke Liga 1 musim ini. Menonton laga kandang Persebaya akan menjadi pengalaman yang ditunggu-tunggu oleh banyak suporter klub-klub Liga 1. Wani!

*) Adipurno Widi Putranto, tinggal di Surabaya 7 hari setiap bulannya. Bisa ditemui di akun @analisiscetek atau [email protected].

The post Persebaya, Solusi Pembangunan Berkelanjutan Surabaya appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
https://emosijiwaku.com/2017/10/04/persebaya-solusi-pembangunan-berkelanjutan-surabaya/feed/ 0 11214
Membangun Loyalitas Bonek di Tengah Ketidakpastian https://emosijiwaku.com/2017/02/16/membangun-loyalitas-bonek-di-tengah-ketidakpastian/ https://emosijiwaku.com/2017/02/16/membangun-loyalitas-bonek-di-tengah-ketidakpastian/#respond Wed, 15 Feb 2017 17:54:21 +0000 http://emosijiwaku.com/?p=5547 Kondisi tak pasti ini tentu tidak menguntungkan secara hitung-hitungan bisnis, tapi sebagai makhluk Tuhan yang beriman kita harus yakin bahwa di setiap kesulitan selalu ada jalan yang diberikan oleh Tuhan.

The post Membangun Loyalitas Bonek di Tengah Ketidakpastian appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
Menunggu, mungkin itu kata yang tepat untuk kondisi Persebaya saat ini. Ketidakjelasan jadwal kick off dan regulasi Liga 2 tentu menyulitkan banyak klub seperti Persebaya yang sudah berikrar akan dikelola secara profesional.

Kondisi tak pasti ini tentu tidak menguntungkan secara hitung-hitungan bisnis, tapi sebagai makhluk Tuhan yang beriman kita harus yakin bahwa di setiap kesulitan selalu ada jalan yang diberikan oleh Tuhan. Sejatinya ada banyak sisi positif dari kondisi ini untuk Persebaya. Sebut saja, proses bongkar pasang pemain dan adaptasi taktik bermain menjadi lebih banyak seiring dengan bertambahnya jadwal berlatih. Tak hanya itu, ada tambahan waktu untuk manajemen yang dapat digunakan untuk mendekati sejumlah sponsor tambahan, memperbaiki fasilitas utama (stadion, mes pemain, pusat kebugaran), memproduksi apparel dan merchandise; juga mendekatkan diri mereka ke tengah-tengah pendukung. Sisi negatifnya hanya satu, mereka harus sediakan kocek jauh lebih dalam untuk mempersiapkan ini semua di tengah ketidakpastian.

Bicara mengenai sponsor, infrastruktur, dan produksi maka pendekatan ke tengah-tengah pendukung sudah tentu wajib untuk dilakukan. Tanpa pendukung, klub ini tidak ada nilai jualnya. Ingat penjelasan saya di tulisan sebelumnya, bahwa embel-embel historis saja tidak akan pernah cukup, karena untuk mengarungi sekian puluh pertandingan serta mengembangkan tim dari sisi internal maupun eksternal butuh dana yang tidak sedikit. Klub ini tidak bisa lagi hanya sekedar berpangku pada nilai historis atau loyalitas pemain terhadap nama besar Persebaya di dada mereka.

Mendengarkan suara pendukung

Ajakan manajemen kepada komunitas bonek untuk bertemu dalam sebuah media bertajuk Bonek Conference adalah langkah brilian. Di Indonesia sangat jarang pendekatan ini dilakukan oleh klub. Mungkin beberapa klub ada yang pernah melakukannya, namun itu pun biasanya para pendukung selalu didekati dan didengar hanya untuk kepentingan politik sesaat. Kini kalian sebagai pendukung Persebaya harus bangga karena setidaknya klub ini bukan dipimpin oleh orang-orang yang mempunyai motif politik di belakangnya. Jadi ini seharusnya sudah jadi satu nilai plus.

Seperti yang sudah dijelaskan dalam tulisan sebelumnya, berdasarkan riset analisiscetek, karakter pendukung Persebaya mirip dengan pendukung klub liga Amerika Serikat (AS), Seattle Sounders. Fan experience nya kuat dan sudah terbentuk sejak lama, militan, punya sejarah, dan memiliki basis pendukung dengan spektrum luas (anak smp, sd, bahkan bayi). Maka dalam tulisan tersebut saya tawarkan Persebaya untuk mengikuti pendekatan Sounders kepada pendukungnya.

Lalu sekarang pertanyaannya apa untungnya buat klub? Apakah model pendekatan ini juga menguntungkan buat para pendukung? Jawabannya, model ini sangat menguntungkan kedua belah pihak.

Klub dalam hal ini adalah pihak manajemen, bisa mendengar suara pendukung dan apa saja kemauan mereka. Ini sangat dibutuhkan manajemen. Dalam hal Persebaya maka media ini salah satunya dapat memberikan kenyamanan terhadap pendukung mereka di stadion; mempersiapkan sejumlah merchandise; menyediakan makanan dan minuman yang akan dijual di stadion; mempersiapkan materi branding, komunikasi, edukasi juga sponsor; mempersiapkan program yang berhubungan dengan komunitas yang dilakukan di luar stadion; dan terakhir memastikan perlu tidaknya penerapan kebijakan tiket terusan untuk dilakukan tahun ini.

Tak hanya mendengar, manajemen juga menjelaskan ke pendukung mengenai visi dan misi serta program-program utama mereka. Dari penjelasan tersebut mereka menyerap aspirasi para pendukung, mendengarnya dan memastikan bahwa apa yang mereka lakukan sudah sesuai dengan keinginan para pendukung. Tidak lain, semua itu untuk menguatkan loyalitas para pendukung ke klub. Pada bagian ini konsep sustainable yang didengungkan di awal oleh Presiden Persebaya, Azrul Ananda beberapa waktu lalu bisa tercapai.

Sustainable tidak bicara untuk kepentingan saat ini. Tapi kepentingan di masa yang akan datang, bagaimana klub ini tetap dapat hidup dan berkembang dengan fanatisme pendukungnya. Ini semacam lompatan kuantum untuk menjaring pendukung-pendukung baru dan menumbuhkan semangat militansi positif kalian ke mereka. Dengan begitu, Persebaya tidak akan pernah mati dan membuat setiap jadwal kandangnya ditunggu dan dicari oleh penikmat sepakbola di tanah air. Loyalitas kalian, akan membentuk fan experience yang tidak bisa didapatkan dimana-mana selain di partai kandang Persebaya di Surabaya.

Bagaimana dengan pendukung? bagi pendukung banyak keuntungan yang didapatkan dari pendekatan top down dan bottom up yang dilakukan manajemen. Kemauan mereka didengar oleh manajemen, dan ini memberikan keuntungan berupa kemudahan-kemudahan saat menonton pertandingan di stadion. Sebagai contoh, pendukung Sounders dimudahkan oleh manajemen melalui kartu “Match Pass”.

Kebijakan ini mirip program Kartu Indonesia Pintar dan Indonesia Sehat yang dipromosikan Jokowi. Bedanya kartu Sounders ini multiguna dan khusus digunakan di areal stadion. Kegunaan utama kartu ini yaitu sebagai tiket pertandingan. Artinya para pendukung dan klub tidak perlu lagi mencetak atau menyimpan tiket pertandingan mereka. Mereka hanya perlu menggesek kartunya, langsung bisa menikmati pertandingan tanpa harus membuang potongan tiket itu sembarangan. Kartu ini juga dapat mencegah tiket palsu dan kehadiran para calo-calo tiket yang meresahkan. Bukan hanya itu saja, kartu ini juga dapat digunakan sebagai alat pembayaran sehingga memudahkan pembelian makanan dan minuman ketika jeda pertandingan. Hanya tinggal pesan, lalu swipe and go. Menonton pertandingan di stadion pun semudah seperti sedang menonton di rumah dan seketika ingin makan roti di tengah-tengah pertandingan. Tinggal ke belakang, ambil, lalu duduk nonton lagi. Amat praktis karena cashless sepenuhnya. Satu lagi, kartu ini juga memberikan potongan diskon jika mereka membeli merchandise Sounders di toko resmi.

Tidak berhenti disana, beberapa multiplier effect bisa didapatkan Persebaya jika mengadopsi program Match Pass ini. Apa saja? Pertama, kartu ini bisa dijadikan sebagai tiket terusan. Artinya hanya pembeli tiket terusan (bisa berwujud monthly pass, setengah musim, atau satu musim) yang bisa memilikinya. Kedua, pemilik Match Pass membutuhkan smartphone untuk membuka aplikasinya. Aplikasi ini juga harus terkoneksi dengan layanan pembayaran online. Artinya, terbuka potensi untuk menjadikan vendor telekomunikasi, perusahaan pembuat gadget, Bank, atau e-commerce seperti Tokopedia maupun Gojek yang memiliki layanan satu pintu termasuk pembayaran online sebagai salah satu sponsor Persebaya.

Menunggu sinergi bonek-manajemen

Penjelasan diatas tadi adalah contoh dampak selepas manajemen Sounders menyerap aspirasi para pendukungnya (pemilik tiket terusan) dalam kegiatan rutin “conference” yang mereka sebut sebagai Alliance, maupun riset lapangan ketika matchday. Satu hal yang harus digarisbawahi, karena kebijakan itu Sounders kini memiliki jumlah penonton kandang terbanyak di MLS dengan fan experience yang tidak bisa didapatkan di klub lainnya di AS. Para pendukung pun mampu menampilkan karakter asli mereka tanpa harus bersusah payah mengikuti tingkah polah pendukung klub-klub Inggris atau Italia sebagai kiblat sepakbola dunia.

Persebaya secara perlahan juga bisa mengikuti capaian Sounders tersebut dan Bonek Conference bisa jadi langkah awal untuk mencapainya. Di tengah ketidakpastian jadwal saat ini, semoga manajemen dan pendukung mampu bersinergi meningkatkan brand value Persebaya ke depan. Selamat berdemokrasi! Wani!

*) Adipurno Widi Putranto, tinggal di Surabaya 7 hari setiap bulannya. Bisa ditemui di akun @analisiscetek atau [email protected]

The post Membangun Loyalitas Bonek di Tengah Ketidakpastian appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
https://emosijiwaku.com/2017/02/16/membangun-loyalitas-bonek-di-tengah-ketidakpastian/feed/ 0 5547