Mentalita Persebaya

Foto: Joko Kristiono/EJ
Iklan

Lalu bagaimana jika tidak ada tambahan pemain baru. Alias hanya mengandalkan pemain-pemain lama? Tanya penulis kepada sosok di seberangnya.

“Wani!,” jawab lelaki bertopi hitam di seberang sana. Dengan percaya diri, si rekan “gosip” ini menjelaskan alasan mengapa dirinya amat percaya kalau para pemain yang mengantarkan Persebaya juara Liga 2 tersebut sangat mumpuni dan layak diadu untuk bertarung di Liga 1. Titik.

Ya, itulah tadi sekelumit penggalan cerita “gosip” penulis dengan dua kenalannya, hampir satu tahun lalu. Saat itu kami bertiga janjian bertemu di salah satu mall di Surabaya Timur sambil ngopi dan makan donat, berawalan J berakhiran Co. Salah satu kenalan yang saya temui merupakan orang dalam klub dan baru saja dapat libur setelah berhasil menjadi juara Liga 2. Sedangkan 1 kenalan penulis lainnya, punya jangkauan relasi yang luas di Surabaya dan paham sejarah klub. Meskipun jersey yang dipakai bertemu saat itu Persiba Bantul, klub asal Yogyakarta. Bukan klub idolanya, Persebaya Surabaya.

Seiring berjalannya waktu, “gosip” kami sebelumnya itu berakhir dengan perpanjangan kontrak 17 pemain lama. Mereka dijadikan sebagai pondasi bagi klub untuk mengarungi tantangan di level selanjutnya, Liga 1. Atau dengan kata lain, ini sama halnya dengan lebih dari setengah punggawa Persebaya di Liga 2 akan mengadu kemampuan di Liga 1. Oleh karena itu jawaban di kedai makan donat waktu itu bukanlah jawaban main-main. Namun jawaban yang sangat jelas dan berdasar.

Iklan

Mentalita?

Sebelum lanjut membaca, sejujurnya saya hanya tergelitik untuk kasih judul mentalita. Kenapa? Karena saya sebenarnya nggak tau apa itu mentalita yang sepertinya sedang hot-hotnya di kalangan suporter. Mentalita Jakarta lah, Surabaya lah, Bandung lah, dan lain-lainnya. Beberapa diantara suporter-suporter ini biasanya juga menambahkan kata ini sebagai caption dalam profile picture atau postingan media sosial berbagi foto miliknya. Bukan hanya itu saja, banyak dari mereka ini ketika difoto justru ngumpet-ngumpetin muka (tapi tetap minta difoto) sambil mengepalkan tangan seperti petinju yang sedang memperlihatkan kesiapannya untuk bertarung. Ini sebenarnya belajar dari mana ya?

Dari beberapa tulisan dan penelitian terdahulu, kata mentalita asalnya dari Italia yang berarti mentality dalam bahasa Inggris atau mentalitas dalam bahasa Indonesia. Dalam dunia persepakbolaan dan suporter, mentalita ini lebih menjelaskan kepada sikap atau perilaku yang dipegang kuat, optimis dan percaya diri oleh seseorang untuk mencapai cita-cita atau tujuan yang diinginkan. Sedangkan menurut penjelasan KBBI, mentalitas adalah faktor penentu dalam pembangunan (kepercayaan diri) untuk mencapai tujuan.

Kunci dari kata mentalita, selain sikap yang dipegang kuat adalah adanya cita-cita dan tujuan. Mentalita yang akan dituliskan dibawah ini bukan cerita mentalita suporter yang pemaknaannya lebih jauh sudah berubah dari aslinya. Apa bedanya? Mentalita suporter akan bercerita soal kumpulan orang yang biasanya terorganisasi secara terstruktur. Mereka juga punya ideologi dan tujuan pergerakan yang sama. Sayangnya, umumnya mentalita jenis ini (ultra) di Italia sana, membutuhkan musuh dan juga lawan untuk memperlihatkan eksistensi dan pengaruhnya.

Mereka umumnya punya musuh dan lawan bersama seperti polisi, otoritas sepakbola dan tentu ultra grup lainnya. Tidak salah memang gaya suporter-suporter (di Indonesia) yang gemar bicara atau menyebut dirinya mentalita, setiap difoto seperti layaknya seorang petinju dan lebih sering nggak mau memperlihatkan mukanya. Meski anehnya tetap ingin tampil di dalam foto. Mungkin itu keren ya? No! Tapi tulisan ini tidak akan kesana karena itu bukan karakter atau budaya kita. Jadi kita tinggalkan saja di Italia sana.

Alfredo Vera dan Gol-Gol Cantiknya

Sama halnya dengan mentalita yang telah dijelaskan sebelumnya, perjalanan Persebaya di Liga 1 yang lalu punya analogi yang sama. Klub amat percaya diri dan punya tujuan bahkan dari sebelum Liga dimulai. Sistemnya dibuat terstruktur sejak awal. Mereka punya sikap dan tingkat percaya diri yang sangat besar dengan para pemainnya. Tak ayal 17 pemain lama dijadikan pondasi. Tidak berhenti disitu saja, organisasi permainannya pun dibuat sedemikian rupa untuk menghasilkan sistem permainan yang diinginkan Vera. Sepanjang pengamatan dan ingatan penulis, fokusnya lebih ke proses-proses-proses. Baik ketika menyerang maupun saat bertahan. Satu tujuan. Semua based on template skema yang sepertinya telah dibuat oleh tim pelatih dan harus dijalankan sempurna.

Untuk membuktikan analisis di atas, tentunya paling kentara terlihat dari cara bermain Persebaya. Era Vera jauh lebih menitikberatkan pada passing bawah dari kaki ke kaki, memindahkan bola dari kanan ke kiri dan sebaliknya. Di mana penekanannya diarahkan untuk mencari ruang terbuka bagi satu orang pemain yang akan muncul tanpa terjaga di sisi sayap. Barulah proses terakhir untuk mencari gol dimulai dari sana.

Banyak peluang memang tercipta. Sayangnya, proses ketika mencari ruang terkesan lebih lama daripada jumlah konversi peluang menjadi golnya. Ini terlihat dari jumlah gol yang dihasilkan oleh Persebaya ketika dibesut oleh Vera, di mana hampir setengah dari 26 gol yang dihasilkan, terjadi di atas menit 70.

Meski begitu, proses gol saat era Vera memang cenderung jempolan. Selama 18 pertandingan, mayoritas gol lahir dari umpan terobosan. Kehadiran Robertino dan cara bermain Rendi memang cukup menjadi nyawa bagi aliran bola dan serangan Persebaya pada saat itu. Sayangnya, kecantikan proses gol-gol tersebut seakan tidak memiliki banyak arti. Penyebabnya karena di balik cantiknya gol-gol Persebaya, Vera dan tim pelatih tak mampu menyembunyikan kekurangannya di sektor belakang.

PR Vera Tak Pernah Terjawab

Sampai hari ini Alfredo Vera belum bisa memberikan bukti kepada publik maupun dirinya sendiri untuk menjawab problem yang terus terjadi sejak Liga 2. Penyebabnya karena ia tak lagi menjabat posisi pelatih kepala Persebaya selepas pulang dari Serui, Papua.

Sistem high defensive line yang terlihat sering dipilih Vera, ketika itu cukup sering membuat bek-bek Persebaya lomba lari dengan para penyerang tengah maupun sayap lawan. Ada kalanya proses ini berakhir menjadi gol namun ada kalanya juga Miswar dan para bek lebih cekatan menggagalkan peluang yang tercipta ini. Tapi tak seluruhnya salah sistem yang dibuat Vera.

Jika dibandingkan dengan penggantinya, Vera tidak beruntung karena punya masalah dengan tingkat kebugaran fisik Otavio Dutra. Fisik bek yang dielu-elukan para bonek ini entah mengapa tak lagi sama seperti ketika ia bermain dengan Persipura dan Bhayangkara. Ini cukup jadi masalah karena tentunya dengan label pemain asing, satu posisi di belakang sudah hampir pasti diberikan untuknya. Selama 18 pertandingan dibesut Vera, Dutra hanya main 9 kali. Delapan kali sebagai starter dan satu kali sebagai pengganti.

Dari catatan-catatan pertandingan yang dilihat dan diingat, Dutra terlihat sering kalah lari dan kalah bola atas ketika set piece tiba. Fisiknya saat itu juga terlihat lebih cepat terkuras bahkan sebelum wasit meniup peluit di akhir pertandingan. Tapi, lagi-lagi ini juga bukan salah Dutra sepenuhnya. Posisi kanan yang ditempati Abu Rizal Maulana ketika itu juga jadi penyebab. Karena sepanjang 18 pertandingan tersebut kerap dieksploitasi lawan atau jika boleh diartikan jadi salah satu lubang dan titik lemah Persebaya era Vera.

BACA:  Persebaya, Solusi Pembangunan Berkelanjutan Surabaya

Organisasi di belakang memang dalam beberapa pertandingan saat itu seringkali terlihat berantakan. Utamanya ketika masa transisi dari menyerang ke bertahan. Kadang, untuk mengamankan gawang agar tak kebobolan para pemain terdekat dari lawan berusaha menghentikannya sebelum masuk kotak 16. Namun seringkali peluang dari bola mati inilah yang menjadi keuntungan bagi lawan untuk mengkonversinya jadi gol. Penyebabnya karena organisasi Persebaya sewaktu set piece mengkhawatirkan. Padahal postur para beknya terhitung cukup mumpuni. Mulai dari 170 cm hingga 190 cm. Problemnya mungkin ada didalam timing lompatan serta kemampuan membaca arah bola dan ketika menjaga pemain lawan (problem individu) atau memang pengorganisasiannya (saat itu) tidak dipersiapkan dengan benar sewaktu latihan. Hanya Vera dan tim pelatih yang bisa menjawabnya.

Adaptasi jadi Kunci

Langkah Persebaya memilih Bejo Sugiantoro sebagai caretaker untuk mengganti Vera bisa dimengerti. Selain dirinya adalah bagian dari sistem kepelatihan di Persebaya, ia juga akan jauh lebih diterima oleh suporter ketika fase transisi kepelatihan tim utama tersebut. Mengapa? Karena pada fase-fase kritis semacam ini pilihannya hanya ada 2, Persebaya makin menurun atau justru bounce back dan berhasil mendapatkan simpati serta kepercayaan kembali dari suporter dan juga pemain. Sosok simbol semacam ini maka perlu untuk ditonjolkan.

Pemilihan tersebut memang tidak salah. Jika diperhatikan secara seksama, dari segi permainan era Bejo bersama Djadjang Nurdjaman memang terjadi perubahan penampilan. Namun sejatinya menurut analisis penulis mereka berdua hanya meneruskan dan merapihkan skema yang dibuat sebelumnya oleh Vera. Jika diperhatikan lebih mendetail lagi beberapa PR Vera juga diperbaiki terus menerus. Artinya, keduanya berhasil memberikan solusi atas permasalahan-permasalahan yang muncul pada kepemimpinan Vera tersebut.

Djadjang dan Bejo memang jauh lebih beruntung dibandingkan Vera. Mereka mendapatkan fisik pemain yang jauh lebih bugar. Dutra contohnya, di beberapa pertandingan akhir musim, ia berhasil mengembalikan performanya. Fisik tak lagi terkuras sebelum 90 menit serta gerakan badannya kali ini jauh lebih rileks, lincah dan tidak terkesan kaku seperti sebelum-sebelumnya. Problem di sisi kanan juga dikurangi dengan memberikan Mokhamad Syaifuddin menit bermain sebagai solusi. Pemain multi posisi ini juga ketika Vera menjabat sering dibekap cedera.

Apakah ini ada hubungannya dengan keberhasilan salah satu transfer tengah musim Persebaya, dengan hadirnya dokter olah raga baru? Bisa ya, bisa juga tidak karena tentu hal ini ada pengaruhnya juga dengan intensitas dan jenis latihan yang dipersiapkan oleh tim pelatih serta kemampuan si dokter beradaptasi dengan rencana pelatih dan situasi yang terjadi di lingkungan sepak bola Indonesia. Seperti tingkat kekerasan lapangan latihan atau stadion, kontur tidak rata serta kondisi cuaca. Pokoknya semua yang akan mempengaruhi performa para pemain di lapangan.

Djadjang dan Bejo juga penulis yakini dianugerahi kemampuan komunikasi yang baik. Mengapa? Indikasinya sangat mudah. Terjadi perbedaan semangat bermain yang terlihat signifikan hampir di setiap pertandingan atau bahasa inggrisnya adalah permainan mereka kini lebih terlihat ngosek. Indikasi lainnya, gol-gol yang tercipta saat diracik oleh keduanya sebenarnya melalui skema yang sama seperti gol-gol cantik di era Vera. Untuk memperkuat analisis ini, lihatlah skema gol Persebaya di pekan ke-2 dan ke-4. Lalu kalau masih ingat, lihatlah pertandingan pekan 13 ada satu momen yang kami sebut sebagai cikal bakal lahirnya blitzkrieg (serangan kilat) Persebaya untuk gol-gol Da Silva dan Osvaldo Haay di era Djadjang dan Bejo. Bedanya, mereka kini main jauh lebih direct karena sudah mengerti kemampuan masing-masing pemain dan seperti punya target. Tanpa gol tidak akan tercipta kemenangan. Jadi gol adalah tujuan akhirnya.

Pemain juga kini jauh lebih tahu kapan harus mengumpan panjang, kapan harus mengumpan pendek. Kapan harus maksimalkan crossing, kapan harus maksimalkan peran sayap-sayap mereka dan kapan harus main dari tengah. Di antara pemain pun kini juga terlihat saling mengerti kemauan masing-masing pemain serta bagaimana posisi mereka dan perannya. Mau bukti? Bandingkan cara main Oktafianus Fernando sebelum dan sesudah dipegang oleh Djadjang dan Bejo. Atau lihat saat Djajang dan Bejo memberi kejutan dengan menampilkan kuartet Osvaldo Haay-Irfan Jaya-Oktafianus Fernando-Fandi Eko Utomo saat melawan Persib. Umpan tik-tak, sinkronisasi gerak serta gestur yang diperlihatkan keempatnya saat itu, kita seperti sedang diperlihatkan tontonan kemampuan mereka berkomunikasi telepati antar satu dan lainnya. Ini sesuatu yang progresif dan tidak pernah terjadi di era Vera. Nah itu baru dari sisi penyerangan. Lalu bagaimana dengan di belakang?

Josep Guardiola, pelatih Manchester City dalam suatu kesempatan mengatakan bahwa klub yang memainkan bola di belakang memiliki tingkat risiko lebih tinggi terhadap counter attack jika kehilangan bola. Penyebabnya karena ada ruang tersisa di belakang yang dapat dimanfaatkan lawan untuk membuka peluang gol. Sama halnya dengan Persebaya. Bedanya, kini para pemain belakang jauh lebih fokus dan bisa menyeimbangkan kemampuan mereka ketika menyerang dan bertahan. Belum lagi ada dukungan kebugaran fisik yang jauh lebih baik, sehingga episode kocar-kacir dan kalah lari yang biasa terlihat sebelumnya kini kurang lebih mulai dapat diminimalisir.

Mentalita Persebaya

Tren Persebaya yang positif selepas pekan ke-26 serta didukung pula dengan fluktuatifnya hasil pertandingan klub-klub lainnya, berhasil mengerek Bajol Ijo ke posisi 5 di klasemen akhir. Ini merupakan pencapaian yang sangat baik untuk sebuah klub debutan Liga 1. Menariknya lagi, selama semusim, lebih dari setengah atau 60 persen dari daftar starting line-up diisi oleh muka-muka lama.

Persebaya memang tak seperti klub lainnya. Mereka memilih untuk memaksimalkan para pemain lama karena percaya diri dengan kemampuan para pemain yang mengantarkan mereka naik kasta ke Liga 1. Slogan klub Wani! tersebut ternyata bukan hanya identitas di mulut, tulisan maupun merchandise mereka. Melainkan juga dipraktikkan secara nyata, dalam artian yang positif dan diperlihatkan benar sebagai mentalitas klub.

Posisi klasemen akhir bisa jadi gambaran analisis ini. Persebaya yang notabene sering diopinikan oleh beberapa pihak sebagai klub pelit karena tidak mau mengeluarkan koceknya untuk membeli pemain mahal juga berlabel bintang, kini justru secara posisi berdiri gagah di antara 2 klub yang di awal musim royal dan tak pernah pelit. Seperti Sriwijaya FC dan Bali United.

Delapan belas tim yang berlaga di Liga 1 ini juga tak melulu bicara soal pemain bintang bergaji tinggi. Selain Persebaya, contoh lainnya adalah Persib Bandung. Khusus pada musim 2018 lalu, Pangeran Biru diisi materi yang menurut penulis di luar dugaan. Tidak ada lagi nama Essien, Carlton Cole ataupun Van Dijk disana. Siapa yang membayangkan seorang muka baru bernama Ardi Idrus justru jadi pemain utama di Persib dan punya peran cukup besar bagi klub. Eka Ramdani juga diujung akhir kariernya justru dapat kembali ke Persib dan bersaing dengan nama-nama beken yang sudah ada sebelumnya disana untuk bahu-membahu membantu Persib mencapai targetnya. Meski akhirnya pun gagal juara.

BACA:  Membangun Loyalitas Bonek di Tengah Ketidakpastian

Patut diingat, pertandingan sepak bola di era industri bukanlah tarkam yang biasa kita lihat di kampung-kampung atau antar desa. Klub-klub ini tak melulu harus bergantung dengan pemain bintang untuk menang ataupun untuk juara. Klub pun tak melulu harus juara setiap waktu dan juga setiap saat. Kalau dikelola dengan kaidah-kaidah industri secara benar maka mereka jauh lebih perlu bergantung dengan keseimbangan neraca bisnisnya terlebih dahulu. Kenapa? Karena inilah motor penggeraknya.

Bicara bisnis dan industri kita harus sama-sama tahu bahwa untuk maju, bisnis tersebut harus berkembang. Bagaimana kita dapat memastikan sebuah bisnis berkembang? Paling mudahnya adalah memastikan apa yang diinput harus lebih kecil dibandingkan outputnya. Kalau ini bisa dipraktikkan dan menghasilkan artinya bisnisnya berkembang atau bahasa jawanya adalah growth. Sedangkan kalau antara input dan output sama, hasil akhirnya adalah impas atau balik modal saja. Lalu bagaimana jika input yang diberikan besar namun tidak memberikan hasil output yang diinginkan? Itulah Sriwijaya FC dan Bali United di musim kali ini.

Ilusi Klub Kaya

Persebaya menurut penulis adalah klub yang kini sedang dalam tahap evolusi. Seperti yang pernah dituliskan dalam analisis terdahulu bahwa tak ada yang benar-benar bisa diharapkan dari sisi bisnis maupun tim dalam waktu baru menginjak tahun kedua selain wait and see.

Posisi si pemodal kini tentunya masih meraba. Untungnya juga manajemen tim ini bukan tipe pendongeng janji yang muluk-muluk. Mereka kelihatan lebih senang diam dan memperlihatkan hasilnya (terlepas baik dan buruk pada akhirnya) meski banyak juga media yang menggoreng berita di luar sana. Baik surat kabar, daring ataupun media-media kekinian yang menjamur dan berkembang pesat saat ini lewat instagram. Bahkan sekarang kelompok suporter pun punya media. Luar biasa memang. Tapi, inilah hakikat industri sepak bola yang sebenarnya. Klub bisa memberikan manfaat berupa engagement dan oplah dalam bentuk revenue bagi “lingkungan” di sekitarnya. Jadi sejatinya di luar sana banyak yang mendapatkan manfaat dari Persebaya jika mampu membuat model bisnisnya.

Tahun ini adalah tahun ketiga. Tahun dimana di akhir musim nanti, klub sudah jauh lebih mengerti dan memahami lingkungan sekaligus pola bisnis dan pendapatan mereka. Kalau masih bicara tahun kedua, menurut analisis kami Persebaya berada dalam posisi menjanjikan dan punya peluang besar untuk tumbuh jauh lebih baik lagi. Tapi menurut penulis, Persebaya saat ini bukanlah klub kaya dari usaha bisnisnya.

Tahun ini, Bajol Ijo memang sudah naik kasta ke Liga 1 namun jumlah rata-rata penonton Persebaya di Gelora Bung Tomo ternyata baru terisi sekitar 57 persen dari total kapasitasnya atau 28.535 penonton dari 50 ribu tempat duduk yang tersedia. Secara kuantitas, jumlah ini terbilang kecil jika dibandingkan penonton Persija sewaktu mereka berkandang di Jakarta tahun ini. Dengan total jumlah kapasitas sebesar 76.126 tempat duduk, selama 3 kali penyelenggaraan tingkat keterisiannya mencapai 84 persen atau rata-rata 63.912 penonton.

Bukan hanya kuantitas, secara kualitas juga masih banyak ruang kosong di stadion. Terlebih jika jadwal yang dipertandingkan bukan klub besar. Ketika melawan PSMS Medan misalnya, jumlahnya terjun bebas menjadi hanya 10.426 penonton saja atau sebesar 20 persen dari total kapasitas Gelora Bung Tomo.

Kondisi berbeda terlihat di Makassar. Apapun lawannya, suporter mereka terus memadati setiap pertandingan. Lebih dari 11 ribu penonton terus hadir mensupport tim tak peduli klub besar atau klub yang kekuatannya tidak setingkat sekalipun. Selama 17 pertandingan, rata-rata jumlah penonton di Makassar mencapai 13 ribu dari total kapasitas sebesar 15 ribu.

Tapi GBT kan sering full house? Stadion sering full house itu juga bukan jaminan sebuah klub menjadi kaya. Apalagi jika tingkat seringnya hanya 4 dari 17 kali pertandingan home. Sama sekali bukan jaminan. Karena pendapatan dari tiket ini juga belum sepenuhnya maksimal, maka tentunya akan ada pertimbangan-pertimbangan yang jauh lebih mendetail lagi untuk mengeluarkan uang. Contohnya misalnya terkait dengan budget pembelian pemain. Kenapa? Karena jawabannya ada didalam teori input-output sebelumnya.

Perlu diketahui pula pendapatan dari tiket biasanya di klub-klub Eropa porsinya mencapai 30 persen dari modal klub selama semusim. Nah sekarang dihitung lagi saja, kalau misalnya ruang-ruang kosong di stadion tersebut masih sering terlihat artinya pemasukan klub tidak sepenuhnya maksimal. Jadi cukup masuk akal juga kan kalau beberapa pihak melihat manajemen klub ini pelit? Karena sejatinya kesulitannya ada di sana. Belum lagi uang-uang yang dikumpulkan tersebut juga di dalamnya untuk membiayai administrasi klub serta pengembangan tim junior, menjalankan kompetisi internal, atau juga untuk membayar denda Komdis dan lain-lainnya. Tidak hanya untuk membiayai kebutuhan tim utama saja.

Oleh karena itu, klub butuh suporter-suporter baru yang mendadak bonek untuk mengisi ruang-ruang kosong tersebut. Namun sebelum sampai kesana klub perlu menjawab isu utama yang muncul sejak Liga 2, yaitu akses menuju Gelora Bung Tomo yang masih bermasalah. Tantangan ini harus dijawab oleh manajemen dengan mendekat ke Pemkot Surabaya untuk menjaring lebih banyak mendadak bonek lainnya. Tak hanya itu, inovasi-inovasi berkaitan dengan fan experience dan fan engagement juga harus terus diupayakan didalam lingkungan stadion. Sehingga apa yang dipersepsikan oleh beberapa pihak bahwa Persebaya adalah klub kaya, cepat atau lambat menjadi kenyataan dan tak lagi menjadi ilusi.

Sampai Jumpa di 2019     

Kapan dimulainya Liga 1 2019 masih samar. Namun banyak klub mulai berbenah dan memberanikan diri mengontrak pemain-pemainnya. Termasuk Persebaya. Berkaca dari refleksi musim lalu dan benchmark dari klub-klub kontestan Liga 1 lainnya, maka Persebaya kini tidak boleh telat start untuk memulai latihan. Fisik jadi hal yang utama untuk diperbaiki di musim ini. Selain itu klub perlu juga menyiapkan sejumlah uji coba yang telah disesuaikan jadwal dan waktunya agar para pemain bisa mencapai peaknya tepat waktu. Bukan malah sebaliknya, kelelahan karena tidak tepat mengatur ritme latihan dan jadwal uji coba.

Pengalaman musim lalu bisa jadi acuan. Juara liga, Persija mulai mempersiapkan diri 1 bulan setelah pertandingan terakhir mereka atau 18 Desember 2017. Total 20 pertandingan mereka lahap hingga Liga 1 dimulai. Sedangkan PSM Makassar, memulai pre-season pada 6 Januari 2018 atau 2 hari lebih lambat bahkan dari Persebaya dan hanya mengikuti 5 pertandingan pre-season resmi. Jumlah ini juga lebih sedikit dari jumlah pertandingan pre-season resmi yang diikuti Persebaya, yaitu 9. Artinya apapun pilihannya, pendekatan dan perencanaan yang tepat dari tim pelatih di awal musim akan mendekatkan peluang untuk masuk ke jalur 3 besar posisi akhir klasemen. If you fail to plan you are planning to fail.

Sampai jumpa di Liga 1 2019. Semoga mentalitas Wani! yang diperlihatkan Persebaya di Liga 1 2018 dapat diikuti dan diperlihatkan oleh seluruh stakeholdernya di tahun yang baru. Wani!

*) Adipurno Widi Putranto, tinggal di Surabaya 7 hari setiap bulannya. Bisa ditemui di akun @analisiscetek atau [email protected]

Komentar Artikel

Iklan

No posts to display