Buku Archives | Emosi Jiwaku https://emosijiwaku.com/tag/buku/ Portal informasi terpercaya dan terkini tentang Persebaya dan Bonek Thu, 15 Oct 2020 09:15:20 +0000 en-US hourly 1 145948436 Dihadiri Legenda, Buku “The Champions: Persebaya Sang Juara” Diluncurkan https://emosijiwaku.com/2019/04/16/dihadiri-legenda-buku-the-champions-persebaya-sang-juara-diluncurkan/ Tue, 16 Apr 2019 00:44:57 +0000 https://emosijiwaku.com/?p=24948 Pengamat sepak bola yang juga redaktur Jawa Pos, Sidiq Prasetyo, meluncurkan buku "The Champions: Persebaya Sang Juara" bertempat di Rumah Dinas Wakil Walikota Surabaya, Senin (15/4) siang. Launching buku tersebut dihadiri oleh Ketua Panpel Whisnu Sakti Buana, Manajer Persebaya Candra Wahyudi, Sekretaris Persebaya Ram Surahman.

The post Dihadiri Legenda, Buku “The Champions: Persebaya Sang Juara” Diluncurkan appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
EJ – Pengamat sepak bola yang juga redaktur Jawa Pos, Sidiq Prasetyo, meluncurkan buku “The Champions: Persebaya Sang Juara” bertempat di Rumah Dinas Wakil Walikota Surabaya, Senin (15/4) siang. Launching buku tersebut dihadiri oleh Ketua Panpel Whisnu Sakti Buana, Manajer Persebaya Candra Wahyudi, Sekretaris Persebaya Ram Surahman.

Sejumlah legenda hidup Bajol Ijo dari era 1977 hingga 2004 di antaranya Nanang, Rudi Keltjes, Maura Hally, Muharrom Rusdiana, Mat Halil, Endra Prasetya, Dedi Sutanto, Bejo Sugiantoro, dan Yongky Kasatanja juga hadir langsung.

Sidiq Prasetyo mengatakan, buku ini bertuliskan tentang perkembangan sepakbola di Surabaya khususnya Persebaya. Lewat buku ini diharapkan skuad Bajol Ijo bisa meraih kejayaan seperti 2004 silam.

“Dengan buku ini, Persebaya yang belum meraih juara di level tertinggi kompetisi Indonesia, bisa meraih prestasi seperti yang pernah diraih di tahun 2004 silam,” kata dia ditemui usai acara, Senin (15/4).

Menurut Sidiq, buku tersebut memberikan sebuah penghargaan terhadap pemain Bajol ijo yang telah menorehkan sejumlah prestasi membanggakan. Sejumlah nama yang pernah bermain untuk Persebaya masuk dalam buku “The Champions: Persebaya Sang Juara”.

“Ada dua hal, selain memberikan motivasi kepada tim persebaya, dan juga untuk para pemain yang telah menorehkan sejumlah prestasi kepada Persebaya. Generasi muda akan mengingat,” ujarnya.

Terlebih, dalam menyusun buku ini, ia mengalami kesan yang tak terlupakan dalam menggali informasi. Ia harus berpergian ke luar kota guna menemui para legenda Persebaya.

“Semua bagi saya memberi banyak kesan. Saya harus naik kereta pagi pagi ke Malang, untuk menemui pelatih Persebaya ketika ia membawa juara 1987/1988 Amino Sutrisno. Saya harus naik kereta pagi,” paparnya. (dit)

The post Dihadiri Legenda, Buku “The Champions: Persebaya Sang Juara” Diluncurkan appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
24948
Sepak Bola, Jalan Hidup Orang Indonesia https://emosijiwaku.com/2017/09/28/sepak-bola-jalan-hidup-orang-indonesia/ https://emosijiwaku.com/2017/09/28/sepak-bola-jalan-hidup-orang-indonesia/#respond Thu, 28 Sep 2017 04:33:27 +0000 http://emosijiwaku.com/?p=11033 Buku ini menyajikan banyak kisah di balik lapangan yang tidak diketahui banyak orang. Dengan gaya bahasa naratif yang apik, Sutton berhasil menceritakan petualangannya sebagai seseorang yang menggilai sepak bola.

The post Sepak Bola, Jalan Hidup Orang Indonesia appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
Semua manusia di muka bumi ini pasti mengenal sepak bola. Sebuah olahraga populer yang egaliter, tidak mengenal kasta. Sebuah olahraga yang dipuja layaknya dewa.

Indonesia termasuk negara dengan antusiasme masyarakat yang luar biasa terhadap sepak bola. Di sana tidak ada istilah kiamat untuk membicarakan sepak bola. Sebab, olahraga nomor wahid ini telah menjadi budaya, bahkan agama kedua. Indikasinya adalah keberadaan penggila sepak bola yang menjamur dimana-mana.

“Sepak bola Indonesia masih suci,” begitu yang dikatakan Antony Sutton, blogger asal Inggris. Namun, apakah sepak bola Indonesia sesungguhnya masih benar-benar masih suci? Melalui buku Sepak bola, The Indonesian Way of Life, Sutton membicarakan sisi lain sepak bola Indonesia.

Kisah-kisah di Tepi Lapangan

Barangkali tak banyak orang yang mengingat Hendri Mulyadi, pemain kedua belas yang turun di tengah-tengah kekacauan Timnas Indonesia saat melawan Oman dalam kualifikasi Piala Asia 2011 pada Maret 2009 silam. Saat itu Indonesia tertinggal 1-2 di menit ke-52. Lalu, tiba-tiba Hendri dengan jersey merahnya turun dari tribun, berlari menggiring bola dan melepaskan tembakkan ke gawang. Sayang, usahanya bisa ditepis kiper Oman, Ali Al Habsi.

Apa yang dilakukan Hendri semata-mata hanyalah wujud protes terhadap Timnas Indonesia. Aksinya tak lain merupakan luapan kekecewaan yang mendalam. Memang, selama ini antusiasme masyarakat Indonesia yang tinggi terhadap sepak bola lebih sering berhadiah rasa kecewa ketimbang prestasi.

Selain miskin prestasi, sepak bola Indonesia juga menyimpan penyakit. Katakanlah kepengurusan organisasi yang tidak beres dan pergelaran liga yang tidak jelas. Ketidakjelasan yang berujung pada kemunculan dua liga berseberangan, yaitu Liga Super Indonesia (LSI) dan Liga Primer Indonesia (LPI) pada beberapa tahun lalu. Dua liga tersebut kemudian menghasilkan musim subur. Ada dua Persebaya, dua PSMS, dua Arema, dan dua Persija sebagaimana yang dibahas dalam bab kedua buku ini.

Kisah memilukan sekaligus memalukan juga diungkap dalam buku ini. Salah satunya adalah kisah Diego Mendieta. Mendieta adalah pesepak bola berpaspor Paraguay yang bermain untuk Persis Solo. Ia menghembuskan nafas terakhirnya di Solo karena menderita penyakit Typhoid. Ironisnya, sudah empat bulan Mendieta tidak menerima gaji dari klub. Hal tidak pantas ini memang jamak terjadi di Indonesia.

Menjelang menghembuskan nafas yang terakhir, beberapa media lokal menulis kalimat-kalimat terakhir dari Mendieta, “Aku tak punya uang, aku hanya ingin tiket pulang, aku tak mau mati di sini, aku ingin bersama ibuku.” (halaman 23).

Terlepas dari perkara di atas, Sutton berbicara banyak soal klub sepak bola lokal. Dalam bab ke delapan dan ke sembilan, ia menyoroti Persib bandung dan Bobotohnya. Sutton mengulas bagaimana kultur yang berkembang pada Bobotoh dalam mendukung Persib. “Persib adalah budaya, jalan hidup! Semua dimulai sejak masa kakek moyang kami. Tak ada hal lain selain Persib, kami semua biru!” (halaman 117).

Faktanya memang besar rasa cinta orang Bandung bahkan orang Sunda terhadap Persib tidak dapat diragukan lagi. Buktinya, keberadaan klub selain Persib yang berdomisili di wilayah Bandung, seperti Persikab dan PBR tidak pernah mampu mencuri perhatian mereka. Tidak ada klub di Jawa Barat yang mendapat dukungan sebesar¾atau paling tidak setara¾ dukungan yang didapatkan Persib.

Tidak hanya itu, Sutton juga mengangkat kisah Bonek dalam bab ke sepuluh yang bertajuk “May the Green Force Be With You”. Melalui bab ini Sutton berbicara banyak soal sepak bola Surabaya. Terlebih perihal lenyapnya Persebaya dari sepak bola Indonesia. Beberapa tahun lalu memang kondisi Persebaya sedang tidak kondusif sebagai buntut dari ketidak kondusifan sepak bola Indonesia—yang memunculkan dua kompetisi. Saat itu Persebaya memutuskan untuk ikut berkompetisi di bawah naungan LPI. Sayang, keputusan tersebut ternyata berbuntut panjang. Persebaya “dibuang’’ PSSI , kemudian PSSI membuat klub tandingan yang didatangkan dari Persikubar.

Sutton bercerita bagaimana lika-liku yang dialami Persebaya. Ia juga bercerita tentang bagaimana Bonek mencintai dan memperjuangkan Persebaya agar kembali diakui PSSI dan turut menghidupkan dunia persepakbolaan nasional. Sutton bercerita dalam alur sejarah untuk mempresentasikan karakter para pendukung Persebaya ini. Konteks perlawanan arek-arek Surabaya terhadap tentara Inggris dalam perang 10 November 1945 dianalogikan sebagai perlawanan mereka terhadap PSSI.

Jika mereka tak sudi tunduk berlutut pada Kerajaan Inggris yang besar, agung, dan megah itu, lalu tentu tak ada satupun hal di muka bumi ini yang bisa membuat mereka membiarkan klub sepak bola kesayangan mereka dirampas begitu saja! (Halaman 145).

Pada bab terakhir, Sutton memberikan sebuah catatan yang depresif. Ia kembali mengulas hal buruk yang terjadi di dalam sepak bola Indonesia. Hal buruk yang membuat sepak bola Indonesia tak berdaya di mata dunia.

Tiada Kata Akhir untuk Sepak Bola

Sekali lagi, tidak ada istilah kiamat untuk membicarakan sepak bola Indonesia. Sebab di negeri yang konon sepak bolanya masih suci ini, sepak bola bukan sekadar drama 90 menit di atas lapangan hijau. Sepak bola adalah jalan hidup. Bahkan, saking luar biasanya gairah masyarakat Indonesia terhadap sepak bola sempat membuat Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram terhadap sepak bola di Tangerang.

Buku ini menyajikan banyak kisah di balik lapangan yang tidak diketahui banyak orang. Dengan gaya bahasa naratif yang apik, Sutton berhasil menceritakan petualangannya sebagai seseorang yang menggilai sepak bola. Siapa saja yang membaca buku ini pasti tidak sabar untuk cepat-cepat merampungkannya. Apalagi buku ini sangat menarik karena Sutton berupaya membandingkan sepak bola yang terjadi di Inggris dengan sepak bola Indonesia.

Sutton sendiri merupakan orang Inggris yang sudah sangat akrab dengan sepak bola Indonesia. Ia sudah melawat ke berbagai stadion dan menyaksikan pertandingan klub-klub di berbagai kota. Melalui 17 bab dalam buku ini, ia meracik sisi terang dan kelam sepak bola Indonesia yang mampu memperkaya pengetahuan pembaca tentang sepak bola Indonesia. Setidaknya setelah membaca buku ini pembaca mampu menarik kesimpulan, apakah sepak bola Indonesia masih benar-benar suci atau tidak. (*)

Judul Buku: Sepak bola, The Indonesian Way of Life
Penulis: Antony Sutton
Penerbit: Kawos Publishing, Jakarta Selatan
Cetakan: I, Februari 2017
Tebal buku: xxxiv + 265 halaman

The post Sepak Bola, Jalan Hidup Orang Indonesia appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
https://emosijiwaku.com/2017/09/28/sepak-bola-jalan-hidup-orang-indonesia/feed/ 0 11033
Persebaya Masuk Buku “1000 Football Clubs” Karya Penulis Prancis https://emosijiwaku.com/2017/02/19/persebaya-masuk-buku-1000-football-clubs-karya-penulis-prancis/ https://emosijiwaku.com/2017/02/19/persebaya-masuk-buku-1000-football-clubs-karya-penulis-prancis/#respond Sun, 19 Feb 2017 07:50:01 +0000 http://emosijiwaku.com/?p=5619 Persebaya bersama tiga tim Indonesia yakni Persija, Persib, dan Persipura, masuk dalam buku 1000 Football Teams: Teams, Stadiums, and Legends of the Beautiful Game karya penulis asal Prancis, Jean Damien Lesay.

The post Persebaya Masuk Buku “1000 Football Clubs” Karya Penulis Prancis appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
EJ – Persebaya bersama tiga tim Indonesia yakni Persija, Persib, dan Persipura, masuk dalam buku 1000 Football Clubs: Teams, Stadiums, and Legends of the Beautiful Game karya penulis asal Prancis, Jean Damien Lesay. Lesay adalah penulis 30 buku olah raga dan sangat ahli di sepak bola.

Buku karya Lesay pertama kali terbit pada 2016 dan kini telah diterjemahkan dalam beberapa bahasa, salah satunya Italia.

Persebaya merupakan salah satu perwakilan dari Indonesia yang ada di buku ini. Menurut Lesay dalam bukunya, Persebaya berasal dari Jawa Timur, sebuah daerah yang sepak bolanya paling bergairah. Klub ini dihuni pemain lokal dan merupakan pendiri federasi sepak bola Indonesia (PSSI). Persebaya memenangkan sembilan gelar juara termasuk tiga gelar di era profesional.

Persebaya di buku versi bahasa Italia.

Buku ini merupakan panduan klub-klub di seluruh dunia menampilkan 1.000 ilustrasi dan lebih dari 1.000 tim dari 100 negara. Menampilkan ilustrasi yang sangat komprehensif bagi para penggemar dari 1.000 tim sepak bola, baik tim profesional maupun tim amatir dari setiap benua. Buku ini menggambarkan sejarah masing-masing klub dan apa artinya bagi para penggemarnya.

Buku juga memasukkan informasi mendetail dari klub-klub di liga pria dan wanita seperti warna kebesaran, desain jersey, moto, lagu-lagu klub, stadion, pemain legendaris, pelatih, dan kisah kemenangan dan kekalahan paling diingat. Singkatnya, buku ini merupakan panduan dan trivia paling lengkap bagi pendukung fanatik dari sebuah olah raga paling indah ini.

Sayangnya, buku ini belum diterjemahkan dalam versi bahasa Indonesia. Anda bisa membeli buku ini melalui Amazon. (iwe)

The post Persebaya Masuk Buku “1000 Football Clubs” Karya Penulis Prancis appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
https://emosijiwaku.com/2017/02/19/persebaya-masuk-buku-1000-football-clubs-karya-penulis-prancis/feed/ 0 5619
Bule Penulis “Sepakbola The Indonesian Way of Life”: Perjuangan Bonek Layak Jadi Satu Bab di Buku https://emosijiwaku.com/2017/01/23/bule-penulis-sepakbola-the-indonesian-way-of-life-perjuangan-bonek-layak-jadi-satu-bab-di-buku/ https://emosijiwaku.com/2017/01/23/bule-penulis-sepakbola-the-indonesian-way-of-life-perjuangan-bonek-layak-jadi-satu-bab-di-buku/#respond Mon, 23 Jan 2017 07:24:16 +0000 http://emosijiwaku.com/?p=5097 Dalam salah satu bab bukunya, Anthony secara khusus menulis tentang Persebaya dan Bonek. Menurutnya, perjuangan Bonek layak untuk dijadikan salah satu bab di buku yang bisa dinikmati Februari nanti.

The post Bule Penulis “Sepakbola The Indonesian Way of Life”: Perjuangan Bonek Layak Jadi Satu Bab di Buku appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
EJ – Jarang ada penulis luar yang membuat buku tentang sepak bola Indonesia. Padahal, Indonesia mempunyai banyak cerita sepak bola. Sejarah persepakbola kita sudah dimulai sejak era kolonial. Itulah mengapa sejarah persepakbolaan Indonesia begitu kuat. Sejarah klub-klub di Indonesia sangat melekat di hati para pendukungnya.

Anthony Sutton, bule asal London, Inggris ini merupakan penulis luar yang sangat langka karena menuliskan sepak bola Indonesia dari sudut pandangnya. Saat ini, ia sedang membuka pemesanan untuk bukunya yang berjudul “Sepakbola The Indonesian Way of Life”.

Buku yang ditulis blogger dengan nama Jakarta Casual ini menggambarkan kondisi persepak bolaan Indonesia berdasar pengamatannya selama tinggal di sini. Ia mengaku telah menonton 200 pertandingan klub dan timnas Indonesia. Tak hanya kasta tertinggi (ISL), ia juga berkeliling Indonesia untuk menonton pertandingan klub-klub penghuni kasta terendah.

Dalam salah satu bab bukunya, Anthony secara khusus menulis tentang Persebaya dan Bonek. Menurutnya, perjuangan Bonek layak untuk dijadikan salah satu bab di buku yang bisa dinikmati Februari nanti.

Berikut wawancara antara wartawan EJ, Iwan Iwe, dengan Anthony Sutton.

Halo Anthony, apa kabar?

Hai juga. Kabarnya baik. Salam Bonek.

Bagaimana sambutan masyarakat atas bukumu sejauh ini?

Reaksinya sangat positif terutama di media sosial. Kita lihat apa yang akan terjadi saat bukunya diterbitkan.

Kamu memasukkan Persebaya dan Bonek sebagai salah satu bab di bukumu. Apa pertimbangannya?

Buku ini menyoroti tentang sepak bola Indonesia termasuk sejarah pemain, pelatih, suporter, dll. Aku menambahkan bab khusus tentang Surabaya dan Persebaya, well, karena kota ini menjadi tempat istimewa dalam sejarah Indonesia dan aku melihat adanya hubungan pararel antara perjuangan melawan kolonial Belanda tahun 1945 dengan perjuangan Bonek mempertahankan eksistensi Persebaya.

Apakah kamu pernah melihat pertandingan Persebaya bersama Bonek?

Aku hanya melihat pertandingan Persebaya melawan Persitara di Jakarta. Aku sering melihat, maaf “Persikubar” bermain beberapa kali. Sekarang Persebaya telah kembali dan aku ingin menontonnya di Stadion GBT di tengah-tengah ribuan Bonek.

Seberapa jauh pengetahuanmu soal Bonek di masa lalu?

Aku pernah bekerja setahun di Surabaya dari 2003 hingga 2004 sebelum aku tertarik dengan sepak bola lokal. Saat itu, kapan pun aku bilang ingin nonton Persebaya kepada istriku, ia bilang untuk tidak berbuat hal bodoh. Ia berkata hal itu sangat berbahaya dan semua orang mengatakan hal yang sama.

Aku tertarik dengan reaksi orang-orang waktu itu saat mendengar kata Bonek. Ini seperti dongeng di abad 21 di mana mereka adalah penyihir jahat dalam cerita anak-anak. Saat kamu menyikat gigimu, Bonek akan segera menangkapmu.

Apakah kamu pernah menjumpai suporter di Indonesia atau luar Indonesia yang karakternya seperti Bonek?

Aku pernah berjumpa dengan suporter Millwall, Chelsea, Middlebrough di masa-masa buruk sepak bola Inggris yang dipenuhi hooligan. Jadi aku tak pernah khawatir saat menonton Persebaya. Sayangnya jadwal pekerjaanku saat itu tak pernah memberiku kesempatan.

Apakah pernah bertemu dengan pentolan-pentolan Bonek?

Sayangnya, aku tak pernah bertemu mereka. Akan sangat baik jika suatu saat nanti aku bisa bertemu mereka.

Menurut kamu, Bonek itu bagaimana saat ini?

Cara Bonek berjuang mempertahankan eksistensi klubnya sangat layak menjadi buku tersendiri. Perjuangan mereka tidak hanya melalui petisi dan hastag Twitter. Tapi semua usaha dan waktu yang dibutuhkan Bonek untuk berangkat ke Jakarta dan Bandung dengan segala cara demi bisa mengibarkan bendera, mengenakan baju kebanggaannya, dan memberitahu ke seluruh dunia jika Persebaya belum mati sangat mengesankan. Benar-benar mengesankan.

Bonek sering dicitrakan buruk oleh media, mengapa bisa begitu?

Aku pikir reputasi Bonek telah ada sebelum aku datang. Aku ingat saat kunjungan pertamaku di Indonesia tahun 1987 dan berbicara dengan fans lokal. Ia berkata jika fans Surabaya (Bonek) punya sebuah reputasi. Sekali kamu mendapat reputasi jelek maka susah sekali menghilangkannya. Akhirnya Bonek akan selalu dipandang buruk oleh beberapa pihak.

Bonek sedang berkampanye positif, misal “No Ticket No Game”,”No Rasicm”, apakah kamu punya saran agar Bonek bisa lebih baik ke depannya?

Mereka bisa melakukan banyak hal untuk mengubah persepsi. Kampanye “No Ticket No Game” adalah awal yang bagus. Suka atau tidak suka, sepak bola butuh uang dan jika Persebaya ingin bersaing dengan klub-klub baru yang lebih profesional, mereka butuh banyak sponsor.

Apa yang bisa diperbaiki dari Bonek?

Bonek adalah pelopor awaydays pertama di Indonesia. Mungkin mereka bisa jadi pelopor dengan mengadakan kegiatan-kegiatan sosial di lingkungannya. Dengan profil mereka yang tinggi, Bonek akan menarik banyak pemberitaan positif.

Buku “Sepakbola The Indonesian Way of Life” sudah bisa dipesan dan bisa dinikmati mulai Februari 2017. Klik di sini untuk melakukan pemesanan. (*)

The post Bule Penulis “Sepakbola The Indonesian Way of Life”: Perjuangan Bonek Layak Jadi Satu Bab di Buku appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
https://emosijiwaku.com/2017/01/23/bule-penulis-sepakbola-the-indonesian-way-of-life-perjuangan-bonek-layak-jadi-satu-bab-di-buku/feed/ 0 5097
Pemuja Sepak Bola: Religiusitas Lapangan Hijau https://emosijiwaku.com/2016/09/11/pemuja-sepak-bola-religiusitas-lapangan-hijau/ https://emosijiwaku.com/2016/09/11/pemuja-sepak-bola-religiusitas-lapangan-hijau/#respond Sun, 11 Sep 2016 14:16:30 +0000 http://emosijiwaku.com/?p=3211 Buku ini secara jelas dan komprehensif mampu menggambarkan mengenai bagaimana sepak bola bukan hanya perkara sebagai olah raga permainan.

The post Pemuja Sepak Bola: Religiusitas Lapangan Hijau appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
Apa yang diingat orang ketika kesebelasan Liverpool bertemu AC Milan di partai puncak final Liga Champions tahun 2005 di Istanbul, Turki? Bagi pendukung Liverpool, apa yang terjadi saat itu adalah “keajaiban Istanbul”. Namun bagi pendukung AC Milan yang terjadi di Istanbul adalah sebuah bencana. Bagaimana mungkin dengan kedudukan 3-0 bagi kemenangan AC Milan justru Piala Champions singgah ke Liverpool?

Tim dan pendukung AC Milan telah berharap kemenangan manis. Hingga paruh babak kedua, Liverpool belum bisa mengejar skor. Masih 3-0 untuk AC Milan. Di situlah justru titik puncaknya. Satu persatu gol dilesakkan Liverpool. Skor menjadi seri dan dilanjutkan ke drama adu penalti. Rupanya keajaiban tetap berpihak ke Liverpool. Gerrard dkk akhirnya membawa pulang piala Champions. Pertandingan ini akan selalu dikenang oleh Liverpool dan pendukungnya sebagai mujizat sepanjang masa.

Apakah keajaiban berhenti di tahun 2005? Tidak. Liverpool secara “ajaib” dipertemukan kembali di tahun 2007. Juga pada puncak final Liga Champions. Yang membedakan adalah tempat berlaganya, yaitu di Athena, Yunani. Sejarah mencatat, Liverpool gencar mengancam gawang Milan dengan 12 kali tembakan. Bandingkan dengan Milan yang hanya 5 kali tembakan. Namun, keajaiban dewa-dewa Yunani berpihak pada AC Milan. Di akhir pertandingan, giliran mereka yang membawa pulang lambang supremasi sepak bola Eropa tanpa harus melalui drama adu penalti.

Tentu, bagi fans teriakan yel-yel, chant, sorakan kemenangan maupun kesedihan, air mata, dan tak jarang pula darah mengiringi setiap pertandingan. Apa yang bisa dideskripsikan dari olahraga ini?

Identitas dan Religiusitas

Iswandi Syahputra, penulis buku ini, mendeskripsikan sepak bola sebagai olahraga yang penuh dengan altar pemujaan. Pemujaan pada klub maupun kepada pemain. Simbol-simbol yang disematkan kepada klub maupun pemain tersebutlah yang mampu menghidupkan tidak saja olahraga itu sendiri namun juga industri secara keseluruhan.

Sebagaimana konsep imperialisme kuno yang menerapkan 3G, yaitu Gold, Glory, dan Gospel, sepak bola ini juga menerapkan 3G juga, yaitu Gold, Glory, dan Goal. Prinsip yang ke-3 yaitu goal inilah yang membentuk apa yang dinamakan sebagai “kegembiraan sosial”. Kegembiraan sosial ini yang membentuk kecintaan fans pada klub yang dibelanya. Jumlah gol kemenangan diasosiasikan dengan kejayaan (glory). Sementara bagi klub mendatangkan sponsor (gold).

Begitulah sepak bola. Olah raga yang menurut Franklin Poer (2006), sebagaimana yang dikutip dalam buku ini, telah menjadi produk globalisasi. Sepak bola merupakan cerminan kekuatan global, kekuatan politik, dan bahkan kekuatan budaya. Iswandi menuliskan bahwa identitas bukan hanya milik klub. Perseorangan hingga negara merasa berkepentingan dengan sepak bola. Proses identifikasi diri, sosial, dan kebudayaannya sama. Mereka merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar di luar dirinya (hlm. 2).

Dalam sepak bola, ada individu-individu yang awalnya tak saling mengenal namun karena menjadi sesama pemuja sepak bola membuat mereka serasa terikat satu sama lain. Proses mengidentifikasi diri yang melahirkan konsep identitas inilah yang semakin menyemarakkan suasana di luar lapangan hijau. Fans club menjadi penanda untuk memuja klub yang sama dan tak jarang muncul pula fans garis keras yang di beberapa negara. Identitas kemudian menjadi begitu penting manakala klub yang dipujanya bertanding dengan lawan bebuyutan atau yang sering dinamakan sebagai duel klasik.

Sejarah juga pernah mencatat, bahwa peristiwa-peristiwa penting dalam sepak bola menumbuhkan pemuja fanatik yang di satu sisi dihindari namun di sisi lain rupanya berdampak pada pendapatan klub. Ada yang menarik dalam tulisan Iswandi terkait hal ini. Merujuk pada klub Glasgow Celtics yang merepresentasikan agama Katolik dan Glasgow Rangers yang merepresentasikan agama Kristen Protestan, fanatisme dalam sistem religi pun bercampur aduk dalam urusan bola. Saking ketatnya persaingan tersebut, pemujanya hanya menyebut nama belakangnya saja, Celtics dan Rangers.

Kapitalisasi dan Ilusi

Religiusitas dalam sepak bola (seperti halnya rujukan Liga Skotlandia di atas) kemudian berubah muka menjadi histeria massa yang disebarkan melalui media massa, utamanya dalam jaringan industri televisi (hlm. 92). Maka di sinilah peran media massa dalam menyebarkan pesan religi ini meski menjadi ambigu. Ada dua kepentingan bertarung wacana di sini. Di pihak pelaku (pemain dan fans) religiusitas dalam sepak bola menjadi pembebasan yang menghantarkan pada kegembiraan dan kebahagiaan kolektif. Sedangkan di pihak lain, religiusitas itu mengantarkan pada sistem kapitalisme global. Puncak dari kapitalisme global tersebut adalah piala dunia maupun Liga Champions. Iswandi secara bernas menjelaskan bahwa oleh karena religiusitas inilah maka sepak bola mampu mendeskripsikan kehidupan manusia yang mendambakan perdamaian dan kebahagiaan bersama.

Buku ini secara jelas dan komprehensif mampu menggambarkan mengenai bagaimana sepak bola bukan hanya perkara sebagai olah raga permainan. Olah raga ini memberikan semacam ilusi mengenai bagaimana objek beroperasi dalam tataran wacana budaya. Begitu pula individu serasa menjadi bagian penting dalam sepak bola oleh karena konsep-konsep sepak bola yang dideskripsikan oleh Iswandi dalam buku ini. Mulai dari bagaimana pembentukan identitas yang menjalar pada sistem fashion, agama, politik, maupun sejarah komoditas sepak bola itu sendiri.

Industri yang konon menghadirkan pragmatisme dalam objek keseharian telah mampu menjadikan sepak bola berikut fans-nya sebagai wilayah jual-beli. Arjun Appadurai (1988) maupun Igor Kopytoff (1986) dalam kaitannya dengan sepak bola ini telah menempatkan olah raga ini sebagai objek yang dinikmati setiap hari, entah bagi mereka sebagai pemuja maupun yang bukan; oleh mereka yang fanatik maupun yang bukan. Meski begitu, sepak bola tetap membutuhkan nilai perlawanan maupun menunjukkan sikap oposisi pada pemikiran industri. Syukurlah, di era komoditisasi ini, masih ada sikap fans yang realistis dan tidak mau terjebak pada ilusinya sepak bola. Di antara yang sedikit ini sebutlah The Kop-nya Liverpool. Mereka berani memprotes harga tiket yang ditetapkan. Begitu pula Bonek-nya Persebaya yang menolak jika ada pihak sponsor yang justru menjerumuskan klub kebanggaannya tersebut apalagi menjauhkan hubungan klub dengan pendukungnya. (*)

*Dosen DKV UK Petra Surabaya

Judul Buku: Pemuja Sepak Bola; Kuasa Media atas Budaya
Penulis: Iswandi Syahputra
Penerbit: KPG
Cetakan: Juni 2016
Tebal: xviii + 183 halaman

The post Pemuja Sepak Bola: Religiusitas Lapangan Hijau appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
https://emosijiwaku.com/2016/09/11/pemuja-sepak-bola-religiusitas-lapangan-hijau/feed/ 0 3211
Imagined Persebaya: Bukan Sekadar Sejarah Sepakbola https://emosijiwaku.com/2016/08/26/imagined-persebaya-bukan-sekadar-sejarah-sepakbola/ https://emosijiwaku.com/2016/08/26/imagined-persebaya-bukan-sekadar-sejarah-sepakbola/#respond Fri, 26 Aug 2016 06:15:11 +0000 http://emosijiwaku.com/?p=2914 Bagi Bonek, kecintaan pada Persebaya bak api nan tak kunjung padam, imajinasi yang mempertautkan mereka sebagai saudara, meski mungkin tak pernah bertemu, dan bahkan tidak pula berasal dari kota atau provinsi yang sama.

The post Imagined Persebaya: Bukan Sekadar Sejarah Sepakbola appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
Persebaya yang dilahirkan 18 Juni 1927 boleh saja (sementara) tiarap, tapi buku ini membuktikan kebesaran perjalanan klub kebanggaan Arek Suroboyo yang fanatisme ‘pemiliknya’ bahkan melebihi hooligan Inggris.  

Oryza Ardyansyah Wirawan dikaruniai bakat menulis dan memori yang kuat. Selain itu, ia punya kelebihan khusus: menjaga dokumentasi tulisannya agar tak terserak diterbangkan waktu. Maka, lahirlah buku: ‘Imagined Persebaya’ (Persebaya, Bonek, dan Sepakbola Indonesia). Diterbitkan oleh Litera pada 2015, buku 322 halaman membendel 63 tulisan jurnalis yang sehari-hari bekerja di situs Beritajatim.com ini. Dengan kreatif, kumpulan artikel itu dibaginya dalam lima bab bertajuk You Can’t Buy History, Bonek (Bin Chelsea), Rivalitas, Battle of Surabaya, serta Hikayat Sepakbola Indonesia. Di lembar awal masing-masing bab ditandainya dengan lima huruf khusus: B, O, N, E, dan K.

Fajar Junaedi, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang melakukan penelitian tentang fans sepakbola di Indonesia, melukiskan dengan tepat dalam pengantar ‘Imagined Persebaya’, “Buku ini adalah artefak tentang Persebaya, bonek, dan sepakbola Indonesia. Sejarah sepakbola adalah sejarah Persebaya. Pun demikian, Bonek juga sejarah penting dalam sejarah perkembangan sepakbola di Indonesia.”

Judul ‘Imagined Persebaya’ dipilih karena merujuk pernyataan peneliti sosial Benedict Anderson bahwa Indonesia merupakan komunitas yang dibayangkan (imagined community). Senada dengan Anderson, Persebaya lebih dari sebuah klub, namun imagined community bagi para fansnya. Bagi Bonek, kecintaan pada Persebaya bak api nan tak kunjung padam, imajinasi yang mempertautkan mereka sebagai saudara, meski mungkin tak pernah bertemu, dan bahkan tidak pula berasal dari kota atau provinsi yang sama. Buku ini menulis, sebutan Bonek pendukung Persebaya ternyata bukan hanya mereka yang dilahirkan atau pernah tinggal di Surabaya, tapi juga menjadi milik penggemar Persebaya di Pasuruan, Jember, bahkan kota-kota di Jawa Tengah, luar Jawa hingga mancanegara. Slogan Bonek ‘No leader just together’ (tiada pemimpin kecuali kebersamaan) dan ‘Tidak ada Bonek yang paling Bonek’ menjadi pemersatu, sekaligus menunjukkan karakter dan sifat egaliter khas budaya Arek.

Bercerita langsung

Tidak hanya berisi opini, buku ini menjadi ‘basah’ karena liputan langsung. Semisal kisah Oryza yang hadir menonton Liga Primer Indonesia mempertemukan Persebaya melawan Persija di awal Juni 2012. Tak direncanakan jauh-jauh hari sebelumnya menonton pertandingan itu, pilihannya membawa kepada sejarah: bentrok suporter dan polisi berhias gas air mata. Tapi, ‘keikutsertaan’-nya dalam peristiwa ini membuka mata pada sudut pandang lain. Betapa Bonek tak lagi menjadi momok menakutkan bagi warga Tambaksari dan sekitarnya. Warung-warung dan pedagang makanan tetap buka, bahkan saat kerusuhan menjalar ke luar stadion.

Sebagaimana buku ini mengutip lagu Working Class Hero – nya John Lennon, Bonek dianggap sebagai representasi kelas pekerja yang butuh hiburan sehabis penat bekerja sepekan. Persis seperti penggemar sepakbola di Inggris yang awalnya didominasi buruh kasar macam kuli pelabuhan Liverpool dan Manchester. Tak beda dengan penggila klub-klub di Sao Paulo di Brasil, buruh-buruh kereta api di Rusia pendukung Lokomotive Moskow, dan pendukung ideologis Internazionale di Milan yang berasal dari kaum sayap sosialis anti kapitalis.

Oryza, jurnalis pemenang penghargaan Prapanca 2010 –penghargaan tertinggi untuk jurnalis Jawa Timur, saat itu dengan tulisan berseri Hikayat Bank Gakin, meliuk-liuk dengan kata-kata dan bagaimana ia mendokumentasikan sejarah Persebaya, Bonek serta keprihatinan terhadap sepakbola Indonesia. Bukan tak ada kelemahan tentunya. Soal akurasi, misalnya, pada tulisan ’10 Tim Kontroversial dan Tak Disukai di Indonesia’, di urutan pertama ayah dua putera ini memilih Timnas Pra Olimpiade 1988. Tim itu dianggap mengundang kehebohan saat empat pemainnya diketahui terlibat suap di Hongkong dan Tokyo. “… Mereka adalah Noach Maryen, Elly Idris, Bambang Nurdiansyah, dan Louis Mahodim. Mereka menjadi ajang cemoohan, dan kasus ini menjadi kasus kesekian di mana penyuapan terjadi dalam sepakbola Indonesia di era 1970 dan 1980-an…” Di era teknologi seperti ini, tak susah untuk mengecek bahwa ejaan nama yang benar ialah Noah Meriem dan Louis Mohidin.

Buku ini layak menjadi salah satu referensi dan koleksi terbaik yang ada di perpustakaan pribadi mereka yang mengaku sebagai penggemar sepakbola Indonesia. Teruslah menulis, Oryza, dan mengabadikan sejarah sepak bola dengan filosofi kehidupan di dalamnya…

*) Tulisan ini pernah dimuat di blog Jojo Raharjo.
*) Anda bisa membeli buku Imagined Persebaya di sini.

The post Imagined Persebaya: Bukan Sekadar Sejarah Sepakbola appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
https://emosijiwaku.com/2016/08/26/imagined-persebaya-bukan-sekadar-sejarah-sepakbola/feed/ 0 2914