Sejarah Archives | Emosi Jiwaku https://emosijiwaku.com/tag/sejarah/ Portal informasi terpercaya dan terkini tentang Persebaya dan Bonek Fri, 04 Sep 2020 09:42:58 +0000 en-US hourly 1 145948436 Daftar Jersey Kandang Persebaya Sejak Ligina 1994/95 Hingga Liga 1 2020 https://emosijiwaku.com/2020/04/11/daftar-jersey-kandang-persebaya-sejak-ligina-1994-95-hingga-liga-1-2020/ Sat, 11 Apr 2020 06:09:50 +0000 https://emosijiwaku.com/?p=32282 Persebaya telah berpartisipasi di Liga Indonesia sejak musim pertama, yaitu kompetisi bernama Liga Dunhill I 1994/95 hingga musim 2020. Sejak saat itulah berbagai jersey kandang Persebaya Surabaya, baik untuk pramusim maupun kompetisi resmi, telah mengisi ingatan Anda.

The post Daftar Jersey Kandang Persebaya Sejak Ligina 1994/95 Hingga Liga 1 2020 appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
EJ – Persebaya telah berpartisipasi di Liga Indonesia sejak musim pertama, yaitu kompetisi bernama Liga Dunhill I 1994/95 hingga musim 2020. Sejak saat itulah berbagai jersey kandang Persebaya Surabaya, baik untuk pramusim maupun kompetisi resmi, telah mengisi ingatan Anda.

Jujur saja, saya bukan orang yang ahli secara teknis dan detail dengan deretan jersey-jersey ini, tapi setidaknya inilah sedikit rangkuman tentang kostum kandang Tim Bajul Ijo di Liga Indonesia:

Liga Dunhill I 1994/95

Seluruh kontestan liga memperoleh jatah kostum dari sponsor apparel yang telah ditentukan oleh federasi. Pada musim ini sponsor apparelnya adalah Adidas. Jersey warna hijau-hijau ini dibagikan tanpa logo Persebaya. Baru pada pertandingan ke-enam, logo Persebaya terpasang rapi di dada kiri kostum tim.

Liga Dunhill II 1995/96

Kostum Persebaya masih dengan sponsor apparel yang sama seperti musim sebelumnya dan motif yang sama. Tetapi kali ini warnanya lebih ke hijau tosca.

Liga Kansas 1996/97

Federasi masih bekerjasama dengan Adidas dalam hal sponsor apparel tim-tim di Divisi Utama Liga Indonesia. Jersey musim ini bakal terus dikenang sepanjang masa. Karena di akhir musim, Persebaya muncul sebagai kampiun Liga Kansas 1996/97.

Liga Indonesia IV 1997/98

PSSI membuat terobosan besar dengan membebaskan klub-klub di Liga Indonesia mencari sponsor apparel dan sponsor klub secara mandiri. Untuk klub sebesar Persebaya Surabaya tentu hal ini bukan hal yang susah. Apparel asal Amerika Serikat, Nike, pada akhirnya menjadi sponsor jersey. Dan produsen lampu asal Belanda, Philips, menjadi sponsor utama Tim Bajol Ijo. Hasil akhir pada jersey adalah sesuatu yang ikonik. Hasilnya adalah jersey garis-garis vertikal hijau-putih bersponsor Philips yang membuat jersey Persebaya Surabaya layaknya jersey PSV Eindhoven ketika itu. Sayang kompetisi harus berhenti di tengah musim karena alasan keamanan dan resesi.

Liga Indonesia V 1998/99

Roda kompetisi Liga Indonesia dimulai kembali di tengah tahun 1998. PSSI yang mendapatkan sponsor apparel asal Inggris, Reebok, kembali mewajibkan klub-klub memakai satu merek apparel untuk kostum tim. Kostum Tim Persebaya di musim ini juga bakal diingat banyak pihak karena tumbangnya Persebaya 0-1 melawan PSIS Semarang di partai final yang berlangsung di Stadion Klabat, Manado.

Liga Bank Mandiri 1999/00

Musim ini PSSI masih bekerjasama dengan Reebok sebagai sponsor apparel seluruh tim di Liga Indonesia. Di kompetisi liga, Persebaya diwajibkan memakai kostum “jatah” pembagian dari PSSI. Kostum musim ini juga sangat ikonik. Karena di salah satu pertandingan musim ini, Eri Irianto harus meregang nyawa. Pasca kejadian tersebut, untuk mengenang pemain bernomor punggung 19 ini maka dipasanglah nomor yang sama di dada bagian kanan jersey. Baru kali ini ada dua nomor berbeda di kostum pemain Sepak Bola di Indonesia.

Liga Bank Mandiri 2001

Musim ini PSSI menjalin kerjasama kembali dengan Nike. Namun pembagiannya terlambat. Manajemen Persebaya mensiasatinya dengan terlebih dahulu membuat jersey berlengan warna biru bergaris putih dan dominasi warna hijau dibagian dada dan punggung. Sponsor utamanya adalah Ardiles. Salah satu produsen alas kaki di Provinsi Jawa Timur. Dan jersey ini sempat dipakai di beberapa pertandingan awal liga.

Liga Bank Mandiri 2002

Di pergelaran kompetisi Liga Indonesia ke-8 ini, PSSI kembali mendapatkan sponsor apparel tim kontestan liga dari Adidas. Di akhir musim Persebaya harus menelan pil pahit dengan harus terdegradasi-untuk pertama kalinya-ke Divisi Satu.

Divisi Satu Liga Indonesia 2003

Manajemen Persebaya memilih menggunakan jersey bermerk Adidas untuk mengarungi kompetisi Divisi Utama tahun 2003. Setalah beberapa pertandingan awal babak 8 besar, barulah sponsor JTV melekat di tengah dada jersey pemain.

Liga Bank Mandiri 2004

Sepanjang musim yang fantastis ini, Persebaya menggunakan dua macam jersey buatan Adidas. Salah satu model jersey ini sama dengan jersey Yunani yang menjadi juara Piala Eropa 2004. Persamaannya, Persebaya menjadi kampiun liga di akhir musim. Kebetulan?

Liga Djarum 2005

Di musim ini Persebaya menggunakan jersey buatan Italia, Diadora, untuk berkompetisi di Liga Indonesia. Sayang karena dianggap tak mau bermain di laga akhir 8 Besar Grup A melawan Persija Jakarta, Persebaya Surabaya dihukum degradasi ke Divisi Satu oleh PSSI.

Divisi Satu Liga Indonesia 2006

Jersey yang digunakan adalah jersey buatan sendiri yang memiliki sponsor utama Kopi Kapal Api.

Liga Djarum 2007

Di kompetisi Divisi Utama musim ini, Persebaya menggunakan apparel asal Spanyol, Kelme.

Divisi Utama 2008/09

Kompetisi kali ini Persebaya menggunakan apparel asal Italia, Diadora.

Indonesia Super League 2009/10

Kerjasama Persebaya dengan Diadora berlanjut di musim ini.

Liga Primer Indonesia 2011

Persebaya 1927 memakai apparel asal Spanyol, Joma, di kompetisi yang hanya berusia setengah musim ini.

Indonesian Premier League 2011/12

Persebaya 1927 bekerjasama dengan apparel asal Inggris, Mitre dan menghasilkan beberapa jersey ikonik di musim ini.

Indonesian Premier League 2013

Kerjasama Persebaya 1927 masih berlanjut dengan Mitre hingga kompetisi dihentikan oleh PSSI.

Tahun 2015

Dua tahun dibekukan oleh PSSI tak membuat Persebaya 1927 berhenti bertanding. Di tahun ini kerjasama dengan apparel lokal, MBB, dilakukan.

Tahun 2016

Demi menjaga eksistensinya, Persebaya masih melakukan serangkaian pertandingan persahabatan dengan beberapa tim di Jawa Timur. Jersey yang digunakan? Merk apparel lokal, Allvane.

Liga 2 2017

8 Januari 2017 Persebaya kembali diakui oleh PSSI dan diperbolehkan berkompetisi di Liga 2 2017. Dengan jersey motif croco buatan sendiri, Persebaya memulai kampanye liga dan berhasil menutupnya dengan menjadi juara.

Liga 1 Gojek 2018

Masih mempertahankan motif croco buatan sendiri, Persebaya memulai Liga 1 Gojek 2018.

Liga 1 Shopee 2019

Dengan penambahan estetika dibeberapa bagian dan masih memakai motif croco, jersey Persebaya musim ini mulai diproduksi oleh apparel bermerk AZA

Liga 1 Shopee 2020

Jersey Persebaya nasih dengan motif croco dan penyederhanaan desain. Dibuat oleh apparel sendiri bermerk AZA.

Ulasan di atas sekali lagi mungkin hanya sisi luarnya saja. Karena saya memang bukan seorang ahli di bidang kostum Tim Persebaya. Tapi saya ingin Bonek, Bonita, dan Boncil tahu dan paham sejarah jersey kebanggaan Tim Bajol Ijo dari tahun 1994 hingga saat ini. (dpp)

Grafis: Dhion PP

The post Daftar Jersey Kandang Persebaya Sejak Ligina 1994/95 Hingga Liga 1 2020 appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
32282
Mengenal Awal Mula Logo Wong Mangap dari Sang Pelukis Asli https://emosijiwaku.com/2020/04/09/mengenal-awal-mula-logo-wong-mangap-dari-sang-pelukis-asli/ Thu, 09 Apr 2020 16:42:21 +0000 https://emosijiwaku.com/?p=32243 Lalu bagaimanakah sejarah di balik wajah Wong Mangap yang legendaris itu?

The post Mengenal Awal Mula Logo Wong Mangap dari Sang Pelukis Asli appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
EJ – Dalam situasi pandemi corona ini, tentu sebagai Bonek kita rindu. Rindu untuk nribun, rindu untuk bernyanyi bersama mendukung kebanggaan, dan rindu dengan berbagai macam aksi koreo di tribun Gelora Bung Tomo yang selalu berhasil menjadi daya tarik tersendiri bagi penikmat sepak bola Indonesia.

Dari sekian banyak koreo, poster, atau banner, ada satu ikon yang tak pernah absen bertengger di tribun stadion atau di atribut pakaian para Bonek. Ikon tersebut menggambarkan wajah seorang pemuda dengan rambut gondrong yang memakai ikat kepala bertuliskan Persebaya. Ikon itu kemudian dinamai “Wong Mangap” (wajah seseorang dalam ekspresi berteriak, Red).

Lalu bagaimanakah sejarah di balik wajah Wong Mangap yang legendaris itu?

Ikon Wong Mangap ternyata lahir hampir bebarengan dengan dikenalnya penyebutan Bonek akronim Bondo Nekat bagi suporter Bajo Ijo. Wong Mangap pada mulanya dibuat oleh seorang ilustrator harian Jawa Pos bernama Muchtar.

Pria yang akrab disapa Mister itu mengawali karirnya pada tahun 1986. Tepat saat digelarnya Piala Dunia di Meksico. Saat itu ia membuat sketsa gol untuk meyakinkan pimpinannya, Dahlan Iskan bahwa dirinya bisa berkontribusi untuk ilustrasi di Jawa Pos ini. “Jadi nonton live pertandingannya. Saat gol, langsung saya buatkan sketsanya,” jelas Mister.

Satu tahun kemudian Jawa Pos terlibat dengan Persebaya. Pada era Perserikatan itu, Persebaya bertemu dengan PSIS Semarang di pertandingan final 1987. Sayang Persebaya harus puas keluar sebagai runner up. Tetapi tahun berikutnya, Persebaya kembali berhasil menembus partai final. Lawan yang harus dihadapi adalah tuan rumah Persija Jakarta.

Pada saat itulah gema nama suporter Bonek semakin membesar. Kala itu Persebaya menjadi tim sepak bola pertama di Indonesia yang memberangkatkan pendukungnya dalam laga tandang. Ratusan bis disewa untuk berangkat ke Jakarta. Fenomena ini kemudian dikenal dengan “Tret Tet Tet”.

Tak sampai di situ saja, agar lebih menarik, Dahlan berinisiatif membuat kaos untuk para Bonek. Saat itu tagline yang sudah dikenal untuk Persebaya adalah Kami Haus Gol Kamu. “Tapi rasanya kurang lengkap jika hanya tulisan saja. Tolong mister buat kan apa gitu supaya lebih ekspresif,” ujar Mister menirukan ucapan Abah Dahlan saat itu. Bos Jawa Pos tersebut memang selalu punya julukan unik untuk orang-orang andalannya.

Mister yang merupakan seniman lulusan Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) sekarang Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta mau tidak mau harus berpikir lebih keras malam itu. Sebab pihak sablon kaos sudah menunggu desainnya untuk segera dicetak.

Bahkan puluhan Bonek juga hadir berkumpul di kantor Jawa Pos, Kembang Jepun. Kala itu kantor Jawa Pos memang sudah seperti base camp bagi Bonek. “Saya masih ingat kebanyakan Bonek yang ada di kantor saat itu adalah pegawai PLN. Mereka meneriaki saya, ayo Pak Muchtar, ayo,” jelasnya menggambarkan situasi malam itu.

Wong Mangap versi pertama.

Dari mana datangnya inspirasi wajah Wong Mangap?

“Saya berpikir begini saat itu. Surabaya ini kan kota pahlawan. Sudah berapa ribu orang yang mati di sini. Wajah-wajah patung pahlawan di Surabaya ini kan kebanyakan gitu semua. Menggambarkan kobaran semangat, ekspresfif, walau mereka orang bawahan. Saya kira itu yang paling representatif untuk Surabaya,” jelas Mister dengan penuh semangat.

“Maka gambar Wong Mangap awalnya hanyalah sebuah pelengkap untuk merchandise. Saat itu belum ada lho yang terpikir untuk membuat merchandise secara profesional,” tambahnya. Lagi-lagi Persebaya menjadi tim yang mengawali terbentuknya kultur suporter sepak bola modern di Indonesia.

Setelah Wong Mangap berhasil digambarnya hanya dalam waktu satu jam (19.00-20.00 WIB) dan Persebaya berhasil keluar sebagai juara. Beberapa orang yang fanatik bahkan mengaitkan kemenangan Persebaya karena daya magis logo ini.

“Padahal enggak juga, tagline Kami Haus Gol Kamu termasuk yang berpengaruh besar sekali untuk membangkitkan gairah sepak bola Surabaya pada saat itu. Jadi dua kombinasi tagline dan gambar tersebut semakin membakar semangat arek-arek Suroboyo untuk bertanding,” Mister mempertegas.

Bagaimana dengan mereka yang menganggap Wong Mangap meniru wajah pahlawan Lamongan atau Malang?

Pria yang pensiun dari Jawa Pos pada tahun 2007 itu menjelaskan, “Nah itu, memang banyak sekali tafsiran macam-macam. Ada malah yang menganggap itu wajah separuh malaikat separuh setan. Wah, macem-macem pokoknya.”

“Padahal boro-boro niru, buat aja kepepet dalam waktu sesingkat-singkatnya,” tambahnya.

Menurutnya berbagai interpretasi yang ada juga tidak bisa disalahkan, itu adalah hak mereka sebagai penikmat seni. “Karena toh itu juga akan berhenti hanya sebagai tafsiran saja, kan?” terang seniman yang mengidolakan Basuki Abdullah ini.

Apabila diperkenankan meminjam pendekatan sastra maka terdapat sebuah esai Roland Barthes berjudul The Death of The Author yang mengajarkan kita bahwa tidak ada penafsiran tunggal dalam sebuah karya.

Artinya pada kondisi karya telah dipublikasikan maka the author had died (sang pemilik karya dianggap telah “mati”). Ia tidak berhak untuk menuntut semua orang berperspektif sama sesuai dengan pesan yang ingin ia sampaikan. Seni memang dipertontonkan untuk dapat dinikmati dengan cara masing-masing.

“Menangnya, saya hanya menang duluan nggawe (duluan membuat),” ujarnya dengan penuh rendah hati. Sampai saat ini dirinya mengaku masih terus menggambar dan mengikuti perkembangan Persebaya.

Seiring berjalannya waktu gambar Wong Mangap hitam putih milik Mister kemudian diberi warna dan beberapa sentuhan baru oleh Boediono yang juga ilustrator harian Jawa Pos. Sampai akhirnya dikenal wajah Wong Mangap seperti yang sekarang. Berambut gondrong dengan perpaduan warna yang apik. (amz)

*) Wawancara bersama Mister ini beliau persembahkan untuk sahabatnya Slamet Urip Pribadi, wartawan senior Jawa Pos tahun 1980an. Pencetus istilah Bonek.

The post Mengenal Awal Mula Logo Wong Mangap dari Sang Pelukis Asli appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
32243
Persebaya, Kenangan Masa Remaja: Masa Jaya PSBI Blitar (8) https://emosijiwaku.com/2017/12/16/persebaya-kenangan-masa-remaja-masa-jaya-psbi-blitar-8/ Sat, 16 Dec 2017 09:53:17 +0000 http://emosijiwaku.com/?p=12962 Setelah kecewa berat atas hasil Pra Piala Dunia, kami remaja gila bola berharap PSSI bisa sukses di Sea Games 1977 Kuala lumpur. Dan sepertinya, harapan itu bakal terwujud.

The post Persebaya, Kenangan Masa Remaja: Masa Jaya PSBI Blitar (8) appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
Setelah kecewa berat atas hasil Pra Piala Dunia, kami remaja gila bola berharap PSSI bisa sukses di Sea Games 1977 Kuala lumpur. Dan sepertinya, harapan itu bakal terwujud.

Di depan layar kaca TVRI kami bersorak ketika eksekusi penalti Santokh Singh bisa ditepis Ronny Pasla, apalagi aku, yang jelas-jelas mengidolai.

Dan bersorak lagi “Goooolll…!!!” kala Iswadi Idris memperdayai kiper Malaysia Ramasamy Arumugam, gol, 1-0 untuk PSSI.

Berkali-kali kami menahan sorak sorai kala Hadi Ismanto menang adu lari lawan duet Soh Chin Aun – Santokh Singh namun belum menjadi gol. Dan akhirnya sorak sorai yang tertahan itu pecah jadi kenyataan menjelang laga usai, Hadi Ismanto, kanan luar PSSI asal Persebaya kebanggaan kami, mencetak gol, membenamkan tuan rumah Malaysia 2-1.

Dua laga berikutnya melawan Brunei (4-1) dan Philipina (1-1) tidak disiarkan, tapi PSSI yang menjadi juara grup akan ketemu Thailand di semi final. Kami yakin sekali bahwa Thailand akan digulung, karena squad PSSI SEA Games 1977 sungguh yahud, tim terbaik, warisan Pre Olympic 1976 dari Wiel Coerver.

Bermain di lapangan buruk akibat hujan, Hadi Ismanto berkali-kali mampu menerobos barisan bek Thailand dengan lari kencangnya, tetapi wasit Othman Omar dari Malaysia yang berat sebelah selalu meniup peluit. Suatu saat, di sisi kiri penalti Thailand Hadi Ismanto mengejar bola yang sepertinya akan out gawang. Tak disangka Hadi masih bisa mengirim trek ball dengan kaki kanannya, maksudnya mungkin mengumpan, tetapi saking kerasnya dan itu bola efek, sehingga malah masuk gawang, menipu kiper Nawee Sookying.

Indonesia unggul 1-0 dan sudah ditunggu tuan rumah Malaysia yang lebih dulu memastikan tiket final setelah membantai Burma 9-1. Rupanya publik Malaysia tidak menginginkan kita berhadapan lagi dengan mereka. Apapun caranya.

Semua pecinta bola senior sudah tahu cerita ini berakhir pilu. Setelah Sittiporn Pongsri berhasil menyamakan skor 1-1 via tendangan pojok, lalu terjadi tawuran massal, bahkan penonton Malaysia bisa memukul kapten Iswadi Idris dan Indonesia mogok lalu dinyatakan kalah WO, sesuai keinginan Malaysia. Thailand yang ke final dan akhirnya mereka gilas dengan skor 2-0 menandai kalungan medali emas sepakbola bagi Malaysia.

Remaja-remaja zaman Old yang memang hobby tawuran begitu geram melihat kejadian itu. Rasa-rasanya ingin nimbrung berkelahi menghajar wasit dan pemain-pemain Thailand. Seluruh rakyat Indonesia geram, sakit hati, dendam dan akan membalas di kesempatan lain.

Sudahlah, kita lupakan SEA Games 1977, di depan sudah menanti Kompetisi PSSI 1975-1977 di mana Persebaya sudah puasa gelar sejak tahun 1952.

Waduhhh, lama amat kita tidak juara… padahal Persebaya dari waktu ke waktu berisi pemain-pemain kelas wahid macam Tee San Liong, Jacob Sihasale, Harry Tjong, Waskito, Lukman Santoso dan Abdul Kadir. Maka, kalau tidak sekarang, kapan lagi?

Selama kompetisi, tidak ada satu pun laga yang aku tonton langsung, karena Persebaya kudu berlaga di Probolinggo dan Jakarta. Kami hanya mengikuti dari Radio RRI-RGS dan Surabaya Post, saat itu koran Jawa Pos belum menjadi raksasa seperti sekarang, hurufnya pun masih tidak rapi, tapi punya nilai lebih karena terbit pagi, sedang Surabaya Post muncul di sore hari.

Berita pertama, Hartono dan Slamet Pramono menyeberang, memperkuat Persema Malang.

Babak 18 besar dibagi menjadi 4 pool yang berlangsung di Surabaya, Bandung, Semarang dan Jakarta. Namun sebelum ikut 18 besar, Persebaya kudu melewati penyisihan wilayah (Jawa Timur) yang dihelat di Stadion Gajayana Malang untuk menentukan 2 tim Jatim ke babak 18 besar, dengan hanya diikuti 3 tim yaitu Persebaya, Persema dan PSBI Blitar.

Asumsi masyarakat sudah jelas, Persebaya dan Persema yang akan mulus ke babak 18 besar.

Laga pertama, Persebaya-Persema, penalti Hartono (atau Slamet Pramono?) langsung membawa Persema unggul duluan 1-0. Namun Persebaya bisa membobol gawang Hari Saroso (adiknya Surharsoyo) dua kali, meng-kick balik menjadi kemenangan, skor 2-1.

Laga berikutnya Persebaya ketemu batunya, PSBI Blitar yang diperkuat oleh sebagian besar pemain klub Blitar Putra seperti Nuzur, Sodiq, Dhofir dan kapten M. Yusuf, mereka melawan Persebaya dengan gigih, kiper hebat Sudarto menjadi bintang lapangan, berhasil memaksa skor imbang 0-0. Meski dengan itu Persebaya tetap melaju ke babak 18 besar. Tinggal menunggu, siapa diantara PSBI atau Persema yang mendampingi.

Prediksi masyarakat nyaris mendekati kenyataan, karena sampai menit ke-89 Persema masih unggul 2-1 dan penonton berangsur meninggalkan stadion Bayuangga.

Tapi siapa sangka di detik-detik terakhir PSBI berhasil mencetak gol, menyamakan skor jadi 2-2, membuat pemain-pemain Persema dan PSBI menangis, kubu Persema menangis perih dan sedih sedangkan kubu PSBI menangis gembira, tak menyangka hasilnya.

Persebaya 2-1-1-0 2-1 3
PSBI Blitar 2-0-2-0 2-2 2
Persema 2-0-1-1 1-2 1

Berkali-kali aku membaca berita itu di koran Surabaya Post milik tetangga dengan takjub. Konon katanya, menurut cerita yang beredar, sebelum itu, PSBI klub yang notabene dari pelosok, mampu menahan Persija. Kiper Sudarto lah yang jadi kunci, sehingga membuat emosi pemain lawan. Lalu kiper Sudarto dilanggar dengan keras oleh Andilala, berakibat gegar otak dan diberitakan tewas, ternyata kiper Sudarto selamat.

Di babak 18 besar, Persebaya tergabung di grup-C (Menteng) sempat mengalami masa kritis, padahal diprediksi akan jadi raja di grup itu. Sebaliknya, PSBI Blitar yang tergabung di grup D (Semarang) malah sukses, padahal diprediksi kalah bersaing lawan Persija dan PSP Padang yang lebih punya nama.

Saat pagi hari membaca Koran Dinding di sekolahku, SMP Negeri 8, kami tersentak kaget ada berita heboh di Jawa Pos, Persebaya dikalahkan Persiraja Banda Aceh 1-2. Nanar mata kami demi memandang foto Bustaman, M. Daan dan kiper Zaim Mardika, bergembira setelah menumbangkan raksasa.

Berarti, Persebaya terancam gagal ke babak 8 besar.

Untunglah, akhirnya krisis itu berlalu seiring kemenangan telak 7-0 atas Persisam Samarinda. Hadi Ismanto mengamuk dengan hattrick-nya ke gawang Bachriyun Rachman (kelak ia akan menjadi kiper Persiba Balikpapan di 1987-1988) ditambah gol Waskito, Kadir, Sapuwan dan Joko Malis, Persebaya terbang ke babak 8 besar di Senayan, didampingi Persiraja.

Sementara, PSBI sempat kritis setelah dikalahkan Persija 3-0 dan kapten M. Yusuf menyia-nyiakan hadiah dua tendangan penalti yang semua ditepis Ronny Pasla. Tetapi kemudian M. Yusuf menebusnya saat mendapat penalti ketika mengalahkan PSP Padang 1-0.

Semua berita-berita itu sempat aku buat Kliping di tahun 1978, sampai kemudian dipinjam entah oleh siapa, aku lupa dan tidak pernah kembali lagi. Andai kata kliping itu masih di aku, maka tidak ada kesimpang-siuran berita yang mengatakan bahwa Persebaya Juara itu musim kompetisi 1978 bukan 1977, karena memang endingnya di Januari 1978.

Aku hanya berani berkata bahwa memang BENAR Persebaya itu Juara Nasional 1977 meski tanpa bukti tertulis, hanya bermodal ingatan, syukur-syukur bila ada pembaca tulisan ini yang masih menyimpan potongan beritanya.

Logikanya, PSSI selalu menggelar kompetisi dalam 2 tahun atau dalam 1 tahun, tidak pernah sampai 3 tahun kosong, terkecuali ada Force Majeur seperti Perang Kemerdekaan, Gerakan Reformasi atau Kisruh Nasional. Yah, begitulah wajah sepakbola kita, selalu berubah-ubah, baik nama, durasi waktu maupun geografisnya.

Yang tetap hanya satu: KEGAGALAN… (maaf). (bersambung)

*) Penulis: Eko Wardhana, Pensiunan BUMN yang tinggal di Sawojajar, Malang.

The post Persebaya, Kenangan Masa Remaja: Masa Jaya PSBI Blitar (8) appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
12962
Persebaya, Kenangan Masa Remaja: Cita-Cita Jadi Pemain PSSI (7) https://emosijiwaku.com/2017/12/12/persebaya-kenangan-masa-remaja-cita-cita-jadi-pemain-pssi-7/ Tue, 12 Dec 2017 11:40:52 +0000 http://emosijiwaku.com/?p=12841 Untuk bisa dipilih menjadi pemain PSSI, aku harus menjadi pemain Persebaya lebih dulu. Sebelum itu, aku juga harus melewati fase yunior di Persebaya, dan sebelum yunior aku harus ikut kompetisi remaja.

The post Persebaya, Kenangan Masa Remaja: Cita-Cita Jadi Pemain PSSI (7) appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
Untuk bisa dipilih menjadi pemain PSSI, aku harus menjadi pemain Persebaya lebih dulu. Sebelum itu, aku juga harus melewati fase yunior di Persebaya, dan sebelum yunior aku harus ikut kompetisi remaja.

Untuk bisa ikut kompetisi remaja, jelas aku harus terpilih di klub. Itulah tahapan yang kudu dilewati, panjang, dan berliku. Tapi ingat, supaya terpilih di klub, di samping kita punya skill dan fisik yang prima, kita juga harus “TERDAFTAR” di klub.

Nah, itu yang belum juga aku lakukan di IM, aku masih ILEGAL…

Suryanto, Basuki, Rudy, Anton, Riyadi, Asnar Hadi, Surya, Hariyono, Suwito, adalah sedikit di antara nama teman yang ikut IM tetapi masih illegal. Hanya Surya yang daftar, sebab ayahnya Perwira AD, jelas banyak uang. Seragam IM Putih-Merah punya dia yang bagus, bukan kaos cap ‘Daun’ seperti teman lain. Sepatu bola Pull 13 pun dia sudah punya, kami semua masih pakai sepatu bola kulit Pull 10, kalau kena air beratnya minta ampun.

Setiap akan berlatih di IM kami juga harus nyerobot, sama seperti mau nonton bola, tidak boleh masuk lapangan PJKA kalau tidak bisa menunjukkan Kartu Anggota IM dan lunas iuran bulanan. Terpaksa banyak yang main kucing-kucingan dengan penjaga. Para pelatih tidak mau perduli, kami sudah bayar atau belum, kalau sudah dikenal ya boleh ikut latihan.

Di SMP Katholik Jalan Pacar Keling yang hanya berbatasan tembok dengan lapangan PJKA punya lubang (Tembok rompal) yang bisa dimasuki seukuran orang dewasa, dari situlah kami biasa nyerobot latihan. Kalau tidak mau nyerobot ya datangnya kudu Subuh, itulah solusinya.

Para tetangga sampai berseloroh “Koen kabeh iki budhal latihan tembungan opo budhal maling?”

Di IM, mulanya kami berlatih setengah lapangan. Jumlah siswa di IM sangat banyak, hingga main dibatasi 2×5 menit, saking banyaknya siswa. Salah satu siswa yang terkenal (dan juga termasuk yang nyerobot latihan) adalah si Gundul, arek Tambaksari, dipanggil Gundul karena awal-awalnya dia berkepala gundul.

Dasar gila bola, Gundul kalau sudah selesai gilirannya, dia nyerobot tambah lagi ikut regu lain sampai 3-4 kali. Yang lainnya sesuai jatah, satu kali main.

Baru ketika sudah remaja, dia si Gundul diketahui bernama SEGER SUTRISNO.

Pelatih kami di kelas bocah ada dua, yaitu pak Kasman dan pak Kus, semuanya sudah sepuh saat itu. Setelah naik ke kelas remaja dan main sepenuh lapangan, kami ditangani oleh pelatih asal Kalidami, pak Ismanu dan pak Dul Rachman yang juga seorang wasit, kadang juga pak Sofyan.

Hobi kami, kalau tidak main bola setiap hari di kampung, ya nonton kompetisi Persebaya. Apalagi kalau pas ada klub besar bertanding, tentu kami hadir.

Suatu saat pertandingan dilaksanakan di lapangan Persebaya, Jalan Karang Gayam yang pintu masuknya hanya satu, yaitu di selatan lapangan. Maka seperti biasa, kami berusaha masuk melalui pintu stadion Gelora 10 November sisi utara, karena antara Gelora 10 November dan lapangan Persebaya berhimpitan.

Nah, begitu kami berhasil masuk lapangan Persebaya, kami mengendap-endap di pepohonan dan berusaha naik tribun, tetapi nahas, kami kepergok petugas.

Ada 4 remaja yang tertangkap tangan, termasuk aku, yang lain lolos.

“Hei! Kamu semua … kesini!” bentak seorang petugas berkumis tebal bermata merah yang sudah kami kenal wajahnya, karena sering kucing-kucingan di Gelora 10 November. Kami berempat dikumpulkan, anehnya, kami tidak dipukul pentungan atau digelandang keluar, tetapi sekedar dihukum.

Apa hukumannya?

Aku disuruh membawa net yang berisi bola, Basuki disuruh mengangkat Waskom yang berisi es teh dan mengangkat meja kecil untuk inspektur pertandingan dan hukuman terakhir, kami bertiga disuruh memompa bola-bola itu. Cukup capek juga memompa 15 bola, tetapi hukuman itu jelas menyenangkan, karena kami bisa nonton gratis, tanpa dikejar-kejar petugas lagi.

Stadion Gelora 10 November dan lapangan Karang Gayam, adalah dua tempat yang berkesan bagi diriku. Di sana aku bisa menyaksikan dari dekat pemain-pemain terkenal di jamannya, utamanya para pemain Persebaya.

Singkat cerita, di antara belasan teman kampung yang ikut IM, hanya tiga yang bisa bertahan sampai kelas Remaja, yaitu aku, Suryanto dan Basuki. Yang lain, mrotol satu per satu, karena mungkin tidak pernah dilirik pelatih, atau putus harapan.

Kami dipersiapkan untuk Sidhi Cup (Kejuaraan antar klub tingkat Remaja) yang tahun itu sedang diperjuangkan kakak kelas kami, yaitu angkatan mas Yoni (Nuryono Hariyadi), mas Kancil (Rukminto Asnan), Roland Wongkar, Ricky Lelono, Sukarno, dan lainnya.

Di IM remaja aku selalu menjadi pilihan pertama untuk posisi kiper. Waktu kelas 1 SMP tinggiku sudah lebih dari 161 cm, tentu bisa mencapai 175 atau 180 bila nanti dewasa di akhir SMA. Cita-cita menjadi pengganti Ronny Pasla sepertinya bukan mimpi di siang bolong. Saat itu, ada kiper yang jadi acuanku di samping Ronny Pasla yaitu Suharsoyo, tapi kelak di tahun-tahun berikutnya aku juga meniru gaya Purwono.

Karena yang dipikirkan dan yang dibicarakan hanya melulu sepak bola, maka di kelas aku makin tertinggal. Matematika dan Fisika menjelma menjadi momok menakutkan. Aku berkeringat dingin apabila ada giliran mengerjakan soal di depan kelas dan bergembira bila ada kabar gurunya tidak masuk. “Hooreeeee…”

Apalagi koran-koran memberitakan persiapan PSSI SEA Games 1977, pelajaran semakin dilupakan. Persiapan itu salah satunya berupa turnamen segitiga di Surabaya lawan PSM dan Persebaya, harapan melihat Ronny Pasla dari dekat kembali mencuat.

Untuk kedua kali, aku dibuat kecewa karena Ronny Pasla tidak hadir mengawal gawang PSSI. Ditambah lagi, Persebaya dikalahkan PSSI 1-2 dan gol kemenangan PSSI dicetak Yopie Saununu (pemain Persebaya). Tapi PSSI dikalahkan PSM 2-1 yang bermaterikan Yusuf Male, Dullah Rachim, Anwar Ramang, Abdi Tunggal, Hafid Ali, Yusuf Bahang, dan Yopie Lumendong.

Permainan PSM mendapatkan applause dari penonton Gelora 10 November, PSSI dibuat kocar-kacir oleh kerjasama apik Yusuf Male dan kawan-kawan. Apalagi melihat kecepatan lari kiri luar Dullah Rachim, bolanya seperti lengket di kakinya. Iswadi Idris pun menjadi olok-olok penonton yang memang menganggap PSSI adalah representasi dari Persija Jakarta.

Puncaknya, Persebaya – PSM, kali ini PSM tidak bisa leluasa seperti saat lawan PSSI Sea Games. Permainan dikuasai oleh Persebaya. Gawang PSM yang dijaga Johanes Deong digempur tembakan Hadi Ismanto, Waskito dan terutama Hartono.

Karena asyik menyerang Persebaya kecolongan oleh gol Abdi Tunggal dari jarak dekat, tembakan kerasnya tak tertahan kiper Suharsoyo.

Meski mengurung PSM, tetapi taktik Man to Man Marking yang diterapkan PSM membuat frustasi pemain-pemain Persebaya. Suatu kali di babak II Persebaya mendapat free kick di depan setengah lingkaran gawang PSM. Aku yang kebetulan duduk di belakang gawang PSM di tribun selatan menyaksikan betapa keras tendangan bebas yang dieksekusi Hartono, keras sekali! Mengarah ke kanan atas gawang PSM.

Kiper Johanes Deong terbang berusaha menepis bola, tapi tak mampu menjangkau. Sayangnya, di bawah mistar itu berdiri seorang bek PSM, menyelamatkan gawang PSM dengan sundulan menahan tendangan keras Hartono. Bola berhasil dihalau, tapi, pemain itu terjengkang, tergeletak di dalam gawang, dirawat petugas kesehatan dan langsung diganti. Pengorbanan yang sia-sia atau pengorbanan yang heroik, entahlah. Yang jelas Persebaya tetap kalah 0-1 dan PSM juara.

Sudah dua kali ini PSM hadir di Surabaya dan menjadi pemenang. Satunya dalam rangka HUT Indonesia Muda. Sehingga sejak itu, Persebaya dan Persija mengkhawatirkan PSM bakal jadi batu sandungan, di mana akhir tahun 1977 ini bakal digelar Kompetisi Divisi Utama.

Kembali ke IM, ternyata perjalanan sekolah sepak bolaku tidak begitu lancar, ada banyak hambatan yang datang mengganggu. Salah satunya sepatu robek atau rusak, sehingga kadang tidak masuk latihan. Belum lagi masih nyerobot latihan, sebenarnya sungkan, karena aku dan teman-teman langganan nyerobot sudah dinasehati pak Ismanu, pak Umar, dan pak Ibsen.

“Kalian itu sudah remaja, sudah besar, jangan seperti anak-anak kecil yang nyerobot.”

Pak Ibsen menambahkan “IM ini butuh uang untuk bayar sewa lapangan ke PJKA, bayar pelatih-pelatih, bayar pajak. Kalau kalian nyerobot, nggak mau bayar, terus darimana kami membayar semua itu, kasihan kan?” Kami semua hanya bisa menundukkan kepala.

Pak Ismanu, pelatih IM yang keras, tidak mau alasan apapun, apalagi nggak masuk latihan karena sepatu jebol. Kalau mau sukses ya harus keluar biaya. Maka tak ayal, tukang tambal (service) sepatu di Jalan Kapasan, depan toko Kim Hong jadi langganan kami.

Kami semua ini ekonomi lemah, kalau tidak ke tukang sepatu, ya gak latihan. Misalnya Suryanto, ia tinggal di kamar sewa ukuran 4×3 berdinding bambu bersama neneknya yang berprofesi tukang pijat. Sedang Basuki lumayan karena kakaknya sudah mapan, dia selalu ikut kalau aku dan To menjahitkan sepatu.

Kami bertiga bertekad menjadi pemain bola, kalau gagal menembus PSSI, minim tembus Persebaya, agar mudah mendapatkan pekerjaan.

Sepatu?

Ya, lama kelamaan semakin sesak di kaki kalau kebanyakan di-service, jebol dijahit, jebol lagi dijahit lagi. Harga sepatu bekas di Jln. Gembong Tebasan berkisar antara Rp 1.000 sampai Rp 3.000, tapi tetap tak terjangkau…

Apalagi kalau sepatu bekas itu merk ADIDAS… lewat dah. (bersambung)

*) Penulis: Eko Wardhana, Pensiunan BUMN yang tinggal di Sawojajar, Malang.

The post Persebaya, Kenangan Masa Remaja: Cita-Cita Jadi Pemain PSSI (7) appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
12841
Persebaya, Kenangan Masa Remaja: Tikus-Tikus Stadion (6) https://emosijiwaku.com/2017/12/08/persebaya-kenangan-masa-remaja-tikus-tikus-stadion-6/ Fri, 08 Dec 2017 05:05:12 +0000 http://emosijiwaku.com/?p=12706 Surya Cup 1977 telah berlalu tanpa kehadiran Ronny Pasla. Entah mengapa Persija tidak membawa kiper utama PSSI itu ke Surabaya. Meski kecewa, aku masih bisa menyaksikan dia dari layar TV jika PSSI ada pertandingan persahabatan.

The post Persebaya, Kenangan Masa Remaja: Tikus-Tikus Stadion (6) appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
Surya Cup 1977 telah berlalu tanpa kehadiran Ronny Pasla. Entah mengapa Persija tidak membawa kiper utama PSSI itu ke Surabaya. Meski kecewa, aku masih bisa menyaksikan dia dari layar TV jika PSSI ada pertandingan persahabatan.

Kini, aku, dan teman-teman di kampung yang semuanya mulai menekuni sepak bola, menyalurkan hobi dengan menyaksikan kompetisi internal Persebaya.

Hampir setiap hari kami hadir di Tambaksari, tanpa berpikir PR sekolah sudah dikerjakan atau belum. Cita-cita kami semua adalah menjadi pemain PSSI, tidak ada yang ingin menjadi hakim, jadii, apalagi menjadi dokter. Nah, nonton ini adalah bagian dari belajar, itu menurut kami.

Sebagian besar laga kompetisi dilaksanakan di Gelora 10 November, hanya sedikit yang dihelat di lapangan Karanggayam (Lapangan Persebaya).

Kompetisi Persebaya saat itu sudah terbagi menjadi beberapa kelas. Kelas Utama terdiri dari: Assyabaab, Suryanaga, IM, PSAD, Thor, HBS, Angkasa, PSHW, POPS (Polisi), Sakti (Sasana Bakti). Sedangkan kelas 1 ada PSAL, Mitra, Pusura (Putra Surabaya), Mars, Setia, TEO, Pusparagam, Bintang Timur, dan lainnya yang aku tidak ingat.

Assyabaab diperkuat banyak pemain Persebaya, Suharsoyo, Iskak Ismail, Hamid Asnan, Rusdy Bahalwan, Wayan Diana, Subodro, Waskito, Hassan Maghrobi, Moch. Sochech dan beberapa lagi. Suryanaga diperkuat kiper Didik Nurhadi, Rudy Keeltjes, Yopie Saununu, Slamet Pramono, dipimpin pemain senior Lukman Santoso sebagai kapten. IM diperkuat oleh Johnny Fahamsyah, Sapoewan, I Ketut Suprapto, Hadi Ismanto dan Ketip Suripno. PSAD diperkuat Joko Malis dan kiper M. Asyik.

Kami nonton tidak pernah membayar karcis, selalu masuk dengan menyerobot, ada banyak pintu dan banyak tempat bersembunyi di Gelora 10 November ini. Apalagi penjagaan tidak terlalu ketat, karena ini hanya kompetisi internal yang sedikit peminatnya. Kalau bukan hari Minggu, penonton yang hadir hanyalah remaja-remaja penggila bola dan para petaruh, penjudi.

Barulah di hari Minggu penjagaan diperketat, apalagi bila yang bermain adalah klub papan atas semisal Assyabaab, Suryanaga, IM atau PSAD penonton dipastikan banyak, tapi dalam artian tidak sampai 2.000 orang. Tempatnya pun hanya tribun VIP. Aku tidak ingat, berapa harga karcis, mungkin berkisar Rp 50 atau Rp 100 sebenarnya amat terjangkau, tapi bagi kami uang 50-100 rupiah lebih baik dipakai keperluan lain.

Setiap pulang sekolah, sekitar pukul 13.00 WIB, kami (sekitar 5-10 remaja yang rajin nonton) sudah ngumpul dan hadir di depan Gelora 10 November pukul 15.00, tentu dari rumah kami berjalan kaki, begitu tiba langsung naik tangga yang ada di kanan kiri stadion, cukup tinggi. Di atas sana, kadang dijaga, kadang tidak. Tinggal melompati pagar kawat ram-raman, lalu pilih tempat duduk, beres.

Seringkali kami dibiarkan saja oleh petugas (biasanya Polisi/Brimob berpakaian preman), wajah mereka ya itu-itu saja, boleh dikata antara kami dengan para petugas itu sudah saling menghafal. Mereka menjuluki anak-anak yang rajin nonton via nyerobot seperti kami sebagai “Tikus-Tikus Stadion” yang kadang digebuk, kadang dibiarkan. Jika saat menyerobot itu ketahuan, maka kami berlari ke tribun ekonomi, biasanya mereka tidak mau mengejar.

Suatu saat, ada pertandingan yang amat menentukan siapa yang bakal jadi juara kompetisi Persebaya, kandidatnya ada dua, Assyabaab dan Suryanaga. Kami paham, tentu penonton bakal ramai dan penjagaan diperketat.

Maka dari itu, kami sudah harus masuk lebih siang, mendahului datangnya petugas keamanan, kami masuk diam-diam, lalu lari ke ekonomi utara sembunyi di balik Scoring Board.

Di sana sudah banyak juga tikus-tikus stadion yang lain. 30 menit sebelum laga dimulai, kami intai, para petugas melakukan sweeping ke tribun ekonomi, yang tidak punya karcis, akan digelandang keluar. Mereka ada 4 orang, semuanya membawa pentungan. Maka semua tikus stadion semburat mencari tempat aman, ada yang naik pohon, ada yang sembunyi di lorong masuk.

Aku dan dua temanku, Basuki, dan Suryanto, melompat turun masuk ke selokan tertutup base yang ada di timur lapangan, tepat di depan tribun scoring board. Panjang base penutup itu hanya sekitar 10-15 meter saja, tapi pas untuk dipakai bersembunyi. Nah, kalau nanti aman, petugasnya berlalu… baru kami akan keluar selokan.

Sial! Ternyata petugasnya berhenti di ujung selokan, masing-masing di ujung selatan dan utara sehingga kami tidak berani keluar, kami terkepung. Bagaimana ini ?

“Wah, awak dewe dipanjer iki,” keluh To, panggilan Suryanto.
“Yo wis, Jarno ae… timbang digepuk.”

Dari dalam selokan, kami mendengar suara bola ditendang, itu berarti kedua tim sedang pemanasan. Lalu kami mendengar peluit wasit, itu berarti laga sudah dimulai.

Kedua petugas tidak juga beranjak dari ujung selokan… kami bertiga terpenjara di situ, terus sampai peluit istirahat berbunyi.

Kalau kami nekad keluar selokan, resikonya kami bakal dihajar pentungan, tapi kalau tetap di dalam, kami terpenjara, percuma saja, gak bisa nonton Assyabaab vs Suryanaga.

Kurang ajar! Rupanya para petugas paham dan tahu ada kami yang bersembunyi di dalam got, mereka memberi kami pelajaran dengan membiarkan kami tetap di dalam, supaya kapok. Kami terkungkung di dalam situ dengan air setinggi betis dalam keadaan badan membungkuk. Bukan main gatalnya, bukan main capeknya.

Kami terkejut mendengar suara teriakan gembira penonton, rupanya terjadi gol, entah siapa yang unggul. Barulah sekira laga tinggal 15 menit menuju akhir, kami dipanggil keluar, mereka tertawa terpingkal-pingkal.

Kami bertiga lega, tapi ditertawai penonton lain, juga teman-teman yang tidak sembunyi di got, digojlok sepanjang perjalanan pulang. “Kapok koen!”

Suryanaga berhasil memenangi laga dan keluar sebagai juara kompetisi Persebaya. (*)

*) Penulis: Eko Wardhana, Pensiunan BUMN yang tinggal di Sawojajar, Malang.

The post Persebaya, Kenangan Masa Remaja: Tikus-Tikus Stadion (6) appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
12706
Persebaya, Kenangan Masa Remaja: Final Idaman (5) https://emosijiwaku.com/2017/12/06/persebaya-kenangan-masa-remaja-final-idaman-5/ Wed, 06 Dec 2017 01:17:10 +0000 http://emosijiwaku.com/?p=12649 Cerita di majalah dan koran tentang kemacetan lalu-lintas di sekitar Senayan dan membludaknya penonton saat final Pre Olympic 1976 rupanya terjadi juga di Surabaya sore itu. Final idaman antara Persebaya vs Persija menyedot perhatian masyarakat. Sejak pagi beredar isu bahwa tiket sudah ludes alias sold out.

The post Persebaya, Kenangan Masa Remaja: Final Idaman (5) appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
Cerita di majalah dan koran tentang kemacetan lalu-lintas di sekitar Senayan dan membludaknya penonton saat final Pre Olympic 1976 rupanya terjadi juga di Surabaya sore itu. Final idaman antara Persebaya vs Persija menyedot perhatian masyarakat. Sejak pagi beredar isu bahwa tiket sudah ludes alias sold out.

Setelah Dhuhur, dengan Rp 200 di kantong, aku bergegas ke Tambaksari, berjalan kaki, tentu. Menelusuri Jalan Simolawang, Jalan Gembong, melintasi rel KA Kapasari, ngebut lagi sepanjang DKA, belok ke Jalan Ngaglik, dan sampai juga di Jalan Salak.

Di sepanjang perjalanan semua arus lalu lintas mengarah ke Tambaksari. Mulai perempatan Ngaglik kemacetan sudah parah. Para penumpang becak sampai tidak sabar, semua turun lalu berjalan kaki, bergegas agar kebagian tiket, bahkan takut tidak kebagian tempat di stadion.

Hatiku menjadi kecut melihat puluhan ribu manusia berdesak-desakan ingin segera masuk stadion, padahal masih pukul 13.00. Karcis kelas anak-anak Rp 200 melonjak menjadi Rp 400 di tangan calo (saat itu, penonton remaja masih boleh membeli tiket kelas anak-anak. Sekejap kemudian habis, tidak ada lagi calo berkeliaran. Aku ingin menangis, meski itu dalam hati.

Aku harus! dan harus menyaksikan laga final itu, utamanya ingin nonton Ronny Pasla. Sebab, aku sudah kecewa, waktu lawan Persipura, tidak diturunkan. Tapi aku bingung bagaimana cara mendapatkan tiket? Mau memanjat tembok, aku gak berani. Apalagi melihat anak yang berhasil naik langsung digebuk petugas, disuruh turun. Sudah berjam-jam aku mencari cara agar bisa masuk, buntu semua.

Hati makin kecut mendengar gemuruh tepuk tangan penonton membahana dari dalam stadion. Wah! Berarti pertandingan sudah dimulai, nih.

Remaja penakut seperti aku, kalau sudah kepepet seperti ini… bisa berubah jadi BERANI.

Aku nekat memanjat tembok SKA/SKI yang hanya setinggi 3 meteran, tempat bertumpu pintu besi, sementara penonton berkarcis yang gak bisa masuk menggedor-gedor pintu dan teriak-teriak tanda protes.

Pintu besi itu bergetar hebat, kulihat di belakangku beberapa remaja yang lain ikut memanjat, tinggal melompat saja ke dalam, eh, beberapa Polisi datang membawa pentungan rotan. Kontan remaja-remaja itu pada melompat keluar lagi. Tapi, aku berfikir cepat, aku putuskan melompat turun ke dalam saja, biarlah digebuk, pasrah.

Aneh, kaki ini tidak berasa apa-apa saat mendarat di lantai. Ketika polisi itu datang hendak menghajarku, tiba-tiba saja suara berderak disusul suara nyaring, berdentang keras. Yah, pintu SKA/SKI berhasil dijebol! dan polisi-polisi itu mengalihkan tugasnya ke arah pintu yang jebol untuk menahan laju penonton yang mau masuk tanpa karcis. Tidak jadi menghajarku.

Kesempatan buatku!

Aku berlari sekencang mungkin menuju ke dalam pintu VIP.   Dasar apes! Di situ ada 2 orang tentara AD berjaga, kontan mereka mengayunkan pentungan kayu ke arahku. Dalam seper sekian detik, aku berpikir, aku tidak akan berbalik arah, TERJANG saja! … dan … Prak! Prak! Dua pukulan telak menghajar tangan dan tubuhku.

Bagai puisi Khairil Anwar … aku tetap meradang! Menerjang! … Luka dan sakit … kubawa berlari, berlari! hingga hilang masuk kerumunan VIP. Dan aku lebih tidak perduli. Aku menyelinap di antara orang-orang penting entah siapa.

Alhamdulillah, aku bisa juga nonton final … Tapi? Yaaahh. Yang dipasang Persija kiper Sudarno lagi, bukan Ronny Pasla. Untuk kedua kalinya aku kecewa berat.

Dan yang luar biasa, stadion Gelora 10 November tidak mampu menampung penonton yang membludak, pemandangan yang tersaji, stadion penuh sesak, penonton tumpah dan meluber ke Sentelban, ribuan lagi yang sudah bisa masuk tetapi tidak bisa melihat. Scoring board dan tiap pohon dinaiki orang.

Skor masih 0-0 ketika Hadi Ismanto lolos dari penjagaan Oyong Liza dan melancarkan shooting tetapi masih lemah sehingga bisa didekap Sudarno. Penonton sudah terlanjur berteriak.

Andilala dengan lincah menggiring bola di sayap kiri, tak seorang pun bek Persebaya yang bisa menghentikannya, tetapi apa yang terjadi. Tiba-tiba saja Andilala tergeletak di lapangan sambil memegang kepalanya, petugas kesehatan datang berlari menolong.   Ternyata ada penonton yang meng-ketapel kepala Andilala. Para pemain Persija melancarkan protes dipimpin oleh kapten Iswadi Idris. Entah bagaimana, akhirnya pertandingan dilanjutkan kembali.

Ketika istirahat, tidak ada lagi undian berhadiah, yang ada adalah pemandangan ratusan orang membuang hajat sambil berdiri di sisi-sisi tribun, tidak ada lagi rasa malu ataupun jijik, mau bagaimana lagi? Penjual kacang goreng dan tahu petis laris manis. Tahun 1977 belum ada Aqua gelas apalagi yang botolan.

Persebaya menurunkan pemain: Suharsoyo, Hamid Asnan, Rusdy Bahalwan, I Wayan Diana, Subodro, Rudy Keeltjes, Johny Fahamsyah, Slamet Pramono (c), Hadi Ismanto, Abdul Kadir dan Yopie Saununu. Mungkin aku salah ingat, tetapi ada nama Aser Mofu dan Waskito, entah siapa yang line up, siapa yang pengganti.

Sampai selesai 2×45 menit skor tetap 0-0, penonton masih menunggu apakah akan dilanjutkan dengan extra time. Tetapi akhirnya diputuskan “Juara Bersama” karena Stadion Tambaksari ini belum dilengkapi lampu untuk main malam hari, walaupun daya tampungnya terbesar kedua setelah GBK (108.200), yakni 35.000. Sedangkan stadion yang lebih kecil semacam Mattoanging dan Teladan Medan saja sudah punya lampu.

Perlu waktu setengah jam untuk bisa keluar dari stadion.   Aku pulang dengan puas meski badan remuk redam dan memar di sana-sini. (bersambung)

*) Penulis: Eko Wardhana, Pensiunan BUMN yang tinggal di Sawojajar, Malang.

The post Persebaya, Kenangan Masa Remaja: Final Idaman (5) appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
12649
Persebaya, Kenangan Masa Remaja: Turnamen Surya Cup 1977 (4) https://emosijiwaku.com/2017/12/05/persebaya-kenangan-masa-remaja-turnamen-surya-cup-1977-4/ Tue, 05 Dec 2017 04:01:34 +0000 http://emosijiwaku.com/?p=12637 Aku amat yakin bahwa aku bakal lulus tes masuk SMP Negeri 8, sebab saat SD aku selalu juara kelas, ranking 1 terus sejak kelas 1 sampai kelas-6 meski tidak ada hadiahnya. Justru ketika di SMP aku malah jeblok. Setiap hari pikiran tersita ke sepak bola. Akibatnya sering lalai mengerjakan PR, tugas, dan banyak melamun di dalam kelas, sehingga jangankan ranking 1, ranking 10 saja aku tidak mampu.

The post Persebaya, Kenangan Masa Remaja: Turnamen Surya Cup 1977 (4) appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
Aku amat yakin bahwa aku bakal lulus tes masuk SMP Negeri 8, sebab saat SD aku selalu juara kelas, ranking 1 terus sejak kelas 1 sampai kelas-6 meski tidak ada hadiahnya. Justru ketika di SMP aku malah jeblok. Setiap hari pikiran tersita ke sepak bola. Akibatnya sering lalai mengerjakan PR, tugas, dan banyak melamun di dalam kelas, sehingga jangankan ranking 1, ranking 10 saja aku tidak mampu.

Sejak menyaksikan PSSI Pre Olympic 1976 melawan Korea Utara, aku terobsesi pada sosok kiper Ronny Pasla. Aku ingin seperti beliau, keren, tinggi, dan tampan serta menjadi pahlawan lapangan hijau. Aku juga ingin mendaftar di klub (SSB), punya sepatu bola, kaus kiper kuning gading, celana pendek hitam, kaus kaki panjang hitam dan memakai decker lutut… pokok e, pleg seperti dia, Ronny Pasla.

Aku mengamati dengan seksama gayanya di TVRI saat berhadapan dengan Stoke City (1-1) atau banyak laga persahabatan melawan klub-klub Eropa seperti Christiansand (4-1), Hajduk Split (3-2), Esjberg, Brno (1-4), Levski Spartak (0-4), Velje, Bolt 1903, dan Spartak Moskow.

Semua gesture-nya aku jiplak habis. Aku praktekkan kalau main bola plastik di lapangan Han Kow, seperti penggila band menirukan idolanya di atas panggung.

Tapi itu masih kurang, aku ingin melihatnya langsung di lapangan, bukan dari layar TV.

Tahun 1977 dihelat Turnamen Surya Cup dalam rangka HUT Surabaya yang diikuti 6 klub, yaitu Persebaya, Persib, PSIS (grup AA), Persija, Persipura, Persema (grup B). Aku hitung, setidaknya ada 9 pertandingan dan aku harus nonton, minimal yang melibatkan Persebaya. Sejak kelas 1 SMP, uang sakuku naik menjadi Rp 50 per hari, kalau mau berlapar-lapar sedikit, pasti bisa nabung untuk nonton. Nah, ada harapan bisa nonton Ronny Pasla.

Laga pembukanya Persebaya vs Persib. Seperti biasa, tidak sejengkalpun ada tempat kosong di stadion, full. Nama pemain Bandung yang kuingat Rudi Salaki, Dedi Sutendi, Muh. Atik, Teten, Cecep, Risnandar, Encas Tonif, Max Timisela, kipernya Syamsuddin. Mengenakan kostum garis-garis putih-biru, celana putih kaus kaki biru gelap.

Persebaya menurunkan kiper Suharsoyo dan itu pertama kali aku menyaksikan Suharsoyo secara langsung. Persebaya dipimpin oleh kapten baru, Slamet Pramono. Hati berdebar ketika peluit dibunyikan wasit.

Kiper Persib bermain begitu gemilang, tak terhitung tendangan keras para pemain Persebaya bisa ditangkap atau ditepis sehingga babak pertama skor 0-0. Aku melihat dengan takjub dari bawah Scoring Board. Sejak lawan Korea setahun lalu, aku belum pernah melihat langsung Persebaya mencetak gol, namun barulah di babak kedua keinginan itu terwujud.

Slamet Pramono merangsek melewati 2-3 bek lawan dan langsung melancarkan tendangan keras, GOL! begitu luar biasa sensasi yang kurasakan saat penonton berteriak bersamaan, keras, dan bising. Beberapa menit kemudian terjadi scrimmage di depan area penalti Persib, Rudy Keeltjes yang terjatuh masih bisa mendorong bola ke Slamet Pramono yang untuk kedua kalinya mampu membobol gawang Persib. Kembali terdengar teriakan hebat dan sorak-sorai disertai benda-benda beterbangan, topi, sandal, dan lainnya. 2-0 untuk Persebaya.

Sayang, sebelum bubar ada penyerang Persib yang dilanggar di area penalti, maka tak ayal, Max Timisela mampu mengeksekusi penalti, skor berakhir 2-1. Aku pulang dengan rasa puas. Akan lebih puas lagi bila besok aku bisa menyaksikan Ronny Pasla beraksi meski membela gawang Persija.

Dalam hati, mengapa Ronny Pasla tidak memperkuat Persebaya? Huehehe, aku belum tahu jika Ronny Pasla itu orang Manado yang sejak muda sudah turun membela PSMS Medan, sebelum hijrah ke Jakarta. Mana mungkin ke Surabaya.

Saat itu, sangat jarang ada perpindahan pemain, apalagi klub masih berupa Bond Perserikatan milik Pemerintah setempat, tidak ada yang namanya transfer. Bila ada pemain pindah, itu hanya karena urusan pekerjaan atau mutasi tempat bekerja. Bukan karena sepak bolanya.

***

Hari yang aku nantikan akhirnya tiba! Big Match Persipura vs Persija yang dianggap orang sebagai ulangan final Suharto Cup 1976 yang dimenangi Persipura. Aku tak sabar melihat Ronny Pasla keluar dari ruang ganti. Ketika gerombolan pemain berkostum merah keluar, mataku jelalatan kesana-kemari mencari sosok idolaku, tapi aku harus kecewa berat, aku tak melihat ada Ronny Pasla. Mataku mencari-cari terus, dan hanya menemukan kiper cadangan yang aku tidak tahu siapa dia.

Stadion penuh sesak, padahal bukan Persebaya yang turun bermain.

Panitia amat lihai memainkan emosi, ketika pemain Persipura keluar, diperdengarkan lagu “Persipura” dari grup band Black Brothers, tepuk tangan membahana seantero stadion. Penonton Surabaya sangat hafal nama-nama pemain kedua tim. Buktinya, mereka menyahut saat MC membacakan susunan pemain, terutama ketika dibacakan susunan pemain Persipura, sambil meniru, mereka juga applaus membahana.

“Gelandang kanan… Jafeth?” Penonton menjawab: “Sibiiii…”

“Penyerang tengah… Timo ?” Penonton melanjutkan: “Kapissaaaa…”

Saat itu, nama pemain Persija teramat masyhur, mereka mendominasi skuad PSSI, meski gagal di Pra Piala Dunia 1977, aura mereka masih mempesona. Tapi rupanya penonton Surabaya berpihak kepada Persipura, entah mengapa. Ketika Timo Kapissa dua kali lolos dari hadangan para bek Persija dan membobol gawang Sudarno, penonton berteriak senang, berjingkrak-jingkrak seakan gol itu dicetak oleh Waskito, Abdul Kadir, atau Hadi Ismanto. Persipura leading 2-0 duluan.

Aku kagum melihat skill ball Andilala, men-drible bola dengan kaki kiri nan lincah, membuat para bek Persipura diam terpana, diakhiri sontekan terarah membuat kiper Jimmy Pieter tidak bereaksi sama sekali. 2-1 Persija mengejar.

Tak disangka, di menit-menit akhir, dua kali Hengky Heipon melakukan handsball dan dua kali pula Persija diberi hadiah penalti, kesemuanya sukses dieksekusi salah satu bintang PSSI Pre Olympic 1976, Junaedy Abdillah. Skor akhir Persipura kalah 2-3. Bahkan dua hari kemudian aku dengar di radio, secara mengejutkan Persipura kalah 1-4 dari Persema dan masuk kotak. Gusnul Yaqin, Guspriyadi dan Budi Santoso jadi bintangnya Persema.

Aku lupa berapa skor Persija-Persema serta Persib-PSIS, yang aku ingat PSIS dikalahkan Persebaya 0-2, lalu semifinalnya Persebaya-Persema (2-0) yang diwarnai kericuhan sedang Persija-Persib lupa skornya. Final yang diidam-idamkan masyarakat terlaksana, Persija bertemu Persebaya.

Dari 9 laga Surya cup, aku hanya menyaksikan 2, yaitu Persebaya-Persib dan Persija-Persipura. Karena uang yang aku kumpulkan hanya sedikit, lebih baik untuk tiket FINAL antara Persebaya-Persija esok lusa.

Final Surya Cup 1977, aku aku ceritakan kemudian hari…

*) Penulis: Eko Wardhana, Pensiunan BUMN yang tinggal di Sawojajar, Malang.

The post Persebaya, Kenangan Masa Remaja: Turnamen Surya Cup 1977 (4) appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
12637
Persebaya, Kenangan Masa Kecil: Menantang Klub Slask Polandia (2) https://emosijiwaku.com/2017/12/03/persebaya-kenangan-masa-kecil-menantang-klub-slask-polandia-2/ Sun, 03 Dec 2017 04:30:44 +0000 http://emosijiwaku.com/?p=12595 Setelah menonton Persebaya melawan Korea Selatan, aku ketagihan nonton bola. Aku menanti-nanti kapan lagi ada pertandingan Persebaya di Gelora 10 November, Tambaksari, sambil mengumpulkan uang beli karcis dari uang saku sekolah yang biasanya kuterima dari bapak sebesar Rp 10, paling banyak Rp 25.

The post Persebaya, Kenangan Masa Kecil: Menantang Klub Slask Polandia (2) appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
Setelah menonton Persebaya melawan Korea Selatan, aku ketagihan nonton bola. Aku menanti-nanti kapan lagi ada pertandingan Persebaya di Gelora 10 November, Tambaksari, sambil mengumpulkan uang beli karcis dari uang saku sekolah yang biasanya kuterima dari bapak sebesar Rp 10, paling banyak Rp 25.

Aku juga sudah ikut klub (kalau sekarang SSB) yaitu ke PO Indonesia Muda, di Jalan Pacar Keling. Tapi masih ilegal karena hanya ikut latihan tanpa mendaftar dan bayar iuran bulanan.

Suatu pagi, saat bermain-main dengan teman-teman kampung, kami dikejutkan oleh pesawat capung yang terbang rendah. Saking rendahnya sampai terlihat pilotnya karena pesawatnya semi terbuka. Anak-anak zaman old, kalau ada pesawat melintas, utamanya Helikopter pasti semua ikut Da-da-da-da, tidak perduli yang di pesawat sana tahu apa nggak.

Pagi itu ada kejutan! Pesawat capung itu menghamburkan ratusan lembar selebaran dari udara. Kami berebutan untuk mendapatkannya. Namanya anak-anak, ada yang dapat sepuluh lembar, ada yang dapat tiga, ada yang dapat satu, banyak juga yang gak dapat. Padahal isi selebaran itu bunyinya sama. Tapi kebanggaan berbeda, hehehe.

Apa isi selebaran itu?

Isinya ternyata ada pertandingan sepak bola Internasional antara Persebaya vs Slask Polandia. Pada 1976, Polandia pemegang rangking 3 dunia dari Piala Dunia 1974. Sontak aku gemetar, karena uang yang terkumpul belum mencapai Rp 100, bahkan kali ini harga tiket ABRI dan anak-anak naik jadi Rp 200. Aduh, bagaimana ini?

Terpaksa aku minta kesana-kemari untuk tambahan, ke mbah Lanang dapat Rp 25, ke mbah putri angkat dapat Rp 25. Jelas masih kurang!

Di Jalan Kapasan, ada Bemo berjalan pelan dilengkapi dengan megaphone yang menyiarkan berita (Woro-woro) akan diselenggarakan pertandingan sepak bola, sama dengan isi selebaran yang dijatuhkan pesawat kemarin.   Dada makin sempit, aku harus nonton ini… masyarakat tidak perduli kalau tim yang akan datang adalah sebuah klub, bukan timnas, tapi kami semua tahunya Polandia, titik.

Ehh, ndilalah… waktu sepulang main bola di lapangan Han Kow, di gang sempit aku “nemu” duit koin Rp 50, dua keping sekaligus! Uang siapa ini? Tentu orang yang berjalan di gang ini, dan jelas… uang itu segera masuk kantong, huehehe. Wah, bisa beli karcis sekaligus es Gronjong nih. Alhamdulillahhhh…

Setelah berada di dalam stadion, aku baru tahu kalau laga Persebaya melawan Slask Polandia ini dalam rangka HUT Indonesia Muda. Wah, klubku (dalam hati). Slask datang ke Indonesia karena diundang PSSI untuk turnamen segitiga dengan PSSI dan Stoke City (Inggris).

Sebelum laga, ada pertandingan antar Remaja IM vs Remaja PSAD, lalu ada pertunjukan Drum Band dan nanti istirahatnya ada undian sepeda motor (lagi).

Persebaya menurunkan line up hampir sama dengan saat lawan Korea, seragamnya masih tetap hijau putih, tetapi Polandia yang pakai kaus putih celana merah terlalu kuat bagi Persebaya, baru 1 menit pertandingan penyerang Polandia sudah lolos hadangan, sayang bolanya membentur tiang dan dua menit kemudian kapten Persebaya, Nyoman Slamet Witarsa handsball. Persebaya kena penalty… dan Didik Nurhadi tak kuasa menahan gol.

Persebaya coba membalas, Hadi Ismanto melepaskan tendangan keras terarah, tapi bolanya mengarah tepat ke dekapan kiper Slask Polandia, Zygmund Kalinowski yang berambut ikal pirang. Aku ingat betul karena aku nonton di tribun utara belakang gawang. Hanya ada satu pemain nasional Polandia yang berasal dari Slask yang ikut main hari itu, yaitu Sweeper, Wladyslaw Zmuda, yang juga turun bermain saat Polandia dikalahkan Jerman Timur 1-3 di final Olimpiade Montreal 1976 di Kanada.

Skor akhir Persebaya 0, Slask Polandia 3.

Sejak pertandingan melawan Korea sampai Polandia, berkali-kali penonton di Gelora 10 November dibuat nyaris berjingkrak namun selalu batal, karena Persebaya tidak juga bisa mencetak gol. Aku akan menabung lagi untuk pertandingan berikutnya, dan aku ingin menyaksikan bagaimana riuhnya stadion andai Persebaya bisa mencetak gol.

Sepulangnya, aku baru tahu kalau teman-teman di IM bisa masuk gratis di tribun VIP dengan “hanya” menunjukkan kartu anggota IM plus lunas iuran bulanan. Padahal aku belum juga mendaftar jadi anggota. Kata teman-teman, uang pendaftaran Rp 100, iuran bulanan Rp 100. Wah mahal amat. Belum lagi ongkos afdruk pas foto.

Tapi hanya itu jalan satu-satunya agar aku bisa menjadi seorang Ronny Pasla. (bersambung)

*) Penulis: Eko Wardhana, Pensiunan BUMN yang tinggal di Sawojajar, Malang.

The post Persebaya, Kenangan Masa Kecil: Menantang Klub Slask Polandia (2) appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
12595
Jakarta 2005, Sejarah Kelam Persebaya dan Bonek https://emosijiwaku.com/2016/07/21/jakarta-2005-sejarah-kelam-persebaya-dan-bonek/ https://emosijiwaku.com/2016/07/21/jakarta-2005-sejarah-kelam-persebaya-dan-bonek/#respond Thu, 21 Jul 2016 02:08:44 +0000 http://emosijiwaku.com/?p=2280 Sikap kontroversial itu menyisakan banyak misteri hingga kini.

The post Jakarta 2005, Sejarah Kelam Persebaya dan Bonek appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
Sebelas tahun, pada 2005, Persebaya dan bonek terakhir kali menginjakkan kaki di Jakarta. Saat itu tercatat sebagai salah satu sejarah kelam bagi Persebaya dan Bonek. Ada yang masih ingat kenapa disebut sejarah hitam?

Dengan status mentereng sebagai juara bertahan edisi 2004 dan dengan segala kisah-kisah di belakangnya, Persebaya datang dengan semangat yang berlipat. Begitu juga dengan bonek. Pada babak Delapan Besar Wilayah Barat, 20 September 2005, Persebaya secara mengejutkan mundur dari kompetisi. Padahal Persebaya sudah melakukan dua pertandingan dengan hasil seri 2-2 melawan PSM Makasar dan kalah 0-1 dari PSIS Semarang.

Alasan yang diberikan Manajer Persebaya saat itu Saleh Ismail Mukadar (SIM) bahwa perintah mundur datang langsung dari Wali Kota Surabaya, Bambang DH. Sikap kontroversial itu menyisakan banyak misteri hingga kini. Bonek yang dulu melakukan awaydays ke Jakarta pasti mempunyai kisah tersendiri.

Pertemuan Bonek dengan Maczman, The Jak, Panser selalu rame bahkan seru. Itu salah satu alasan yang dipakai Bambang DH dan manajemen untuk mundur. Disamping alasan lain yang seperti yang dikatakan Haji Santo, Ketua Harian Persebaya, bahwa Persebaya dikerjai habis-habisan. Karena itu, keputusan mundur sudah bulat. Sanksi apapun akan mereka terima.

Hal menarik dari mundurnya Persebaya adalah cara mundur. Persebaya tidak memberitahukannya kepada PSSI melainkan lewat SIWO PWI Jaya (Organisasi wartawan seksi Olahraga) . Hal itu ditandai dengan penyerahan Piala Presiden pada pimpinan SIWO, Ferry Kodrat. Mereka meminta SIWO memberikan Piala yang mereka rebut tahun 2004 kepada pimpinan Persija yang juga Gubernur DKI, Sutiyoso.

Setelah kejadian itu, Persebaya mendapat hukuman degradasi ke Divisi Satu. Sementara Bambang DH dihukum 10 tahun larangan aktif di sepakbola sementara hukuman SIM, 2 tahun.

Jika dulu Bonek datang untuk mendukung Persebaya di kompetisi dan berakhir degradasi maka bulan depan (Agustus), Bonek akan datang untuk memperjuangkan Persebaya agar diakui PSSI sebagai klub yang sah. Sebuah hal yang berbeda namun semangat dan nyali Bonek untuk Persebaya tetap sama. Semoga kali ini kabar gembira yang didapat. (bim)

The post Jakarta 2005, Sejarah Kelam Persebaya dan Bonek appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
https://emosijiwaku.com/2016/07/21/jakarta-2005-sejarah-kelam-persebaya-dan-bonek/feed/ 0 2280
Mantan Manajer Persebaya H Agil, Sosok Rendah Hati Namun Berkualitas Tinggi https://emosijiwaku.com/2016/06/05/mantan-manajer-persebaya-h-agil-sosok-rendah-hati-namun-berkualitas-tinggi/ https://emosijiwaku.com/2016/06/05/mantan-manajer-persebaya-h-agil-sosok-rendah-hati-namun-berkualitas-tinggi/#respond Sun, 05 Jun 2016 16:16:37 +0000 http://emosijiwaku.com/?p=1743 Abah Agil, begitu panggilan akrabnya. Seorang wartawan dan pimpinan media yang melegenda saat itu.

The post Mantan Manajer Persebaya H Agil, Sosok Rendah Hati Namun Berkualitas Tinggi appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
Abah Agil, begitu panggilan akrabnya. Seorang wartawan dan pimpinan media yang melegenda saat itu. Penampilannya selalu rapi dan perlente. Gaya bicaranya seperti Bung Karno. Meledak-ledak penuh kata-kata kuat dan menggelegar. Memakai kaca mata minus menjadi ciri khasnya. Dialah yang menjadi manajer saat Persebaya menjadi juara Perserikatan tahun 1988.

Yongky Kastanya, salah satu pemain saat itu, menceritakan banyak hal tentang Agil di acara Talk Show Pelaku Sejarah Persebaya yang digelar Bonek Campus, Minggu 22 Mei 2016. Yongky bercerita tentang Abah Agil saat ditanya siapa sosok paling berkesan saat di Persebaya. Bapak Agil, Manajer Persebaya. Manajer 1001 kiat dan akal. Begitu Yongky menyebutnya. Yongky adalah orang Ambon yang memperkuat Persebaya dari klub internal Asyabaab binaan Barmen.

Salah satu kisah yang diceritakan adalah saat melawat ke Makassar. Persebaya datang empat hari sebelum tanggal pertandingan. Karena ada banyak waktu jeda, para pemain senang. Ternyata sampai disana, mereka sudah disambut banyak kegiatan diluar sepakbola yang direncanakan Abah Agil. Mulai mengunjungi panti asuhan, sekolah, dan makam Ramang, seorang legenda PSM Makasar. Tentu saja, semua dilakukan setelah program latihan pagi selesai. Masyarakat Makassar tentu saja kaget. Banyak kegiatan janggal yang dilakukan rombongan Persebaya. Semua di luar kendali kepanitiaan setempat. Ini hal baru saat itu. Kegiatan sosial yang dicetuskan Abah Agil justru dilakukan menjelang pertandingan.

Tibalah saat hari pertandingan. Persebaya tiba di stadion Mattoangin dengan sesuatu yang lebih aneh lagi. Agil memberi saran kepada sopir bis pemain untuk menurunkan rombongan di pinggir lapangan, bukan di depan pintu VIP. Penonton sudah memadati tribun. Semua kaget. Persebaya turun dari bis menggunakan jersey yang sangat lain. Bukan hijau-hijau atau putih-putih. Tetapi memakai jersey kuning biru. Ya, sesuatu yang aneh saat itu. Yongky sampai mendengar teriakan penonton yang mengatakan Persebaya memakai dukun.

Bermain penuh semangat dan sudah mendapatkan “cuci otak” dari Abah Agil di hotel, Persebaya mencatat sejarah di Mattoangin. Puluhan tahun tidak pernah menang di sana akhirnya bisa pulang dengan kepala tegak penuh kebanggaan. Ya, Persebaya mengalahkan tuan rumah dua gol tanpa balas. Sejarah. Setelah pulang dari Makasar pemain Persebaya diarak dari bandara menuju mess pemain seakan-akan mereka juara. Sebuah penghormatan yang layak untuk pencipta sejarah saat itu.

Abah Agil tidak bekerja sendirian. Beliau membentuk sebuah tim yang dinamakan Tim Think Thank. Tim berisi para ahli di berbagai disiplin ilmu. Mulai ahli strategi managemen, psikologi, ahli nutrisi, konsultan bisnis, dan konsultan etika. Tim bisa dibilang sebagai paket lengkap saat itu. Beberapa anggotanya diambil dari beberapa perguruan tinggi terkemuka di Surabaya. Jadi, mereka memang ahlinya di bidang masing-masing. Tentu saja saat itu masih didukung langsung oleh Wali Kota Surabaya saat itu dan semua jajaran muspida kota.

Sepakbola ilmu pengetahuan. Ini juga salah satu yang dicetuskan Abah Agil dengan menggandeng beberapa ahli dari perguruan tinggi. Sebuah visi yang sangat jauh ke depan untuk sepakbola Surabaya yang masih di era Perserikatan. Bukan tim profesional (baca: Galatama). Dengan tetap menerapkan disiplin yang sangat ketat. Ada reward dan punishment diterapkan sesuai porsinya ke masing-masing bagian. Segala macam kritikan dan masukan yang disampaikan masyarakat melalui koran mereka anggap sebagai bentuk perhatian dan cinta terhadap Persebaya. Abah Agil sering mengadakan diskusi ilmiah secara terbuka di berbagai universitas. Semua untuk menggali berbagai disiplin ilmu untuk kemajuan Persebaya.

Berkaca dari cerita di atas, manajemen Persebaya bisa menjdikannya pelajaran. Bersikap lebih terbuka dan lebih aktif terhadap pihak luar. Baca dan terimalah semua masukan dan kritik yang ada sebagai salah satu bahan pelajaran. Jadilah sebuah tim yang seperti kata Abah Agil “Low profile high product”. Mulailah mengunjungi para stakeholder bola di Surabaya. Datangi juga para ahli ilmu manajemen, keuangan, marketing, komunikasi, ilmu nutrisi, kedokteran, dan lain sebagainya. Ajak mereka membantu Persebaya menyelesaikan masalah. Minimal mereka bisa berbagi ilmu untuk orang-orang yang ada di dalam tubuh manajemen.

Rendah diri dan mau belajar adalah kuncinya. Jangan menutup diri dan eklusif. Jika Persebaya ingin lebih maju dan modern. Sepak bola saat ini bukan hanya 90 menit di lapangan. Tetapi sudah menyangkut ilmu pengetahuan secara luas. Ada baiknya rangkul semua untuk membuat pondasi awal yang kokoh. Panditfootball pernah menulis tentang sepak bola di Jepang. Mereka memilih mapan dulu dalam semua aspek untuk kemudian bisa eksis di level berikutnya.

Kiat dan cara Abah Agil bisa dicontoh dan disesuaikan sesuai jaman sekarang. Nilai-nilai positif diambil yang kurang diperbaiki. Belajarlah sampai negeri Cina, kata pepatah. Bacalah pertanda jaman.

The post Mantan Manajer Persebaya H Agil, Sosok Rendah Hati Namun Berkualitas Tinggi appeared first on Emosi Jiwaku.

]]>
https://emosijiwaku.com/2016/06/05/mantan-manajer-persebaya-h-agil-sosok-rendah-hati-namun-berkualitas-tinggi/feed/ 0 1743