Untuk bisa dipilih menjadi pemain PSSI, aku harus menjadi pemain Persebaya lebih dulu. Sebelum itu, aku juga harus melewati fase yunior di Persebaya, dan sebelum yunior aku harus ikut kompetisi remaja.
Untuk bisa ikut kompetisi remaja, jelas aku harus terpilih di klub. Itulah tahapan yang kudu dilewati, panjang, dan berliku. Tapi ingat, supaya terpilih di klub, di samping kita punya skill dan fisik yang prima, kita juga harus “TERDAFTAR” di klub.
Nah, itu yang belum juga aku lakukan di IM, aku masih ILEGAL…
Suryanto, Basuki, Rudy, Anton, Riyadi, Asnar Hadi, Surya, Hariyono, Suwito, adalah sedikit di antara nama teman yang ikut IM tetapi masih illegal. Hanya Surya yang daftar, sebab ayahnya Perwira AD, jelas banyak uang. Seragam IM Putih-Merah punya dia yang bagus, bukan kaos cap ‘Daun’ seperti teman lain. Sepatu bola Pull 13 pun dia sudah punya, kami semua masih pakai sepatu bola kulit Pull 10, kalau kena air beratnya minta ampun.
Setiap akan berlatih di IM kami juga harus nyerobot, sama seperti mau nonton bola, tidak boleh masuk lapangan PJKA kalau tidak bisa menunjukkan Kartu Anggota IM dan lunas iuran bulanan. Terpaksa banyak yang main kucing-kucingan dengan penjaga. Para pelatih tidak mau perduli, kami sudah bayar atau belum, kalau sudah dikenal ya boleh ikut latihan.
Di SMP Katholik Jalan Pacar Keling yang hanya berbatasan tembok dengan lapangan PJKA punya lubang (Tembok rompal) yang bisa dimasuki seukuran orang dewasa, dari situlah kami biasa nyerobot latihan. Kalau tidak mau nyerobot ya datangnya kudu Subuh, itulah solusinya.
Para tetangga sampai berseloroh “Koen kabeh iki budhal latihan tembungan opo budhal maling?”
Di IM, mulanya kami berlatih setengah lapangan. Jumlah siswa di IM sangat banyak, hingga main dibatasi 2×5 menit, saking banyaknya siswa. Salah satu siswa yang terkenal (dan juga termasuk yang nyerobot latihan) adalah si Gundul, arek Tambaksari, dipanggil Gundul karena awal-awalnya dia berkepala gundul.
Dasar gila bola, Gundul kalau sudah selesai gilirannya, dia nyerobot tambah lagi ikut regu lain sampai 3-4 kali. Yang lainnya sesuai jatah, satu kali main.
Baru ketika sudah remaja, dia si Gundul diketahui bernama SEGER SUTRISNO.
Pelatih kami di kelas bocah ada dua, yaitu pak Kasman dan pak Kus, semuanya sudah sepuh saat itu. Setelah naik ke kelas remaja dan main sepenuh lapangan, kami ditangani oleh pelatih asal Kalidami, pak Ismanu dan pak Dul Rachman yang juga seorang wasit, kadang juga pak Sofyan.
Hobi kami, kalau tidak main bola setiap hari di kampung, ya nonton kompetisi Persebaya. Apalagi kalau pas ada klub besar bertanding, tentu kami hadir.
Suatu saat pertandingan dilaksanakan di lapangan Persebaya, Jalan Karang Gayam yang pintu masuknya hanya satu, yaitu di selatan lapangan. Maka seperti biasa, kami berusaha masuk melalui pintu stadion Gelora 10 November sisi utara, karena antara Gelora 10 November dan lapangan Persebaya berhimpitan.
Nah, begitu kami berhasil masuk lapangan Persebaya, kami mengendap-endap di pepohonan dan berusaha naik tribun, tetapi nahas, kami kepergok petugas.
Ada 4 remaja yang tertangkap tangan, termasuk aku, yang lain lolos.
“Hei! Kamu semua … kesini!” bentak seorang petugas berkumis tebal bermata merah yang sudah kami kenal wajahnya, karena sering kucing-kucingan di Gelora 10 November. Kami berempat dikumpulkan, anehnya, kami tidak dipukul pentungan atau digelandang keluar, tetapi sekedar dihukum.
Apa hukumannya?
Aku disuruh membawa net yang berisi bola, Basuki disuruh mengangkat Waskom yang berisi es teh dan mengangkat meja kecil untuk inspektur pertandingan dan hukuman terakhir, kami bertiga disuruh memompa bola-bola itu. Cukup capek juga memompa 15 bola, tetapi hukuman itu jelas menyenangkan, karena kami bisa nonton gratis, tanpa dikejar-kejar petugas lagi.
Stadion Gelora 10 November dan lapangan Karang Gayam, adalah dua tempat yang berkesan bagi diriku. Di sana aku bisa menyaksikan dari dekat pemain-pemain terkenal di jamannya, utamanya para pemain Persebaya.
Singkat cerita, di antara belasan teman kampung yang ikut IM, hanya tiga yang bisa bertahan sampai kelas Remaja, yaitu aku, Suryanto dan Basuki. Yang lain, mrotol satu per satu, karena mungkin tidak pernah dilirik pelatih, atau putus harapan.
Kami dipersiapkan untuk Sidhi Cup (Kejuaraan antar klub tingkat Remaja) yang tahun itu sedang diperjuangkan kakak kelas kami, yaitu angkatan mas Yoni (Nuryono Hariyadi), mas Kancil (Rukminto Asnan), Roland Wongkar, Ricky Lelono, Sukarno, dan lainnya.
Di IM remaja aku selalu menjadi pilihan pertama untuk posisi kiper. Waktu kelas 1 SMP tinggiku sudah lebih dari 161 cm, tentu bisa mencapai 175 atau 180 bila nanti dewasa di akhir SMA. Cita-cita menjadi pengganti Ronny Pasla sepertinya bukan mimpi di siang bolong. Saat itu, ada kiper yang jadi acuanku di samping Ronny Pasla yaitu Suharsoyo, tapi kelak di tahun-tahun berikutnya aku juga meniru gaya Purwono.
Karena yang dipikirkan dan yang dibicarakan hanya melulu sepak bola, maka di kelas aku makin tertinggal. Matematika dan Fisika menjelma menjadi momok menakutkan. Aku berkeringat dingin apabila ada giliran mengerjakan soal di depan kelas dan bergembira bila ada kabar gurunya tidak masuk. “Hooreeeee…”
Apalagi koran-koran memberitakan persiapan PSSI SEA Games 1977, pelajaran semakin dilupakan. Persiapan itu salah satunya berupa turnamen segitiga di Surabaya lawan PSM dan Persebaya, harapan melihat Ronny Pasla dari dekat kembali mencuat.
Untuk kedua kali, aku dibuat kecewa karena Ronny Pasla tidak hadir mengawal gawang PSSI. Ditambah lagi, Persebaya dikalahkan PSSI 1-2 dan gol kemenangan PSSI dicetak Yopie Saununu (pemain Persebaya). Tapi PSSI dikalahkan PSM 2-1 yang bermaterikan Yusuf Male, Dullah Rachim, Anwar Ramang, Abdi Tunggal, Hafid Ali, Yusuf Bahang, dan Yopie Lumendong.
Permainan PSM mendapatkan applause dari penonton Gelora 10 November, PSSI dibuat kocar-kacir oleh kerjasama apik Yusuf Male dan kawan-kawan. Apalagi melihat kecepatan lari kiri luar Dullah Rachim, bolanya seperti lengket di kakinya. Iswadi Idris pun menjadi olok-olok penonton yang memang menganggap PSSI adalah representasi dari Persija Jakarta.
Puncaknya, Persebaya – PSM, kali ini PSM tidak bisa leluasa seperti saat lawan PSSI Sea Games. Permainan dikuasai oleh Persebaya. Gawang PSM yang dijaga Johanes Deong digempur tembakan Hadi Ismanto, Waskito dan terutama Hartono.
Karena asyik menyerang Persebaya kecolongan oleh gol Abdi Tunggal dari jarak dekat, tembakan kerasnya tak tertahan kiper Suharsoyo.
Meski mengurung PSM, tetapi taktik Man to Man Marking yang diterapkan PSM membuat frustasi pemain-pemain Persebaya. Suatu kali di babak II Persebaya mendapat free kick di depan setengah lingkaran gawang PSM. Aku yang kebetulan duduk di belakang gawang PSM di tribun selatan menyaksikan betapa keras tendangan bebas yang dieksekusi Hartono, keras sekali! Mengarah ke kanan atas gawang PSM.
Kiper Johanes Deong terbang berusaha menepis bola, tapi tak mampu menjangkau. Sayangnya, di bawah mistar itu berdiri seorang bek PSM, menyelamatkan gawang PSM dengan sundulan menahan tendangan keras Hartono. Bola berhasil dihalau, tapi, pemain itu terjengkang, tergeletak di dalam gawang, dirawat petugas kesehatan dan langsung diganti. Pengorbanan yang sia-sia atau pengorbanan yang heroik, entahlah. Yang jelas Persebaya tetap kalah 0-1 dan PSM juara.
Sudah dua kali ini PSM hadir di Surabaya dan menjadi pemenang. Satunya dalam rangka HUT Indonesia Muda. Sehingga sejak itu, Persebaya dan Persija mengkhawatirkan PSM bakal jadi batu sandungan, di mana akhir tahun 1977 ini bakal digelar Kompetisi Divisi Utama.
Kembali ke IM, ternyata perjalanan sekolah sepak bolaku tidak begitu lancar, ada banyak hambatan yang datang mengganggu. Salah satunya sepatu robek atau rusak, sehingga kadang tidak masuk latihan. Belum lagi masih nyerobot latihan, sebenarnya sungkan, karena aku dan teman-teman langganan nyerobot sudah dinasehati pak Ismanu, pak Umar, dan pak Ibsen.
“Kalian itu sudah remaja, sudah besar, jangan seperti anak-anak kecil yang nyerobot.”
Pak Ibsen menambahkan “IM ini butuh uang untuk bayar sewa lapangan ke PJKA, bayar pelatih-pelatih, bayar pajak. Kalau kalian nyerobot, nggak mau bayar, terus darimana kami membayar semua itu, kasihan kan?” Kami semua hanya bisa menundukkan kepala.
Pak Ismanu, pelatih IM yang keras, tidak mau alasan apapun, apalagi nggak masuk latihan karena sepatu jebol. Kalau mau sukses ya harus keluar biaya. Maka tak ayal, tukang tambal (service) sepatu di Jalan Kapasan, depan toko Kim Hong jadi langganan kami.
Kami semua ini ekonomi lemah, kalau tidak ke tukang sepatu, ya gak latihan. Misalnya Suryanto, ia tinggal di kamar sewa ukuran 4×3 berdinding bambu bersama neneknya yang berprofesi tukang pijat. Sedang Basuki lumayan karena kakaknya sudah mapan, dia selalu ikut kalau aku dan To menjahitkan sepatu.
Kami bertiga bertekad menjadi pemain bola, kalau gagal menembus PSSI, minim tembus Persebaya, agar mudah mendapatkan pekerjaan.
Sepatu?
Ya, lama kelamaan semakin sesak di kaki kalau kebanyakan di-service, jebol dijahit, jebol lagi dijahit lagi. Harga sepatu bekas di Jln. Gembong Tebasan berkisar antara Rp 1.000 sampai Rp 3.000, tapi tetap tak terjangkau…
Apalagi kalau sepatu bekas itu merk ADIDAS… lewat dah. (bersambung)
*) Penulis: Eko Wardhana, Pensiunan BUMN yang tinggal di Sawojajar, Malang.