Di tahun 2004, seorang bocah kecil terlihat gelisah. Menunggu bapaknya yang sudah berjanji mengajaknya untuk menonton pertandingan Persebaya secara langsung di stadion. Bocah tersebut tak lain dan tak bukan adalah saya.
Hingga akhirnya pukul setengah dua, bapak datang. Saya pun langsung menagih janjinya. Alangkah terkejutnya saya mendengar beliau menunda janjinya. Tak ayal, saya yang waktu itu masih duduk di kelas 6 Sekolah Dasar, langsung menangis. Karena hari itu adalah hari yang sangat saya nantikan. Bapak saya yang mulai tak tahan dengan rengekan saya, akhirnya memutuskan berangkat ke Stadion Gelora 10 November Tambaksari.
Dengan mengendarai motor, saya berangkat bertiga dengan kakak saya yang umurnya selisih satu tahun. Di perjalanan, saya sangat antusias melihat banyaknya bonek yang berbondong-bondong datang ke stadion. Mereka berangkat berkelompok dengan atribut lengkap, menguasai jalanan hanya untuk melihat tim kebanggaan mereka bertanding. Tak sabar rasanya untuk segera sampai di stadion yang berkapasitas 35 ribu penonton tersebut
Saat pertama kali masuk stadion, saya berpikir betapa kuno dan lapuknya stadion ini. Tetapi yang tak bisa dipungkiri dari stadion ini adalah atmosfernya. Sungguh terasa luar biasa.
Tak terasa wasit meniup peluit kick off tanda pertandingan antara Persebaya melawan Persikota dimulai. Persebaya langsung menekan di awal pertandingan. Ditemani sorak sorai teriakan yel-yel bonek, Bejo Sugiantoro dkk bermain dengan penuh determinasi. Tak tahan dengan gempuran arek-arek Bajul Ijo, pemain Persikota melakukan pelanggaran dikotak terlarang yang berbuah tendangan penalti. Dan sudah pasti pemain idola saya waktu itu, Danilo Fernando berhasil mengeksekusinya dengan baik. Ya, itu gol persebaya pertama yang saya lihat secara langsung. Setelah itu, gol demi gol bersarang di jala gawang Persikota. Dan skor akhir 5-0 pun menjadi milik pasukan Jacksen F Tiago, pelatih Persebaya waktu itu.
Setelah itu, saya menjadi kecanduan menonton pertandingan Persebaya secara langsung. Menyaksikan liukan Mat Halil, tendangan gledek Danilo ‘Ajay’ Fernando, umpan brilian Taufiq, sampai kecepatan Andik tak ayal membuat saya multiorgasme.
Meski naik angkutan umum atau datang bersama kakak, saya tak pernah malas pergi ke stadion. Setelah dewasa, saya pergi ke stadion seorang diri. Tidak lagi digandeng bapak, saya menggandeng adik untuk pergi ke stadion. Sesekali, saya mengajak pacar menikmati candu permainan dan klub ini.
Tahun ke tahun, pemain datang dan pergi. Ketika nama-nama seperti Bejo Sugiantoro, Mursyid Effendi, Kurniawan, Anang Ma’ruf, Danilo, Andik dan Taufiq pergi, kecintaan saya terhadap Persebaya tak pernah luntur. Bagi saya, akan selalu ada bintang yang hadir untuk Persebaya. Semua sudah tahu bagaimana Lapangan Karanggayam menghasilkan pemain-pemain bertalenta yang secara konsisten memberi stok pemain untuk Timnas.
Semua suka duka, tawa tangis, susah senang, sudah saya alami. Bagi saya, Persebaya sudah menjadi bagian dari belahan jiwa saya. Saya tak akan pernah bisa memandang obyektif ketika Persebaya menjadi subyeknya. Meski saat ini Persebaya sedang mati suri, jiwa ini takkan berganti. Meski Persebaya saat ini dikebiri dan didzolimi oleh federasi, nyali ini takkan pernah padam.
Meski saat ini Persebaya tak lagi berlaga, rasa cinta dan kebanggaan saya terhadap klub ini tak akan pernah luntur. Karena bagi saya, tak ada yang lebih indah selain Persebaya.