Beberapa hari lalu media memberitakan tentang meninggalnya dua Aremania yang menjadi korban kelompok supporter Surabaya United, Alligator Mania. Beberapa orang menyebut aksi ini sebagai hooliganisme sebagaimana kerusuhan fans sepak bola yang dilakukan suporter Inggris.
Istilah itu sebenarnya perlu diluruskan. Terutama dalam penggunaannya yang serampangan di kalangan suporter Indonesia.
Harus diakui, suporter Indonesia memiliki kemampuan beradaptasi yang baik dengan kemajuan suporter modern saat ini. Tidak hanya cepat beradaptasi, mereka juga cepat mengadopsi konsep suporter ala Eropa.
Suporter Indonesia (yang dikenal dengan kultur Mania) ada yang mengadopsi konsep ala Casuals atau Hooligans asal Inggris dan Ultras asal Italia.
Konsep suporter Barat tersebut ditiru dengan sangat detail. Mulai dari warna kaus hingga penggunaan bendera, spanduk, dan nyanyian atau chant untuk mendukung klub kebanggaan.
Lalu dimana letak permasalahannya?
Suporter Indonesia memang militan dan loyal. Namun, apakah mereka bisa dikatakan Hooligans atau Ultras seperti banyak klaim kelompok-kelompok suporter? Rasanya kok tidak.
Apa sebabnya? Konsep suporter modern bernama Hooligans atau Ultras tidak lepas dari salah satu slogan yang mereka anut. Yakni, ACAB alias All Cops Are Bastard (semua polisi brengsek). Bagi mereka, citra polisi sangat buruk. Apapun yang terjadi dalam kelompok supporternya, mereka tidak mau ada campur tangan polisi.
Namun, apa yang terjadi di Indonesia berbalik 180 derajat. Mereka mengklaim kelompoknya sebagai Hooligans atau Ultras. Tapi, ketika ada anggotanya meninggal atau cedera di tangan rival suporter, mereka menuntut keadilan dan minta pelaku ditangkap. Lalu dimana letak kode etik ACAB itu?
Tindakan yang menyalahi ACAB juga terjadi saat laga away. Perjalanan laga tandang melewati atau bertempat di basis suporter rival. Kelompok suporter tersebut lantas meminta kawalan dari polisi. Alasannya, keamanan dan keselamatan mereka. Sekali lagi, di mana ACAB-nya?
Di negara asalnya, Ultras dan Hooligans memang selalu dianggap rusuh. Motivasinya macam-macam. Ada yang menggunakan kerusuhan sebagai pelarian dari aturan kehidupan sehari-hari yang penuh tata krama—seperti ditulis Sindhunata dalam buku Bola-Bola Nasib. Ada juga yang mencari sensasi demi memperjuangkan harga diri klub dan kelompok suporternya.
Tapi, perlu digarisbawahi, dalam setiap kerusuhan yang mereka lakukan, ada aturan dan kode etik. Mereka mengenalnya dengan istilah open fight.
Open fight dalam Hooligans dan Ultras
Bukan untuk ditiru namun sebagai bahan pembelajaran saja. Open fight memiliki keunikan aturan tersendiri. Pertama, jumlah petarung harus sama. Kedua, pertarungan dilakukan tanpa senjata. Ketiga, tanpa campur tangan polisi. Keempat, tidak boleh menyerang warga biasa. Kelima, lawan yang sudah terjatuh tidak boleh diserang. Amazing, bukan?
Bagaimana dengan Indonesia? Alih alih jagoan dan berani bertarung secara gentleman, mereka malah memamerkan senjata tajam. Mereka juga melempari musuh atau rumah warga dengan batu. Menebar teror kepada warga biasa yang tidak tahu apa apa.
Dari tindakan seperti itu, apakah ada ada poin yang menunjukkan nilai Hooligans atau Ultras sejati? Tidak! Setelah mengerti jumlah kekuatan kelompoknya lebih besar dibanding lawannya, mereka baru maju menyerang hingga jatuh korban jiwa di pihak lawan.
Jelas itu tidak seperti Hooligans atau Ultras dari negara asalnya. Hooligans dan Ultras tidak mengenal istilah “sedulur“. Karena bagi mereka, tak ada kata lain selain melawan siapapun yang menghalangi langkah mereka.
Selain itu, pertarungannya juga terbatas di dalam stadion. Tidak berlaku baik sebelum atau sesudah pertandingan berlangsung. Di sana para Hooligans dan Ultras jauh dari akun sosmed dan kehidupan sosial di luar stadion. Sebab, setiap anggota “firm” kerap masuk dalam daftar pencarian orang kepolisian.
Baik Hooligans maupun Ultras tidak mengenal chant rasis dan makian kepada klub atau kelompok suportter lainnya. Mereka hanya ingin total mendukung klubnya, bukan mementingkan perkelahian akibat fanatisme buta saja.
Sangat jauh berbeda dengan Indonesia. Lihat saja di siaran langsung pertandingan sepak bola Indonesia di televisi. Banyak chant cacian, makian, bahkan “ancaman” pembunuhan kepada suporter lawan melalui lagu-lagu dukungannya.
Karena itu, klaim bahwa satu kelompok suporter adalah Hooligans atau Ultras sejatinya tidak berlaku. Sebab, mereka tidak mengadopsi nilai-nilainya secara utuh. Mereka tidak konsisten. Hooligans atau Ultras hanya jadi klaim sepihak.
Dengan kultur Indonesia yang kaya keragaman, seharusnya kita mengembangkan kultur Mania yang lebih baik. Dengan semangat yang besar untuk menjadi suporter yang dewasa. Tanpa dendam dan amarah. Tanpa menonjolkan bahwa pihaknya adalah Hooligans atau Ultras. Karena memang tidak bisa. Aturannya banyak dan tidak semua orang berani melakukannya.
Klub kebanggaan kalian tidak butuh nyanyian rasis yang bisa berakibat maut. Sudah saatnya suporter Indonesia berdamai. Mau menambah korban berapa banyak lagi? Lagu kita masih sama kok: Indonesia Raya.