Beberapa bulan yang lalu, Surabaya diramaikan geliat aksi Bonek. Aksi tersebut dilakukan dengan cara konvoi sambil mampir dan melayangkan protesnya di berbagai anak perusahaan Mahaka Group yang berada di Surabaya. Aksi ini buntut dari kekecewaan Bonek terhadap Mahaka Group selaku operator Piala Presiden yang mancantumkan nama Persebaya United sebagai peserta. Bagi mayoritas Bonek, Persebaya United bukanlah Persebaya asli yang selama ini menjadi representatif kebanggaan warga Surabaya.
Aksi demonstrasi yang dilakukan Bonek ini bukan kali pertama. Tercatat, sejak tahun 2013 mereka konsisten memperjuangkan Persebaya 1927 yang notabene Persebaya asli agar bisa diakui oleh federasi sepakbola negeri ini.
PSSI di bawah kepemimpinan La Nyalla Mattalitti justru mengakui Persebaya dari Divisi Utama yang sebelumnya merupakan klub Persikubar Kutai Barat. Hal ini tentu menimbulkan protes keras Bonek karena tak diakuinya Persebaya 1927.
Hampir dua tahun lebih Bonek tak mendukung langsung klubnya berlaga. Mereka konsisten menghimpun dan berjuang dengan segala cara agar Persebaya 1927 dapat kembali berkompetisi lagi. Mereka juga berjuang agar sepakbola Indonesia bersih dari segala intrik yang menyebabkan kerugian bagi sepakbola itu sendiri.
Hebatnya, selama “masa perjuangan”, tak ada kerusuhan maupun chaos yang terjadi. Bonek selalu bisa menjaga ketertiban. Segala prosedur unjuk rasa mulai perizinan aksi pun mereka lakukan. Sungguh hal yang bertolak belakang dengan stigma masyarakat terhadap Bonek.
Kita bisa melihat jika banyak hal positif dari Bonek. Konsistensi perjuangan merupakan pondasi utama perjuangan. Uang tak sanggup membeli mereka. Bahkan, ketika “Persebaya palsu” berlaga di Indonesia Super League (ISL) dengan pemain bintang sekalipun, boikot tetap mereka lakukan.
Hingga ada yang berkelakar meski Lionel Messi bermain untuk “Persebaya palsu”, Bonek tak akan datang ke stadion. Ini bukan hal yang tak mungkin dilakukan mengingat teguhnya pendirian mereka.
Ini mungkin bisa dibilang sebagai karma Bonek. Karena, mereka sempat melakukan tindakan negatif kepada warga maupun pedagang di masa lalu. Ini juga diamini banyak pihak. Namun, seperti lirik lagu “Revolution start from my bad”, hal tersebut menjadi cerminan bagi Bonek.
Nah, berangkat dari hal-hal buruk, mereka kini sanggup menjadi suporter yang punya idealisme. Mereka bisa menjadi suporter yang cerdas dan tak bisa ditunggangi ataupun disetir siapa pun.
Bonek punya sejarah panjang. Bonek adalah suporter yang melakukan tradisi Awaydays pertama di Indonesia. Kala itu, pada final Perserikatan tahun 1986, rombongan suporter besar dari Surabaya berangkat ke Jakarta mendukung Persebaya berlaga di final. Bahkan ada yang sampai menyewa pesawat terbang yang semuanya diisi Bonek. Jalanan pantura kala itu macet seketika akibat ribuan rombongan Bonek.
Nama Bonek sendiri adalah pemberian koran Jawa Pos. Media itu turut membantu memberangkatkan bonek ke Jakarta.
Bonek memang pernah punya kisah kelam terkait tindak negatifnya. Tapi, kita tidak boleh memandangnya dari satu sisi. Bonek juga selalu mendambakan perdamaian. Beberapa rival sengit seperti Pasopati—suporter Persis Solo— dan beberapa suporter lainnya bisa berdampingan dengan baik. Meski klub yang dibela Bonek tak diakui PSSI.
Bonek bahkan hampir tak pernah absen mendukung Timnas Indonesia di manapun berlaga. Hampir puluhan Bonek terlihat ketika Indonesia berlaga di Malaysia ataupun di kota lainnya. Tersakitinya Bonek oleh federasi tak pernah sedikitpun sanggup menutup hati mereka dalam mendukung sepakbola Indonesia lebih baik.
Harapan itu muncul kembali pada laga persahabatan yang digelar dalam rangka memperingati ulang tahun Persebaya 1927 yang ke-88 pada 13 Juni 2015. Saya beruntung bisa hadir dan menyaksikan laga yang dijuluki “Battle of Heroes” tersebut. Tangis sempat mengalir kala lagu selamat ulang tahun dari Jamrud mengalun dan menggema di Gelora Bung Tomo.
Bonek dan eks pemain Persebaya 1927 rela berkumpul kembali dalam buaian romantisme. Ini menjadi oase dahaga panjangBonek yang rindu pada tribun akibat bobroknya federasi.
Namun, pertandingan tersebut menjadi pesta yang harus diramaikan. Dan Bonek sadar saat pesta selesai dengan segala kemabukannya, perjuangan harus tetap dilanjutkan.
Tulisan ini memang subyektif. Selama ini, media menjadikan Bonek sebagai badboy atau sumber pemberitaan yang negatif tanpa pernah melakukan prinsip cover both side. Biarkan tulisan ini menjadi tempat bagi Bonek untuk mengutarakan pledoi mereka terhadap ketidakadilan yang terjadi. Karena selama ini mereka terkurung dalam stigma negatif masyarakat yang diciptakan media massa akibat adanya unsur kebencian.
La Historia Me Absolvera, Sejarah yang akan membebaskan kita! Save Persebaya 1927!