16 Januari 2012, mentari bersinar cukup terang di atas bumi Yogyakarta. Angin berhembus tidak begitu kencang. Hanya sedikit awan hitam menutupi teriknya sinar matahari. Waktu menunjukkan pukul 14.30 WIB. Aku dan tiga orang temanku menanti-nanti tanpa kepastian di depan Stadion Sultan Agung, Kabupaten Bantul. Tentu bukan seorang kekasih yang kami tunggu, karena kami hanyalah sekelompok laki-laki yang lebih cinta kesendirian. Tetapi kami tidak sendirian, masih ada puluhan, ratusan, bahkan ribuan orang lain yang senasib dengan kami.
Persebaya. Dialah yang kami tunggu-tunggu. Aku tidak tahu pasti pukul berapa dia akan berlaga melawan Persija di lanjutan Indonesia Premier League (IPL), tetapi dari informasi yang kami dapat, pada hari itu juga dia akan berlaga di Bantul. Sebagai penggemar Persebaya, meski dengan informasi yang masih setengah-setengah, kami putuskan berangkat pada siang hari dari kontrakan yang berjarak sekitar 15 km dari stadion.
Dengan berkendara sepeda motor, kami bergerak menuju Bantul. Meskipun hanya berjumlah dua motor, tetapi atribut warna hijau yang kami kenakan membuat nyali kami melangit. Kami serasa berada di antara ratusan motor lain yang berkonvoi menuju stadion yang baru saja selesai dibangun itu.
Hari semakin sore, langit semakin mendung. Hujan sebentar lagi akan tiba dan kami tetap setia menunggu pertandingan Persebaya melawan Persija. Orang-orang semakin banyak yang bergerombol di sekitar stadion. Tetapi dimana aparat keamanan sore itu? Kami tidak melihat satu pun aparat yang berjaga, kami mulai khawatir kalau-kalau pertandingan tidak jadi dilaksanakan.
Ada perasaan ingin kembali ke kontrakan, namun langit memberikan jawaban. Hujan turun. Niat pulang ke kontrakan kami urungkan. Karena dari informasi yang kami dapatkan dari salah satu suporter lain, Persebaya akan bertanding pada malam hari. Persebaya memang jadi bermain. Kami bertahan hingga malam hari hingga pertandingan usai dan menyaksikan Persebaya membawa pulang tiga poin.
Itulah pengalaman pertamaku mbonek. Pengalaman yang sangat mahal karena itulah satu-satunya laga Persebaya yang aku saksikan langsung dari tribun stadion. Kini, aku tidak tahu lagi kapan bisa mbonek lagi. Dulu memang pernah ada Persebaya yang bertanding di Solo, yang secara geografis dekat dengan Yogyakarta, memperebutkan juara Liga Divisi Utama. Tetapi aku tahu itu bukan Persebaya yang asli. Meskipun akhirnya mereka juara Divisi Utama, tetapi tetap saja mereka bukan Persebaya yang asli.
Aku rindu Persebaya. Rindu dengan talenta-talenta yang dia lahirkan. Rindu dengan prestasi-prestasi yang dia torehkan. Rindu masa-masa kejayaan, seperti ketika menjadi juara Liga Indonesia tahun 1996/1997 dan 2004. Persepakbolaan tanah air serasa hambar tanpa kehadirannya. Bagaikan sayur tanpa garam.
Persebaya
Pernah aku ingin berpaling darimu
Barang sedetik saja
Tetapi aku tidak bisa
Karena aku tahu
Setapak saja kita berjarak
Jiwaku rapuh
Persebaya
Bangunlah dari tidur panjangmu
Kami menantimu
Kami di belakangmu
*) M. Muhtar Nasir (muhtar*****@gmail.com)