Pasca proklamasi kemerdekaan tahun 1945, Indonesia tidak langsung dapat menikmati kemerdekaan dengan mudah. Pasca kekalahan Jepang, Belanda kembali ke Indonesia dengan maksud ingin menguasai “mantan” daerah koloninya. Tarik ulur kekuasaan di antaranya terjadi melalui berbagai peristiwa, dari perundingan-perundingan damai hingga konfrontasi berdarah. Sempat berkuasa sebentar, Belanda melakukan beberapa aksi nyata termasuk urusan sikulit bundar.
ISNIS dan transformasi anggotanya
Tahun 1947 Kompetisi sepakbola yang sebelumnya dikelola oleh NIVU sejak 1910an kembali dihidupkan lagi setelah agresi militer Belanda. NIVU yang vakum sejak invasi Jepang berubah nama menjadi VUVSI/ISNIS (Voetbal Unie in de Verenigde Staten van Indonesie/Ikatan Sepakraga Negara Indonesia Serikat) pada tahun 1948. Aktifitas sepakbola di kota-kota yang diduduki Belanda juga dihidupkan, bond-bond lawas termasuk SVB di Surabaya beserta anggota-anggotanya kembali aktif dan berkompetisi.
Sejak 1947 hingga 1950 tercatat 4 turnamen nasional (stedenwedstrijden) diselenggarakan oleh VUVSI/ISNIS, dalam 4 gelaran tersebut Soerabaja (baca : SVB) sukses menjadi juara pada tahun 1949 dan 1950, sisanya dimenangkan oleh VBO Jakarta.
Menjelang tahun 1950-an drama perebutan kekuasaan antara Indonesia dan Belanda mendekati babak akhir, pemenangnya, sudah pasti Indonesia. Kondisi tersebut memberi konsekuensi tersendiri bagi bond-bond anggota VUVSI/ISNIS. Pilihannya hanya dua, bergabung dengan PSSI yang akan aktif kembali atau membubarkan diri. Di beberapa kota yang sebelumnya diduduki Belanda opsi yang dipilih oleh bond-bond tersebut bisa berbeda-beda tergantung iklim sosial politik disana. Namun mengingat aksi militer Belanda serta sejarah kelam kolonialisasi selama ratusan tahun di Indonesia, opsi bergabung pun bahkan tidak akan semudah yang dibayangkan.
Iklim sepakbola Surabaya yang memang jauh lebih kondusif sejak dulu membuat opsi yang tersedia bahkan lebih sederhana. April 1950, sesaat sebelum stedenwedstrijden VUVSI/ISNIS menuju babak final di Bandung. SVB melakukan perubahan nama menjadi P.S.S (Persatuan Sepakraga Soerabaja). Tidak cukup sampai disitu, dalam pemberitaannya, harian De Vrij Pers edisi 13 April 1950 menyebutkan bahwa P.S.S kelak akan berubah menjadi Persibaja setelah bergabung dengan PORI yang saat itu merupakan induk organisasi seluruh olahraga di Indonesia (termasuk sepakbola atau PSSI). Bergabung dalam PORI sepakbola (PSSI) menjadi opsi yang akan diambil bagi Persebaja (P.S.S).
Perubahan nama dalam bahasa Indonesia konon juga dilakukan oleh bond-bond anggota VUVSI/ISNIS di kota-kota lain. Besar kemungkinan hal tersebut dilakukan untuk menarik simpati masyarakat, maklum sejarah mencatat hubungan harmonis antara bond Belanda dan bond Indonesia mungkin hanya terjadi di Surabaya. Bagi bond-bond Belanda di luar Surabaya hubungan buruk mereka dengan bond Indonesia di masa lampau (bahkan mungkin hingga saat itu) membuat opsi bergabung semakin menjauh.
Pilihan berbeda Surabaya
Mengapa PSS berani mengklaim akan menggunakan nama Persibaja, bukankah PORIS (Persibaja/SIVB) sudah aktif sejak 1948? Lalu bagaimana dengan PORIS (baca: Persibaja) atau SIVB?
Sejak Jepang menyerah kepada Sekutu, Persibaja yang bertransformasi menjadi PORIS masih belum dapat melakukan aktifitasnya mengingat PSSI belum aktif kembali. Jika PORIS ingin terus eksis maka hanya ada satu pilihan, bergabung dalam kompetisi PSS/SVB. Sejak 1947 PORIS yang diperkuat pemain-pemain pribumi asli termasuk Saderan[1] telah aktif bertanding dalam kompetisi Persebaja (baca : PSS/SVB).
Namun benarkah Persibaja (baca: PORIS) bergabung dalam kompetisi yang diselenggarakan oleh PSS/SVB?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kami mencoba menelusuri jejak PORIS dalam kompetisi PSS/SVB. Dalam kolom olahraganya, Nieuwe Courant edisi 31 Desember 1947 memberitakan tentang kompetisi internal PSS/SVB dengan PORIS ikut tergabung didalamnya, selain itu lapangan Pasar Toeri yang notabene merupakan markas Persibaja (baca: PORIS) menjadi salah satu venue pertandingan tersebut.
Nieuwe Courant yang rajin memberitakan kompetisi internal PSS/SVB kembali memberitakan hasil pertandingan antara PORIS melawan SVJA yang berakhir imbang tanpa gol pada edisi tanggal 6 Desember 1948. Keikutsertaan PORIS dalam kompetisi PSS/SVB terus berlanjut hingga kini, saat ini PORIS telah berubah nama menjadi Fatahillah dan masih aktif tergabung dalam kompetisi Persebaya.
Sepakbola Surabaya memiliki sejarah panjang dan berliku, pilihan untuk bergabung menjadi faktor pembeda dengan kota-kota lainnya. Memang (dalam konteks sepakbola) Surabaya selalu berbeda, saat kota-kota lain menolak bekerjasama dengan bond Belanda, Surabaya bersikap sebaliknya. Saat kota-kota lain hanya bisa nggerundel saat diperlakukan tidak adil, Surabaya justru melakukan perlawanan (boikot sepakbola) dengan sempurna (terencana, terstruktur, dan efektif).
Namun kurang bijak rasanya jika memahami sejarah hebat Persebaya hanya dari sudut perlawanan saja. Hal tersebut ibarat melihat sosok Spiderman sebagai superhero semata tanpa melihat sisi personal seorang Peter Parker.
Perlawanan hanyalah sepotong kecil pelajaran yang bisa diambil dari sejarah Persebaya dan bukan yang utama.
Di Surabaya, sepakbola tidak pernah tercatat sebagai faktor pemecah. Sebaliknya, sepakbola justru menjadi faktor pemersatu yang menghancurkan sekat dan tembok tebal antara bangsa penjajah dan terjajah, antara Mener dengan Inlander.
Sejarah mencatat sejak dulu sepakbola Surabaya selalu menempatkan urusan sepakbola sebagai prioritas di atas segala kepentingan non sepakbola (politik, kekuasaan atau kepentingan-kepentingan pribadi). Sesuatu yang sulit atau bahkan mungkin tak akan pernah dipahami oleh petinggi-petinggi Persebaya saat ini. Seandainya saja mereka mau belajar dari sejarah Persebaya. Ahh sudahlah… (bersambung)
@bajulijonet
[1] salah satu pemain legenda Persebaya yang tenar pada tahun 1950 an