“Gak gampang dadi Bonek”.
Sebuah pernyataan yang sering terlontar dari seorang Bonek ketika sedang berbicara dengan rekan sesama Bonek ataupun dengan suporter lain. Kalimat yang seakan menjadi kegelisahan sekaligus curahan hati bagi mayoritas Bonek. Wajar memang, jikalau kalimat tersebut sudah tidak asing lagi terdengar dari kalangan Bonek. Mengingat masalah-masalah yang harus dihadapi Bonek hingga saat ini.
Berbicara mengenai identitas. Identitas adalah sifat khas yang sesuai dengan kesadaran diri dan menerangkan kepribadian seseorang. Umumnya, identitas sebagai “Bonek” bisa didapat ketika seseorang sedang berada di dalam stadion sepakbola sambil mendukung persebaya. Namun, tak sekadar penamaan suporter. Identitas itu juga bisa muncul hanya karena keberanian seseorang dalam melakukan sesuatu. Hal ini menunjukkan bahwa “Bonek” merupakan sebuah identitas yang masih terjaga dan terawat kemurniannya.
Mengutip salah satu kalimat yang muncul dari seorang filsuf terkenal asal Prancis, Jean Paul Sartre. “We are our choices”. Atau dalam bahasa Indonesia mempunyai arti “Kita adalah pilihan kami”. Dalam memilih, tentu ada yang akan kita dapat dan korbankan. Kita telah memilih apa yang menurut kita telah sesuai dengan kepribadian dan tujuan kita sebagai “Bonek”. Kita memilih untuk menolak takluk, itu berarti kita harus melawan, dan dalam perlawanan itu kita harus rela kehilangan waktu, tenaga, bahkan kehidupan sosial kita.
Di dalam hidup, kita dituntut untuk memilih identitas apa yang menurut kita telah sesuai dengan kepribadian. Sebab tanpa identitas, kita akan bingung mau ke mana kita akan melangkah, tak tau tujuan yang akan dicapai, sehingga tidak akan bisa mendapat esensi dalam hidup.
Menurut Zen R.S. dalam esainya yang berjudul “Kulit Bawang Identitas”. Identitas itu muncul karena seseorang dalam “situasi” tertentu. Begitu juga dengan Bonek. Tak peduli apa pekerjaannya, setinggi apa pangkat yang dimiliki ataupun pendididikan seseorang. Ketika seseorang memberikan dukungannya terhadap Persebaya. Maka otomatis orang tersebut bisa dilabeli sebagai “Bonek”.
Identitas juga sulit untuk dihilangkan. Karena menyangkut pada prinsip dan kepribadian seseorang. Yang bisa berubah adalah penilaian seseorang terhadap identitas kita. Tergantung dengan apa yang telah kita lakukan atau perbuat.
Sebagai contoh, Bonek bisa saja dicap brutal, suka kekerasan, dan tak taat pada aturan. Itu semua muncul atas apa yang pernah Bonek lakukan di masa lalu.
Dan seakan ingin menebus dosa-dosa di masa lalu. Kini, Bonek bisa dikenang sebagai suporter paling heroik dalam memperjuangkan nasib klub kebanggaannya. Tak ada dalam sejarah persepakbolaan di Indonesia bahkan mungkin di dunia, sebuah kelompok suporter tetap “eksis” ketika klub kebanggaan mereka sudah tidak berlaga. Begitulah identitas, ia diikat oleh kesamaan-kesamaan nasib, tujuan hingga cita-cita seseorang atau kelompok.
Akhir kata, mari sekali lagi coba kita renungkan kalimat pembuka dari tulisan ini, kalimat yang juga menjadi kegelisahan diri kita masing-masing atas pilihan tentang “identitas” kita, yaitu “gak gampang dadi bonek”. Masihkah sulit menjadi seorang Bonek? Toh, pada tanggal 1 Agustus nanti kita bisa saja bersama-sama bertemu sambil ngopi tipis-tipis dengan mereka yang mendzolimi klub kebanggaan kita? Kita bawakan saja oleh-oleh dari Pengadilan Niaga Surabaya. Mudah kan? Syukur-syukur kalau mereka suka dan menerimanya dengan tangan terbuka. Kalau tidak suka ya Wallahu a’lam. Allah yang lebih tahu kebenarannya. Sampai bertemu di Jakarta ya, Rek, lur. Kita rayakan kemenangan kita. Semoga…