Tak diragukan lagi saat ini menjadi waktu yang menyenangkan menjadi pendukung Johor Darul Ta’zim (JDT). Klub asal Malaysia yang juga kandidat favorit juara Liga Super untuk tiga musim berturut-turut, menjuarai Piala FA, kini lolos ke babak selanjutnya di grup Piala AFC yang mereka menangkan tahun lalu. Mereka bahkan memperbesar peluang mereka di Piala Malaysia setelah mengalahkan PDRM akhir pekan lalu dengan skor 4-1 di Stadion Larkin.
Kemenangan 4-0 atas lawan yang sama di stadion yang sama semakin mendekatkan sang juara bertahan meraih gelar. Namun seperti biasanya, pemilik klub yang juga putra mahkota negara bagian Johor, mengkritik pendukung klub di website klub. Kritikan ditujukan karena hanya kurang dari 8.000 penonton menyaksikan pertandingan. Di sebuah wawancara, sang pangeran kecewa dengan jumlah penonton saat melawan PDRM. Dia bahkan telah berada dalam tahap di mana dia menunjukkan untuk tidak akan terlibat di klub karena mempunya “agenda” lain.
“Saya sangat kecewa dengan penonton yang hadir di stadion. Karena ketika pertama kali membangun klub ini pada 2003 lalu, saya melihat banyak potensi dan mendapatkan banyak penghasilan untuk klub. Namun, saat melihat semangat pendukungnya saya sangat kecewa. Ketika mengumumkan pembangunan stadion berkapasitas 35.000, orang bertanya mengapa hanya 35.000. Kapasitas harusnya diperbesar. Tadi malam, penonton yang hadir bahkan tidak mencapai 7.000.
Ini bukan kejadian pertama kali. Saya menyadarinya sejak awal musim dan juga tahun lalu. Kepada siapa saja yang tidak menerima apa yang saya lakukan, ini adalah masalahmu, namun jika kamu menginginkan klubmu maju dan unggul, kamu harus memainkan peranmu sebagai pendukung. Jangan hanya menunggu pertandingan melawan klub-klub besar. Mengenai sistem tiket online, kami berada di tahap akhir dalam menerapkan sistem yang memudahkan masalah semua orang. Setelah diimplementasikan, jika penonton masih rendah, saya hanya akan membangun stadion berkapasitas 10.000!
Untuk saat ini, saya tidak yakin berapa lama saya akan mengurusi sepak bola. Karena saya juga punya banyak agenda. Tapi saya akan lihat nanti. Untuk saat ini, api masih membakar dalam diri saya. Tetapi biarkan saya melihat situasi setelah banyak visi dan misi yang akan saya implementasikan untuk negara yang saya cintai.”
Seperti yang telah saya tulis sebelumnya, JDT menjadi lebih besar dibanding Malaysia dan menarik minat kerajaan untuk turun ke dalam klub. Pablo Aimar mungkin menarik pemberitaan utama media dan pendukung dengan bintang di mata mereka, namun kerja nyata di klub telah hilang di balik layar dan tidak terpantau radar dengan fasilitas dan infrastruktur tanpa nominal di Malaysia. Mereka, seperti klub Muang Thong United dan mungkin Buriram United, adalah salah satu dari sedikit klub yang bisa digambarkan sebagai klub profesional. Menariknya, kelahiran Buriram United dimungkinkan karena usaha dan kantong pribadi satu orang.
JDT dan Buriram United mempunyai akar di klub lain (Johor FA dan Johor FC, PEA dan Buriram FC) namun sejauh ini pendukungnya menganggap mereka klub baru. Mereka hadir karena kekayaan dan keglamoran pemilik mereka yang kaya, seperti menduplikasi gaya Chelsea/Manchester City di negaranya. Mereka menemukan sepak bola saat ada uang mengalir.
Dalam sebuah pertandingan JDT beberapa tahun yang lalu, seorang pendukung memberitahu saya dengan bangga “kami adalah pendukung sejati klub” saat kami berdiskusi dalam perjalanan ke KL untuk sebuah pertandingan away. Dia memang suporter fanatik, dan terbiasa dengan itu, tapi dia hanya datang ke pertandingan saat putra mahkota terlibat. Dia adalah pendukung sepak bola tapi keberadaan klub lokal tidak menarik baginya dan ribuan orang sepertinya. Dia melihat sepak bola layaknya di layar TV dan dia ingin menjadi bagian dari sesuatu yang mirip dengan itu. Siapa yang bisa menyalahkannya? Saya telah berada di Stadion Larkin sebelum pihak kerajaan menambahkan ramuannya dan itu sangat tidak indah (lihat gambar). Dan bandingkan dengan video pendek dari 2014 ini!
Pendukung JDT hanya tahu kesuksesan. Mereka hanya ada di beberapa musim dan tidak tahu apa arti kegagalan. Mereka tidak tahu bagaimana rasanya lepas dari jeratan degradasi ke kasta ketiga Liga FAM di pertandingan terakhir di musim saat away ke Sungai Ara atau bermain dari musim ke musim sebagai tim medioker dan finish di papan tengah. Meski tiket tim dibuat menarik, seperti yang kita lihat di Selangor musim ini, tak banyak fans yang tertarik. Mereka tetap tak beranjak. Seperti Dez Corkhill tulis di tulisannya tentang kultur sepak bola Malaysia “‘is football in Malaysia truly the people’s game? Dia menyatakan tidak, mengutip rendahnya budaya akar rumput di daerah-daerah lain yang kurang terhadap sepak bola Malaysia.
JDT bisa sukses dan pantas juara karena kerja keras di dalam dan di luar lapangan. Namun hal itu sangat mudah membuat pendukungnya bosan. Siapa yang ingat arogansi pendukung Manchester United dan Chelsea saat mereka memenangkan semuanya dan siapa yang bisa mengatakan dari dalam hati jika mereka tidak menikmati pesta di schadenfreude musim lalu? Saya tidak menyarankan dalam satu menit pendukung JDT menjadi arogan; semua pendukung berkembang secara beruntun setelah memenangkan beberapa pertandingan, ini adalah bagian menarik dari pertandingan dan kesempatan melupakan keberadaan kita yang membosankan dengan pekerjaan kita yang menyebalkan dan “liburan murah bagi penderitaan orang”.
Sementara pendukung JDT menjadi sedikit nyaman dengan ide memenangkan trofi sebagai hak mereka, ratusan mil ke tenggara di mana sebuah klub sepak bola tetap hidup dalam hati para pendukungnya. Persebaya, berdiri tahun 1927, berada di kota terbesar kedua di Indonesia, Surabaya, telah menghilang dalam peta persaingan sepak bola dalam beberapa tahun akibat permainan politik para petinggi dengan pendukungnya.
Pendukung Persebaya menyaksikan bagaimana nama mereka dirampas oleh pihak luar, nama suporter mereka dirampas oleh pihak luar dan klub mereka mengalami kejatuhan. Namun mereka tetap setia memakai logo klub mereka dengan kebanggaan dan gairah yang dimiliki semua klub sepak bola di seluruh dunia.
Beberapa bulan lalu, 35.000 pendukungnya membuat laga legenda di Stadion 10 Nopember dibatalkan di pertengahan babak setelah mereka berhamburan ke tengah lapangan menemui legenda mereka. 3.000 orang pergi ke Jakarta untuk memprotes Kongres PSSI dan tidur di stadion kosong, agar klub mereka muncul kembali dan dimiliki masyarakat. Dan hari ini? Sebuah laga Persebaya U16 melawan klub sekolah lokal ditunda sebelum dimainkan karena ribuan suporter memenuhi lapangan. Semua mengenakan logo klub yang mereka cintai. Beberapa mengestimasi 10.000 yang hadir. Untuk sebuah tim di bawah 16 tahun!
Pendukung Persebaya atau Bonek tidak haus kesuksesan. Mereka haus akan sepak bola selama keberadaan JDT. Mereka mempunyai legenda. Pemain seperti Andik Vermansyah, Mat Halil, Anang Ma’aruf, Mursyid Effendi, Yusuf Ekodono. Mereka mempunyai kisah kepahlawanan saat ribuan pergi menggunakan kereta ke Bandung, dalam gerbong, di atas atap. Pendukung Persebaya mempunyai setiap hal yang pendukung JDT tidak punya. Namun pendukung JDT punya segala sesuatu yang pendukung Persebaya tidak. Seandainya seseorang, di mana pun tempatnya, bisa menggabungkan di antara keduanya…
*) Jakarta Casual adalah blogger/penulis berkebangsaan Inggris yang sering menulis tentang sepakbola Asia. Tulisan-tulisannya bisa dibaca di blog dengan alamat jakartacasual.blogspot.co.id. Tulisan ini adalah versi terjemahan dari tulisan berjudul “Money Can Buy Success, It Can’t Buy Tradition” yang dimuat di blognya.