Banyak yang tak tahu bahwa Persebaya Surabaya tetap menggelar latihan. Bahkan, itu sudah bergulir dua tahun meski mereka tak ikut kompetisi. Siapa sosok di belakang itu?
***
Keringat membasahi jaket yang dipakai Lulut Kistono. Tapi,dia enggan melepas jaket. Dia baru saja berlatih di sebuah lapangan di pinggir tol Surabaya-Sidoarjo. Tampil di pagi hari dengan berlatih bisa menjadi sebuah hal yang langka baginya.
Dalam dua tahun terakhir, waktunya di pagi hari terkuras untuk menangani Persebaya Surabaya. Memang, kesebelasan yang sempat disebut sebagai Persebaya 1927.
Tindakan PSSI yang mengeluarkan mereka membuat tim legenda tersebut tak bisa berlaga di semua ajang kompetisi.
”Saya melatih kalau ada persiapan. Bisa turnamen bisa juga ekshibisi,” kata Lulut.
Dia memegang kursi pelatih bersama Ahmad, seorang pelatih yang juga anggota TNI-AL. Lulut tak kuasa menolak saat dia dipercayai oleh Saleh Hanifah, bosnya di klub Indonesia Muda yang juga pengurus Persebaya, untuk memoles Green Force, julukan Persebaya.
Meski, ungkap Lulut, dia tak menerima gaji bulanan untuk menjadi pelatih. Tapi, baginya, hal tersebut tak pernah dipersoalkan.
”Saya dapatnya uang kalau Persebaya bermain. Seperti di Banyuwangi dan Probolinggo,” lanjut lelaki 49 tahun tersebut.
Tanggung jawab Lulut pun layak dapat apresiasi. Meski, dalam kehidupannya, dia harus pontang-panting membuat dapurnya mengepul.
Beberapa usaha pun pernah dilakukan untuk menghidupi istri dan tiga anaknya. Lulut pernah memasarkan kue onde-onde buatan istrinya. Dia juga pernah berjualan bakso di depan rumahnya di kawasan Kedurus, Surabaya.
Bahkan, untuk membiayai anak-anaknya sekolah, lelaki yang pernah membela Arseto Solo tersebut nyaris menjual rumahnya.
”Sekarang juga tidak ada latihan. Jadi, saya bisa keluar untuk berlatih,” terang Lulut.
Dia pun tak berharap banyak akan kembali ditunjuk atau menjadi bagian tim Persebaya di musim mendatang. Baginya, menangani tim yang mayoritas diisi pemain dari kompetisi internal Persebaya tersebut sudah menjadi kepuasan batin.
”Apapun keputusannya tetap saya terima. Rezeki sudah ada yang mengatur,” ujarnya.
Karir Lulut sebagai pesepak bola tak bisa dipandang sebelah mata. Dia pernah menjadi bagian dari Arseto saat menjadi juara Galatama pada 1992.
Lelaki yang berposisi sebagai stopper tersebut juga pernah membela PSIS Semarang, Mitra Surabaya, Arema Malang, Barito Putera Banjarmasin, dan Putra Samarinda.
Lulut yang dikenal sebagai tukang jagal ini menjadi sorotan ketika memperoleh sanksi dari PSSI karena dia berkelahi dengan Singgih Pitono dari Arema. Padahal, selama ini, keduanya dikenal sebagai kawan.
Setelah pensiun sebagai pemain, Lulut memutuskan menjadi pelatih. Barito Putra, Kutai Barat, Mitra Kutai Kartanegara, dan Deltras serta Persibo Bojonegoro pernah dipolesnya. (pl)
*) Tulisan ini juga dimuat di pinggirlapangan.com.