Tidak banyak pemain yang sukses di Niac Mitra tapi juga berhasil di Persebaya. Salah satunya adalah Syamsul Arifin.
***
Tahun terus berganti. Usia pemain Niac Mitra juga ikut bertambah.
Bos Niac Mitra Wenas pun mulai melakukan peremajaan. Imbasnya, para pemain senior banyak yang hengkang ke klub lain.
”Joko Malis, Rudy Keltjes, dan Yudi Suryata memilih ke Yanita Utama Bogor. Kalau saya memilih pensiun,” ujar Syamsul.
Padahal, saat itu, usianya belum terlalu tua. Pada 1985, dia baru 30 tahun.
”Saya dipercaya oleh mertua untuk mengurusi tambak yang ada di Gresik. Tapi, saya tetap latihan di klub Suryanaga,” jelas Syamsul.
Dia tak berpikir membela Persebaya. Alasannya, sudah banyak pemain muda di tim yang kelak berjuluk Green Force tersebut.
Sayang, dalam segi prestasi, Persebaya tak banyak berbicara banyak. Keinginan mengulang sukses menjadi juara seperti 1977 masih jauh dari harapan.
Syamsul sendiri meski di Suryanaga dan frekuensi latihan banyak berkurang tapi penampilannya tetap moncer. Suryanaga dibawa menjadi klub yang disegani di kompetisi internal dan bahkan menjadi juara antarklub nasional.
”Dari situlah, saya dapat panggilan membela Persebaya. Tapi, saya tak segera menerima atau tidak,” ungkap Syamsul.
Dia harus minta izin ke mertua di Gresik. Alasannya, dia tak ingin mertuanya kecewa karena dia tak mengurusi tambaj keluarga.
”Tapi, mertua mengizinkan saya ke Persebaya. Saya pun menerima panggilan tersebut,” kenang Syamsul.
Harapannya, sebagai pemain depan pengalaman, Syamsul bisa mengangkat semangat rekan-rekannya dengan gol-gol yang banyak. Di tahun pertama, musim 1986/1987, Persebaya mampy menembus final.
”Kami kalah oleh PSIS Semarang. Tapi, saya tetap dikontrak untuk musim berikut,” papar Syamsul.
Dengan persiapan yang lebih matang, Persebaya kembali mempunyai nama besar. Satu demi satu lawan disikat.
”Kami akhirnya menjadi juara dengan mengalahkan Persija Jakarta. Eh, saya masih dikontrak lagi untuk musim berikut. Jadi, tiga tahun saya membela Persebaya di ajang perserikatan,” ungkap bapak tiga anak ini.
Musim 1989/1990, dengan usia yang sudah 34, Syamsul masih jadi pilihan utama. Sayang, Perseaya harus puas di posisi kedua setelah di final kalah oleh Persib Bandung.
”Tiga musim membela Persebaya dengan selalu finalis tentu bukan hal yang buruk,” tambah Syamsul.
Di saat prestasi dan namanya yang moncer berbalik dengan klub lamanya, Niac Mitra. Mereka tengah terpuruk dengan berada di posisi papan klasemen di putaran I musim 1990.
”Saya tak bisa menolak karena yang butuh adalah Niac Mitra, klub yang banyak berjasa dalam karir,” kenang Syamsul.
Kehadirannya mengangkat Niac Mitra. Klub tersebut hampir melakukan sapu bersih kemenangan
”Peringkatnya naik ke posisi papan atas Galatama. Banyak gol yang saya cetak tapi sudah lupa berapa,” ungkap lelaki yang kini tinggal di kawasan Tenggilis tersebut.
Kembalinya Syamsul ke Niac Mitra menghidupkan kembali semangatnya. Tapi, siapa sangka dia dirundung duka. (Bersambung)