Terus berjayanya Persipura membuat Jacksen F. Tiago dipercaya menjadi pelatih nasional. Namun, ada itu pula yang membuat dia berjauhan dengan orang yang sudah lama dikenal dekat dengannya.
***
Memberikan seabrek gelar bagi Persipura Jayapura bukan hal yang mudah. Memang, sebelumnya, ada Rahmad Darmawan.
Pelatih yang juga anggota TNI-AL tersebut membawa tim asal Indonesia Timur tersebut juara pada 2005. Tapi, setelah itu, Rahmad meninggalkan Persipura.
”Saya selama delapan tahun di sana. Siapa orang di luar Papua yang bisa bertahan lama di Persipura?,” ujar lelaki yang pernah membela Petrokimia Putra Gresik, PSM Makassar, dan Persebaya Surabaya semasa aktif menjadi pesepak bola tersebut.
Kesidipilinan dan pendekatan yang dilakukan dia menjadi kunci berjayanya Persipura. Di tangannya, Mutiara Hitam menjadi tim yang bermain ala tim Brasil yang mengandalkan bola-bola pendek.
Polesannya di Bumi Cenderawasih, julukan Papua, membuat Jacksen dipercaya menangani tim nasional Indonesia. Sebuah keinginan yang sempat dilontarkannya keteka lisensi kepelatihannya diperoleh.
Ketika itu, pada 2008, Jacksen berkomentar bahwa lisensi yang didapat dari asosiasi sepak bola Brasil (CBF) bukan hanya bisa untuk menjadi arsitek klub, tim nasional pun bisa. Ternyata, candaan tersebut menjadi kenyataan.
Awalnya, Jacksen diduetkan dengan Rahmad. Tapi, di tengah jalan, dia menjadi nakhoda sendiri.
Saat menangani Pasukan Garuda, julukan Timnas Indonesia, anak asuhnya berhadapan dengan dua tim kuat dari Premier League Inggris, Arsenal dan Liverpool. Berhadapan dengan The Gunners, julukan Arsenal, di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, pada 14 Juli 2013, Indonesia menyetah 0-7.
Sepekan kemudian, Pasukan Garuda berhadapan dengan Liverpool. Kali ini, pada laga yang dilaksanakan 20 Juli di tempat yang sama, Indonesia kalah dengan skor yang tak menyolok yakni 0-2.
Hasil ini membuat Jacksen mendapat banyak pelajaran. Dia berani melakukan gebrakan.
Para pemain senior, ungkapnya, yang tak sesuai dengan karakter yang diinginkan Jacksen ditendang. Meski, hal tersebut, terang dia, mendapat tantangan dari para pengurus PSSI.
”Yang saya coret tersebut pemain senior yang sudah menjadi langganan Timnas Indonesia. Tapi, saya nggak butuh mereka karena bisa membuat tim nggak kondusif,” ucap Jacksen.
Hasilnya cukup sukses. Saat menghadapi Filipina di Stadion Manahan, Solo, pada 14 Agustus 2013, Jacksen dengan pemain pilihannya mampu mempermalukan Filipina dengan dua gol tanpa balas. Meski mulai mendapat pujian, tapi nasibnya di Pasukan Garuda tak bertahan lama.
”Saya hanya menjalani sesuai dengan yang disepakati PSSI dengan Persipura. Jadi, saya Persipura bermain di kompetisi, saya balik ke Persipura,” ungkap Jacksen.
Dia menyebut timnas kala itu merupakan proyek Persipura. Sehingga, asisten yang dibawanya juga merupakan tandemnya di tim yang pernah disegani di awal 1980-an tersebut.
Kondisi itu pula yang membuat Jacksen dengan berat hati menolak keinginan mantan tandemnya di saat masih sebagai pemain datang bersamanya ke Indonesia, Carlos de Mello. Ini, ujarnya, yang membuat hubungan keduanya sampai sekarang renggang.
”Carlos ingin mengulang kenangan manis saat menjadi pemain diulangi dengan menjadi pelatih. Tapi, timnas saat itu kan menjadi proyek Persipura yang harus pelatihnya juga dari sana,” tambah Jacksen. (Bersambung)