Di dalam stadion, kita bersaudara
Satu cinta dukung persebaya.
Semangat membara, bernyanyi bersama
Demi satu mimpi jadi juara.
Terbanglah tinggi kau di angkasa
Tunjukan pada semua mata dunia
Surabaya pun juga punya kebanggaan
Green force PERSEBAYA emosi jiwaku
Jauh sebelum lagu ini terdengar, jauh sebelum bermacam-macam lagu lainnya terdengar, jauh sebelum adanya perpecahan, jauh sebelum adanya dualisme dan kerakusan orang-orang tamak, kami pernah dengan tenang menyanyikan chant-chant klasik era-era perserikatan di dalam stadion legendaris, stadion yang jadi saksi bisu bangkit serta jatuhnya tim yang berjuluk bajol ijo.
Stadion yang selalu riuh sesak, dengan atmosfirnya yang sudah lama sangat dirindukan. Ya, kami yang merindukan. Kami yang hanya tahu tentang loyalitas, kami yang hanya tahu tentang perjuangan dan yang kami tahu hanya pertandingan.
Kami berangkat dengan satu tujuan, yaitu melihat pertandingan. Tak ada terbesit sedikitpun niat kami untuk mencari keributan. Tak ada sedikit pun maksud kami ingin mencari kerusuhan. Tak ada keinginan kami untuk mengambil hak orang lain. Sebab loyalitas tidak mengajarkan seperti itu. Loyalitas yang kami pupuk dari dalam hati telah tertanam jauh lama sebelum kami tau apa arti PERSEBAYA sendiri.
Anda mungkin tak tahu maksud kami. Sudahlah kami memang selalu di bawah, kami tidak mengerti bahasa-bahasa dewa, atau klise-klise khas orang kantoran. Begitulah, loyalitas kami terlahir dengan dasar kebanggaan.
Kami rela berpanas-panasan, naik satu truk ke truk lain, berjalan puluhan kilo jauhnya, berdiri berjam-jam lamanya. Atau menyisihkan sedikit uang jajan kami yang terkadang kurang atau bahkan tak ada.
Namun nyatanya, ketika ketamakan mulai memasuki era-nya, kami hanya bisa terdiam. Kami tak tahu bagaimana harus berbuat. Kami selalu menunggu perjuangan orang-orang penuh ilmu, yang lebih pandai dan cakap daripada kami.
Ya, kami. Kami juga Bonek, kita sama-sama Bonek. Namun kami hanya sebagai “dead squad”. Jika diumpamakan catur, kami ibarat pion, selalu dengan mudah dipermainkan dan terkadang dikorbankan demi melindungi kepentingan orang-orang atas.
Kami yang sering kalian lihat memenuhi truk-truk di jalanan ketika ada pertandingan, yang sering kalian lihat berboncengan tiga ketika mengendarai kendaraan saat pertandingan. Kami adalah sebagian kecil pendukung tanpa rewel. Jarang mengeluh banyak bertindak.
Kami tidak liar, kami bukan Bonek liar, kami hanya Bonek arus bawah. Jangan samakan kami dengan bonek liar. Kami hanya Bonek kurang pengetahuan. Yang kami tahu hanya pertandingan, datang dan berharap menang. Itu saja tidak lebih.
Kami selalu merindukan suara bergelora Cak Soepangat. Kami selalu merindukan riuhnya chant-chant klasik yang dinyanyikan lantang. Kami selalu merindukan suara-suara sumbang penjual gorengan. Kami selalu merindukan ombak manusia bergerak dari ujung tribun ke tribun lainnya. Kami selalu merindukan konvoi di jalan merayakan kemenangan. Dan itu adalah suatu memori indah yang tak terlupakan. PERSEBAYA pada era-nya pernah besar dan gemilang.
Kami rindu persebaya, kami rindu juara, kami rindu bernyanyi bersama. (*)
*) Curhatan dari Mbah tessy BHC, bonek arus bawah dari kampus perjuangan, ditulis sambil menikmati segelas kopi