Seperti pada aksi-aksi sebelumnya, Bonek selalu berada di lokasi guna mengawal Persebaya. Tak terkecuali di kongres PSSI di Bandung. Bonek dari seluruh penjuru tanah air tumplek blek menghijaukan kota Kembang itu sejak beberapa hari menjelang kongres.
Minggu, 8 Januari akhirnya menjadi hari paling bersejarah bagi Persebaya dan Bonek. Tim kebanggaan yang bertahun-tahun diperjuangkan kini kembali diakui PSSI.
Jika kita mengikuti perjalanan panjang aksi-aksi Bonek, mulai aksi Bonek di daerah asalnya hingga aksi Bonek di Bandung, suasana yang tercipta terlihat aman dan kondusif bahkan terkesan bersahabat.
Saya melihatnya sebagai sebuah perubahan positif yang besar dari Bonek sendiri, di mana stigma negatif sedikit demi sedikit mulai terkikis dengan (minimal) tanpa melakukan tindakan kekerasan. Selama ini, Bonek mendapat stigma negatif dari masyarakat. Secara tidak langsung, saya bangga dengan perubahan positif ini. Memang jika dilihat dari beberapa aksi yang melibatkan Bonek saat turun ke jalan selama beberapa tahun ini selalu berakhir dengan damai tanpa adanya kericuhan (cleansheet).
Seperti aksi di Bandung pun, mulai dari persiapan keberangkatan hingga kedatangan, Bonek terlihat adem ayem tentrem dan tidak ada tindakan kekerasan apapun yang dikabarkan oleh media massa nasional seperti halnya tahun-tahun sebelumnya.
Sayangnya, sehari setelah kongres berakhir, muncul berita yang paling saya takutkan dan paling saya sesalkan. Ada aksi perusakan dan pembobolan yang dilakukan segelintir Bonek. Beberapa Bonek merusak lemari pendingin berisi minuman milik sebuah warung yang ada di halaman GOR Pajajaran. Ada juga yang membobol dengan mengambil makanan dan minuman yang ada di beberapa warung.
Saya tidak menyebut para pelaku sebagai oknum. Biar bagaimanapun mereka juga bagian dari Bonek, mereka juga dulur kita. Tapi, ada perasaan marah, kecewa, bahkan malu setelah mendengar berita tersebut. Betapa tidak, selama di Bandung, ribuan Bonek diopeni dan di sambut dengan baik oleh Pemkot dan warga Bandung. Bahkan ibu Wali Kota pun sampai turun ke lapangan untuk menemui Bonek.
Alhamdulillah, mayoritas dari dulur-dulur Bonek cinta damai dan tidak berbuat aksi kekerasan di rumah saudaranya sendiri di Bandung.
Namun saat ada kelompok minoritas dari Bonek yang melakukan hal buruk, maka semua Bonek ikut tercoreng namanya.
Sampai kapan jadi benalu?
Wahai Bonek pelaku pembobolan dan perusakan, apakah kalian tidak kasihan dengan dulur-dulur kalian yang mayoritas ingin mengubah citra Bonek menjadi lebih baik? Apakah kalian tidak malu dengan tuan rumah yang menyambut dengan ramah namun kalian membalasnya dengan menghancurkan isi rumahnya? Apakah kalian selamanya akan merugikan orang lain yang tidak tahu apa-apa namun tetap kalian dzolimi? Apakah kalian tidak ingin bersama kami yang mayoritas ingin menjadikan Bonek lebih baik lagi?
Jika terjadi seperti ini terus, sepertinya Bonek perlu solusi kongkrit untuk mengatasi permasalahan klasik ini. Entah seperti apa gagasan yang dimunculkan, mungkin bisa di realisasikan dengan memusyawarahkan dengan pengurus-pengurus dan koordinator Bonek lainnya.
Saya yakin mayoritas tidak ingin mendengar berita mengecewakan seperti ini. Sungguh kasihan jika mayoritas Bonek menginginkan perubahan namun karena segelintir benalu di Bonek semuanya harus hancur usahanya. Bagai nila setitik rusak susu sebelanga, yang berbuat hanya beberapa Bonek tapi yang kena imbas seluruh Bonek yang tidak ikut aksi pembobolan perusakan.
Kita pasti bisa menghilangkan nila atau kotoran tersebut. Minimal mengurangi sedikit demi sedikit hingga akhirnya tidak ada lagi benalu yang merugikan Bonek.
#WaniBerubah
*) Ricky CB, penyiar Radio AB1927