Mengelola Persebaya, Belajar dari Amerika

Iklan

Tepat satu bulan kembalinya Persebaya di kancah sepakbola nasional, Jawa Pos Sportainment akhirnya secara sah mulai bekerja untuk Persebaya. Praktis dalam 1,5 bulan tersisa, ada banyak sekali pekerjaan rumah yang perlu mereka selesaikan.

Tak seperti kebanyakan klub Indonesia, Persebaya dan warga Surabaya pantas bangga dipimpin oleh Azrul Ananda. Muda, visioner dan berpengalaman di bidang olahraga. Bedanya, kini ia menahkodai klub sepakbola yang punya nama besar, jumlah pendukung tak terkira banyaknya, dan potensi besar kota Surabaya yang sangat bisa dimaksimalkan.

Pekerjaan Azrul dan tim manajemen satu bulan ke depan memang tidak mudah, karena mepetnya waktu. Namun, dari statement-statement awalnya ia nampak sudah memiliki sejumlah langkah dan strategi yang terukur. Gambaran capaian jangka pendek, menengah hingga panjang sepertinya sudah ada di kepalanya. Terpenting adalah visinya untuk membawa Persebaya berkembang secara sustainable. Ini tidak biasa untuk sekelas investor sepakbola di tanah air yang terbiasa “buang uang untuk dapatkan lebih” alias kepentingan mengeruk keuntungan sesaat lalu menjualnya. Itupun mereka masih harus berjudi lagi ketika “dijual” klub itu dalam kondisi kas keuangan yang masih hijau atau sudah berkelir merah alias rugi bandar.

Di Indonesia, kebanyakan investor atau penyandang dana ini hit and run dan meninggalkan klub tanpa dana sepeser pun atau bahkan berselimut hutang. Untuk yang satu ini, pendukung Persebaya patut bersyukur diambil alih oleh Jawa Pos.

Iklan

Membangunkan raksasa tidur

Mari tinggalkan cerita Azrul dan Jawa Posnya, dan bicara realita yang dihadapi Persebaya saat ini. Klub ini kini masih terlelap. Gegap gempita dan sorak sorai serta perjuangan pendukungnya sebenarnya masih sebatas mimpi yang belum jadi kenyataan. Klub ini harus dibangunkan dari tidur panjangnya.

Bicara sustainable maka harus bicara bisnis. Klub, skuad, pelatih, pemain, hingga pendukung harus dipikirkan secara bisnis, artinya harus dimonetisasi. Sekali lagi, sebagai pendukung jangan antipati terhadap perputaran uang dalam industri sepakbola ini karena tanpa gelontoran dana dan hitung-hitungan bisnis, klub ini tidak akan bisa sampai ke Liga 1. Persebaya harus menarik agar dilirik oleh pemain, pelatih, pendukung dan warga Surabaya itu sendiri. Bahkan harapannya klub ini juga dilirik oleh pendukung-pendukung baru baik di dalam maupun luar Surabaya dan itu butuh dana yang tak sedikit. Ini pekerjaan sulit dan akan semakin sulit jika bekal kita hanya embel-embel historis saja.

BACA:  Tiket Terusan, Pemecah Masalah atau Penambah Masalah?

Modal Persebaya selain nilai historisnya adalah kalian para pendukungnya. Militansi dan kecintaan kalian tidak dimiliki oleh klub lain. Pondasi ini harus dijadikan nilai jual karena fan experience kalian berbeda dengan pendukung di Jakarta, Malang, Bali, Makassar, Sleman atau bahkan Bandung yang kini selalu jadi kiblat kegembiraan dan wujud cinta terhadap sepakbola. Pengalaman kalian mendukung klub dengan cara berjuang tidak dimiliki oleh mereka.

Bicara fan experience dan industri sepakbola maka kita akan menoleh ke 3 besar liga Eropa. Inggris, Spanyol dan Italia. Inggris menjadi salah satu liga yang banyak dilirik untuk dicontoh pengelolaannya. Tapi percayalah jangan melirik kesana terlalu sering, karena sejatinya kita di Indonesia dicekoki banjirnya informasi mengenai Liga Inggris.

Persebaya berbeda, klub ini raksasa yang sedang tidur bukan klub-klub dengan sejarah biasa saja yang diubah dengan gelontoran dana tidak berseri dari taipan-taipan lalu secara instan jadi juara. Jadi pendekatannya pun harus berbeda. Contoh yang dicari harus sama dengan karakter Persebaya tersebut.

Belajar menjadi besar

Ada satu klub yang cocok untuk dijadikan contoh karena kesamaan karakter dengan Persebaya, yaitu Seattle Sounders. Menariknya klub ini bukan dari 3 liga besar Eropa, bukan juga dari Eropa melainkan datang dari MLS (Major League Soccer), liga di AS yang kini sedang maju pesat perkembangannya. Sounders pada awal pendiriannya hingga kini dikelola oleh manajemen bersama pendukungnya. Tidak dieksploitasi tapi beriring sejalan, sinergis antara klub dan pendukung.

Sounders berinovasi membuat wadah semacam “dewan pengawas” yang diisi oleh para pendukung, jajaran direksi, manajemen dan pelatih. Antara pendukung dan pihak klub dapat bebas bicara dan bertukar pendapat dalam bentuk diskusi publik yang diselenggarakan oleh pihak klub secara rutin atau ketika ada satu concern khusus. Pendukung pun dapat memilih General Manager (GM) klub mereka setiap 4 tahun. Namun tidak semua pendukung bisa jadi anggota “dewan pengawas” tersebut. Mengapa? karena hanya pemilik tiket terusan saja yang secara otomatis bisa menjadi anggotanya dan juga bisa ikut dalam pemilihan GM klub. Pendukung yang tidak memiliki tiket terusan bisa saja ikut dalam diskusi jika membayar tiket dengan harga tertentu yang cukup tinggi.

BACA:  Mobilitas dan Eksplosifitas Green Force Redam MU

Kebijakan fans democracy yang dijalankan Sounders ini dipahami agar klub tetap berjalan sesuai dengan visi dan misi yang telah diusungnya. Dimana para pendukung bisa tahu arah yang dituju oleh klub, dan klub pun tahu kekurangan mereka dari saran-saran para pendukungnya. Sinergis tersebut yang membuat stadion mereka dibanjiri pendukung tiap kali pertandingan kandang. Terbukti sampai saat ini mereka terus menjadi klub dengan rata-rata jumlah penonton kandang terbesar di MLS.

Tulisan ini adalah analisis bagaimana mengawinkan kondisi riil Persebaya saat ini dengan wacana tiket terusan sebagai bagian mengenalkan industri sepakbola ke pendukung Persebaya. Banyak contoh yang masih bisa dipelajari namun tanpa sinergi antara pendukung dan pihak klub, yakinlah Persebaya tidak akan pernah menjadi besar. Sebuah klub bisa menjadi besar karena pendukungnya. Begitupula dengan Persebaya dan nama besar yang diembannya sampai saat ini. Apapun kebijakan yang dipilih oleh Azrul Ananda dan Jawa Pos nantinya, harus didukung oleh semua pihak. Sudah cukup klub ini tidur dari mimpi indahnya. Kini saatnya bergegas bangun, karena nama besar klub ada di hati kalian. Wani!

*) Adipurno Widi Putranto, tinggal di Surabaya 7 hari setiap bulannya. Bisa ditemui di akun @analisiscetek atau [email protected]

Komentar Artikel

Iklan

No posts to display