Tulisan ini merupakan bagian dari serial tulisan tentang Persebaya dan bagaimana mengelola sebuah klub agar menjadi profesional. Diawali dengan belajar bagaimana pengelolaan klub di Thailand hingga pencarian sumber pendapatan agar Persebaya tetap bisa hidup.
***
Masih hangat ingatan kita tentang perhelatan Piala AFF 2016 yang menjadikan kita sebagai saksi betapa superiornya tim nasional Thailand menghempaskan Timnas. Thailand menjadi juara dengan mayoritas pemain muda. Meski ada beberapa pemain senior, tetapi the winning team mereka tetap berisikan pemain muda.
Kedigdayaan Thailand menguasai persepakbolaan di kawasan Asia Tenggara bukannya sebuah kebetulan yang tak disengaja. Mereka telah menjadi raja di Asia Tenggara sejak awal perhelatan turnamen terbesar di kawasan tersebut. Namun yang menjadi perhatian khalayak pada saat ini adalah kemampuan mereka untuk konsisten dalam kualitas yang menjadikan mereka juara Back to Back di tahun 2014 dan 2016.
Pembuktian hasil dari perencanaan 10 tahun lalu nampaknya sudah menemukan titik terangnya. Ya, Thailand memang sudah membuat masterplan jangka panjang guna mengarahkan kemana persepakbolaan mereka kedepannya. Hasil dari usaha tersebut bukan tidak mungkin akan menjadikan Thailand menjadi raja Asia Tenggara (lagi) di tahun 2018 dan semakin mengubur mimpi sang Garuda untuk memenangkan turnamen untuk pertama kalinya.
Banyak yang bertanya-tanya (termasuk saya) mengapa Thailand begitu keren, hebat, cantik mainnya, luwes pergerakannya, lincah, dan segala kekaguman-kekaguman yang tak terhitung ketika melihat timnas Thailand bermain. Pemain mereka semakin tahun semakin meningkat kualitasnya. Sedangkan kita cenderung stagnan.
Kekuatan tersebut bukan tanpa alasan, mereka telah merencanakan jauh-jauh hari karena mereka sadar bahwa Roma tak dapat dibangun hanya dengan semalam. Mereka juga pernah mengalami masa-masa sulit seperti kondisi persepakbolaan kita saat ini. Terpuruklah yang menjadikan mereka sadar bahwa sesungguhnya mereka tidak benar-benar memiliki kualitas seburuk itu. Kemudian mereka melakukan perombakan secara besar-besaran dan sistemastis untuk hasil yang lebih baik di kemudian hari.
Pembenahan liga menjadi dasar dan fokus utama yang mereka lakukan. Kebijakan yang konstruktif akan menghasilkan liga yang konstruktif pula. Mereka wani Bondo sehingga pantaslah mereka memiliki ekspektasi tinggi. Dengan adanya tim-tim yang (harus) profesional membuat para pengusaha di Thailand seperti mendapatkan angin segar dalam peluang bisnis mereka. Banyaknya pengusaha yang terjun ke dunia persepakbolaan juga menjadikan terbentuknya tim-tim profesional yang bagus dan keren-keren pastinya. Bisa anda cari di Google dengan kata pencarian: Buriram United.
Keren kan ?
Adanya klub profesional seperti Buriram United dapat mempengaruhi tim-tim lain di Thailand untuk berbenah menjadi tim profesional murni. Efeknya, kini banyak tim profesional murni di Liga Thailand. Bukti nyata telah dihasilkan dan dirasakan pemain, suporter, dan federasi. Kebanyakan, tim di Thailand sudah memiliki stadion, lapangan latihan beserta gym dan recovery center, marketing office, dan bahkan memiliki armada bus sendiri. Prestise serta pride sebuah klub otomatis juga akan meningkat seiring hasil dari usaha mereka selama ini. Dalam segi pembinaan, mereka juga menjalin kerjasama dalam berbagai hal dengan klub-klub liga eropa. Seperti Buriram United yang bekerjasama dengan Leicester City dalam hal pembinaan. Dari hasil tersebut, tak heran mereka memiliki kualitas liga yang maju dan berimbas pada outputnya yakni tim nasional.
Hasil output yang baik mereka (federasi Thailand) rasakan dari regulasi mereka yang baik pula. Kondisi tersebut hampir berbanding 180° dengan apa yang terjadi di Indonesia. Kurang kuatnya dan ketatnya regulasi di Indonesia membuat perkembangan klub tetap jalan di tempat. Berbagai regulasi beserta keruwetan yang telah mendarah daging diduga menjadi sebab mengapa liga di Indonesia masih belum menemui kata maju.
Berbagai masalah internal seperti tumpang tindih jabatan, tumpuk jabatan, masalah keuangan, masalah profesionalisme, serta masuknya kepentingan politik yang berujung kepada masalah mental menjadi penyakit utama yang harus disembuhkan. Permasalahan awal yang harus diatasi adalah masalah pendanaan. Saat ini, dengan peraturan liga di tahun 2011 yang mengharuskan tim-tim menjadi profesional membuat mereka harus melepaskan diri dari ketergantungan akan dana APBD.
Akibat dari regulasi, tak sedikit klub yang belum sehat pendanaannya sehingga banyak dari mereka ngos-ngosan mengarungi liga selama setahun. Belum lagi permasalahan suporter yang sudah menjadi lagu lama dalam persepakbolaan kita.
Kemajuan liga karena dengan meniru apa yang dilakukan Buriram United bisa dilakukan Persebaya. Saat ini, Green Force menjadi salah satu klub tertua dan telah menjadi salah satu ikon persepakbolaan nasional. Saya akan menganalogikan dengan Persebaya sebagai subjeknya beserta permasalahan yang sedang membelitnya.
Menurut analisis sederhana saya, dilihat dari image value sebuah klub di Indonesia, Persebaya duduk di jajaran atas sebagai klub yang paling dikenal di Indonesia.
Salah satu perkembangan terakhir tentang Persebaya adalah beralihnya kepemilikan mayoritas saham PT Persebaya Indonesia sebanyak 70% ke PT Jawa Pos Sportainment dan menjadikan Azrul Ananda sebagai Presiden klub. Dengan beralihnya mayoritas kepemilikan ke Jawa Pos yang memiliki ikatan historis dengan klub berjuluk Bajul Ijo tersebut, dapat dipastikan Persebaya kini dipegang oleh orang-orang yang dikenal telah sukses dalam pengembangan olahraga basket regional maupun nasional.
Optimisme muncul dari para penggemar akan masa depan yang lebih cerah karena Persebaya dipegang oleh orang yang telah berkompeten dalam dunia olahraga nasional. (Bersambung)