Jadwal Liga 2 yang dihelat hanya pada hari Senin sampai dengan Kamis mengundang protes suporter klub yang berasal dari Liga 2. Di linimasa media sosial, kicauan protes suporter yang dialamatkan pada PT Liga Indonesia Baru dan PSSI terus bergelora. Sementara itu di Surabaya, suporter Persebaya bahkan turun ke jalan. Emosi Jiwaku menulis dalam beritanya di tanggal 2 April 2017 menuliskan, “Sekitar 5.000-an Bonek turun ke jalan memprotes jadwal Liga 2 yang mereka anggap ngawur karena digelar pada hari kerja, Senin hingga Kamis. Mereka membawa banner, spanduk yang berisi tuntutan saat kegiatan Car Free Day di Jalan Raya Darmo, Minggu (2/4). Seperti diketahui, kebijakan tersebut karena mengakomodasi kepentingan TV One untuk bisa menyiarkan pertandingan Liga 2 agar tidak berbenturan dengan pertandingan Liga 1 yang digelar akhir pekan.”
Stasiun televisi pemegang hak siar pertandingan Liga Gojek Traveloka adalah TVOne, sebuah stasiun televisi yang berada di bawah payung kelompok bisnis media Viva. Selain memiliki TVOne, kelompok bisnis ini juga memiliki stasiun televisi ANTV. Jadwal pertandingan pun disesuaikan dengan permintaan stasiun televisi pemegang hak siar. Permintaan yang didasari pada rating, dimana stasiun televisi akan cenderung menyiarkan pertandingan sepak bola pada jam siar yang berpotensi memiliki rating tinggi dan klub yang bertanding.
Liga 1 dianakemaskan dengan dijadwalkan di akhir pekan, yang berpotensi rating tinggi dan di sisi lain tetap nyaman bagi fans klub Liga 1 untuk datang ke stadion guna menonton secara langsung. Sebaliknya Liga 2 disiarkan di awal sampai dengan tengah pekan. Jadwal yang tentu menyusahkan fans klub Liga 2 karena hari kerja. Maka secara sarkas bisa disebut bahwa rating telah membunuh jadwal ke stadiun para suporter Liga 2. Tribun stadion terancam sepi karena fans sepak bola dari klub Liga 2 kesusahan mengatur jadwal kerja dan ke stadion gara – gara rating menjadi anak emas otoritas sepak bola. Lalu apa sebenarnya rating dan anak kandung siapakah rating itu?
Fenomena bagaimana rating bisa berkuasa dalam isi siaran televisi bisa dijabarkan dari dominasi pengukuran rating oleh satu pihak saja. Adalah Survai Research Indonesia (SRI) yang mengawali pengukuran rating program televisi Indonesia pada tahun 1990. Kemunculan SRI tidak bisa dilepaskan dari pemberian ijin pada pihak swasta untuk mendirikan stasiun penyiaran oleh pemerintah di masa tersebut. Lampu hijau pemberian ijin pendirian lembaga penyiaran televisi swasta ini dibersamai dengan perijinan siaran niaga iklan di stasiun televisi swasta. Sebelumnya, siaran iklan niaga dilarang tayang di TVRI sejak dekade 1980-an. Kesempatan untuk beriklan di stasiun televisi swasta memberikan peluang bisnis untuk mengukur efektifitas program siaran televisi yang layak untuk diisi slot iklannya. Rating menjadi jawaban paling praktis tentang efektifitas penempatan iklan dalam program televisi, karena dianggap mewakili jumlah kepemirsaan suatu program televisi.
Puji Rianto dkk dalam buku Dominasi TV Swasta Nasional, Tergerusnya Keberagaman Isi dan Kepemilikan (2013) menyebutkan bahwa pada perkembangannya, SRI diambil alih oleh perusahaan riset pemasaran dari Amerika Serikat bernama AC Nielsen pada tahun 1994. Pengambilalihan ini sekaligus mengubah nama SRI menjadi AC Nielsen – SRI. Selanjutnya beberapa kali perusahaan ini berganti nama. Awalnya adalah AC Nielsen Media International, kemudian berganti nama lagi menjadi Nielsen Media Research (NMR). Secara internasional NMR adalah bagian dari kelompok usaha VNU Media Measurement & Information. Terakhir pada tahun 2004, membangun aliansi joint venture dengan AGB, penyelenggara survei kepemirsaan terbesar kedua di dunia. Aliansi ini sekaligus mengubah nama perusahaan ini menjadi AGB Nielsen Media Research. Melalui bendera AGB Nielsen Media Research, yang lazim disebut Nielsen, 30 negara menjadi wilayah risetnya, termasuk di dalamnya adalah Indonesia (Wirodono dalam Rianto dkk,2012:66).
Audience rating, yang kemudian hanya disebut sebagai rating, bisa diartikan sebagai persentase individu atau rumah tangga dalam populasi yang menggunakan televisi untuk stasiun televisi yang spesifik, kanal atau jaringan televisi. Oleh karena itu rating, diekspresikan sebagai khalayak stasiun atau jaringan televisi dibagi total jumlah rumah tangga atau individu penonton televisi dalam target populasi. Sementara itu, angka rating dari seluruh stasiun televisi bisa didapat dengan menghitung HUT (House Using Television). HUT merupakan kombinasi rating dari stasiun televisi atau seluruh jaringan pada periode tertentu. HUT dapat diperoleh dengan dengan menambahkan secara bersamaan rumah tangga-rumah tangga atau individu-individu yang menggunakan televisi, atau menghitung total rating dan mengalikannya dengan sampel saat itu (atau populasi jika digeneralisasikan) (Yusuf dan Utami dalam Rianto dkk,2012:66-67).
Selain angka rating, jumlah audience share juga diangkap angka yang ”magis” dalam menentukan program televisi yang layak jual atau tidak. Audience share berarti persentase dari HUT yang menyalakan pesawat televisinya pada stasiun, saluran atau jaringan tertentu. Jika audience share televisi X adalah p%, maka hal ini berarti bahwa jumlah penonton televisi X adalah p% dari keseluruhan atau total penonton televisi pada saat yang bersamaan.
Rating diukur dengan menggunakan alat yang dinamakan people meter. Alat ini oleh penyelenggara rating, ditanam pada sampel artinya tidak semua pesawat televisi di sebuah negara dilengkapi dengan people meter. Anehnya, walaupun tidak diletakan pada semua pesawat televisi, angka rating yang dihasilkan oleh people meter dianggap akurat oleh kalangan industri penyiaran televisi. Hal ini setidaknya diperlihatkan dengan digunakannya angka rating untuk menilai prestasi sebuah program siaran. Nielsen juga tidak pernah terbuka menyebutkan dimana people meter ditempatkan.
Maka bisa didedah dengan kajian ekonomi politik media, bahwa penempatkan jadwal pertandingan Liga 2 hanya pada hari Senin sampai dengan Kamis tidak bisa dilepaskan dari kepentingan kelompok usaha Viva yang memayungi TVOne untuk memeroleh rating yang tinggi dari pertandingan Liga 1, yang dianggap lebih prestisius oleh stasiun televisi, di akhir pekan dan serempak tetap mendapatkan rating yang layak dijual kepada pengiklan dari pertandingan Liga 2 yang dimainkan di awal sampai dengan tengah pekan. Dalam logika rating televisi, penonton atau audiens sebenarnya adalah aset yang didapatkan oleh stasiun televisi untuk dijual kepada para pengiklan, tanpa disadari oleh penonton. Bahwa benar menonton televisi, terutama televisi terrestrial, sifatnya gratis tanpa perlu membayar kepada stasiun televisi. Namun perlu disadari bahwa akumulasi dari jumlah individu yang menonton itu dikomodifikasi oleh stasiun televisi untuk dijual kepada pengiklan.
Tentang bagaimana relasi audiens dan media yang seperti ini telah disebutkan oleh Eoin Devereux dalam bukunya Understanding The Media (2003), yang menyebutkan bahwa konglomerasi media massa, terutama media televisi, telah menabalkan redefinisi audiens sebagai konsumen bukan lagi sebagai warga. Hal ini berimplikasi pada akses yang tidak setara terhadap isi media dan teknologi media. Akar dari persoalannya adalah, kekuatan ekonomi politik dari individu yang menguasai kekaisaran media (Devereux,2003:54). Kini kekaisaran media televisi di Indonesia bahkan berkuasa mengatur jadwal Liga 2. Apa yang perlu dilakukan oleh suporter sepak bola, terutama dari klub Liga 2, sebagai pihak yang paling dirugikan? Jawabnya ada dua, pertama, “kaum suporter dari Liga 2 bersatulah!” dan “cukup satu kata: lawan!”. (*)
Fajar Junaedi, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Peneliti dan penulis komunikasi dan sepak bola. Twitter @fajarjun