“Boikot!” “Kosongkan Tribun!” “Lawan Manajemen!”
Kemarin (4/3), beberapa kata-kata tersebut seketika memenuhi linimasa twitter saya. Kata-kata tersebut dituliskan para Bonek yang ditujukan pada manajemen Persebaya.
Segalanya berawal ketika manajemen mengeluarkan terobosan Bonek Card. Kartu anggota Bonek yang dikeluarkan manajemen yang merangkap sebagai tiket terusan juga.
Sejujurnya, saya sendiri bingung tentang apa yang dipermasalahkan oleh arek-arek ini. Jika tiket terusan ini yang dipermasalahkan, hal ini sangatlah lucu karena sejatinya terobosan ini sudah lama didambakan oleh para Bonek.
Memang, beberapa hari sebelumnya ramai diperbincangkan perihal laga di Liga 2 hanya berlangsung di weekdays saja. Tapi jika ini yang dipermasalahkan, tentu tidak masuk akal jika kita mengecam manajemen karena bukan ranah mereka untuk mengatur itu.
Saya percaya seribu persen jikalau disuruh memilih, manajemen pasti akan memilih Persebaya untuk bertanding di akhir pekan tanpa siaran langsung. Kenapa begitu? Fee yang didapat dari siaran langsung tersebut tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan omzet manajemen yang didapat dari penjualan tiket jika stadion penuh.
Namun, itu kembali lagi kepada jika manajemen bisa memilih. Karena yang berwenang perihal tersebut adalah operator liga. Bukan manajemen. Jika memang nanti Persebaya kebagian jatah bermain di tengah pekan, tentu manajemen tak bisa apa-apa. Apa iya kita harus keluar dari federasi dan buat Liga baru lagi karena tidak sepaham dengan operator liga?
Yang kedua, mungkin tiket pertandingan On The Spot yang kabarnya akan dijual manajemen seharga Rp 50 ribu dan dirasa kelewat mahal. Untuk ini memang sifatnya relatif. Namun, saya pribadi mempunyai analogi yang rasional mengenai hal ini.
Empat tahun lalu, saat masih berlaga di IPL, tiket ekonomi pertandingan Persebaya ini adalah sebesar Rp 25 ribu. Value of money atau nilai dari nominal uang tersebut berbeda dengan saat ini. Karena dibarengi dengan inflasi dan segala macamnya. Contohnya adalah perbedaan UMK Kota Surabaya tahun 2013 lalu yang sebesar Rp 1,74 juta. Bandingkan dengan tahun ini UMK Kota Surabaya 2017 ini sebesar Rp 3,29 juta.
Hal di sini yang ingin saya sampaikan bahwa ada perbedaaan dari sisi ekonomi mengenai hal ini. Ada perbedaan perihal biaya kebutuhan tim dari dari hlu ke hilir empat tahun lalu dengan saat ini. Semua harga ikut naik. Simpelnya, sama seperti harga bahan pokok yang dari waktu ke waktu makin mahal. Terlebih, dengan harga tiket empat tahun lalu, manajemen lama menyisakan hutang gaji pemain yang milyaran rupiah yang tidak dibayar.
Jika memang tiket OTS dirasa kemahalan, toh manajemen punya inovasi dengan tiket terusan yang beru dikeluarkan itu. Jika dirata-rata, harganya kurang dari Rp 30 ribu per pertandingan.
Jika banyak yang menjustifikasi manajemen yang hanya mencari keuntungan semata, saya rasa tidak demikian. Saya yakin dua bulan memegang kendali Persebaya, dengan pemasukan dari Homecoming Game dan merchandise resmi, masih belum bisa menyeimbangkan neraca keuangan yang belum-belum minus untuk membayar hutang gaji pemain yang diwariskan manajemen lama.
Dan yang terakhir, yang saya tangkap dari protes arek-arek ini adalah rasa kecewa mereka karena tidak disertakannya mereka perihal beberapa keputusan yang diambil oleh manajemen. Tentu, Bonek boleh kecewa dengan hal ini. Namun, alangkah baiknya jika Bonek mengundang secara resmi perwakilan Bonek jika benar ada yang ingin didiskusikan. Seperti halnya manajemen mengundang Bonek secara resmi saat acara Bonek Conference lalu.
Terlepas dari seluruh kekecewaaan Bonek, saya pribadi merasa terlalu berlebihan jika rasanya harus sampai memboikot pertandingan atau mengosongkan tribun. Terlebih manajemen ini baru seumur jagung mengelola Persebaya. Mereka juga saat ini tengah sibuk dengan urusan persiapan tim menjelang bergulirnya Liga 2 dalam waktu dekat ini.
Jika sedikit-sedikit sudah dicibir sana-sini, lalu bagaimana mereka bisa bekerja maksimal? Bagaimana kita bisa mengharapkan Persebaya bisa berprestasi dengan promosi ke Liga 1 jika kita sendiri masih gontok-gontokan?
Tulisan ini adalah murni opini pribadi saya yang tidak terafiliasi oleh pihak manapun. Baik itu manajemen, atau komunitas Bonek tertentu. Salam Satu Nyali, Wani!