Kekerasan sebenarnya sebentuk kebodohan juga. Manusia yang cerdas dengan sendirinya tidak suka kekerasan karena manusia yang suka kekerasan lebih dekat dengan dunia binatang buas daripada makhluk manusia yang bermartabat. Jika kekerasan bodoh menjawab kekerasan yang bodoh juga, akan ke mana nasion kita? (Y.B. Mangunwijaya, Politik Hati Nurani).
Laga melawan PSIM (18/05) telah usai. Hasil imbang menjadi buah tangan para elemen Persebaya yang hadir di Stadion Sultan Agung (SSA), Bantul. Meski demikian, berhentinya pertandingan tidak lantas hanya menyisakan telapak kaki di lapangan. Suatu kritik permainan, analisis taktik, serta kejadian-kejadian yang mengitari perjumpaan kedua tim pendiri PSSI itu, pun musti dihadirkan. Terlebih bagi suporter tim tamu-Bonek Mania-, pemberian catatan sebagaimana tersebut di atas tampaknya wajib dituliskan, terutama mengenai perbedaan atmosfer sebelum masuk stadion, bahwa apa yang dilakukan Panpel laga kemarin sangat jauh berbeda dengan yang dialami Bonek tatkala hadir di rumahnya sendiri, Surabaya, penulis yakin itu. Walhasil, meski Panpel laga kemarin tidak terlalu mendikte dan arogan ‘ketat’ dalam memeriksa suporter, tetapi sama sekali tidak muncul hal-hal yang dilarang, seperti flare dan sajam. Suporter telah dewasa sekaligus membantah tuduhan miring pelaksana laga.
Bandingkan dengan laga di kandang sendiri, Gelora Bung Tomo (GBT), khususnya saat Persebaya menjamu Madiun Putra. Terdapat ambivalensi yang tercipta di laga tersebut, seperti yang dipaparkan oleh sedulur atas nama ‘Greennord27’–mohon maaf, penulis tidak menonton langsung laga Persebaya vs Madiun Putra. Dalam update-annya, bukan pesan kritis untuk Iwan Setiawan yang tidak mampu membuktikan rasisme omongan ‘sepak bola’ kampung kepada tim tamu-sebab terkait ini, siapapun pasti sudah mengatai-yang membuat penulis terbelalak, melainkan ujaran di bawah foto yang menampakkan pemuda dengan baliho barang-barang yang dilarang dalam stadion dari Liga Indonesia Baru, sebagai berikut:
“Di sini sudah sangat jelas larangan dari operator liga terkait apa saja yang tidak boleh dibawa saat masuk ke stadion. Tapi faktanya di lapangan? Mulai dari roll paper, kertas koreo, stick untuk GF (joran), mini flag, sabuk hingga Tupperware disita oleh panpel. Kita sudah berusaha untuk mengikuti #NoFlareNoProblem karena kami menganggap masih banyak cara untuk mendukung Persebaya tanpa flare…”
Penulis lantas tabayyun ke beberapa teman yang hadir di GBT. Semuanya-tanpa terkecuali-mengaku bahwa Panitia Pelaksana (Panpel) memang betul melakukan tindakan penyitaan barang-barang yang padahal tidak dicantumkan di dalam teks regulasi.
Dari kejadian itu, penulis melempar hipotesa, bahwa ternyata manajemen berikut Panpel laga rumah Persebaya tak kunjung menyadari betapa arogannya logika dan teknis yang dijalankan; betapa bebalnya dalam memahami aturan-aturan yang menjelaskan Prohibited items (baca Annexe C dalam FIFA Stadium Safety and Security Regulations); dan betapa sempitnya pikiran yang lebih memikirkan ‘aliran bola pun dana’ daripada keselamatan pecinta sepak bola. Izinkan penulis membuktikan hipotesa demikian. Meski penulis mengambil contoh dari laga yang sudah lama itu, tetapi tampaknya bias-dan semoga layak-dijadikan bahan evaluasi diri.
Melek Regulasi
Agree on procedures for accommodating all spectators, including those with disabilities, the elderly, and children and, where appropriate, supporters of visiting teams (FIFA Stadium Safety…, h. 17).
Kalimat yang ada dalam aturan FIFA di atas dengan tegas menandaskan bahwa prosedur yang diterapkan oleh pihak manapun, mustilah mengakomodir kepentingan-pun kebutuhan-para penonton dari berbagai latar belakang. Payung hukum tersebut secara substantif telah memberi proteksi yang diharapkan bisa menghilangkan rasa khawatir terhadap kemungkinan buruk yang terjadi. Itu berarti, FIFA sebagai induk persepakbolaan dunia menunjukkan sisi humanisme-meski kadang kala secara prakteknya jauh dari kata ‘ideal’-dalam sepak bola.
Kemudian jika dokumen regulasi FIFA tersebut diteruskan, maka terdapat aturan yang memberi hak otonom kepada federasi sepak bola lokal untuk membuat keputusan sesuai dengan kebutuhan apalagi di tengah emergensi. Akan tetapi, federasi terkait-misal di Indonesia yakni PSSI-dalam menetapkan aturan itu kudu berkonsultasi kepada pegawai keamanan stadion, polisi, pemadam kebakaran dan penyedia ambulan, pemegang otoritas kesehatan lokal, otoritas pemerintah daerah, dan event organiser. Pertanyaannya-terkait dengan bahasan tulisan ini-, apakah PSSI melarang kertas koreo masuk ke dalam stadion? Jika pembaca menjawab ‘iya’, penulis sarankan untuk membaca kembali aturan agar tak terlampau bebal.
Ya, sering kali terjadi anomali dalam ranah praksis perjalanan kompetisi, terutama yang dilakukan oleh Panpel. Sejujurnya, penyelewengan yang terjadi sering kali diakibatkan karena sentimen-termasuk rasa khawatir yang tak berdasar-sebab tidak memahami basic rule, atau memahami aturan tetapi tidak bisa mensinkronkannya dengan kondisi lapangan. Tampaknya, sentiment ini sudah benar-benar menjelma menjadi-apa yang disebut Tri Guntur Narwaya (2010) sebagai-‘Stigma Kuasa’, yakni proses politik pelabelan yang senantiasa mencengkram pikiran-otomatis memberi pengaruh ke emosi-untuk memberi kesan bahwa ‘yang terkait’-dalam hal ini, Bonek-adalah gerombolan perusuh. Sentimen tersebut sudah terkulminasi hingga melahirkan justifikasi ketidakpercayaan terhadap para suporter: Bonek. Oleh karenanya, Panpel dengan ketat melakukan gaya delusi (khayal) ‘antisipasi’ seakan-akan sedang berhadapan dengan pelaku kriminal yang bersembunyi di balik kaos Bonek. Bukti paling nyata adalah, bahwa Panpel tidak peduli dengan regulasi resmi yang telah memberi batasan terkait barang apa saja yang tidak boleh masuk stadion. Dengan arogan, Panpel hampir merazia semua yang dipakai dan dibawa Bonek dengan apologi ‘keamanan’.
Jikalau yang dilakukan oleh Panpel sesuai dengan prosedur-misalkan merampas alkohol, pyro, dan sajam-, tentu penulis tidak akan melempar kritik-resistentif. Akan tetapi,-penulis ulangi-hampir semua barang, bahkan kertas koreo pun ikut disita. Pertanyaannya, apakah masuk akal yang demikian-arogansi Panpel?. Jika jawaban pembaca adalah ‘iya’, maka tampaknya benar perkataan KH. A. Wahid Hasyim (1952):
“Dilihat dari jurusan ini, saying sekali bahwa caranya orang sekarang memecahkan soal tidak dengan menggunakan common-sense (perasaan halus atau kebijaksanaan) di sampingnya otak, tetapi dengan memakai otak semata-mata dan menyampingkan common sense, baik untuk menyelesaikan soal-soal keruwetan-keruwetan ekonomi, gangguan-gangguan keamanan, kelemahan-kelemahan kebudayaan, ataupun lain-lainnya.”
Bagaimana mungkin bisa dikatakan profesional-yang berarti melakukan tugasnya sesuai dengan protokol dan peraturan-, ketika tetiba Panpel malah keluar dari batas yang ditetapkan? Salahkah jika kami-Bonek Mania-mengganti kata ‘Panpel profesional’ dengan lebel ‘Panpel adalah orang-orang bebal-yang tidak dapat menguasai keadaan dan memahami bahwa kerja keras merupakan kriteria kejayaan (Syed Hossein Al-Attas, 1988)’-, tatkala persoalan ‘mengamankan’ pun masih mengikuti diskursus yang diciptakan media mainstream-bahwa Bonek tak lebih dari pembuat onar, suatu diskursus yang sudah terbantahkan dengan sendirinya-, bukan pada regulasi yang sudah ada?.
Teruntuk Panpel
Sebagaimana nasihat orang tua agar pandai memberi solusi bukan fasih memaki-maki, maka penulis di bagian-hampir-akhir ini memberikan sedikit catatan. Pertama, Panpel silahkan melakukan pengamanan sesuai dengan kapasitasnya. Akan tetapi, karena regulasi secara explisit menegaskan ‘keadilan’ bagi semua komponen, termasuk suporter, maka segala bentuk tindakan di luar batas-disebut juga I’tida’ (tindakan yang keluar dari regulasi) sebagaimana dalil QS. Al-Baqarah: 190: Innallaha laa yuhibbul mu’tadin (Gusti Allah geting kepada orang-orang yang melampui batas)-adalah ketidakjujuran yang tentu berimplikasi ke arah merugikan klub. Mengapa? Sebab esensi keadilan adalah kejujuran- sebagaimana John Rawls (1971) menegaskan. Oleh karena itu, ketidakadilan-tolak ukur penulis adalah ijma’ (kesepakatan) akan adanya ‘penyelewengan aturan’ yang dirasakan oleh Bonek dan efek samping bagi klub-yang diciptakan oleh Panpel tak ubahnya seperti mencuri aset Persebaya-bahwa Bonek dan Persebaya merupakan satu kesatuan yang diikat oleh rasa kepemilikan dan cita yang kuat, sebagaimana Oryza menjelaskannya dalam Imagined Persebaya (2015).
Akhirnya, mari refleksikan (angen-angen): laisa al-‘aqil al-ladzi yakhtaru al-khaira min as-syarri, wa lakinnahu al-ladzi yakhtaru khaira as-syarrain (Bukanlah orang yang berakal itu orang yang dapat memilih antara suatu kebaikan dan keburukan. Akan tetapi yang dimaksud berakal ialah orang yang sanggup memilih hal baik di antara dua hal yang buruk) –KH. A. Wahid Hasyim. (*)
*) Ferhadz Ammar Muhammad, Kalijaga Class Bonek Jogja