90 tahun Persebaya, Api Perlawanan Yang Tak Pernah Padam

Foto: Joko Kristiono/EJ
Iklan

Kota Surabaya, sejak awal lahirnya memang dikenal dengan kota yang penuh perlawanan. Sejarah lahirnya Surabaya sendiri, 31 Mei 1293, merupakan hari di mana Raden Wijaya, pendiri kerajaan Majapahit, memenangkan pertempuran melawan tentara Kubilai Khan dari Cina hingga mereka terdesak dan terusir dari Ujung Galuh, muara Kalimas.

Di tahun 1900-an, di kota ini lahir Soekarno yang kelak menjadi presiden pertama RI. Di kota ini pula, para ideolog ideolog besar lahir dan berkembang. Ada Tjokroaminoto, yang tinggal di kawasan Peneleh Surabaya. Tempat tersebut dijadikan kos dan sarana diskusi tokoh bangsa macam Soekarno, Ahmad Dahlan, KH Mas Mansyur, Kartosuwiryo (pendiri DI/TII), Semaoen, Musso (tokoh PKI).

Di tahun 1927, orang-orang pribumi di Surabaya mendirikan klub sepakbola bernama SIVB. Pribumi di sini bukan merujuk etnis tertentu, melainkan kalangan non orang belanda. Ada etnis Arab yang menghuni kawasan Ampel, ada etnis Tionghoa, etnis Jawa, yang kemudian mendirikan SIVB (Soerabaiasche Indonesische Voetbal Bond) sebagai alat perlawanan dalam melawan pemerintah kolonial belanda. SIVB merupakan klub yang menggunakan nama Indonesia sebelum Sumpah Pemuda tahun 1928. Padahal saat itu Indonesia belum merdeka dan berada di bawah pemerintahan kolonial. Tentu dengan penggunaan nama indonesia, semakin mempertegas posisi SIVB sebagai alat propaganda kemerdekaan meskipun lewat bidang olahraga.

Di tahun 45, kota Surabaya kembali menjadi medan pertempuran melawan pemerintah kolonial. Pertempuan 10 November yang memakan korban jiwa Malabby, yang memunculkan tokoh macam Bung Tomo atau tokoh bawah tanah macam Soemarsono. Kembali, dengan heroiknya kota Surabaya menjadi simbol perlawanan di zaman kemerdekaan.

Iklan

Di tahun 2010-2016, Persebaya yang lekat dengan Surabaya kembali harus menunjukkan semangat perlawanannya menghadapi kebobrokan federasi sepakbola PSSI. Hingga akhirnya persebaya harus absen beberapa tahun di pesebakbolaan nasional. Selama itu pula, Bonek, suporter Persebaya melakukan aksi-aksi perlawanan agar klub kebanggaannya bisa berkompetisi lagi.

Mungkin di dunia, hanya Persebaya sajalah, klub sepak bola yang tetap memiliki pendukung fanatik meskipun klubnya tidak bertanding di kompetisi resmi. Bandingkan dengan klub tetangga sebelah, yang suporternya beralih mendukung tim kloningan, atau bahkan sama sekali tidak berbuat apa-apa agar timnya diakui oleh federasi.

Semangat perlawanan inilah yang menjadi nyawa arek-arek Bonek, semangat perlawanan yang sudah ada sejak masa lampau. Berkali-kali melakukan aksi massa sebagai bentuk protes dan tekanan kepada PSSI agar tim kesayangannya diperbolehkan berlaga kembali di kompetisi resmi PSSI. Tak ada perjuangan yang sia-sia, setelah menunggu bertahun-tahun hingga akhirnya lewat kongres PSSI, Persebaya diperbolekan kembali berkiprah di kompetisi sepak bola nasional.

Kini, Persebaya sudah kembali. Pengelolanya pun diklaim sebagai pengelola profesional yang lepas dari campur tangan APBD dan lepas dari kepentingan politis. Seperti kita ketahui, sejak era 2000-an hingga sebelum Persebaya di “banned” oleh federasi, Persebaya selalu erat dengan kepentingan politis.

Menarik dilihat ke depan, apakah sang Presiden Persebaya Cak AA (Azrul ananda) akan menggunakan Persebaya demi target politiknya atau tidak. Kita tentu tidak tahu mengingat politik itu dinamis. Selain presiden klub, AA juga memegang koran Jawa Pos, salah satu media terkemuka di indonesia. Di sisi lain, kiprah Cak AA di dunia olahraga tentu tidak perlu diragukan. Lewat DBL (deteksi baskeball league) dan NBL, olahraga basket menjadi bergairah di tanah air. Saya masih ingat waktu SMA, kalau ada teman yang bertanding di DBL, maka ia akan memiliki banyak fans di sekolah. Di tangan AA, basket menjadi sebuah hiburan.

Tentu, menarik pula untuk dilihat apakah Bonek mampu mengikuti alur manajemen profesional ala Jawa Pos, dan mampu mengubah dirinya menjadi nekat dan kreatif serta tetap memelihara semangat perlawanan ala arek-arek Suroboyo. Para pemain di lapangan juga harus mewarisi spirit perlawanan khas arek-arek Suroboyo yang pantang menyerah dan tak kenal lelah. Berjuanglah dengan sebaik-baiknya, dengan sehormat hormatnya.

Selamat ulang tahun Persebaya. Tempatmu bukan di liga 2, tapi di kasta tertinggi kompetisi sepak bola Indonesia.

Semangat kami, tak pernah padam. Suara kami pun tak kan pernah hilang. Yakinilah bahwa kau tak sendirian, di sini kami selalu mendukungmu.

*) Hendraven, gibol dan penggemar Surabaya.

Komentar Artikel

Iklan

No posts to display