Sebuah daerah akan bertambah maju jika bisa mendatangkan investor. Kedatangan para pemilik modal yang menanamkan uangnya akan membuat sebuah daerah bisa berkembang. Uang tersebut akan diputar sehingga membantu perekonomian daerah tersebut.
Surabaya membutuhkan investasi untuk membuat perekonomian kota berpenduduk tiga juta jiwa ini semakin maju. Sebagai kota terbesar kedua setelah Jakarta, Surabaya menjadi tujuan investasi yang menarik. Meski begitu, Pemkot tetap berusaha menarik para investor agar mau berinvestasi di Surabaya.
Dari kacamata itu, pemilik Persebaya saat ini yakni PT Jawa Pos Sportainment (JPS) merupakan salah satu investor. Miliaran rupiah telah diinvestasikan PT JPS untuk bisa mengelola Persebaya. Perusahaan di bawah Jawa Pos Group ini dengan berani mengeluarkan uangnya membeli sebuah perusahaan (Baca: PT PI) yang bahkan tidak mempunyai aset. Hanya nama besar Persebaya yang membuat PT JPS mau berinvestasi.
Hadirnya PT JPS sebagai pemilik baru menggairahkan persepakbolaan di Surabaya. Bonek sebagai “pemilik” Persebaya juga menyambut hangat. Tak hanya gairah yang muncul, dampak positif dari sisi bisnis mulai dirasakan. Lapangan pekerjaan baru bermunculan. Terlebih saat Persebaya bertanding. Tukang parkir stadion, penjual makanan dan minuman, penjual atribut Persebaya adalah sebagian pekerjaan yang muncul setelah sebelumnya tiarap akibat tidak adanya pertandingan. Belum lagi profesi-profesi lain yang dilibatkan panpel Persebaya. Jangan heran jika perputaran uang bisa mencapai miliaran rupiah setiap Persebaya berlaga.
Kebangkitan Persebaya juga dibarengi dengan berputarnya kompetisi internal. Ribuan pemain muda kini bisa mengikuti ajang sepak bola terbesar di Surabaya. Belum lagi anak-anak yang ikut SSB yang kini kembali mempunyai cita-cita bermain di klub kebanggaan kotanya, Persebaya.
Relasi Pemkot-Persebaya
Hubungan antara Pemkot dengan Persebaya memang tidak seperti dulu. Jangan berharap Wali Kota Surabaya sekarang bisa seperti Wali Kota Surabaya jaman dulu saat Persebaya masih mendapat asupan dana APBD. Rasanya mimpi jika Tri Rismaharini berubah menjadi Poernomo Kasidi atau Cak Narto yang memperlakukan Persebaya seperti anak emas yang selalu dituruti apa maunya. Jaman sudah berbeda. Kita harus menyadari hal itu.
Risma pernah berujar jika ia tidak mau ikut campur masalah Persebaya karena takut dipenjara. Larangan penggunaan APBD untuk klub profesional memang membuat pejabat pemerintahan tidak boleh lagi mengucurkan dana. Alasan ini bisa diterima. Namun Pemkot tidak dilarang memberi insentif kepada investornya. Apakah insentif itu harus berwujud uang? Tentu tidak.
Insentif yang bisa diberikan antara lain keringanan pajak atau biaya-biaya yang dikeluarkan pemilik Persebaya. Ini tentu akan meringankan pemilik dalam pengelolaan. Pemkot bisa memberi potongan biaya sewa Stadion GBT setiap Persebaya latihan atau berlaga. Bisa juga memberi keringanan biaya atas penggunaan fasilitas milik Pemkot. Belum lagi keringanan pajak pendapatan yang diterima Persebaya. Ini secara tidak langsung akan membantu keuangan Green Force sehingga bisa menekan pengeluaran.
Selain itu, Pemkot bisa mempermudah perijinan untuk setiap agenda yang diadakan Persebaya. Seperti contohnya saat Persebaya ingin menggunakan Gelora 10 Nopember (G10N), Tambaksari, menggantikan GBT. Manajemen mengaku telah menyampaikan keinginan tersebut kepada Pemkot. Sayangnya hingga kini, belum ada lampu hijau dari Pemkot. Padahal laga melawan Persatu harus digelar dalam beberapa hari.
Tidak seperti Pemkot, pengelola Gelora Delta Sidoarjo (GDS) langsung bergerak cepat saat Persebaya mengurus ijin pemakaian stadion kandang Deltras tersebut. Bahkan, Bupati Sidoarjo, Saiful Illah menyambut positif rencana Persebaya menjadikan GDS sebagai stadion alternatif jika G10N tidak disetujui. Hadirnya Persebaya di Sidoarjo tentu akan membawa berkah bagi masyarakat setempat, terutama dari sisi ekonomi. Mungkin ini yang ada di benak Saiful Illah.
Ini yang mengherankan. Mengapa malah tetangga sebelah yang dengan cekatan memberi kemudahan kepada manajemen Persebaya? Bukankah Persebaya masih membawa nama Surabaya? Mengapa Sidoarjo yang langsung memberi respon bukan kota sendiri?
Pertanyaan-pertanyaan di atas wajar jika ditanyakan para Bonek asal Surabaya. Bukannya tidak mau bertanding di Sidoarjo, namun semestinya Persebaya bertanding di kota sendiri.
Kembali lagi dari kacamata investasi, hal ini bisa menjadi preseden buruk terkait hubungan antara Pemkot dengan investor. Tak sepantasnya investor diperlakukan seperti ini. Jika tidak mau mengakui Persebaya sebagai aset kota, setidaknya beri kemudahan kepada pemiliknya dalam pengelolaan. Pemkot pastinya tidak ingin investor Persebaya kapok dalam menginvestasikan uangnya, bukan?
Ke depan, tantangan Persebaya sangat berat. Target promosi ke Liga 1 menjadi beban yang harus dipikul pemilik Persebaya. Jika Bonek dengan sepenuh hatinya mau berkorban demi Persebaya, Pemkot diharapkan mau mendukung dari sisi lain sesuai porsinya. Dukungan tak harus menghadiri undangan setiap Persebaya berlaga namun memberi kemudahan kepada pemilik Persebaya dalam pengelolaan.
Ayo Pemkot, buktikan jika kota ini ramah bagi semua investor, tak terkecuali investor Persebaya.
Salam redaksi