“… Bagaimanapun ia hidup di dunia manusia. kebaikan harus tetap dibela. Walau baik tak pernah total menghabiskan buruk. Walau terang tak pernah total menghabiskan gelap.” (Denny JA, 2016)
Dengan hormat, la’allakum tatafakkarūn
Sebelumnya kami haturkan rasa hormat kepada Kepala Kepolisian Resor Kota (Polresta) beserta jajarannya, selaku pemegang otoritas tertinggi dalam hal pemberian izin laga Persebaya melawan Madiun Putra. Selanjutnya perlu kami sampaikan di balik tertulisnya surat ini, yakni tidak lain merupakan puncak dari emosi dan permohonan agar laga Persebaya di stadion Madiun Putra bisa terbuka seperti sepak bola normal pada umumnya: tanpa settingan, dan terbebas dari keputusan yang patut ditertawakan. Kami benar-benar berharap agar tulisan ini menjadi refleksi bersama dan mampu menjadi pintu pertimbangan kaitannya dengan laga besok Kamis, 20 Juli 2017.
Baiklah, kami akan awali isi tulisan ini dengan mengajak anda sekalian menginterpretasikan ketekadan Bonek dalam menemani Persebaya meski laga yang digelar tanpa penonton.
Tepat hari-H, baik di saat menghadapi PSBI Blitar di Stadion Sultan Agung maupun melawan Persinga Ngawi di Ketonggo, Bonek berangkat menuju stadion tempat Persebaya berlaga untuk memberikan semangat sebagaimana lumrah-nya; tidak peduli dengan keputusan panitia pelaksana yang melarang pertandingan diramaikan oleh penonton. Apa yang melatari tekad demikian? Pertama, terlepas dari status kami sebagai bagian dari Bonek, harus diakui secara jujur, bahwa keputusan yang disematkan sangat jauh dari kesan fair play. Kami paham betul, bahwa setiap penyelenggaraan agenda yang memuat unsur keramaian haruslah mendapat izin dari pihak berwenang, dalam hal ini adalah Kepolisian. Tetapi dalam konteks ini–laga Persebaya–tampaknya tidak bisa dibenarkan dan terkesan arogan jika aparat berwenang serta merta menerbitkan keputusan dengan tidak memberi rasionalisasi lewat informasi publik secara terbuka; membuka percakapan dengan berbagai elemen yang berkaitan dengan laga, termasuk suporter, bahwa laga diselenggarakan tanpa penonton.
Kami sadar betul, bahwa UU Nomor 02 Tahun 2002 Pasal 18 ayat (1) menegaskan jikalau untuk kepentingan umum, maka pejabat Kepolisian dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri, akan tetapi–pada ayat (2)–semua itu musti berdasar kode etik–maksud penulis merujuk pada Kode Etik Kepolisian Pasal 10 ayat (3), bahwa keputusan itu harus mendengar pendapat semua pihak terkait–sekali lagi: termasuk suporter–agar tetap masuk akal dan berkeadilan. Pertanyaannya, apakah rasional dan adil jika alasan keamanan digunakan sebagai alibi, padahal Bonek tidak berbuat anarki dan Persebaya tidak dalam sanksi?. Lagian, jika memang kasusnya adalah “dirasa stadion tidak kondusif untuk menampung suporter”, maka Kepolisian bisa saja menegur pihak Panpel tuan rumah sebagai pentuk ketaatan dan kepatuhan terhadap “tindak pencegahan” dari hal-hal yang tidak diinginkan seperti UU Kepolisian Pasal 19 ayat (2) menegaskan, bukan malah mengusir dan memukul mundur beberapa suporter (baca: Bonek) yang hadir di sekitaran lapangan dengan alasan “menjaga keamanan”.
Kedua, percayalah, Bonek tidak seperti yang kalian takutkan. Dalam hal ini, kami tidak hendak menasehati, tetapi penting untuk direnungkan kembali perkataan Denny JA: Baik dan buruk semata adalah persepsi. Itu berarti, kami memohon kepada anda agar membuka diri untuk lebih turun lagi ke basis, melihat Bonek yang betul-betul berwajah ramah selama tidak direndahkan. Agar lebih paham maksud kami, berikut ada dialog menarik yang disematkan dalam buku Max Havelar karya Multatuli, yang bisa menggambarkan betapa kejamnya persepsi buruk yang ditimpakan kepada Bonek oleh media mainstream dan kelompok di luar kami yang tak berani unjuk gigi.
Polisi: Tuanku, inilah lelaki yang membunuh Bethsy
Hakim: Dia harus digantung. Bagaimana cara dia melakukannya?
Polisi: Dia mencincang dan menggarami tubuh Bethsy.
Hakim: Dia penjahat besar. Dia harus digantung.
Lothario: Tuanku, saya tidak membunuh Bethsy; saya memberinya makanan, pakaian, dan merawatnya. Saya bisa memanggil saksi-saksi yang akan membuktikan bahwa saya lelaki baik, dan bukan pembunuh.
Hakim: Kau harus digantung. Kau memperparah kejahatanmu dengan kesombongan. Tidaklah pantas bagi seseorang yang … dituduh bersalah untuk menganggap dirinya orang baik.
Lothario: Tapi, Tuanku … ada saksi-saksi yang bisa membuktikannya; dan karena saya dituduh membunuh …
Hakim: Kau harus digantung. Kau mencincang Bethsy–kau menggarami potongan-potongan tubuhnya–dan kau merasa puas dengan perbuatanmu–tiga tuduhan berat–siapakah kau wahai perempuan?
Perempuan: Saya Bethsy.
Lothario: Syukurlah! Lihat, Tuanku, saya tidak membunuhnya.
Hakim: Hmh!–ya–begitu!–bagaimana dengan penggaramannya?
Bethsy: Tidak, Tuanku, dia tidak menggarami saya–sebaliknya, dia melakukan banyak hal untuk saya … dia lelaki terhormat!
Lothario: Anda mendengar sendiri, Tuanku, dia mengatakan saya lelaki jujur.
Hakim: Huh!–tuduhan ketiga masih berlaku. Bawa pergi tawanan ini! Dia harus digantung; dia bersalah karena kesombongannya.
Ya, seperti itulah hal yang dialami Bonek saat ini. Diam dianggap tak memiliki semangat, tapi saat bergerak justru dituduh hendak berbuat jahat. Seolah-olah mindset publik terhadap Bonek sudah mengarah pada keburukan, hingga tak memberi sedikit pun kesempatan (chance) bagi kebaikan Bonek untuk tersemat–padahal pikiran jernih dan hati nuraninya berkata, “sungguh Bonek telah berubah.” Tampaknya benar penggalan salah satu puisi esai yang dikatakan Denny JA (2016): “Kebaikan bersumber dari pikiran. Inilah ayat pertama semua ajaran. Seharusnya…” itu berarti, jika kami mengatakan kepada siapa pun yang tak bisa menerima kebaikan “sebagai orang yang tak memiliki pikiran” tidaklah berlebihan bukan?.
Sebelum tulisan ini sampai pada kata penutup, kami hendak memberi peringatan kepada anda sekalian terkait kemungkinan meletupnya gerakan massa. Ini bukan seperti perengekan atau ancaman, tetapi lebih kepada probabilitas dari informasi yang bertebaran dan berdasar logika ilmu sosial. Beberapa sedulur telah berkumpul, memusyawarahkan segalanya, sekaligus gerakan apa yang akan dilakukan jika laga tetap digelar tanpa penonton, termasuk kemungkinan tindakan agresi yang bisa saja terjadi, seperti blokade jalur selatan, menciptakan instabilitas ketertiban. Everything is fair, in love and war. Percayalah, ini sudah memasuki ranah konflik, tetapi bagi kami, konflik tidaklah mengapa, sebab –sebagaimana Dahrendorf (1959) berkata–konflik pun memberi konsekuensi logis terhadap munculnya suatu perubahan, hanya saja pertanyaannya: ke arah lebih baik atau buruk? Jawabannya tergantung cara anda sekalian memperlakukan nalar keadilan sekaligus tekad menciptakan ketentraman masyarakat.
Akhirnya, satu hal yang mungkin belum disadari publik, bahwa Bonek telah tumbuh menjadi mata dan suara Persebaya. Ya, mata dan suara social control yang menegaskan konsistensi untuk membantu dunia persepakbolaan nasional agar mudah dalam menghilangkan kejanggalan dan kejahatan sekitar kulit bundar, mulai dari mafia (bi ma’na “siapapun yang tidak fair play dalam sepak bola) sampai permainan kasar yang berakibat fatal. (*)