Kamis pagi (27/7), publik sepak bola Indonesia berduka atas meninggalnya salah satu suporter Persib Bandung, Ricko Andrean. Yang paling disesalkan dari duka ini adalah ia terkena musibah ketika sedang “menikmati” sepak bola. Sepak bola yang di gadang-gadang sebagai alat pemersatu bangsa malah banyak menimbulkan korban jiwa.
Lalu seberapa burukkah sepak bola kita? Fana adalah kata yang tepat untuk menggambarkan situasi sepak bola Indonesia saat ini. Tidak bisa dipungkiri sepak bola kita memang minim prestasi (internasional), rawan konflik, dan profesional yang cenderung dipaksakan.
Namun di balik segi prestasi yang minim, sepak bola kita tetap menggeliat. Semakin hari penikmat sepak bola Indonesia semakin bertambah. Perputaran ekonomi terus berjalan, bahkan karya dari bidang sepak bola yang sekarang mulai berkembang pesat. Mengenai hal-hal buruk yang terjadi di sepak bola menurut saya adalah emosi yang mengungkapkan sifat pribadi, dari kebiasaan yang mengakar dan tidak bisa mengontrol diri.
Oleh karena itu, yang bisa memperbaiki moral sepak bola kita adalah kita sendiri. Tidak usah lagi menyalahkan pihak-pihak lain. Mulai saja dari diri kita sendiri mengubah kebiasaan buruk tidak hanya saat di stadion tapi juga di kehidupan sehari-hari. Dan perlu di catat tidak hanya suporter, pemain pun harus punya moral yang baik. Kenapa pemain juga harus demikian, bukankah penyebab rusuh adalah suporter saja?
Kamis petang (27/7), saya, kami, Bonek sedang mendukung Persebaya dalam lanjutan kompetisi Liga 2 Indonesia, melawan Martapura FC. Pertandingan yang terdengar biasa-biasa saja ini menjadi menarik karena kilas balik di pertemuan putaran pertama Liga 2. Di pertemuan pertama, kami menganggap ada yang tidak beres dengan klub ini, mulai dari permainan kasar yang cenderung ngawur dan kepemimpinan wasit yang kami rasa tidak dalam koridor fair play. Sebab itu, jauh-jauh hari kami sudah melakukan psywar untuk meruntuhkan mental ngawur mereka dan menunjukkan bagaimana sepak bola yang baik dan benar.
Pertandingan dimulai dan hal ngawur itu terjadi lagi. Mereka bermain bak seorang petarung dan terus memprovokasi. Kami pun sedikit terpancing, banyak botol berterbangan dari tribun yang menggambarkan kemurkaan kami terhadap moral klub ngawur ini. Official Persebaya juga tersulut emosinya, kerusuhan pun terjadi.
Mereka yang seperti jagoan tak henti-hentinya melakukan provokasi, entah apa yang mereka pikirkan tapi kami menganggap mereka telah menantang kami. Kami memang salah melempar botol, tapi provokasi mereka tidak menggambarkan klub profesional. Singkat cerita keadaan menjadi adem saat anthem Song For Pride diputar. Pertandingan berakhir dan provokasi tersebut akan kami ingat selamanya!
Bukan apa-apa, Liga 2 adalah tempat pemain muda berkembang dimana masa depan mereka masih jauh. Jadi sangat disayangkan jika mental pemain muda rusak gara-gara permainan ngawur macam tim ini. Tidak tega melihat pemain harus berjibaku mengambil bola yang menjurus ke adu kaki. Belum lagi ketika sikut juga ikut bermain. Betapa mengerikan.
Semoga moral seperti ini cepat di hilangkan, karena sejatinya sepak bola adalah olahraga untuk bahagia. Hiduplah Indonesia Raya! (*)