Beberapa mobil bergantian berhenti di lobby utama Graha Pena. Sejenak singgah, untuk menurunkan penumpang. Dari tiap mobil beberapa kesamaan nampak sebelum si empunya turun. Celotehan anak membuncah, rame dari dalam jendela mobil tersebut.
Lalu turunlah dua anak seumuran SD dari mobilnya dengan gaya yang sama. Kaus bergambar karakter kartun ikan sura dan buaya maskot logo Persebaya bertuliskan Persebaya Forever, bercelana pendek dan di punggungnya menenteng tas training gym sack. Sebelum turun, dari dalam mobil si empunya yang diantarkan dengan mobil ini rame ngobrol dengan temannya yang sudah menunggu di lobby tersebut. Belakangan diketahui, yang menunggu di lobby tersebut tak lain adalah anak Azrul Ananda, Presiden Persebaya itu sendiri.
Sampai hari ini pemandangan siang hari sebelum Persebaya melawan Persigo Semeru FC itu begitu nempel di kepala saya. Mungkin itu kali pertama saya merasakan bahwa visi Persebaya Forever bisa diaplikasikan secara nyata di Surabaya. Mengapa? Karena anak-anak seumuran itu sudah berani dilepaskan sendiri oleh orang tua nya untuk menonton sepakbola Indonesia bersama teman-temannya.
Bagi sebagian orang yang membaca tulisan ini mungkin menganggap biasa saja mengajak anak ke stadion, karena di luar sana pun ada banyak pula orang tua atau keluarga yang sudah sering mengajak anaknya nonton bola ke stadion. Meski sang anak masih dalam rentang umur tingkat Taman Kanak-Kanak sekalipun. Tapi kita harus melihat, sejatinya di luar sana juga masih banyak pula yang tidak punya nyali mengajak sang anak menonton langsung di stadion. Apalagi di Indonesia, yang sepakbolanya sudah identik dengan ribut dan rusuh karena tidak dewasanya penonton dalam mengambil sikap atas apa yang terjadi di lapangan atau yang terjadi di sekitar tribun tempat duduk mereka. Sederhananya begini, satu saja penonton yang tersulut dan terprovokasi bisa mempengaruhi keselamatan seisi stadion. Ini kan bahaya.
Apa yang terlihat di Graha Pena Sabtu beberapa minggu lalu, memberikan satu gambaran besar positif dari Persebaya untuk publik. Gambaran positif itu adalah visi yang perlahan mulai berhasil ditanamkan oleh manajemen dan juga Bonek ke warga Surabaya.
Stempel masa lalu yang kerap kali identik dengan Bonek, menurut penulis perlahan sudah hilang dengan sendirinya. Mudahnya begini, ketika ada suporter-suporter baru yang muncul bahkan anak seumuran SD (dalam cerita di atas tadi, anak tersebut laki dan perempuan keduanya blasteran) yang dilepas sendiri oleh orang tuanya untuk menonton langsung di stadion, itu sama artinya dengan stadion tersebut aman dan menyenangkan bagi mereka. Bahasa kerennya, stadion sudah cukup ramah untuk anak juga keluarga. Lebih jauh lagi, ini juga menandakan bahwa untuk kesekian kalinya Bonek memberikan bukti nyata ke publik yang masih memandang mereka sebelah mata, kalau mereka sejatinya sudah berubah ke arah yang lebih baik.
Menciptakan industri sepakbola
Bicara mengenai Persebaya yang berkelanjutan, harus bisa bicara mengenai industrinya. Cuplikan pengalaman di atas memperlihatkan hal tersebut. Sejatinya industri ini sedang dibangun oleh manajemen dan juga oleh kalian para Bonek. Menariknya, di Surabaya Image positif itu nantinya akan kembali ke kalian juga. Terlebih jika Persebaya serius mempersiapkan hubungan simbiosis mutualisme dengan sponsor-sponsor mereka nanti, seperti yang terjadi pada musim ini dengan salah satu sponsornya.
Model bisnis Persebaya berbeda dari klub-klub lainnya. Apa yang mereka praktikkan, belum pernah terjadi di klub-klub lainnya. Bahkan untuk klub sekelas Liga 1, mereka juga tidak melakukan model bisnis ini. Beberapa klub kasta tertinggi tersebut bahkan ada yang tidak fokus sama sekali dengan industrinya. Sebut saja Bhayangkara FC dan PS TNI. Laga kandang keduanya sepi (rata-rata di bawah 5 ribu penonton) namun sepertinya mereka tidak masalah. Meski angka itu sebenarnya tak sebanding dengan lokasi dimana mereka menggelar laga kandangnya, yang dikenal memiliki jumlah penduduk cukup banyak. Pikir positifnya, mungkin kedua klub tersebut belum memikirkan ke arah penciptaan industrinya pada gelaran liga tahun ini.
Penciptaan industri sebenarnya sama artinya dengan penciptaan pasar namun lebih bermakna positif. Mengapa? Karena jika bicara pasar, orang sudah akan langsung berpikir sebagai target dagang dan menjadi konsumen. Konotasinya menjadi negatif, padahal tidak semua bermakna seperti itu.
Bicara mengenai penciptaan industri di sepakbola maka ada beberapa aspek utamanya seperti penonton, sponsor, merchandise, dan tim. Jika tidak memiliki tim yang mumpuni (bisa berbagai macam pengertiannya) maka tidak ada penonton. Jika tidak ada penonton artinya tidak ada pembeli, baik dari pihak sponsor maupun penjualan tiket dan merchandise. Menjadi lucu kalau ada klub yang penontonnya sedikit tapi memiliki sponsor kelas nasional. Ini perlu dipertanyakan lagi motivasi sponsor menempelkan uang mereka di sana.
Bicara industri tidak hanya berhenti pada penonton, sponsor, merchandise dan tim saja karena aspek-aspek tersebut menurut penulis hanya sasaran jangka pendek dan tidak terlalu berdampak besar pada keberlanjutan di masa depan. Perlu usaha lebih dari itu untuk mencapai sasaran jangka panjang dan memiliki dampak cukup besar pada keberlanjutan Persebaya di masa depan. Apa selanjutnya yang diperlukan Persebaya untuk mencapai visi jangka panjang mereka tersebut? Jawabannya adalah infrastruktur. | Next >>
Stadion baru belum diperlukan
Infrastruktur menjadi pengait untuk membangun masa depan Persebaya. Ia bisa berarti banyak hal, seperti stadion, lapangan latihan, tempat kebugaran, mes, sport science, fasilitas rehabilitasi, dan macam-macam lainnya.
Bicara infrastruktur maka akan lebih banyak bicara mengenai modal. Mengapa? Karena modal pembangunan untuk membangun infrastruktur tidak sedikit bahkan cenderung banyak sekali. Mulai dari tanah, perizinan daerah, akses transportasi, konektivitas dan rencana masa depan Persebaya dengan daerah dan komunitas, dan banyak hal printilan lain-lainnya. Semua harus dipikirkan. Jadi perlu hitung-hitungan yang tepat dan mendetail untuk menggolkannya.
Kita ambil contoh stadion. Akhir Juli lalu, Gelora Bung Tomo memang kedatangan Andrew Colling, wakil presiden firma arsitektur HKS untuk wilayah Asia Pasifik. Saat itu kedatangannya sempat membuat banyak pertanyaan mengenai kemungkinan Persebaya akan membangun stadion sendiri. Mimpi-mimpi memiliki stadion sendiri pun mulai muncul, apalagi di Indonesia belum ada satupun klub yang mempunyai, membangun dan mengelola stadion mereka sendiri.
Kalau bicara mengawang-awang, memang rasanya Persebaya sudah amat perlu memiliki stadion miliknya sendiri karena fanatisme yang besar dari para pendukungnya. Tapi kalau kita bicara dengan data yang ada dan menghitung beberapa kemungkinan di masa depan serta contoh di belakang, rasanya Persebaya belum perlu untuk memiliki stadion sendiri. Setidaknya tidak sampai 3 tahun ke depan.
Dari 9 match kandang Persebaya (belum menghitung jumlah penonton pertandingan terakhir melawan Kalteng Putra) angka rerata jumlah penonton, menurut data yang kami miliki hanya mencapai 29.335 atau 59 persen dari total jumlah kapasitas Gelora Bung Tomo sebesar 50 ribu kursi.
Data tersebut menjelaskan bahwa, meski jumlah Bonek bertebaran di Kota Surabaya namun tidak semua bisa atau mau ke stadion. Beragam alasan memang bisa jadi pembenaran. Tapi melihat kebiasaan penonton Persebaya maka ada 2 hal yang amat mungkin paling mendasar dan paling berpengaruh, yaitu waktu main (hari dan jam) serta jarak (lokasi stadion).
Selama gelaran Liga 2, jadwal laga Persebaya mayoritas bergantian pada hari Rabu dan Kamis dengan waktu tanding pukul 18.30. Artinya, banyak laga ditandingkan pada hari kerja yang harus berkompromi dengan 2 hal pula. Jam pulang kerja serta traffic perjalanan untuk mencapai stadion. Masalahnya, tidak ada akses transportasi massal (Kereta atau MRT) yang cepat untuk menuju Gelora Bung Tomo. Selain itu jika menggunakan kendaraan, sesampainya disana pun akses masuknya cenderung membuat antrian panjang kendaraan. Dengan kata lain, rumus berangkat 3 jam sebelum pertandingan harus benar-benar dipraktekkan jika ingin menonton Persebaya. Sederhananya, lebih baik izin kerja dengan beribu alasan atau menggunakan surat dokter kalau memang ingin menonton di stadion. Namun jika ini terus dilakukan, alarm bahaya untuk keberlangsungan karir dan keluarga ke depan.
Problem ke dua, muncul ketika laga 16 besar. Jika jadwal laga pukul 15.00, jumlah penonton melorot hingga sekitar 25 ribu (lawan Persinga Ngawi) saat lawan PSBS Biak angkanya turun lagi menjadi sekitar 17 ribu. Padahal, jika Persebaya bertanding di Liga 1 musim depan, kemungkinan waktu tanding seperti ini akan terus ada. Ini memang bukan salah Persebaya karena domain jadwal ada di operator (meski terkadang ada hal-hal tak terduga seperti Persib yang selalu main malam jika laga home maupun away dan disiarkan langsung (sebelum diprotes)). Tentunya ini harus jadi perhatian Persebaya ke depan, dengan model operator yang terkadang masih pilih kasih maka hitung-hitungan pengembalian bisnis pembangunan stadion pun bisa berantakan.
Persebaya sebenarnya memang punya kekuatan untuk jualan rating televisi (seperti Persib) namun jika keuntungan dari operator itu terus dimanfaatkan, aspek bisnis dan komersial di Liga Indonesia akan selamanya tidak adil untuk klub-klub lainnya. Tak ayal, potensi pemberontakan klub di liga, terus saja muncul setiap tahunnya. Dengan pendekatan yang tepat, mungkin jajaran manajemen Persebaya bisa mendorong aspek keadilan pemerataan pendapatan di Liga Indonesia untuk semua klub. Tentunya ini bisa dipraktekkan jika berhasil masuk ke Liga 1.
Pembangunan stadion bukan jadi hal yang utama saat ini. Karena Gelora Bung Tomo sudah memiliki jumlah kapasitas yang cukup untuk menampung puluhan ribu penonton, setidaknya hingga 3 tahun ke depan. Satu musim di Liga 2, menurut penulis tidak bisa dijadikan pegangan untuk membuat stadion baru. Pun sama halnya dengan satu musim di Liga 1. Mengapa? Karena manajemen harus berhitung pula dengan peluang Persebaya adu kuat dengan klub-klub Liga 1 lainnya. Jika nantinya mampu bertahan di Liga 1 dan merasakan bagaimana operator menjalankan perannya mengelola liga, serta menghitung potensi jumlah kehadiran penonton lawan ke Gelora Bung Tomo maka tahun ke 3 rasanya Persebaya sudah siap untuk merencanakan pembangunan stadion tersebut. | Next >>
Fasilitas Training Ground Sebagai Masa Depan
Selama kurang dari satu tahun ini (terlepas dari keberadaan Bonek), animo masyarakat Surabaya dengan Persebaya sudah terlihat dan mulai terbentuk. Seperti cerita di awal sebelumnya, market (industri) masa depan Persebaya pun sudah dipersiapkan. Lalu pertanyaannya, bagaimana dengan pemainnya? Apakah sudah mereka persiapkan juga? Bagi penulis, jawabannya sudah tapi belum maksimal.
Sudah, karena Persebaya dari dulu telah memiliki kawah candradimuka lewat klub anggota dan roda kompetisi yang berjalan di dalamnya. Tapi belum dari segi fasilitas. Lapangan yang digunakan selama ini adalah Lapangan Karanggayam, yang telah mencetak banyak pemain kelas nasional sampai saat ini. Permasalahannya, lapangan tersebut bukan milik Persebaya tapi dimiliki oleh pemerintah kota (pemkot).
Persebaya saat ini sudah berbentuk PT, tidak ada saham pemkot di sana. Untuk itu sewaktu-waktu kegiatan di Karanggayam pun bisa saja dianggap ilegal jika tidak membayar sewanya atau tidak ada komunikasi yang baik ataupun kerja sama hitam di atas putih dengan pemda. Menjawab tantangan itu, hal utama yang perlu dibidik oleh manajemen Persebaya tentunya bukan membangun stadion, melainkan pembangunan fasilitas training ground atau kompleks latihan.
Banyak klub yang bisa menjadi benchmark untuk hal itu. Namun setelah dilakukan riset, model paling selaras dengan visi Persebaya adalah model yang dipakai oleh City Football Group.
City Football Group (CFG) adalah perusahaan konsorsium pemilik Manchester City, NYCFC, Melbourne City FC, dan memiliki sister club juga saham di Yokohama Marinos, Jepang dan FC Girona di Spanyol. Pendekatan CFG adalah konektivitas yang pada intinya mengerucut pada 2 kegiatan bisnis dalam sepakbola. Pengelolaan klub dan komersialisasinya serta aktivitas trading jual beli pemain sepakbola di masa depan melalui kepemilikan klub dan akademi.
Khusus tulisan ini Persebaya bisa meniru bagaimana CFG mempersiapkan masa depan lewat pengembangan akademi klub. Di setiap negara yang mereka akuisisi, CFG sangat fokus terhadap aspek infrastruktur dan sinergi keberadaan klub dan daerah juga keberlanjutannya. Aspek infrastruktur dimulai dari fasilitas training ground dan kantor operasional yang berada dalam satu kompleks di Melbourne dan di New York (dalam pembangunan).
Ambil contoh di Melbourne. Fasilitas training ground di Melbourne sendiri kelewat lengkap. Mulai dari 1 lapangan utama (bisa diubah menjadi 4 lapangan jika menggunakan lebar lapangan) hingga fasilitas sport science, loker, laundry, boot room, ruang rapat, ruang pelatih, dan kantor operasional klub ada di dalam satu bangunan memanjang.
Pembangunan infrastruktur di atas bukan hanya untuk pemain, tapi juga untuk menjalankan akademi mereka. Akademi ini lah yang nantinya menjadi cikal bakal aktivitas mendapatkan pemain mumpuni yang “murah” ataupun menggunakan si pemain yang mereka orbitkan dari akademi sebagai aktivitas “trading” ini.
Meski begitu model CFG tak melulu soal uang. Ada yang menarik dari model CFG di Melbourne, yaitu kerja sama mereka dengan salah satu universitas, La Trobe University. Sinergi ini untuk menjadikan klub dan seluruh fasilitasnya sebagai objek riset penelitian mereka. Banyak bidang ilmu yang bersinggungan mulai manajemen, jurnalisme, kesehatan, dan marketing. Tentunya kerja sama ini sebagai bagian peran mereka untuk memperkaya industri olahraga Australia di masa depan (sustainable). | Next >>
Duplikasi dan Implementasi
Model CFG di Melbourne bisa diduplikasi oleh Persebaya dengan beberapa penambahan dan pengurangan. Bagaimana sebuah model bisnis CFG itu bekerja adalah hal yang menarik.
Dalam hal pengembangan akademi, Persebaya bisa merapihkan struktur akademi yang berjenjang dari aktivitas klub internal mereka. Pertama, sebagai bagian dari aspek untuk mendapatkan lisensi profesional tentu hal ini harus mulai dirapihkan dan dibicarakan dengan klub internal dari sekarang. Mengapa? Karena klub internal bukan akademi klub seperti yang diminta oleh AFC.
Kedua, bicara industri sepakbola maka sistem aktivitas “trading” pemain ini juga bisa menjadi salah satu kantong penerimaan Persebaya di masa depan. Struktur ini menjadi menarik, karena klub internal memiliki saham di tubuh Persebaya. Tentunya pendapatan dari aktivitas ini bisa dikembalikan kepada investasi dan pengembangan kualitas masing-masing klub internal mereka. Mulai dari pelatih, pemain, manajemen, banyak macamnya. Intinya harus dipikirkan bersama bagaimana jika sistem ini bekerja, uang yang didapatkan dari aktivitas tersebut dapat bermanfaat bagi pengembangan klub internal sehingga pemanfaatannya dapat terus berkelanjutan.
Dalam hal peran Persebaya terhadap Surabaya. Sama seperti pendekatan CFG, contohnya Persebaya bisa bekerja sama dengan Universitas Negeri Surabaya (sport science), Universitas Airlangga (kedokteran, ekonomi dan bisnis, sosial politik, psikologi), Universitas Ciputra (komunikasi), Universitas Petra (Desain Komunikasi Visual) sebagai laboratorium riset juga sebagai bagian dari Persebaya (internship maupun volunteer). Jika sistem ini bekerja, visi Persebaya Forever akan semakin jauh berkembang menciptakan apa yang diidam-idamkan sebagai industri sepak bola.
Membangun masa depan Persebaya bisa dimulai dari sekarang. Selamat bertanding di 8 besar, bawa kembali Persebaya ke panggung utama mereka, Liga 1. Wani!
*) Adipurno Widi Putranto, tinggal di Surabaya 7 hari setiap bulannya. Bisa ditemui di akun @analisiscetek atau [email protected]