Saya rasa kita semua, baik saya maupun anda, masih berada dalam euforia kelolosan Persebaya ke Liga 1 musim depan. Paling tidak, itu yang bisa saya tangkap dari membanjirnya postingan yang menghiasi linimasa media sosial saya. Tidak peduli dari kelompok suporter mana, semua menyambut positif kembalinya Persebaya ke kasta tertinggi sepak bola Indonesia setelah vakum kurang lebih empat tahun lamanya.
Euforia tersebut nampaknya juga menghinggapi mantan pelatih Persebaya, Iwan Setiawan. Pelatih kelahiran Medan ini beberapa hari yang lalu menyatakan senang Persebaya naik level musim depan. Lebih lanjut, Coach Iwan, begitu biasa dia disapa, menyatakan siap ‘menyikat’ Persebaya kala berhadapan dengan Borneo FC, klub asuhannya musim mendatang.
Pernyataan semacam ini tentu saja bukan hal yang asing dari sosok berbadan subur ini. Para bobotoh tidak mungkin lupa momen-momen pada Piala Presiden 2015 ketika coach Iwan berseloroh bahwa prestasi Persib yang keluar sebagai juara ISL 2014 dicapai dengan keanehan-keanehan yang mengiringi terutama di babak semi final. Yang dimaksud adalah tentu saja ditariknya 3 pilar utama Arema yakni Gustavo Lopez, Ahmad Bustomi, dan Alberto Goncalves ketika pertandingan sedang berjalan sengit bahkan walau ketiganya tidak mengalami cedera. Tidak cukup sampai disitu, sang coach nampaknya masih gatal untuk menyentil Maung Bandung. Disebutnya Persib hanyalah tim yang gemar mengumpulkan pemain bintang, sedang sang pelatih Djadjang Nurdjaman tak matang dalam urusan strategi.
Tidak hanya Persib, PS TNI juga pernah merasakan keusilan Coach Iwan. Saya yakin publik sepak bola Indonesia tidak akan melupakan psywar pada ajang Piala Jenderal Sudirman 2016 lalu. Waktu itu, Pelatih kelahiran 1968 ini mengatakan bahwa PS TNI hanyalah tim amatir yang akan menjadi bulan-bulanan tim lain di turnamen tersebut. Belum cukup, dia berjanji akan mundur dari posisi pelatih Borneo FC jika kalah dari tim korps militer. Nahas PS TNI menang lewat drama adu penalti, dan si ‘mulut besar’ akhirnya berbesarhati untuk membuktikan ucapannya, mundur dan angkat kaki dari Samarinda.
Belum cukup? Masih ingat komentar ‘nyinyir’ yang mengiringi awal kiprah timnas U-19 di Piala AFF U-18 Myanmar September lalu? Ya, saya yakin anda sekalian masih ingat. Karena hanya Iwan Setiawan seorang yang meragukan timnas waktu itu, di kala mayoritas rakyat Indonesia justru dilanda optimisme pada skuad yang digawangi Egi Maulana Fikri cs. Indra Sjafrie dianggapnya tak cukup layak menukangi timnas U-19, sebagai solusi dia mengajukan namanya sendiri sebagai figur yang paling cocok memimpin tim berjuluk Garuda Nusantara. Alih-alih berharap yang terbaik untuk Egi cs, Iwan justru mendoakan anak-anak muda tersebut gagal. Ya, walaupun doa tersebut akhirnya benar-benar terkabul, Indonesia hanya berada di peringkat ke-3 sementara target yang diusung adalah juara.
Masalah Coach Iwan dengan Bonek
Tapi bagi Bonek, ‘masalah’ dengan Coach Iwan lebih besar dari itu semua. Peristiwanya terjadi April lalu, kala Persebaya bertandang ke stadion Demang Lehman markas Martapura FC. Pertandingan tersebut adalah pertandingan ke dua Persebaya di Liga 2 musim ini, dan hasilnya Persebaya tunduk di kaki tuan rumah dengan skor 1-2. Bagi Bonek yang hadir di stadion waktu itu tentu mafhum tentang keanehan-keanehan yang menimpa Persebaya, dari mulai keputusan-keputusan wasit yang dianggap banyak menguntungkan tuan rumah, hingga kehadiran ‘sosok misterius’ di pinggir lapangan yang menginstruksikan wasit untuk memberi injury time selama lima menit. Tapi bagi kelompok suporter yang amat bergairah setelah sekian lama tak melihat tim kesayangannya berkompetisi, tentu saja hasil sekali imbang dan sekali kalah adalah tidak sesuai harapan.
Tak ayal bonek yang jumlahnya ratusan, baik yang datang dari wilayah Kalimantan ataupun datang langsung dari Surabaya seketika meluapkan emosinya selepas pertandingan. Bus yang membawa seluruh pemain dan official Persebaya disoraki oleh ratusan Bonek yang sudah menunggu di luar stadion. Iwan Setiawan sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas kekalahan menjadi sasaran hujatan para Bonek. Tapi bukan Iwan namanya bila hanya duduk manis dan diam begitu saja, berdiri lah dia dari tempat duduknya seraya mengacungkan jari tengah ke arah Bonek yang sudah mengelilingi bus.
Iwan tentu paham betul, jari tengah itu akan mengubah banyak hal. Sementara Bonek tidak akan pernah tahu isi hati Coach Iwan selepas itu, lega atau menyesal. Yang pasti terjadi adalah Bonek tak akan tinggal diam. Kampanye ‘menendang’ Iwan segera menjadi viral di media sosial, dengan hashtag #iwanout. Dan sangat bisa ditebak, beberapa minggu kemudian Iwan resmi out, lebih tepatnya di-out-kan manajemen.
Prestasi Iwan Setiawan
Berbicara mengenai prestasi, Iwan Setiawan sebenarnya tidak pernah punya catatan yang benar-benar mentereng di level klub profesional. Terhitung, hanya sekali Iwan mengangkat trofi di kompetisi resmi PSSI yaitu kala mengantarkan Pusamania Borneo FC menjadi juara Divisi Utama (kasta ke dua sepak bola Indonesia) tahun 2014. Tapi jangan lupa, sepak terjang Borneo waktu itu banyak disorot karena dinilai banyak ‘dibantu’ oleh wasit, sehingga sudah muncul mindset di antara kontestan Divisi Utama saat itu bahwa adalah mendekati mustahil mengalahkan Borneo FC di Samarinda. Bukti nyata adalah kasus ‘sepak bola gajah’ antara PSS Sleman melawan PSIS Semarang yang berbuntut panjang kala itu. Kedua tim terbukti melakukan permainan ‘kotor’ tersebut untuk menghindari Borneo, tim yang susah ditandingi karena faktor-faktor non-teknis.
Prestasi lain yang bisa dibanggakan oleh Coach Iwan adalah dirinya tercatat sebagai satu dari sedikit pelatih Indonesia yang mengantongi lisensi kepelatihan A AFC, yang mungkin juga menjadi alasan dirinya berani menyatakan Djanur sebagai pelatih yang tak matang berstrategi (Djanur saat itu masih mengantongi lisensi B AFC). Lagi pula itu tahun 2015, saat ini Djadjang Nurdjaman dan beberapa pelatih lainnya sudah mengantongi lisensi sama dengan yang dimiliki Coach Iwan. Dan ya, jangan lupa di tahun 2014 si Djanur pria kurus kecil berlisensi B AFC itu sukses membawa Persib juara ISL, prestasi yang bahkan tidak bisa dicapai Iwan setelah lama mengantongi lisensi A. Alih-alih karir kepelatihan Iwan justru dihabiskan untuk menukangi klub-klub medioker macam Persas Sabang, Persiraja Banda Aceh, Persikabo Bogor, Persela Lamongan, dsb.
Sebenarnya untuk kasus Iwan dan Persebaya, Iwan memang tidak cukup waktu untuk menunjukkan kapabilitasnya sebagai juru racik tim. Dua pertandingan yang dijalani, tidak cukup menjadi tolok ukur keberhasilan ataupun kegagalan. Pada pertandingan pertama di stadion Gelora Bung Tomo, Persebaya berhasil ditahan imbang oleh Madiun Putra. Hasil ini sebenarnya bisa dimaklumi sebagai sebuah demam panggung, tentu saja sangat beralasan mengingat ini adalah kompetisi resmi PSSI pertama yang dilakoni anak-anak Bajol Ijo setelah beberapa tahun vakum dari kompetisi resmi. Begitupun pada pertandingan kedua kontra Martapura FC di Demang Lehman, yang sudah sedikit saya ulas di atas banyak dipengaruhi faktor-faktor non-teknis hingga Persebaya akhirnya menelan kekalahan.
Jika mau jujur, capaian arek-arek Green Force di kandang lawan musim ini memang tidak bisa disebut bagus. Dari total 10 pertandingan tandang di Liga 2 musim ini (penyisihan dan 16 besar), Persebaya hanya menang dua kali, kalah satu kali, dan imbang tujuh kali, termasuk 0-0 melawan PSBS Biak di GBT walau status Persebaya kala itu sebagai tim tamu.
Dengan hasil-hasil itu, saya tidak bisa membayangkan prestasi Persebaya saat ini jika masih dilatih oleh Iwan Setiawan. Karena sesuai apa yang dia katakan baru-baru ini, mayoritas pemain-pemain Persebaya saat ini adalah pilihannya, dia yang membentuk dan dengan kata lain adalah masih Persebaya-nya Iwan Setiawan. Mungkin Iwan bisa sesukses Alfredo Vera saat ini jika masih melatih Persebaya, atau mungkin juga sebaliknya. Tapi itu semua selamanya hanya akan menjadi sebatas kemungkinan. Sementara kesuksesan Alfredo adalah sebuah kepastian.
Catatan Hitam Iwan Setiawan
Masalahnya adalah bukan saja tentang kapasitas dan kapabilitas Iwan Setiawan sebagai seorang pelatih. Yang perlu masyarakat ingat sebagai catatan hitam Coach Iwan adalah pada kualitas mentalnya yang begitu buruk. Anda bisa menjadi seorang David Moyes ketika melatih Everton, tapi tidak di Manchester United. Ya, tentu saja ini adalah tentang nama besar klub dan tuntutan tinggi dari kelompok suporter dengan basis yang juga sangat besar.
Sesaat setelah dipecat Persebaya, Iwan pernah berujar “Manajemen harus jujur bahwa keputusan manajemen untuk mengeluarkan saya semata-mata karena ketidakharmonisan saya dengan Bonek”. Justru itulah masalah utamanya! Sangat bisa dimaklumi jika seorang pemuda berusia 21 tahun macam Delle Ali mengacungkan jari tengah pada rekannya di timnas Kyle Walker. Tapi bagi pria berusia 49 tahun dengan segudang pengalaman tentu mengacungkan jari bukan hal yang bisa dibenarkan, tidak pada suporter, lebih-lebih tidak pada Bonek.
Coba sebutkan kelompok suporter mana di dunia yang rela mencurahkan segala daya upaya untuk mengembalikan klub kesayangannya agar kembali berkompetisi melawan kezaliman rezim PSSI. Tambahkan lagi, ini bukan dalam hitungan bulan tetapi sebuah perjuangan bertahun-tahun dari mulai demo besar-besaran yang berlangsung pula berepisode-episode di Surabaya, Jakarta, dan Bandung. Belum lagi kesetiaan mengawal setiap proses hukum di Pengadilan Negeri Surabaya untuk sebuah nama dan logo. Nama dan logo klub bernama Persebaya yang berdiri tahun 1927, klub dengan nama besar jauh lebih besar dari karir ataupun tubuh seorang pria kelahiran tahun 1968. Dan hanyalah Bonek yang bisa mewujudkan romansa cinta, kesetiaan, dan perjuangan itu di alam nyata sepak bola modern.
Jika Iwan dituntut menghormati sebuah kelompok suporter, maka dia harus menundukkan kepala untuk Bonek.
Jika Iwan dituntut menundukkan kepala untuk sebuah kelompok suporter, maka dia harus berlutut untuk Bonek.
Jika Iwan dituntut berlutut untuk sebuah kelompok suporter, maka dia harus bersujud. Bukan untuk Bonek, tapi pada Tuhan sambil meminta pengampunan dari-Nya. Ya walaupun tidak akan terkabul, karena bahkan Iwan pun belum meminta maaf pada Bonek.
Sampai jumpa musim depan Coach. Dan oiya, anda bilang akan menyikat Persebaya? Anda membawa sikat apa?
Kalau anda bawa sikat gigi, kami siap sikat baju.
Kalau anda bawa sikat baju, kami siap sikat WC.
Kalau anda bawa sikat WC… sudahlah, anda di WC saja.
Biar kami di tribun, bernyanyi dan bersorak untuk tim kebanggaan. Anda hanya perlu menyiapkan mental untuk itu.
Salam sikat!
Salam satu nyali! Wani!