Aku amat yakin bahwa aku bakal lulus tes masuk SMP Negeri 8, sebab saat SD aku selalu juara kelas, ranking 1 terus sejak kelas 1 sampai kelas-6 meski tidak ada hadiahnya. Justru ketika di SMP aku malah jeblok. Setiap hari pikiran tersita ke sepak bola. Akibatnya sering lalai mengerjakan PR, tugas, dan banyak melamun di dalam kelas, sehingga jangankan ranking 1, ranking 10 saja aku tidak mampu.
Sejak menyaksikan PSSI Pre Olympic 1976 melawan Korea Utara, aku terobsesi pada sosok kiper Ronny Pasla. Aku ingin seperti beliau, keren, tinggi, dan tampan serta menjadi pahlawan lapangan hijau. Aku juga ingin mendaftar di klub (SSB), punya sepatu bola, kaus kiper kuning gading, celana pendek hitam, kaus kaki panjang hitam dan memakai decker lutut… pokok e, pleg seperti dia, Ronny Pasla.
Aku mengamati dengan seksama gayanya di TVRI saat berhadapan dengan Stoke City (1-1) atau banyak laga persahabatan melawan klub-klub Eropa seperti Christiansand (4-1), Hajduk Split (3-2), Esjberg, Brno (1-4), Levski Spartak (0-4), Velje, Bolt 1903, dan Spartak Moskow.
Semua gesture-nya aku jiplak habis. Aku praktekkan kalau main bola plastik di lapangan Han Kow, seperti penggila band menirukan idolanya di atas panggung.
Tapi itu masih kurang, aku ingin melihatnya langsung di lapangan, bukan dari layar TV.
Tahun 1977 dihelat Turnamen Surya Cup dalam rangka HUT Surabaya yang diikuti 6 klub, yaitu Persebaya, Persib, PSIS (grup AA), Persija, Persipura, Persema (grup B). Aku hitung, setidaknya ada 9 pertandingan dan aku harus nonton, minimal yang melibatkan Persebaya. Sejak kelas 1 SMP, uang sakuku naik menjadi Rp 50 per hari, kalau mau berlapar-lapar sedikit, pasti bisa nabung untuk nonton. Nah, ada harapan bisa nonton Ronny Pasla.
Laga pembukanya Persebaya vs Persib. Seperti biasa, tidak sejengkalpun ada tempat kosong di stadion, full. Nama pemain Bandung yang kuingat Rudi Salaki, Dedi Sutendi, Muh. Atik, Teten, Cecep, Risnandar, Encas Tonif, Max Timisela, kipernya Syamsuddin. Mengenakan kostum garis-garis putih-biru, celana putih kaus kaki biru gelap.
Persebaya menurunkan kiper Suharsoyo dan itu pertama kali aku menyaksikan Suharsoyo secara langsung. Persebaya dipimpin oleh kapten baru, Slamet Pramono. Hati berdebar ketika peluit dibunyikan wasit.
Kiper Persib bermain begitu gemilang, tak terhitung tendangan keras para pemain Persebaya bisa ditangkap atau ditepis sehingga babak pertama skor 0-0. Aku melihat dengan takjub dari bawah Scoring Board. Sejak lawan Korea setahun lalu, aku belum pernah melihat langsung Persebaya mencetak gol, namun barulah di babak kedua keinginan itu terwujud.
Slamet Pramono merangsek melewati 2-3 bek lawan dan langsung melancarkan tendangan keras, GOL! begitu luar biasa sensasi yang kurasakan saat penonton berteriak bersamaan, keras, dan bising. Beberapa menit kemudian terjadi scrimmage di depan area penalti Persib, Rudy Keeltjes yang terjatuh masih bisa mendorong bola ke Slamet Pramono yang untuk kedua kalinya mampu membobol gawang Persib. Kembali terdengar teriakan hebat dan sorak-sorai disertai benda-benda beterbangan, topi, sandal, dan lainnya. 2-0 untuk Persebaya.
Sayang, sebelum bubar ada penyerang Persib yang dilanggar di area penalti, maka tak ayal, Max Timisela mampu mengeksekusi penalti, skor berakhir 2-1. Aku pulang dengan rasa puas. Akan lebih puas lagi bila besok aku bisa menyaksikan Ronny Pasla beraksi meski membela gawang Persija.
Dalam hati, mengapa Ronny Pasla tidak memperkuat Persebaya? Huehehe, aku belum tahu jika Ronny Pasla itu orang Manado yang sejak muda sudah turun membela PSMS Medan, sebelum hijrah ke Jakarta. Mana mungkin ke Surabaya.
Saat itu, sangat jarang ada perpindahan pemain, apalagi klub masih berupa Bond Perserikatan milik Pemerintah setempat, tidak ada yang namanya transfer. Bila ada pemain pindah, itu hanya karena urusan pekerjaan atau mutasi tempat bekerja. Bukan karena sepak bolanya.
***
Hari yang aku nantikan akhirnya tiba! Big Match Persipura vs Persija yang dianggap orang sebagai ulangan final Suharto Cup 1976 yang dimenangi Persipura. Aku tak sabar melihat Ronny Pasla keluar dari ruang ganti. Ketika gerombolan pemain berkostum merah keluar, mataku jelalatan kesana-kemari mencari sosok idolaku, tapi aku harus kecewa berat, aku tak melihat ada Ronny Pasla. Mataku mencari-cari terus, dan hanya menemukan kiper cadangan yang aku tidak tahu siapa dia.
Stadion penuh sesak, padahal bukan Persebaya yang turun bermain.
Panitia amat lihai memainkan emosi, ketika pemain Persipura keluar, diperdengarkan lagu “Persipura” dari grup band Black Brothers, tepuk tangan membahana seantero stadion. Penonton Surabaya sangat hafal nama-nama pemain kedua tim. Buktinya, mereka menyahut saat MC membacakan susunan pemain, terutama ketika dibacakan susunan pemain Persipura, sambil meniru, mereka juga applaus membahana.
“Gelandang kanan… Jafeth?” Penonton menjawab: “Sibiiii…”
“Penyerang tengah… Timo ?” Penonton melanjutkan: “Kapissaaaa…”
Saat itu, nama pemain Persija teramat masyhur, mereka mendominasi skuad PSSI, meski gagal di Pra Piala Dunia 1977, aura mereka masih mempesona. Tapi rupanya penonton Surabaya berpihak kepada Persipura, entah mengapa. Ketika Timo Kapissa dua kali lolos dari hadangan para bek Persija dan membobol gawang Sudarno, penonton berteriak senang, berjingkrak-jingkrak seakan gol itu dicetak oleh Waskito, Abdul Kadir, atau Hadi Ismanto. Persipura leading 2-0 duluan.
Aku kagum melihat skill ball Andilala, men-drible bola dengan kaki kiri nan lincah, membuat para bek Persipura diam terpana, diakhiri sontekan terarah membuat kiper Jimmy Pieter tidak bereaksi sama sekali. 2-1 Persija mengejar.
Tak disangka, di menit-menit akhir, dua kali Hengky Heipon melakukan handsball dan dua kali pula Persija diberi hadiah penalti, kesemuanya sukses dieksekusi salah satu bintang PSSI Pre Olympic 1976, Junaedy Abdillah. Skor akhir Persipura kalah 2-3. Bahkan dua hari kemudian aku dengar di radio, secara mengejutkan Persipura kalah 1-4 dari Persema dan masuk kotak. Gusnul Yaqin, Guspriyadi dan Budi Santoso jadi bintangnya Persema.
Aku lupa berapa skor Persija-Persema serta Persib-PSIS, yang aku ingat PSIS dikalahkan Persebaya 0-2, lalu semifinalnya Persebaya-Persema (2-0) yang diwarnai kericuhan sedang Persija-Persib lupa skornya. Final yang diidam-idamkan masyarakat terlaksana, Persija bertemu Persebaya.
Dari 9 laga Surya cup, aku hanya menyaksikan 2, yaitu Persebaya-Persib dan Persija-Persipura. Karena uang yang aku kumpulkan hanya sedikit, lebih baik untuk tiket FINAL antara Persebaya-Persija esok lusa.
Final Surya Cup 1977, aku aku ceritakan kemudian hari…
*) Penulis: Eko Wardhana, Pensiunan BUMN yang tinggal di Sawojajar, Malang.