Aku lihat di koran ada foto arak-arakan Trofi Juara PSSI 1977 dengan kapten Rusdy Bahalwan di jeep terbuka, tentu dilanjut dengan konvoi model zaman old. Aku jelas tidak ikut, pertama aku tidak punya sepeda motor, jangankan motor, sepeda mini saja aku beli bekas. Kedua, aku tidak punya teman yang punya sepeda motor, kebetulan sekitarku anak-anak ekonomi lemah.
Sukses Persebaya menjuarai Kompetisi PSSI 1977 berdampak hebat, baik di kampung, di sekolah, dan di IM. Di Surabaya saja menjamur klub-klub kampung dan banyak digelar turnamen Bola Mini guna mengakomodir hasrat dan gairah bersepakbola bocah dan remaja yang ingin tampil unjuk skill di depan publik, meski hadiahnya kecil, hanya ditambah piagam.
Bola Mini pesertanya dibatasi, baik usianya, tinggi tubuhnya, juga pemain yang turun dibatasi hanya 6-7 anak dan bola yang digunakan adalah bola plastik bertelanjang kaki…
Di mana-mana dipasang poster undangan, baliho, selebaran, dan selalu laris manis, peserta membludak dari segenap penjuru. Dijamin, panitia bakal meraup untung besar, baik dari uang pendaftaran, tiket masuk, parker, maupun kuliner. Herannya, meski yang main bocah-bocah, tapi penonton selalu penuh.
Di sini, menjamur pula praktek “Nyolong Umur” agar timnya berprestasi. Salutnya, nyaris tidak terjadi tawuran, karena panitia biasanya memberlakukan aturan ketat dan mengontrak anggota ABRI sebagai keamanan. Siapa berani?
Aku sering diikutkan Bola Mini, diantaranya di Jl Rangkah II, timku sering menang, malah sampai perempat final, meski akhirnya tersisih via adu penalti. Aku sempat menggagalkan dua penalti lawan.
Nah, di saat adu penalti itulah aku berkhayal diriku ini seorang Ronny Pasla yang mencoba menggagalkan eksekusi penalti pemain Korea Utara.
Pernah juga dikontrak tim Kedung Anyar untuk 3 pertandingan, salah satunya melawan Margo Rukun, setiap laga aku dibayar Rp 500 ditambah makan 2 kali. Bangganya, selalu menang dan jadi banyak kenalan arek Kedung Anyar, terutama cewek-ceweknya, uhuy.
Dalam kemeriahan itu, Indonesia kedatangan tamu 2 klub Denmark, yakni Velje dan satunya lagi Bolt 1903. Yang hadir di Surabaya adalah Bolt 1903 dan dimanfaatkan oleh Walikota Djoko Soetopo untuk membuktikan apakah gelar juara Nasional milik Persebaya sudah pantas atau kebetulan. Surabaya adalah kota terakhir yang dikunjungi Bolt 1903 dan selama lawatan ke Indonesia, mereka tidak terkalahkan di Jakarta, Medan, Bandung, dan Semarang.
Di Surabaya, Bolt 1903 tidak berdaya, mereka tampil kedodoran, membuat si kancil Abdul Kadir leluasa membobol gawang mereka dengan kaki kirinya. Persebaya unggul 1-0 sampai babak 1 usai.
Bolt 1903 semakin habis di babak 2, hingga barisan depan Persebaya berkali-kali mendapat peluang emas. Harusnya sore itu Persebaya bisa menang 5-0 jika saja Samun Reza lebih tenang memanfaatkan peluang.
Berkali-kali Samun membuat publik Tambaksari menahan nafas, tapi selalu meleset. Justru Rudy Keeltjes lah yang bisa membuat stadion kembali bergetar berkat gol sundulan kepalanya menjelang laga usai. Rudy mendahului kiper Per Pornstein yang gugup dan ragu-ragu mentip bola. Persebaya menang 2-0 atas Bolt 1903. Menjadi satu-satunya tim kita yang bisa mengalahkan Bolt 1903 Denmark.
Kemeriahan sepak bola yang paling gemerlap adalah banyaknya siaran langsung maupun siaran ulang atau Jurnal dari pergelaran Piala Dunia 1978 di Argentina di layar TV. Negara-negara yang selama ini tidak dikenal macam Peru, Thunisia, dan Iran setiap hari diberitakan dan secara tidak langsung, dihafal oleh masyarakat.
Bintang yang sering diulas adalah Zico, Rummenigge, Paolo Rossi, Johan Neeskens, Platini dan Mario Kempes. Tapi aku, penggemar kiper setiap hari ingin melihat aksi Dino Zoff, Sepp Maier, dan Piet Schrijvers. Mencoba meniru gayanya atau mencari kaus kiper di pasar Rombeng (Loak) Jl Gembong Tebasan yang mungkin ada kemiripan dengan kaus-kaus mereka.
Di kampungku berdiri klub Kencana FC di mana aku salah satu pendirinya dan setiap anak atau remaja lelaki di RW kami wajib ikut masuk Kencana FC, kalau tidak maka dia pasti akan dibully. “Koen nek gak melok bal-balan, yo melok’o latihan menari ae ndik Karang Taruna,” begitu olok-olok mereka kepada yang tidak mau masuk KFC.
Susunan organisasi KFC kami buat, pak RW dijadikan Ketua Umum, orang-orang berduit dan terhormat ditunjuk sebagai Penasehat, mantan pesepakbola tidak terkenal direkrut jadi pelatih.
Disamping ikut Bola Mini, KFC yang sudah Dewasa ikut berbagai turnamen antar kampung (Tarkam) yang begitu menjamur di seantero Jawa Timur. Kalau Tarkam, bolanya sungguhan, pakai sepatu dan bermain di lapangan lebar. Jadwal kami sangat padat, yang aku masih ingat kami pernah ikut Tarkam di Keboan Sikep (Sidoarjo), Cerme (Gresik), Jombang, Kebraon, Kediri, Menganti, dan lain-lain terutama di dalam kota.
Hadiahnya paling banter ya seekor Kambing.
Semua anak-anak di kampungku ingin menjadi pemain terkenal, teman-teman yang mrotol dari IM ramai-ramai pindah ke PSAD meski jauh di lapangan Wonokitri karena latihannya Gratis, kecuali aku, Basuki dan To tetap bertahan di IM meski tidak gratis.
Supaya bisa berprestasi, maka Kencana FC juga nge-Bon anak-anak remaja Assyabaab, yang aku ingat ada 5 yakni Abdul Kirom, kiper Hussein Bahanan, Alwi Assegaf, Moh. Alwi Agil dan Muhammad Al Hadad (Mamak), saat itu tidak ada yang menyangka bahwa di kemudian hari Al Hadad ini akan jadi pemain terkenal, saat itu kecil badannya, pendek tapi lincah dan pandai.
Luar biasa dampak keberhasilan Persebaya.
Tapi Persebaya jangan sampai terlena, kata orang bijak, merebut Juara lebih mudah daripada mempertahankan. Padahal PSSI tahun 1978 ini, akan menggelar Kompetisi Divisi Utama 5 besar hasil dari 1975-1977, yaitu Persebaya, Persija, PSM, PSMS dan Persiraja (urutan 5), dan akan digelar November 1978 – Januari 1979 sesuai judul Kompetisi. Persiraja sukses merebut ranking 5 setelah menang 2-1 atas Persib di laga play-off, sekaligus membuat Persib terdegradasi ke Divisi 1.
Sebagai persiapan Persebaya mengikuti Fatahillah Cup guna memeriahkan HUT Persija ke-50 bersama tuan rumah dan PSMS Medan, keduanya juga tengah bersiap menghadapi Kompetisi yang akan datang. Tetapi di turnamen itu justru Persija yang berjaya sedang Persebaya mengalami kehancuran.
Di laga pertama (16 Oktober 1978), Persija mengalahkan PSMS Medan dengan skor 3-2 via Hattrick John Lesnusa yang hanya dibalas dua gol Zulham Effendi.
Persija: Sudarno (kiper), Simpson R, Harry Muryanto (Berty T.), Marsely Tambayong, Suaib Rizal, Sofyan Hadi, John Lesnusa, Iswadi Idris, Robby Binur, Rully Nere dan Dede Sulaiman.
PSMS: Taufik Lubis (kiper), Ismail Ruslan, Supardjo (Mameh Sudiono), Mariyadi, Chairul Chan Siregar, Nobon, Effendi Marico (Yongki Haurissa), Sunardi (Sakirman), Suwarno, Zulham Effendi, Parlin Siagian.
Turnamen ini tidak disiarkan TVRI, aku hanya bisa menyaksikan lewat Dunia Dalam Berita, di mana terlihat Hadi Ismanto menerobos pertahanan PSMS, langsung melepas shooting, Taufik Lubis hanya bisa melihat bola bersarang mulus, tapi Persebaya dikalahkan PSMS dengan skor telak 1-3 di laga kedua (17 Oktober 1978), padahal PSMS bermain dua hari berturut-turut.
Lusanya, aku kembali tercenung lemas melihat ada foto Hamid Asnan berdiri di tiang gawang meng-cover Suharsoyo yang rebah menangkap bola tendangan Robby Binur, tapi laga tanggal 18-Oktober itu dimenangkan Persija dengan skor telak 3-0. Persija Juara Fatahillah Cup 1978.
Persija: AA. Rake (kiper), Simpson, Johanes Auri, (Berty T.), Marselly Tambayong, Suaib R, Sofyan Hadi, John Lesnusa (Taufik S), Iswadi Idris, Robby Binur (Syamsul S.), Dede Sulaeman, Rully Nere.
Persebaya: Suharsoyo (kiper), Hamid A, Santoso Pribadi, Wayan Diana, Riono A, Suyanto, Syamsul Arifin (Rudy W Keeltjes), Hadi Ismanto, Joko Malis, Budi Santoso, Abdul Kadir.
Persija 2 – 2 – 0 – 0 6-2 4
PSMS Medan 2 – 1 – 0 – 1 5-4 2
Persebaya 2 – 0 – 0 – 2 1-6 0
Rasa cemas bakal kehilangan gelar mulai menyelimuti kami, penggemar fanatik. Kami setia mengikuti berita Persebaya dan bahkan ramai-raai melihat mereka berlatih di Stadion Tambak Sari dipimpin Mudayat. Tapi kami tidak boleh mendekat.
Aku membayangkan suatu saat menggantikan mereka, tapi aku tidak tahu, berapa usia minimal seorang pemain bisa memperkuat Persebaya? saat itu aku masih 14 tahun, cukup waktu untuk berlatih keras. Dan ketika ada rejeki, akhirnya bisa juga aku Resmi terdaftar sebagai anggota IM, tidak lagi tukang nyerobot. Aku dan teman-teman memanggil cak Thohir tukang foto keliling guna mendaftar di IM ataupun PSAD. Dengan punya KTA, latihan kami jadi makin semangat.
Aku seorang kiper, maka agar tubuh ini bisa tinggi, katanya harus sering-sering berenang atau olahraga restok (Pull up), maka setelah latihan pagi di IM kami langsung ke kolam renang PORAKTA di Jln. Tanjung Perak. Murah tiketnya, tetapi untuk menghemat biaya, kami harus nggandol Spoor Pertamina dari Gubeng sampai Sidotopo Dipo, terus ke stasiun Benteng.
Jika haus, kami membeli 1 atau 2 gelas es gronjong diminum beramai-ramai. Sering kami memetik (lebih tepatnya mengambil) buah Belimbing atau Jambu Air di halaman rumah orang kaya di sepanjang Jl Residen Sudirman.
Sekilas, gambaran di atas sepertinya perjalanan hidup kami penuh sengsara, tapi sesungguhnya tidak! Boro-boro sedih-sengsara, kami semua menjalaninya dengan suka cita.
Malah, harus diakui semua itu merupakan kenangan indah tak terlupakan. (bersambung)
*) Penulis: Eko Wardhana, Pensiunan BUMN yang tinggal di Sawojajar, Malang.