Tahun 1979 berlalu via serangkaian kenangan pahit, sumpek bener, Persebaya hancur lebur dan PSSI Sea Games “Tak Mampu” membalas sakit hati masyarakat bola akan perlakuan Malaysia di Sea Games 1977. Justru kita dipermalukan 0-1 oleh Soh Chin Aun dkk di partai final, padahal skuad PSSI didominasi oleh banyak pemain NIAC Mitra.
Divisi Utama PSSI 1980 sinarnya tertutup gemerlapnya Galatama. Hal itu bisa dimaklumi, karena nama-nama besar yang biasa menghiasi klub perserikatan sebagian besar sudah hijrah ke Galatama. Ditambah surutnya klub-klub legendaris berbasis Suporter besar seperti Persebaya, PSMS, PSM dan Persib (saat ini di Divisi 1). Persebaya bahkan tak pernah menang di 6 besar. Grandfinal diraih oleh (maaf) tim yang tidak punya banyak suporter, yaitu Persiraja dan Persipura. Meski tetap menarik, tapi tidak lama kemudian final itu segera dilupakan orang.
NIAC Mitra tumbuh kuat, tapi tidak lantas menjadi Raja Galatama, kalah berpacu oleh Warna Agung, IM, dan Jayakarta karena beberapa kekalahan yang tidak perlu. Kalahnya pun dari tim-tim medioker, misalnya keok 0-1 dari Perkesa78, kalah 1-2 dari Jaka Utama. Hanya Warna Agung klub besar yang bisa menekuk NIAC Mitra (1-0, gol Victor Je Turangan).
NIAC Mitra masih punya peluang Juara jika mampu mengalahkan IM…
Nah, saat NIAC Mitra harus menjamu IM di Surabaya, aku kembali berharap bisa melihat Ronny Pasla secara langsung (skorsing Ronny diubah) tetapi untuk ke sekian kalinya, keinginan melihat kiper terbaik PSSI itu harus berakhir kecewa, ternyata yang diturunkan IM seorang kiper kecil dengan pakaian kedodoran. Sudah tua, lagi.
“Kipere IM sopo iku? gak potongan kiper, kaose klombrot-klombrot pisan,” kata Surya.
Sudah kecewa Ronny Pasla tidak main, aku dan publik Tambaksari kecewa lagi tatkala harus menyaksikan idola masyarakat Jawa Timur, Hadi Ismanto mengenakan Jersey IM Putih Merah, sedang melakukan pemanasan. Tapi tak ada caci-maki, tidak ada yang melempar benda, semua penonton terdiam dan menaruh hormat atas pilihan bintangnya itu.
Kekecewaan kian bertambah kala Hadi Ismanto dua kali menjebol gawang Hendriks Montolalu melalui eksekusi penalti dan sundulan tipis yang menipu. “Ah, andai Hadi Ismanto membela NIAC Mitra, betapa kuatnya…, ya, sudahlah!” Gol hiburan NIAC Mitra dihasilkan Joko Malis yang melewati para bek IM, sekaligus mengecoh kiper tua IM yang sore itu tampil gemilang, dia ternyata sudah dikenal sebagai Judo Hadijanto.
IM Jakarta menang 2-1.
Tahun 1980 itu aku sudah 16 tahun, tapi pertumbuhan tubuhku lamban, baru 167 cm, jauh dari layak untuk posisi sebagai kiper. Tapi aku berfikir “Kalau kiper kecil seperti Judo Hadijanto bisa menjadi kiper PSSI, berarti akupun bisa meski tidak setinggi Ronny Pasla.” Aku masih semangat berlatih, sebab kata orang masih bisa tinggi lagi, yang aku fikirkan hanya GIZI, karena terus terang saja, aku (maaf) jarang mendapat asupan gizi yang memadai, ekonomi kami tak memungkinkan. Padahal pak Ismanu, pelatih IM sudah mewanti-wanti untuk memperhatikan Gizi makanan. “Ojok mangan iwak kerupuk karo kecap thok ae,” kata beliau.
Sejatinya, sejak terpilih di remaja IM, aku sudah menyisihkan beberapa kiper belia sainganku seperti Bambang, Asyik, Siswadi, Albert, Madjid. Tetapi di tahun 1980 ini ada arek Sidoarjo masuk IM sebagai kiper baru, namanya Sunaryo, tinggi kekar dan lincah, aku mulai tersaingi. Apalagi dalam beberapa latih tanding melawan PSAD dan Assyabaab, aku membuat blunder.
Pada suatu kesempatan, kami, IM remaja diminta Panitia bertanding melawan Assyabaab remaja sebelum NIAC Mitra melawan Sari Bumi Raya (atau pertandingan yang lain?, lupa), Tanganku merasa kaku karena tidak diberi waktu warming-up oleh panitia, langsung main, hingga aku tampil grogi di depan belasan ribu penonton yang memadati Gelora 10 November.
“Oh, begini rasanya tampil ditonton ribuan orang.” Sebersit rasa bangga menyelinap dalam hati, tapi sebuah tendangan jarak jauh tiba-tiba melesat ke gawangku, aku kaget!! Dan berusaha menjangkau bola, tapi tidak kuasa menahannya, Gol !!
Kami dikalahkan Assyabaab 0-1 hanya karena kecerobohanku. “Hei kiper, nek tanding mata ne ojok ndlereng ae…” begitu pak Ismanu menghardikku, tajam dan aku hanya mampu terdiam di ruang ganti. Sejak itu perlahan tapi pasti, Sunaryo mulai mengambil alih pilihan pertama kiper.
Ketika kelasku, II D bertanding sepak bola melawan kakak kelas III A di lapangan Hockey Dharma Husada, aku ditabrak lawan, terjatuh, dan cidera, seperti ada yang salah di lenganku, tetapi karena ketiadaan biaya, maka cedera itu dibiarkan saja tanpa ada dokter atau tenaga medis yang memeriksa, sehingga hampir sebulan aku tidak bisa berlatih.
Dasar nasib, begitu lenganku membaik, sepatu bolaku harus direparasi (dijahit) karena tidak mungkin membeli baru. Padahal sepotong celana jean KW punyaku sudah “Kusekolahkan” di pasar loak Jl Gembong Tebasan, lokasi tercinta. Tapi uang hasil jual celana itu tetap tidak cukup untuk membeli sepatu bola yang bekas sekalipun.
Rudi menghiburku, “Koyok gak weruh wong Rombeng ae, nek dodol cik larang e, cobak giliran awak e dewe sing dodol, mesti ditawar murah, gak mbejaji.”
“Apakah aku harus gagal menggapai cita-cita ?” tanya hatiku, sejak itu duniaku mulai memasuki alam kekecewaan dan merana, layaknya film drama kesedihan. Di IM aku mulai kalah bersaing dan lenganku cedera, sepatu tidak bisa dipakai, tinggi tubuh mandeg di 167 cm.
Ada lagi hambatan baru… “Aku menunggak iuran bulanan di IM.”
Karena tidak latihan, Minggu pagi aku, Suryanto dan Basuki menuju lapangan Karang Gayam, mendengar ada kabar dilaksanakan seleksi Persebaya Yunior, banyak kakak kelas di IM yang mendapatkan panggilan seleksi. Istilah zaman Now, seleksi Persebaya untuk Kompetisi U-19.
Disana aku tertegun melihat bagaimana seleksi khusus kiper, sekitar 5 kiper yang diseleksi, ada yang bermain, ada yang tes skill, ada yang drill Ausdauer, 3 di antaranya tinggi untuk ukuran kami saat itu. Aku langsung minder karenanya, karena tinggi tubuh dan karena komplitnya perlengkapan kiper mereka, setiap mereka sudah dilengkapi sarung tangan, decker lutut, decker perut, pelindung tulang kering dan sepatu mereka… sudah bisa dilihat dari jauh, ADIDAS!
Di situ aku bertemu Yusdi Ramli, teman sekelas SMP 8 yang mengikuti ayahnya, Aboe Ramli, melihat seleksi Persebaya Yunior. Yusdi mengenalkan seorang kiper yang tidak tinggi, sedang di tes kemampuan terbangnya. Pelatih meminta 4 remaja tengkurap di tanah, berjajar seperti parkir mobil. Kiper itu diminta menangkap bola sambil terbang melintasi ke-4 remaja tadi, luar biasa! sejujurnya, kondisi saat itu aku belum seterampil itu. “Iku kiper PSAD ko,jeneng-e Mustofa, arek Sidoarjo, delok en nek terbang.”
Yusdi melanjutkan “Sing rambute ngombak iku, sing dhuwur, jenenge Sasono Handito, arek Gresik, teko Assyabaab.” Dia kiper yang amat ideal, fikirku. Dan memang, Sasono Handito ini akhirnya terpilih menjadi kiper utama Persebaya Yr untuk ke Piala Suratin 1980 walaupun akhirnya dikandaskan PSMS Medan.
Pergumulanku dengan sepak bola yang amat menyita seluruh waktu dan perhatian, menyebabkan aku GAGAL dalam studi. Yah, ketika semua teman-temanku berhasil lolos masuk SMA Negeri aku termasuk yang tidak diterima di SMA Negeri 7 Jl Ngaglik. Lengkap sudah derita yang aku harus alami.
Akhirnya, aku harus bersekolah di SMA Tritunggal II Jl Bronggalan Sawah. Nelongso aku disana, tetapi ada enaknya, banyak teman penggila bola.
Semua hal itu (blunder, lengan cedera, fisik kurang memadai, menunggak iuran dan tidak mampu membeli sepatu bola), menjadikanku stress lalu sering termenung. Meski aku tak punya teman curhat, tetapi ada saja yang ikhlas memberi nasehat “Kabeh iki wis nasibmu, koen wis berusaha masiyo gak berhasil… wis, sinau ae sing sregep… bal-balan duduk jodohmu.”
Aku tak ingat, sudah berapa lama aku tidak lagi berlatih di lapangan PJKA.
Beberapa teman di SMA Tritunggal II memberi solusi “Coba posisi lain ko, siapa tahu kamu ada bakat disalah satunya…” tetapi setelah aku mencoba, ternyata aku tidak berbakat sama sekali, aku lemah dalam men-dribble, bahkan tidak bisa juggling, demikian pula ketika mencoba posisi bertahan, aku lemah duel udara, bisanya hanya intercept dan main sapu bersih.
Tapi yang paling mendasar adalah, sebenarnya hatiku tidak kemana-mana, hatiku hanya ingin berada di bawah mistar gawang, itu saja. Mencoba melompat terbang menangkap bola, atau berjibaku dengan para penyerang. Di sana aku merasa puas.
Apa yang bisa dicatat di tahun 1980 tentang kegembiraan sepak bola, Persebaya?, masa depanku di sepak bola?, semuanya boleh dikata hancur, sehancur nasib PSSI Pre Olympic 1980 yang lagi dihajar oleh Malaysia, dihajar Korea dan Jepang. Bahkan yang lebih mengenaskan, dihajar juga oleh tim gurem, Brunei Darussalam.
Meski tidak ada berita yang menyenangkan hati, aku menganggap semua ini sekedar Hibernasi, “Kau tahu apa itu hibernasi…?”
Persebaya akan tertidur, tetapi tidak akan tidur panjang, hanya hitungan musim, demikian pula soal masa depanku, aku hanya tenggelam dalam tidur, nanti ketika bangun, Persebaya akan menjadi kuat kembali dan berjaya. Demikian juga aku.” (bersambung)
*) Penulis: Eko Wardhana, Pensiunan BUMN yang tinggal di Sawojajar, Malang.