EJ – Peran psikologi di tim sepak bola Indonesia jarang sekali terdengar. Sangat jarang ada tim psikologi di sebuah tim. Ada mindset yang keliru di masyarakat bahwa psikolog hanya didatangkan ketika ada masalah di tim. Padahal peran psikolog tak hanya itu.
Di Persebaya sejak Liga 2 2017 dimulai, ada sosok psikolog yang mengawal pemain selama kompetisi berlangsung. Perannya tentu tak bisa diremehkan karena di akhir kompetisi Persebaya keluar sebagai juara.
Pada babak putaran final Liga 2 di Bandung, EJ berkesempatan berbincang-bincang dengan Afif Kurniawan, psikolog Persebaya. Wawancara dilakukan di GBLA, Bandung, sehari sebelum pertandingan babak delapan Persebaya melawan Martapura FC.
Afif menjadi psikolog sejak 2011. Pria asal Malang ini menjalani kelas profesi psikolog pada 2010. Surat izin untuk praktek akhirnya keluar pada Desember 2010. Januari 2011, dia mulai menjalankan praktek.
Afif memfokuskan dirinya di psikologi klinis dan kesehatan mental dengan ruang lingkup kepribadian dan gangguan dan penyakit kejiwaan. “Tapi dalam perkembangannya, psikologi luas. Ada beberapa sub fokus yang saya tekuni. Saya memilih psikologi klinis anak remaja dan komunitas. Dan olahraga termasuk komunitas,” ujarnya.
Meski aktif di Persebaya, hingga kini dia tetap praktek di dua tempat yakni di kampus Unair Fakultas Psikologi unit pelayanan psikologi dan RSUA Kampus C Mulyorejo. “Di RSUA by appoinment. Sering tak tinggal juga karena tergantung kasus dan klien. Tapi domain utamanya ngajar. Sementara area pengembangan minatnya psikologis klinis olahraga,” ucap bapak satu anak ini.
Berikut wawancara lengkap EJ dengan Afif seputar perannya di Persebaya dan psikolog di sebuah tim olah raga.
Bagaimana awal mula terjun menjadi psikolog olahraga?
Awal mulanya di sepak bola Pra PON 2015. Saya sempat diminta masuk tim tiga pilarnya KONI. Tiga pilar itu adalah fisik, medis, psikologi. Di situ saya melihat tidak semua cabang olahraga di Indonesia tepat menggunakan aspek psikologi sebagai salah satu penguatan. Padahal kurikulum luar, pendekatan sport science itu salah satunya adalah psikologi. Dan itu harus diperhatikan. Selain di sepak bola, softball pernah, panjat tebing pernah, pencak silat, pendekatannya tentu beda-beda.
Peran psikologi di tim olahraga di Indonesia sangat jarang terdengar, mengapa bisa begitu?
Psikologi di masyarakat Indonesia masih baru. Contohnya, kalau ada pertandingan dan melihat mengapa mainnya tidak bagus, orang bilang pasti karena masalah mental. Tapi tidak pernah menjelaskan “masalah mental” itu seperti apa. Di situlah sebenarnya peran psikologi.
Kedua yang harus diklarifikasi adalah paradigma masyarakat yang mengatakan psikolog itu baru masuk ke tim ketika ada masalah. Padahal kalau di kurikulum luar, psikologi itu prevent. Psikologi untuk memprediksi ada nggak peluang terjadi masalah yang terjadi yang bisa mengganggu keharmonisan tim. Ada nggak aspek-aspek yang nantinya akan mengganggu kualitas performa pemain.
Ada tiga besar yakni assessment individu dan tim, program pengembangan berkala, kalau saya kelas. Dan konseling. Konseling ini by case, kalau ada persoalan. Dalam hal apapun yang sekiranya mengganggu performance, itu menjadi tanggung jawab. Itu yang perlu diubah terhadap mindset orang kepada psikolog di tim. Dan Persebaya membuka peluang untuk itu. Makanya saya semangat banget. Pendekatannya di sini adalah modern, pengelolaan timnya modern, sport industry. Makanya menarik.
Bagaimana ceritanya bisa ke Persebaya?
Saya suka olahraga. Basic-nya adalah bola basket. Sempat bermain dan menjadi wasit juga. Liga Mahasiswa pernah. Sejak semester 5 fokus ke wasit. Saya gak bisa lepas dari basket. Setelah tidak memperpanjang lisensi wasit, saya diminta PT DBL Indonesia untuk mengembangkan kurikulum bersama dengan musim NBL WNBL 2013. Itu awal ya saya kenal dengan teman-teman manajemen. Mas Azrul, Puji, Abud. Fokusnya tetap pengembangan kapasitas mental.
Hingga akhirnya liga akhir 2015 selesai. Di IBL saya hanya satu tahun saja karena saya tidak melihat ada program yang tepat yang dijalankan oleh mereka. Kemudian ada kontak dengan Persebaya. Kita melihat ada pluang pengembangan psikologi di sini. Kenapa tidak saya coba. Alhamdulillah sekarang berjalan.
Apakah ada hambatan saat menjadi psikolog Persebaya?
Pada awal-awal ada resistensi atau penolakan dari beberapa pemain. Tapi mereka yang resisten itu sekarang di tim tidak ada. Saya tidak tahu apakah itu kebetulan atau nggak. Saat itu mereka melihat ini apa sih gunanya kelas psikologi? Saya sempat mendapatkan reaksi dan respon seperti itu. Nggak tahu apa ada hubungannya tapi mereka yang seperti itu sudah tidak ada di tim. Artinya program psikologi itu dibutuhkan. kita bisa melihat teman-teman seperti sekarang.
Bagaimana mengatasi penolakan dari pemain?
Penolakan itu sudah saya siapkan dan antisipasi. Kita paham psikologi ilmu muda. apalagi di Indonesia, psikologi olahraga apa lagi. Apalagi saya cuma menargetkan 20 persen dari tim yang bisa menerima materi. Saya nggak nyangka lebih banyak yang punya keinginan untuk belajar. Semua pemain Persebaya mempunyai kapasitas untuk meningkatkan diri. Bagi saya itu luar biasa. Pemain bola tapi mereka haus ingin tahu untuk belajar sesuatu. Dan itu membuat mereka seperti sekarang. Bukan karena program saya. Di psikologi yang paling penting adalah kemauan pemain. Ketika kemauan pemain sudah tumbuh, program yang saya berikan enak untuk dijalankan.
Bagaimana mental pemain menghadapi game lawan Martapura FC?
Saya pikir mereka sudah terbiasa melakukan mental set. Sehari sebelum pertandingan mereka sudah punya kebiasaan-kebiasaan sendiri karena sudah saya biasakan. Pada akhirnya sudah menjadi otomatisasi. Sudah otomatis mereka seperti itu. Yang paling penting di semifinal dan tahap selanjutnya. Tetap fokus, kerja keras, dan kerja sama. Tiga itu yang ditekankan. Para pemain sudah tahu dan mengenali diri apakah dirinya lebih banyak egonya atau emosinya. Tahu jika temannya terganggu secara psikologis mereka harus ngapain.
Bagaimana grafik pemain secara psikologis?
Di psikologi, membicarakan grafik agak sulit ya. Indikatornya apa dulu. Kalo indikatornya adalah kematangan dan kedewasaan, grafiknya meningkat. Halus sekali meningkat. Tapi grafik antar individunya pasti sangat dinamis. Dan kita perlu melihat setiap pertandingan intensitasnya beda-beda. Saya selalu memakai kurva normal. Saya ajarkan ke anak-anak waktu lawan PSPS, mental set-nya pemain harus paham ketika masuk lapangan. Setting-an mode, setting-an konsentrasi itu harus ada di tengah. Tidak boleh terlalu ke kiri, tidak boleh terlalu ke kanan. Kalau terlalu ke kiri akan menyebabkan mereka banyak pikiran, minder, dan kurang percaya diri. Kalau terlalu ke kanan mereka akan overconfident. Bisa jadi ada panik dan cemas. Saya selalu menekankan kepada pemain, kalianlah yang merasakan. Itu resepnya buat mereka.
Apa yang anda lakukan di Persebaya?
Saya siapkan program selama satu musim. Saya cek program-program psikologi tim-tim luar negeri. Tapi kalau dari kurikulum luar dari American Psychiatric karena ereka punya kurikulum pendampingan untuk tim. Itu sebenarnya lima besar. Dan semuanya sama saja sih. Assessment untuk pemain, pemetaan kapasitas, program pengembangan, pendampingan, dan konseling. Kalau psikologi sudah mampu menjalankan ini semua maka sudah sesuai dengan kurikulum di mana-mana.
Selain ke pemain, apakah anda juga membuat program psikologi ke pelatih?
Kalau ada di luar area pemain, biasanya kita meeting. Kami meeting bersama manajer, semua dikumpulkan Ada manajer, pelatih, staf pelatih, semua dikumpulkan. Kita membahas bersama-sama karena kita ikut kita sama. Termasuk saya harus juga dikoreksi karena saya butuh masukan dari manajer. Kultur pengelolaan kita begitu. Itu meeting yang disiapkan untuk mengelola pemain dan 16 besar. Semua berkumpul memaparkan rencananya masing-masing.
Ada ritual bersimpuh dan melingkar di tengah lapangan sebelum dan sesudah Persebaya bertanding yang dilakukan pemain. Apakah itu bagian dari program?
Sebenarnya saya terkejut karena saya tidak mengajarkan itu. Yang saya ajarkan adalah berangkulan. Filosofinya adalah saling support pundak kanan dan kiri. Tapi ketika itu diimprovisasi pemain ditambah dengan berlutut, mas perlu tanyakan kepada Rendi juga karena inisiatifnya dari Rendi.
Pada pertandingan babak delapan besar waktu lawan PSPS itu saya sedikit memberi tambahan di kelas. Ketika kita berangkulan dan menginjak bumi maka mata kita harus sejajar. Jadi saling melihat satu sama lain. Karena ada pemain yang nuduk karena dia cemas sendiri. Padahal kalau dia melihat teman-temannya mereka support dia. Simple sebenarnya. Sebelum pertandingan untuk menguatkan, setelah untuk mensyukuri.
Apa yang perlu diluruskan tentang psikologi di Indonesia?
Di sini, psikolog dibutuhkan ketika ada konseling saja. Itupun kalau ada yang lapor. Stigma masyarakat juga ketika ngomong sama psikolog dianggap gila. Saat membicarakan psikologi, Ada dua yakni gangguan dan penyakit kejiwaan. Kita semua merasakan. Misalnya bangun tidur tiba-tiba ndredheg dan bilang ada apa ini. Itu gangguan. Pelatih merasakan kecemasan menjelang pertandingan besar, itu gangguan. Kalau gangguan bisa diselesaikan. Kalau penyakit saya butuh bantuan psikiater. Saya sering diskusi dengan dokter Dimas untuk itu. Karena pendekatan kita juga biopsikologi juga.
Selain itu, masih banyak masyarakat yang tidak bisa membedakan antara psikologi dan psikiater. Psikiater itu dokter spesialis kejiwaan Metode. Asessment dan cara mendiagnosanya serta menanganinya beda. Dokter berhak melakukan pendekatan psychopharmakotherapie termasuk meresepkan obat. Sementara psikolog harus tahu fungsi obat itu apa dan bagaimana. Psikiater harus tahu pendekatan behavioral, humanistic, dan pendekatan psychoanalysis.
Apakah tidak banyaknya tim yang memakai peran psikolog karena pemilik tidak menghendaki?
Lepas dari pemiliknya mau atau tidak. Pemiliknya punya wawasan kesana atau tidak, itu lebih penting. Kuncinya di situ. Dia tahu nggak kedudukan psikologi di olahraga. Kalau paham pasti diupayakan. (iwe)