Di lapangan PT SIER, Rungkut Industri, aku bertemu teman lama dari IM tapi lupa namanya (Mardiyanto? mungkin), dia menyapaku, bersalaman erat dan bercerita. “Tak kiro kamu yang jadi kiper Persebaya, waktu aku nonton Persebaya, ingatanku langsung kepadamu kalau melihat potongan rambutnya Putu Yasa, aku lupa namamu hanya ingat wajah saja serta nama belakangmu yang berbau Bali. Eh, ternyata bukan.” Katanya sambil tersenyum.
“Aku mosok aku podho karo Putu Yasa, adohhh rek…ngawur ae.”
Mardiyanto tertawa “Iyo ko, nek teko adoh kok memper. Temen, asli iki.”
Ah, dia hanya ingin menyenangkan aku saja, kami berdua sama-sama gagal dalam sepak bola dan menempuh jalan di luar lapangan. Dia mengira aku masih berlanjut di IM. Tetapi aku senang, setidaknya teman-teman IM dulu ada yang mengingatku, sebagai sahabat dan juga sebagai seorang kiper belia.
Belum ada kompetisi Divisi Utama tahun 1989 ini, sedangkan kompetisi Galatama masih berlangsung dan NIAC Mitra sepertinya berat mempertahankan juara. Sebenarnya, tahun ini aku sudah hendak menikah, sudah 25 tahun, tapi masih saja hobi Camping. Harusnya aku sibuk menghitung undangan, biaya-biaya, atau membuat foto Pre Wedding (saat itu belum ada yang begituan). Justru malah aku berkemah di Kakekbodo, Tretes.
Pagi hari berfoto, mencoba mengabadikan apa yang dilantunkan Cat Stevens dalam “Morning Has Broken” sembari menikmati embun, menyongsong sinar pertama yang menyeruak dari rimbunnya semak dan pepohonan, eh! Tak dinyana, ada remaja penjual koran masuk di area Camping ground. “Koraaan, koraan!!” akupun segera beli 1 eksemplar dan langsung dikejutkan dengan berita gembira “Persebaya Juara Piala Persija”… mengalahkan Persib via adu tendangan penalti.
Di koran itu diceritakan, pahlawan bagi Persebaya ada dua pemain, pertama adalah bintang muda yang sedang melejit, Yusuf Ekodono, arek asal IM, yang berhasil menyelamatkan Persebaya dari kekalahan dengan menyamakan skor 1-1. Yang kedua, kiper I gusti Putu Yasa, yang menapak jalan Ponirin Mekka, menggagalkan semua algojo penalti Persib.
Seharusnya, aku tidak melupakan detail berita tentang laga ini, atau ada yang masih ingat ? tolong ditambahkan, terima-kasih.
Tahun 1989 termasuk masa kejayaan Persebaya untuk periode 1987-1990, beberapa turnamen diikuti seperti Piala Persija, Surya Cup, dan lainnya dengan hasil yang gemilang, diantaranya menang adu penalti melawan NIAC Mitra.
Sedang kecewanya adalah saat dikalahkan Petrokimia Putra (di final apa ya?) yang sudah diperkuat oleh Ferril Raymond Hattu, Neng Syaifullah dan kiper Erick Ibrahim. Meskipun Persebaya terus mengurung, membombardir gawang Petro, tapi akhirnya Persebaya kudu menyerah 0-1 melalui eksekusi penalti kapten Ferril R. Hattu. Dukungan puluhan ribu Bonek tidak mampu membantu.
NIAC Mitra sebenarnya juga masih di masa puncak di tahun 1989 itu, tapi kali ini tak mampu mengatasi kegemilangan Pelita Jaya meski sempat mengatasi mereka dengan kemenangan via pertandingan GRATIS di pagi hari, di Gelora 10 November.
Aku ingat, temanku (alm) Syamsuddin berseru: “Eko, ayo nang Tambaksari, NIAC main tutugan e wingi sing ditunda, skor jik 1-1, Ayo nggae sepeda motorku ae.”
“Lho, karcise?”
“Gratis!!” jawab almarhum dan kami dengan masih mengenakan seragam batik KORPRI paska upacara bendera, langsung nyelintung “ngebut” ke Tambaksari, tidak langsung ke meja kerja seperti yang lain. Tetapi terlambat, di Tambaksari penonton sudah menyemut karena semua pintu stadion dibuka lebar-lebar oleh Panitia.
Tidak ada tempat semeterpun yang tersisa untuk kami kecuali berdiri berdesakan di sintelban, memandang scoring board sudah menunjukkan Pelita Jaya (1) dan NIAC Mitra (2), aku tanya ke penonton lain, siapa yang mencetak gol kemenangan, dijawab “Agus Sarianto.”
Untuk bisa jadi juara, NIAC Mitra kudu mengatasi Pelita Jaya lagi, tapi kali ini tempatnya di stadion Lebak Bulus dan untuk itu, Jawa Pos membuka pendaftaran Tret-tet-tet agar mendapat kemenangan. Tapi, mungkin sudah tiba waktunya bagi Pelita Jaya menjadi Juara Galatama, NIAC Mitra hanya bisa bermain 1-1 dan merelakan gelar juara melayang ke Jakarta.
Untungnya, aku kok tidak bisa ikut tret-tet-tet ke Lebakbulus.
Walaupun nyaris menikah, tetapi aku tidak menjaga diri, tidak khawatir cedera atau terluka. Buktinya, aku masih mau saja diikutkan berbagai Tour oleh kantor ke beberapa kota di Jawa Timur, yah bagaimana lagi, anggap saja itu rekreasi gratis sambil tetap bisa menyalurkan hasrat bersepakbola.
Aku masih 25 tahun, masih senang-senangnya main bola. Berdiri di bawah mistar gawang dengan seragam kiper adalah kenikmatan yang tak tergantikan. Meskipun Sie Olahraga di kantor membelikan aku sarung tangan untuk kiper, tapi aku jarang memakainya, nggak kulina, memang kampungan, tapi menurutku, dengan tanpa sarung tangan… aku merasa lebih nyaman dan lebih percaya diri.
Menjatuhkan diri untuk menangkap dan memeluk bola yang hampir masuk ke gawang kita, merasakan kulit bola itu lengket di kulit telapak tangan, nikmatnya serasa makan sop buntut + soda gembira + sambel terasi + uang bonus. Sungguh tak terkira.
Bagiku, saat-saat yang paling membahagiakan adalah saat kita memasuki lapangan disambut bau rumput atau bau tanah yang khas, dilanjut suara dessing bola ditendang keras-keras, aku menangkapnya, memeluk erat-erat bagai memeluk kekasih. Senyum puas mengembang di bibir kala mampu menyelamatkan gawang, bermandikan lumpur atau basah diguyur hujan.
Kiper yang pernah berbicara seperti itu salah satunya adalah Moacyr Barbossa, kiper timnas Brazil yang bernasib tragis di Piala Dunia 1950. Barbossa tidak suka memakai sarung tangan hanya untuk bisa merasakan sensasi kulit bola yang ditangkapnya.
Tahun 1989 tidak terasa berganti ke 1990, waktunya bicara Kompetisi Divisi Utama.
Persebaya seperti biasa, dengan skuad lama tetap tampil mentereng sebagai jawara di wilayah timur dengan hanya menderita 2 kekalahan, salah satunya adalah dari PSIS 2-1 tapi tetap saja PSIS tidak mampu melaju ke 6 besar di Senayan. Persebaya dan PSIS seperti jadi duri diantara keduanya.
Manajemen dan pelatih Persebaya masih mempercayai skuad 1987-1988 yang sebenarnya sudah melewati masa emasnya, ditambah amunisi muda seperti Putut Wijanarko, Yusuf Ekodono, dan beberapa lagi, percaya diri meski berada di grup neraka bersama musuh utamanya, Persib Bandung dan PSMS Medan.
Di pagi hari, aku dikejutkan omelan kakak iparku di rumah Probolinggo, “Waddah!! gak maen, Persebaya kalah!!” keluhnya sambil tetap membaca Jawa Pos. Ternyata Persebaya kalah 0-2 dari Persib di laga awal. “Waduh, kok iso kalah yo.” Kataku menggerutu, “Tapi gakpopo mas, lawan PSMS ngko Persebaya bakal iso ngatasi kok.” Jawab aku membujuk, tapi tak urung sedih dan jengkel juga hati ini membaca kekalahan Persebaya.
Esok lusanya pagi, di kantor, aku membaca koran Kompas, di sana terdapat foto sepakbola di halaman 1 yang amat melegakan, disertai judul “Gol Emas” kulihat Putut Wijanarko sedang melancarkan sundulan kepala nan mematikan, menghunjam jala PSMS. Betapa berharganya gol sundulan kepala Putut Winajarko itu, karena mengamankan Persebaya dari posisi kritis. Persebaya ke semifinal sedang PSMS tersisih. Benar tebakanku.
“Huuuuh, legooo.”
Di semifinal, untuk kesekian kalinya, Persebaya menjadi batu sandungan bagi ambisi Persija, mereka dikalahkan lewat adu penalti (7-5) untuk kemudian maju ke grandfinal menghadapi Persib yang menang telak 3-0 atas PSM yang sempat diwarnai adu fisik dan kerusuhan.
Luar biasa, Persebaya maju ke grandfinal 3 kali berturut-turut (1987-1988-1990), dan inilah saatnya membalas kekalahan 2-0 di babak grup kemarin, ayo kawan-kawan kita tret-tet-tet ke Senayan. Go!! (bersambung)