Persebaya, Kenangan Masa Lalu: Tur Maut (21)

Mitra Surabaya.
Iklan

Gesekan antara arek Surabaya dan arek Malang sangat luar biasa gemanya, menjadi pembicaraan hangat di segenap lapisan masyarakat dengan tema “Apa latar belakang penyebab terjadinya gesekan tersebut.” Lalu, dibumbui berita tentang sweeping KTP di Malang dan Surabaya, serta pelemparan dan perusakan mobil plat L banyak terjadi, lalu berbalas tindakan serupa di Surabaya.

Di kantorku ada bisik-bisik dari mulut ke mulut, “Yang akan melakukan Perjalanan Dinas ke Malang dan atau yang melewati kota Malang, agar berhati-hati, ada kerusuhan sepakbola!!”

Sudah pasti semua pihak prihatin, termasuk klub, pimpinan dan suporter di kedua belah pihak dan masyarakat Jatim pada umumnya (Kecuali mereka-mereka yang memang ada kepentingan di balik gesekan ini). Tapi siapa yang patut disalahkan? SETAN, itu sudah pasti. Tetapi berbentuk apakah si setan itu??? berbentuk Jin atau Manusia???

Banyak cerdik-pandai, pakar budaya dan pengamat yang memberikan argumen perihal sebab-musabab timbulnya perseteruan Surabaya-Malang. Rata-rata argumen mereka tidak jauh dari:

Iklan

– Psy War dari Barmen-Mudayat di mass media.
– Pemukulan pemain Persebaya di Malang.
– Serbuan Suporter Persebaya ke Gresik (saat Persegres vs Persema).
– Kerusuhan di konser Kantata Takwa di Gelora 10 November.

Aku pribadi, MAAF, punya pandangan tersendiri yang berbeda. Menurutku, semua peristiwa di atas itu adalah sekedar “Pemantik Api” atau “Pemicu” saja, tapi penyebab yang sesungguhnya itu sudah ada bertahun-tahun sebelum 1992, malah mungkin dimulai dari awal dekade 1960 an.

Kepala Seksiku yang baru (1989-2001) adalah Arek Malang, asal Dinoyo, sudah senior bahkan sudah lama almarhum, dia bercerita bahwa dahulu kala saat sedang maraknya begal-membegal, rampok, bajing loncat dan premanisme di jalanan umum di pulau Jawa, para pelaku tergabung dalam gank-gank, dan saat itu gank yang paling terkenal adalah KORAK.

Konon kelompok ini adalah gabungan para preman asal Surabaya. Ada yang menyebut Korak itu singkatan dari “Komando Perak” yang semula hanya beraksi di pelabuhan-pelabuhan. Ada yang menyebut singkatan dari “Kotoran Rakyat”. Banyak pengusaha asal Malang yang mengeluhkan gangguan ini dan minta tolong ke kenalan, maka para preman asal Malang tak mau kalah, mereka membentuk gank tandingan dengan nama Arema (Arek Malang).

Setiap truk yang ditulisi Arema, haram diganggu oleh preman asal Malang. Lalu, bagaimana preman Arema tahu bahwa itu truk pengusaha asal Malang? Salah satu KODE yang wajib bisa (dipelajari) adalah memakai bahasa terbalik, boso walikan… dan tidak sembarang walikan, ada kaidah-kaidahnya tersendiri, seperti Ng tidak bisa dibalik jadi Gn, tetap harus NG, contoh: kata “Malang” tidak bisa dibalik menjadi Gnalam tetapi Ngalam.

Aku pernah membaca buku tentang sejarah Arema (Arema Never Die?) di situ Lucky Acub Zaenal bercerita banyak. Nah, disitulah sebab yang dominan berada, menurutku. Intinya, mengapa semua yang terkenal dari Jawa Timur disebut orang asal Surabaya? tidak semua yang hebat asal Surabaya, asal Malang pun juga bisa…jadi, yang dituntut (diharapkan) di sini adalah Aktualisasi Diri, kebutuhan akan “Diakui” dan juga Kesetaraan.

Hanya saja, aku merasa tidak berkompeten untuk membahasnya, ada yang lebih berkompeten.

Kita tinggalkan pergesekan Bonek-Arema…

Sepeninggal NIAC Mitra, kota Surabaya mempunyai klub Galatama yang baru bernama Mitra Surabaya yang sebenarnya penjelmaan dari NIAC Mitra. Klub ini lahir atas desakan suporter Surabaya yang tidak rela kehilangan klub Galatama kesayangannya itu dengan mendesak Dahlan Iskan, sebagai pimpinan Jawa Pos.

Dahlan bersedia mendirikan klub pengganti itu dengan syarat, (1) Mitra Surabaya tidak terkait apapun dengan Jawa Pos, (2) Masyarakat luas ikut berpartisipasi dan oleh karenanya, kebutuhan finansial digali dari keuangan masyarakat, Jawa Pos hanya membantu sekadarnya, maka jadilah Mitra Surabaya ikut kompetisi 1990-1992.

Aku pun ikut berpartisipasi dalam penggalian dana bagi Mitra Surabaya, aku daftarkan diriku dan anakku yang kedua, Kartu Tanda Anggota seperti dalam foto di bawah ini sebagai bukti, maka dari itu, Mitra Surabaya diberi julukan “The Public” dan tidak hanya sebatas itu, aku juga ikut Tret-tet-tet “nglurug” ke kandang lawan di musim kompetisi 1993-1994 yakni saat Mitra Surabaya away melawan BPD Jateng yang bermarkas di stadion Citarum Semarang, ikut program Jawa Pos. Kami berangkat dari kantor percetakan Jawa Pos di Jl Karah Agung.

Musim ini sebenarnya tensi dan emosi masih tinggi, tetapi saat kami turun di stadion Citarum keadaan cenderung sepi, adem-adem saja dan malah kami sempat ikut numpang pipis ke rumah penduduk sekitar. Tidak ada gangguan sama sekali.

Ketika Suporter Mitra sudah menggoyang stadion, tidak ada perlawanan masif dari suporter tuan rumah, jumlah penonton pun lumayan imbang antara tamu dan tuan rumah.

Ditengarai bahwa suporter BPD digalang dengan tergesa-gesa, khusus untuk menyambut tamu yang dikenal punya reputasi sangar dan suka perjalanan tandang, bahkan spanduk yang mereka pajang sangat kentara hasil cetakan, beda dengan spanduk-spanduk yang dibawa Suporter Mitra, buatan tangan, lebih heroik dan lebih artisitik.

Bisa dilihat bahwa beberapa spanduk BPD Jateng berbunyi sama, berwarna sama dan modelnya sama persis…”BPD, Mana Gol Mu ?” rupanya, posisi tuan rumah (BPD Jateng) saat itu sedang prihatin akan performansi jeleknya, jadi BPD sedang ditinggal penggemarnya.

Mantan striker Bajul Ijo, Agus Winarno belum-belum sudah membuat torsedor Mitra Surabaya melonjak gembira dengan gol berbalik badannya, meskipun kemudian striker Widiantoro(?) bisa menyamakan skor 1-1 akibat kecerobohan kiper Putu Yasa. Di babak II Hendri Susilo mencetak gol kemenangan Mitra Surabaya 2-1. Pesta para Torsedor.

Seperti biasanya, banyak gangguan mengiringi perjalanan pulang kami ke Surabaya, lemparan batu dari penembak gelap penduduk lokal beberapa kali mengenai bus.

Di balik sungai di daerah Demak, persis di lokasi peristiwa 1990 yang aku ceritakan di bagian (19), kami melihat beberapa pemuda melempar batu, sontak semua berteriak, “Pir, sopir berhenti pir !!” lalu kami turun dari bus mengejar pemuda-pemuda tadi. Mereka lari terbirit-birit, berpencar dan dua diantaranya ketimpa sial, karena berlari menuju lorong yang rupanya buntu. Kami menghajarnya, hingga tertelungkup. Setelah belasan bogem bersarang, keduanya pun mulai menangis. “Sudah! Sudah!! Ayo kita ke bus.” Lalu kami berlari ke bus kami untuk melanjutkan pulang.

Setelah NIAC Mitra (Surabaya), Galatama yang menyusul berdiri adalah Arema (Malang), kemudian ada Petrokimia Putra (Gresik), Assyabaab (Surabaya) dan Bentoel Galatama (Jember). Yang mengherankan adalah Galatama Assyabaab, semula Assyabaab sangat didukung warga Surabaya, tapi begitu ada Salim Group sebagai sponsor, sehingga menjadi Assyabaab Salim Group Surabaya (ASGS) dukungan itu berangsur-angsur menyurut bahkan jika berhadapan dengan Mitra Surabaya, ASGS seperti menjadi tamu yang dibenci. Di sini, tak bisa dipungkiri, sentimen golongan juga amat berpengaruh.

Masih terekam di ingatan ini kala Mitra Surabaya tertinggal 0-1 oleh ASGS di Tambaksari. Tapi begitu Hendri Susilo menyamakan skor, sorak sorai penonton begitu meriah seolah sang tamu adalah lawan dari luar kota Surabaya, apalagi ketika skor berbalik menjadi 3-1 buat Mitra, sorak sorai bergetar tak tertahankan. Sungguh prihatin nasibmu ASGS, berbalik dengan Mitra yang untuk pulang ke mess saja dikawal ratus sepeda motor sampai ke Kebraon.

Tetapi semua klub itu sangat garang di kompetisi, bahkan NIAC Mitra juara tiga kali (1982, 1984, 1988), Arema sekali (1993) dan Petrokimia Putra sekali (2002), tidak ada satupun provinsi di Indonesia yang mampu melahirkan para Juara Nasional selain Jawa Timur. Karena begitu alotnya klub Galatama (dan Perserikatan) bertandang ke Jawa Timur banyak yang mengatakan bahwa rangkaian pertandingan ke Surabaya, Malang, Gresik, Sidoarjo, Jember dan lain-lain sebagai TUR MAUT.

Tetapi sayang, Bentoel dan Assyabaab kemudian dibubarkan, NIAC Mitra berganti menjadi Mitra Surabaya dan diambil alih Mitra Kukar, Petrokimia juga demikian dan praktis hanya Arema yang masih bertahan dengan segala kesulitan. (bersambung)

*) Penulis: Eko Wardhana, Pensiunan BUMN yang tinggal di Sawojajar, Malang.

Komentar Artikel

Iklan

No posts to display