Liga 1 2018 sudah di depan mata. Bonek di seluruh dunia sudah pasti siap mendukung Persebaya Surabaya dengan sangat antusias. Apalagi, yang tinggal di Surabaya dan sekitarnya, atau kota-kota di mana ada tim yang berkompetisi di Liga 1. Sebab, suatu saat pasti Persebaya akan away ke kota tersebut.
Sebagai Bonek yang tinggal di Jember, 200 km jauhnya dari Surabaya, keinginan untuk mendukung Persebaya saat menjamu lawannya di Stadion Gelora Bung Tomo (GBT) Surabaya selalu ada. Dan saya tahu, saat home di GBT, banyak Bonek datang dari Pasuruan, Probolinggo, Bali, Tulungagung, Pacitan, dll.
Bonek di Jember jumlahnya cukup banyak. Saat pertandingan di Surabaya, atau Bandung ketika laga semifinal Liga 2 lalu, saya tahu ada Bonek yang datang dari Puger, Kencong (dua kecamatan di Jember).
Kita semua tahu, Bonek ada di seluruh dunia. Bahkan, di benua biru Eropa. Apalagi cuma di Indonesia, Bonek pasti ada dari pucuk Pulau Sumatara sampai ujung Papua.
Berbicara saat laga home di GBT, sejauh ini saya melihat kemudahan pembelian tiket untuk Bonek luar kota masih belum terlihat. Indikatornya bisa dilihat dari, pertama, tidak ada pembelian on the spot (OTS).
Meniadakan pembelian tiket OTS hanya meniadakan penumpukan massa di loket stadion, yang berpotensi menimbulkan gesekan. Tetapi, untuk memudahkan Bonek mengakses tiket, apalagi menumpas calo, OTS ini tidak ada pengaruhnya.
Padahal, beli tiket langsung di channel-channel yang ditunjuk pada H minus laga juga menciptakan persoalan baru. Apa itu? Untuk beli harus antre. Kalau channel yang dituju kehabisan tiket, pindah ke channel lain. Sangat boros waktu dan tenaga, apalagi Bonek yang berstatus karyawan.
Kedua, manajemen hanya mengintensifkan dan menambah channel pengurusan Bonek Card. Semua outlet Persebaya Store sekarang menerima pengurusan Bonek Card. Ditambah, melalui fasilitas mobile dengan kendaraan keliling di beberapa kota penyangga Surabaya, seperti Gresik, Mojokerto, Sidoarjo.
Padahal, kalau bicara plus minus, Bonek Card ini tidak kompatibel bagi sebagian Bonek. Misalnya, tidak semua Bonek mampu membayar di muka, tidak semua Bonek bisa menonton laga home (terutama yang menjadi karyawan dengan ikatan kerja ketat). Apalagi bagi Bonek luar kota, Bonek Card ini tidak terlalu manfaat (maaf loh ya Mr President Azrul Ananda).
Ketiga, pembelian tiket pada H minus laga di beberapa lokasi hanya efektif untuk Bonek Surabaya dan sekitarnya. Pembatasan pembelian satu KTP hanya 2 tiket itu pun sesungguhnya dilema. Di satu sisi, bermanfaat buat membatasi ruang gerak calo (walau calo pasti punya seribu cara untuk mengakali aturan ini).
Tapi, buat Bonek luar kota seperti saya, pembatasan ini membuat lebih sulit buat nitip beli tiket melalui kawan Bonek di Surabaya, seperti yang selama ini saya lakukan. Saya kadang merasa beli tiket home Persebaya itu seperti beli narkoba. Pesan lewat SMS ke kawan Bonek di Surabaya, COD (cash on delivery) di halaman GBT. Rek, iki jamane canggih, arep ndelok bal-balan ae koyok kate tuku narkoba.
Keempat, vendor pembelian tiket online melalui mytikcket masih dipertahankan. Padahal, di media sosial banyak keluhan dari Bonek luar kota yang menilai pembelian online tidak user friendly. Pendek kata ribet.
Karena itu, usul saya sederhana saja. Buatlah aplikasi pembelian online yang user friendly, mudah dioperasikan, sebagaimana demikian mudahnya kita beli tiket pesawat terbang lewat smartphone.
Kalau bikin aplikasi pun tidak sempat, atau dianggap mahal, kerjasamalah dengan Traveloka, misalnya. Biar Traveloka yang menyiapkan aplikasinya: klik tiket Persebaya, pilih kelas tribun, masukkan biodata, lalu vendor kirim kode transfer. Setelah bayar via transfer di ATM, vendor kirim tiket melalui email.
Bagaimana agar tidak dimanfaatkan calo? Ya buatlah batasan juga. Satu akun maksimal hanya bisa beli 2 tiket. Beres kan? Dan entah, kenapa hal semacam ini sampai hari ini belum dilakukan.
Buat mendukung kebanggaan, saya yakin Bonek akan melakoni apa pun, walau berat dan sulit. Tetapi, sesekali buatlah Bonek merasa mudah untuk mendapatkan tiket laga tim kebanggaannya.
Salam satu nyali, wani! (*)
Hari Setiawan, bermukim di www.harisetiawan.com dan twitter @harisetiawan165