Kegusaran tentang ego para pemain Persebaya di dua laga sebelumnya akhirnya mencapai puncaknya. Tanpa harus menunggu lebih lama lagi, hanya di pekan ketiga kekalahan pertama Green Force di musim 2018 akhirnya terjadi. Dan lebih istimewanya saat Persebaya bermain di kandang. Apa yang terjadi? Ke mana permainan kolektif yang dulu anda (pelatih dan manajemen) dan kami (para suporter, customer) banggakan?
Dulu saya pribadi sempat berangan-angan saat Persebaya musim lalu masih berada di Liga 2, dengan ciri khas permainan yang enerjik nan atraktif, kolektivitas dan chemistry antar pemain yang sangat erat. Pasti akan jadi tontonan yang sangat wah, apalagi bila “Piala Indonesia atau apapun itu namanya” sudah berjalan, sebuah kompetisi yang dapat mempertemukan Persebaya dengan tim-tim hebat yang ada di Liga 1. Walau tanpa pemain asing dan bermodalkan mayoritas pemain yang masih hijau, tentu saja kami (para suporter, customer) akan percaya diri kalau Persebaya akan mampu bersaing.
Tapi apa daya, saat sekarang Persebaya akhirnya berhasil mentas dan kembali ke habitat aslinya semua hal tersebut seperti hilang tak berbekas. Semuanya berubah jadi monoton, didukung dengan ego para pemain yang sangat tinggi dan terlihat seperti bermain untuk nama pribadi bukan lagi untuk nama Persebaya. Klub yang kami (para suporter, customer) banggakan, perjuangkan dan kami dukung mati-matian.
Mana yang katanya #KitaPersebaya?
Terus apa arti kalian selalu melingkar, bersimpuh dan berangkulan bersama-sama sebelum pertandingan bila tidak ada rasa saling percaya dan bermain secara tim?
Sepakbola itu permainan 11 orang jadi bermainlah sebagai suatu kesatuan, tak perlu berebut untuk unjuk gigi untuk menunjukkan siapa yang paling hebat di tim.
Kami (para suporter, customer) tanpa pilih kasih akan mengidolakan kalian semua, para pahlawan yang bermain sepenuh hati untuk Persebaya. Jadi berhentilah bermain untuk ambisi pribadi, bermainlah untuk lambang di dada (Persebaya).