Boling (Bondho Maling) sampai saat ini diidentikkan dengan Bonek. Tak salah jika ada yang melihat Boling = Bonek, karena mereka bertribut Persebaya/Bonek dalam melakukan aksi penjarahan, pencurian, dan tindakan kriminal lainnya.
Lalu mengapa kemudian fenomena Boling muncul dan sepertinya sulit diantisipasi sampai dengan saat ini? Jika saya boleh berpendapat, fenomena Boling ini karena persepsi yang salah akan makna Bonek itu sendiri, dan adanya pergeseran makna dan tujuan mengenai estafet.
Bonek oleh para Boling dipersepsikan dengan mendukung Persebaya tanpa bondo atau uang sama sekali. Apesnya, pemikiran seperti ini sudah mengakar kuat.
Sudah sejak tahun 2000-an saya terlibat aktif dalam aktivitas mbonek, dan sudah banyak sekali menemui pemikiran seperti itu ketika away di kandang lawan. Mereka sama sekali tak membawa uang, kalaupun membawa jumlahnya minim sekali. Dan ketika ditanya, jawabannya nyaris sama, Bonek kok nggowo duik, Bonek kok bondo. Oleh karena itu, saya bisa menyimpulkan seperti di atas, bahwa ada pemahaman yang salah akan makna Bonek itu sendiri.
Jika kita telusuri jauh sebelumnya, Jawa Pos selaku media yang melahirkan akronim Bonek, tidak mempersepsikan Bonek sebagai aktivitas mendukung Persebaya dengan tanpa modal sama sekali. Akronim Bonek ketika lahir, dipersepsikan sebagai seseorang yang rela mengkorbankan segala sesuatu untuk mendukung Persebaya, mulai dari menjual barang-barangnya, membolos kerja dan sekolah, meninggalkan keluarga, dsb.
Kemudian estafet yang memang sudah ada sejak dahulu, juga terjadi distorsi tujuan. Estafet semula lahir untuk menekan biaya mbonek dalam hal transportasi yang relatif mahal, namun mereka dahulu tetap membawa bekal atau uang untuk makan. Di Jawa Pos dahulu selalu ada pemberitaan, yang melakukan estafet di Senayan mereka membawa kompor dari rumah, membawa kardus mie instan, dsb, jadi bukannya sama sekali tidak membawa bekal seperti sekarang. Memang masih ada yang melakukan estafet dengan tujuan untuk menekan biaya transportasi, tapi sekarang cukup sulit untuk membedakan motivasi yang melakukan estafet, karena setiap kali away selalu ada yang melakukan penjarahan, pencurian, dsb. Ironisnya, bahkan dilakukan pada Bonek sendiri. Jadi para Boling tidak peduli, siapa yang menjadi korbannya.
Akibat dari aksi kriminalitas tersebut, membuat antipati terhadap Bonek makin membesar, padahal Bonek yang lain terus berupaya melakukan perbaikan dan rekonsiliasi dengan banyak pihak yang notabene dulunya ada rival. Upaya perbaikan dan rekonsiliasi yang telah terpacapai pada akhirnya sekarang diuji kembali karena aksi kriminalitas tersebut. Jalur-jalur yang sebelumnya aman dilewati menjadi rawan kembali.
Apakah hal ini terus menerus dibiarkan?
Saat ini fenomena Boling dan estafet yang sudah terdistorsi tujuannya, telah memakan banyak korban, baik masyarakat awam dan Bonek itu sendiri. Oleh karena itu, perlu upaya masif dan terstruktur menghadapi fenomena tersebut.
Ijinkan saya, memberikan beberapa pendapat untuk melawan fenomena tersebut.
Pertama, pemikiran salah kaprah tentang mbonek gak bondo sama sekali harus dilawan dengan pemikiran juga. Harus ada upaya pelurusan terhadap hal tersebut. Budayakan kembali pemikiran mengenai mbonek yang bertanggung jawab, tidak menyusahkan banyak orang, dengan membawa bekal selama dalam perjalanan dan di kota orang. Menjamurnya berdirinya komunitas Bonek seharusnya berbanding lurus dengan upaya masif ini, komunitas tersebut harus bisa memberikan edukasi pada anggotanya.
Kedua, ini cara ekstrim tapi saya rasa harus dilakukan, yaitu hentikan sama sekali estafet. Saat ini, estafet lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Terlalu banyak Boling yang menumpang hidup dari budaya estafet ini. Sehingga korban baik dari masyarakat awam dan Bonek itu sendiri bisa diminimalisir.
Ketiga, membuat tour dengan biaya murah. Banyaknya komunitas Bonek seharusnya bisa dikoordinasikan mengenai tour berbiaya murah, sehingga bisa dijangkau oleh semua kalangan.
Keempat, memulai dari diri sendiri, jika tak punya dana/uang tidak melakukan tour dalam mendukung Persebaya. Keadaan yang mendesak seperti lapar dapat memicu seseorang untuk berbuat kriminal.
Kelima, tidak mentoleransi kembali keberadaan Boling, selama ini kita mentoleransi keberadaan mereka karena ikatan solidaritas kelompok sesama hijaunya. Hingga pada akhirnya, mereka selalu merasa dimudahkan karena sudah tersedia makanan dan transportasi untuk mereka. Tapi ironinya, mereka tidak melihat bagaimana para tetua-tetua yang berjuang untuk mereka sehingga dapat melewati kota orang dengan aman, cukup makan dengan terus menerus berbuat kriminal yang pada akhirnya merugikan Bonek. Saat ini harus ada ketegasan untuk menyerahkan mereka pada hukum yang berlaku. Ketika mereka ditindak oleh aparat, tak ada lagi solidaritas kelompok untuk mereka, karena mereka sendiri tak pernah memikirkan akibat buruk yang akan ditimpa Bonek setelah aksi mereka.
Terakhir, saya turut berduka cita pada Bonek yang meninggal di Solo tadi pagi.
Sampai kapan hal ini terjadi?