Menunggu Gelora Bung Tomo Yang “Menakutkan”

Aksi Bonek Tribun Utara dalam pertandingan Persebaya vs PSIM beberapa waktu lalu. Foto: Joko Kristiono/EJ
Iklan

Pada suatu masa, stadion Gelora 10 November, Tambaksari, Surabaya menjadi tempat yang sangat “ditakuti” bagi tim-tim yang melawat ke sana. Sesuai dengan namanya, stadion itu seakan menyiratkan sebuah peristiwa heroik yang dipenuhi nyawa dan airmata dalam mengantarnya. Ya, stadion Gelora 10 November, sebuah tempat yang tidak akan pernah hilang dari ingatan masyarakat Indonesia dan Surabaya khususnya.

Stadion yang menjadi perjumpaan romantisme sepak bola nasional melalui Persebaya. Klub yang berjuluk “Bajul Ijo” itu sebagai penghuni stadion berkapasitas 15 ribu, menjadi sebuah kekuatan berlipat ganda yang menjadi momok bagi tim-tim lain. Di samping berhadapan dengan Persebaya, mereka juga menemukan tekanan selama 90 menit dari suporter fanatiknya. Dan itu menjadi sebuah catatan bahwa Gelora 10 November teramat sangat “menakutkan”.

Seiring sejalan, perkembangan sepak bola Surabaya melesat pesat. Stadion itu tak mampu lagi menampung fanatisme suporter yang setiap menit bertumbuh dan menggurita. Pemkot melalui Wali Kota Bambang DH berinisiatif membangun stadion berkapasitas besar yang jauh dari pemukiman padat penduduk. Maka, berdirilah stadion yang namanya tetap meneruskan karakter Surabaya dan sejarah 10 November-nya; Gelora Bung Tomo.

Peradaban sepak bola Surabaya penuh dinamika, termasuk paradigma suporter yang telah mengalami perubahan dari hal negatif menjadi hal positif. Bonek dalam fase itu dan sedang terus meng-upgrade image yang dikenal sangar dan gahar, kini menjadi suporter yang inovatif.

Iklan
BACA:  Tiga Alasan Wajib Mbonek di Laga Persebaya vs Barito Putera

Dengan referensi kultur suporter bule-bule di sana menjadikan Bonek sebagai suporter yang mampu memberikan hiburan di dalam stadion dengan chant-chant yang menyemangati pemain di lapangan.

Tak ada lagi nyanyian yang rasis, provokatif, atau bentuk teror mental kepada pemain lawan. Bentuk “teror” yang disampaikan pun cenderung lunak dan bersifat “kekeluargaan” yang kental. Tak hanya pemain lawan, penonton lain pun merasa nyaman dengan suasana yang diciptakan bonek di seluruh tribun. Maka, stadion tak lagi menjadi sesuatu yang mencekam seperti jaman dulu, sehingga keangkeran dan hal-hal yang meneror mental pemain pun tak lagi kita jumpai.

Jose Mourinho ketika masih menukangi Setan Merah Manchester United, melawat ke rival abadi mereka Liverpool mengatakan bahwa mereka tidak takut pada atmosfer rivalitas yang ada di Anfield. “Kami harus menjadikan tekanan suporter menjadi bentuk dukungan kepada kami, dan itu justru akan menjadi tekanan kepada Liverpool sendiri.”

Hal ini dapat dibayangkan, jika chant liverpudlian yang menohok mental pemain MU justru “dinikmati”, apalagi jika tanpa ada tekanan-tekanan.

Menukil pandangan kolumnis yang juga peneliti hukum olah raga Kemenkumham RI, Eko Noer Kristiyanto pada 22 oktober 2017 di media Pikiran Rakyat, ia mengatakan “Dalam era global dan penyesuaian seperti apapun, sepak bola sulit diharamkan dari sisi liar, primitif, dan maskulin, yang harus dijaga adalah konteks dan pengendaliannya. Teror mental selalu sah untuk menjatuhkan mental musuh, namun jangan merusak sepakbolanya.”

BACA:  Catatan Kecil untuk George Brown

Panser PSIS Semarang menggubah lagu “Sway” untuk menekan mental pemain PSMS Medan di pekan keempat. Alhasil mereka berhasil melumat tim berjuluk “Ayam Kinantan” dengan 4 gol. Memang, chant itu bukan karya orisinil Panser dan banyak digunakan oleh kelompok suporter lain yang memang untuk menjatuhkan mental lawan, namun bukan merusak hubungan baik antara Panser dan Smeck yang juga hadir saat itu. Lagu itu tak ada nuansa rasis atau menghina dina, hanya sebagai implementasi “rivalitas 90 menit, selebihnya kita saudara”.

Di tengah perkembangan elemen-elemen Bonek dengan visual yang ada, saya menunggu kreativitas mereka menjadikan Gelora Bung Tomo sebagai venue yang benar-benar menjelma “pemain ke-12” dan menakutkan bagi tim lain.

Mentalitas pemain klub peserta Liga 1 saat ini telah tahan banting pada atmosfer sepak bola nasional. Mereka kebanyakan juga memiliki basis suporter yang tak kalah fanatik dengan Bonek, sehingga gemuruh riuh rendah stadion yang tidak menyasar pada upaya merobohkan mental mereka akan dinikmati mereka sambil ber-selfie ria.

Salam satu nyali! Wani!

Komentar Artikel

Iklan

No posts to display